Senin, 28 Juli 2008

Antara Muttaqîn Dan Muhsinîn

Antara Muttaqîn Dan Muhsinîn
Muttaqîn dan muhsinîn adalah dua posisi (maqam) manusia di hadapan Allah. Kedua posisi ini didapatkan manusia sebagai anugerah Allah atas kepatuhannya kepada Allah. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang yang manakah dari keduanya yang lebih tinggi dan lebih mulia. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba melihat keduanya berdasarkan informasi al-Qur’an. Ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk melihat yang manakah dari kedua posisi ini yang lebih mulia.
Pertama, dari pemahaman terhadap makna akar kata. Kata muttaqîn berasal dari taqwa yang secara harfiyah berarti takut dan terpelihara. Kata taqwa kemudian diartikan sebagai rasa takut seorang hamba kepada Allah, sehingga membuatnya terpelihara dari perbutan melanggar aturan Allah swt. dan pada akhirnya menjadikan seseorang terhindar dan terpelihara dari murka Allah dan siksa neraka-Nya.
Sementara kata Muhsinîn berasal dari kata ihsan secara harfiyah berarti berbuat kebaikan. Ihsan kepada sesama adalah memberikan lebih banyak dari yang seharusnya diberikan dan mengambil lebih sedikit dari yang semestinya diambil. Ihsan juga berarti memperlakukan orang lain lebih baik dari memperlakukan diri sendiri. Sedangkan ihsan kepada Allah adalah bahwa ketika seseorang beribadah kepada Allah, dia larut dengan cintanya sehingga dia tidak melihat dirinya dan yang dilihatnya hanyalah Allah semata. Dengan demikian, ihsan kepada Allah adalah rasa cinta seorang hamba kepada-Nya, sehingga dia melakukan sesuatu perintah dan menjauhi suatu larangan bukan karena mengharap imbalan.
Ibadah atas dasar cinta tentu lebih mulia dari rasa takut. Oleh karena itu muhsinîn tentu lebih tinggi dan lebih mulia dari muttaqîn.
Kedua dari penggunaan kedua kata tersebut di dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seseorang menjadi muttaqîn setelah sebelumnya berada dalam posisi mukminin (orang beriman). Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Sementara, Muhsinîn dicapai seseorang setelah sebelumnya mereka berada dalam posisi muttaqîn. Seperti yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3]: 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(134)
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,133(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ketiga, dari segi penempatan mereka di hadapan Allah. Di mana muttaqîn di tempatkan Allah sebagai kelompok manusia yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di hadapan-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam surat al-Hujurat [49]:13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sementara Muhsinîn dijadikan Allah sebagai kekasih dan orang yang paling di sayang-Nya. Seperti yang disebutkan dalam surat surat Ali ‘Imran (3): 134.
…وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “… Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kita tentu memahami, bahwa kedudukan kekasih dan orang yang di sayangi lebih mulia daripada orang yang diberikan kedudukan yang tinggi. Contoh yang sederhana dapat dikemukan, seorang menteri adalah pegawai presiden yang paling tinggi kedudukannya di mata presiden. Akan tetapi, dia belum tentu menjadi kekasih atau orang yang paling disayangi presiden. Lalu apa perbedaan antara orang yang paling tinggi kedudukannya dengan seorang kekasih?
Seorang menteri misalnya, walaupun memiliki kedudukan yang paling tinggi di antara sekian banyak pegawai, namun dia hanya bisa bertemu dengan presiden pada saat dan waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, kekasih atau orang yang paling disayang presiden, tentu bisa bertemu dengannya kapan saja dan di mana saja, bahkan bisa di dalam kamar presiden.
Sekalipun kata kekasih juga diberikan kepada muttaqîn, namun dalam jumlah yang tidak lebih banyak dari Muhsinîn. Di dalam al-Qur’an, kata yuhibbu (menyayangi dan mencintai) yang mana Allah sebagai “Subjeknya” terdapat sebanyak 40 kali. 23 kali di awali dengan lâ (tidak), dan 17 kali tanpa lâ. (baca: M.Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, h. 127). Rincian dari yang 17 itu adalah:
1. 5 untuk Muhsinîn (al-Baqarah [2]: 195, Ali ‘Imaran [3]: 134, Ali ‘Imaran [3]: 148, Al-Ma’idah [5]:13, dan al-Ma’idah [5]: 93).
2. 3 untuk muttaqîn ( Ali ‘Imaran [3]: 76, at-Taubah [9]: 4 dan 7
3. 3 untuk muqsithîn (al-Ma’idah [5]: 42, al-Hujurat [49]: 9, dan al-Mumtahanah [60]: 8
4. 2 untuk muthathahirîn (al-Baqarah [ 2]: 222, dan at-Taubah [9]: 108
5. 1 untuk mutawakkilîn [3]:159
6. 1 tauwabin (al-Baqarah [2]: 222
7. 1 untuk shabirîn (Ali ‘Imran [3]:146
8. 1 muttahidîn (at-Taghabun [64]: 4
Dari jumlah penggunaan kata yuhibbu tersebut, juga dapat dipahami bahwa Muhsinîn lebih mulia dan lebih tinggi dari muttaqîn.
Keempat, dari bentuk ibadah yang menghasilkan kedua posisi tersebut. Jika muttaqîn diperoleh setelelah seseorang melaksanakan ibadah puasa yang merupakan hasil dari melatih, menahan serta memelihara diri dari kehendak nafsu (puasa secara harfiyah imask atau menahan). Sementara, Muhsinîn adalah hasil dari kemampuan seseorang mengalahkan egoisme dirinya. Mengalahkan egoisme berarti jika berbenturan keinginannya dengan kehendak Allah, maka dia mendahulukan kehendak Allah. Begitulah yang dipahami dari kisah penyembelihan Isma’il oleh Ibrahin seperti diceritakan dalam surat ash-Shafat [37]: 102-105
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105).”
Puasa adalah kewajiban yang diasosiasikan dengan perintah, tekanan, paksaan dan ancaman. Sementara qurban adalah sunat yang lebih menuntut kesadaran dan dasarnya adalah cinta dan pengorbanan. Sehingga, hasil dari kedua ibadah ini juga berbeda posisinya. Dan tentu, posisi yang didapatkan dengan kesadaran, lebih mulia dari yang didapatkan melalui perintah dan paksaan.

Beramal Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Beramal Untuk Orang Yang Sudah Meninggal
Adalah sudah menjadi polemik yang cukup panjang dan alot antara para ulama dan fuqaha, persoalan beramal untuk orang yang sudah meninggal dunia serta sampai atau tidaknya pahala baginya. Sebagian berpendapat boleh dan pahalanya akan sampai dan diterima oleh yang telah meninggal dunia. Namun, sebagian yang lain menolak bahkan cendrung menyesatkan pendapat yang mengatakan bahwa boleh beramal untuk orang yang telah meninggal. Mereka mengatakan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesia-siaan belaka. Mereka beralasan dengan surat an-Najm [53]: 39
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Alasan yang lain adalah hadits Rasulullah saw.
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya: “Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka putuslah semua amal perbuatannya keculai tiga perkara; yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanffat, dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya”.
Inilah di antara dalil yang menjadi pegangan kelompok yang tidak membenarkan adanya amal atau perbuatan baik bagi orang yang telah meninggal dunia. Sebab, ketika seorang telah mati, maka semua amalnya terputus. Sehingga, tidak ada peluang bagi orang lain untuk mempersembahkan bagian pahala kepadanya.
Alasan yang lain adalah, bahwa jika saja semua orang yang hidup bisa memberikan pahala kepada orang yang telah meniggal dunia, tentulah dengan mudah dosa-dosa mereka menjadi berkurang, ringan atau bahkan habis karena dihapus kebaikan orang lain yang beramal untuk dirinya.
Namun demikian, tulisan sederhana ini akan mencoba melihat persoalan ini dari sudut pandang yang berbeda. Karena, penulis berangkat dari pijakan bolehnya beramal untuk yang sudah meninggal dan pahalanya akan sampai kepada yang bersangkutan.

A. Bolehnya Beramal Untuk Orang Yang Telah Meninggal
Sebagaimana disebutkan bahwa surat an-Najm [53]: 39, dan hadits Rasulullah di atas adalah alasan yang dikemukan oleh kelompok yang tidak membenarkan beramal untuk orang yang telah meninggal dan pahalanya tidak akan sampai. Agaknya, mereka memahami kedua dalil tersebut secara harfiyah, sehingga kesimpulannya agak sedikit sempit dan cendrung “radikal”. Mungkin kita perlu melihat dalil-dalil lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama. Di antaranya surat Al-Hasyar [59]: 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Ayat ini mengisyaratkan, bahwa hubungan antara orang mukmin yang hidup dengan yang sudah meninggal tidak terputus. Oleh karena itulah, dalam surat Muhammad [47]:19, Allah swt juga memerintahkan Rasul-Nya untuk memintakan ampun bagi segenap orang beriman, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup bersama beliau.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”
Begitu juga bahwa nabi Nuh as. dan Ibrahim as. diperintah oleh Allah untuk berdo’a kepada-Nya. Seperti yang terdapat dalam surat Ibrahim [14]: 41
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).”
Begitu juga dalam surat Nuh [71]: 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
Artinya: “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.”
Meminta ampun terhadap dosa dan kesalahan, apakah untuk untuk diri sendiri atau orang lain, tentu saja tidak hanya dalam bentuk ucapan istighfâr atau ungkapan do’a. Namun, permintaan ampun ada beberapa bentuk yang salah satunya adalah mengiringinya dengan amal shaleh atau kebaikan. Dengan demikian, beramal atau berbuat kebaikan untuk orang yang telah meninggal dunia adalah salah satu bentuk permintaan ampun (istighfâr) bagi orang yang telah meninggal. Sehingga, tidaklah salah kiranya jika orang yang masih hidup beramal untuk yang sudah meninggal dan pahalanya akan sampai. Sebab, kebaikan yang dilakukan orang lain untuk dirinya adalah hasil dan buah dari usahanya sendiri ketika masih hidup.
Dengan demikian, tidak ada salahnya jika orang yang masih hidup beramal untuk orang yang telah meninggal dunia. Seperti menghadiahkan bacaan al-Qur’an, tahlil, bersedekah apalagi berdo’a. Karena, pahalanya akan mengalir dan sampai kepada yang telah meninggal tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, juga disebutkan;
سأل رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي ماتت, أفينفعها إن تصدقت عنها؟ قال, نعم
Artinya: “Bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia, apakah ada gunanya seandainya saya bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab: Ya berguna untuk ibumu”.
Begitu juga hadits Rasulullah saw yang diterima dari ‘Aisyah ra.
عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا قال للنبي صلي الله عليه وسلم, إن أمي افتليت (ماتت فجأة) وأراها لو تكلمت تصدقت, فهل لها أجر إن أتصدق عنها؟ قال:نعم. (متفق عليه)
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra. Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw. sesungguhnya ibu saya tekah meningggal secara mendadak, dan saya yakin jika dia bisa berbicara pastilah dia akan bersedekah, apakah ibu saya mendapat bagian pahala seandainya saya bersedaqah untuk ibu saya? Rasulullah saw. menjawab: Ya, ada pahala untuk ibumu.”
Sementara, surat an-Najm [53]: 39 yang dijadikan alasan kalangan yang membatalkan amal bagi yang meninggal, agaknya perlu juga difahami sebab turunnya. Menurut mufassir, ayat tersebut turun tatkala Walid bin Mughirah masuk Islam dan diejek oleh orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik tersebut berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama kita yang lama, kami akan menanggung siksamu di akhirat”. Maka Allah menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakannya. Bukan berarti menghilangkan perbuatan orang lain terhadap dirinya.
Menurut Ibnu Thaimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa, dia berkata, “Bahwa do’a tidak sampai kepada orang yang mati dan perbuatan baik tidak sampai kepada orang yang mati adalah pendapat ahli bid’ah”. Sekalipun pendapat ini saya dinilai agak berlebihan dan cendrung juga “radikal”.

B. Beberapa Dalil Lain Yang Mendukung Bolehnya Beramal Untuk Orang Yang Meninggal Dan Pahalanya Akan Sampai
Di samping dalil ayat dan hadits di atas, yang membenarkan beramal untuk orang yang meninggal ada lagi dalil lain. Di antarnya.
Pertama, shalat jenazah yang merupakan ibadah wajib kifayah bagi setiap muslim dan didasarkan hadits mutawatir. Di dalam pelaksanaan shalat jenazah tersebut, berisi do’a dan permintaan ampun bagi yang telah meninggal dunia. Bahkan pada takbir keempat, do’a yang berisi permohonan ampunan bukan hanya untuk yang sedang dishalatkan, namun juga untuk semua orang beriman yang telah meninggal dunia. Jika saja amal dan kebaikan orang yang masih hidup tidak berguna bagi yang telah mati, maka tentulah tidak akan diwajibkan shalat jenazah.
Kedua, adalah menjadi rukun terakhir setiap khutbah jum’at mendo’akan seluruh muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Jika saja do’a dan amal untuk orang yang meninggal tidak ada gunanya bagi yang meninggal, tentu tidak akan ada rukun khutbah dalam bentuk seperti itu.
Ketiga, Rasulullah saw mengajarkan setiap orang yang melakukan ziarah kubur atau bahkan melewati suatu kuburan agar mengucapkan salam dan do’a.
السلام عليكم يا أهل الديار من المؤمنين والمؤمنات وإنا إن شاء الله بكم لاحقون أسأل الله لنا ولكم العافية
Artinya: “Keselamatan atas kamu wahai ahli kubur dari mukmin laki-laki dan perempuan, sesungguhnya kami apabila telah dikehandaki Allah pasti menyusul kamu, dan kami memohon kesejahteraan bagi kami dan kamu.”
Jika saja do’a atau kebaikan yang dilakukan oleh orang yang masih hidup tidak bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia, tentulah Rasulullah saw. tidak akan mengajarkan do’a seperti itu.
Berdasarakan dalil-dalil di atas, dapat dipahami bahwa beramal untuk orang yang sudah meninggal adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Dan pahalanya akan sampai dan mengalir serta diterima oleh yang telah meninggal dunia. Sekalipun, ada sebagian pihak yang tidak setuju dan memiliki pemahaman yang berbeda.
Oleh karena itu, saya kira yang lebih bijak adalah tidak saling menyalahkan apalagi saling mengkafirkan. Bagi yang berkeyakinan bahwa melakukan amal dan kebaikan untuk yang meninggal adalah boleh dan pahalanya sampai, silahkan melakukanya tanpa harus mengatakan yang tidak ikut adalah sesat dan keliru. Tentu saja perbuatan tersebut harus didasarkan ilmu dan keyakinan yang benar. Bagi yang tidak percaya akan sampainya pahala bagi yang telah meninggal dunia dari kebaikan orang yang masih hidup, silahkan meninggalkannya tanpa harus mengatakan orang yang berbeda sesat dan melakukan hal yang sia-sia. Karena dengan demikian, persatuan dan kesatuan umat akan lebih terjaga, daripada menyibukan diri dengan perpecahan terhadap hal-hal yang tidak prinsip.
Masing-masing pihak dipersilahkan beramal sesuai keyakinan tanpa harus saling menyalahkan atau mengkafirkan. Karena kebenaran mutlak ada di tangan Allah. Begitu juga persoalan pahala dan balasan, adalah otoritas Tuhan semata.

Berzikir Kepada Allah

Berzikir Kepada Allah
Berzikir; mengingat dan menyebut nama Allah, adalah hal yang selalu dituntut kepada manusia di manapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Begitulah ciri manusia paling cerdas yang diistilahkan dengan Ulul al-Bab seperti yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 190-191. Namun demikian, Allah swt. memilihkan waktu-waktu tertentu di mana secara khusus manuia diperintahkan Allah untuk berzikir dan menyebut nama-Nya.
Setidaknya ada tiga waktu khusus yang diperintahkan Allah untuk berzikir kepada-Nya. Pertama, setelah manusia selesai melaksanakan ibadah puasa. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Kedua, setelah manusia selesai melaksanakan ibadah haji. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
Begitu juga dalam surat al-Baqarah [2]: 200
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ ءَابَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا…
Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu…”
Ketiga, setelah manusia selesai melaksanakan ibadah shalat, baik wajib maupun sunat. Seperti yang disebutkan dalam surat an-Nisa’ [4]: 103
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ….
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring…”
Begitu juga dalam surat Qaf [50]: 40
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ
Artinya: “Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang.”
Selanjutnya dalam surat al-Insan [76]: 26
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
Artinya: “Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.”
Itulah tempat-tempat istimewa yang dipilihkan Allah untuk manusia sebagai tempat manusia berzikir kepada-Nya. Pada waktu-waktu itulah nilai dan pahala zikir sangat besar. Namun, Pada intinya zikir memiliki memiliki nilai dan pahala yang besar dan istimewa adalah setelah manusia melaksanakan ritual ibadah tertentu, apakah wajib atau sunat.
Adapun cara manusia berzikir kepada Allah adalah
1. Zikir hendaklah dilakukan dengan tunduk dan suara yang rendah serta penuh rasa takut kepada-Nya. Zikir tidaklah mesti dilakukan dengan suara yang keras dan berteriak serta dengan cara bermain-main dan jauh dari keseriusan. Begitulah yang ditegaskan Allah swt. dalam surat al-A’raf [7]: 205
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
2. Zikir hendaklah dilakukan dengan mengikutkan hati, sehingga menimbulkan getaran di dalam hati orang yang berzikir serta rasa rindu kepada Allah. Tentu, zikir seseorang akan bernilai kosong jika hatinya tidak ikut serta dalam apa yang diucapkan. Begitulah yang dipesankan Alah dalam surat al-Anfal [8]: 2
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ….
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”
3. Zikir dilakukan dengan rasa takut dan khsusu’, bahkan kalau bisa dengan cara menangis sambil sujud tersungkur menyadari kebesaran Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Isra’ [17]: 108-110
وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا(108)وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا(109)قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا(110)
Artinya: “Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi"(108). Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu`(109). Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (110).”
Adapun jika berzikir dengan ayat-ayat al-Qur’an, maka seyogyanya manusia mendengar atau membacanya dengan penuh kekhusu’an, penuh penghayatan, bahkan menangis sambil bersujud. Begitulah hendaknya pengagungan manusia terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagai kalam Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Ma’idah [5]: 83
وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا ءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Artinya: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad s.a.w.)”
Begitu juga dalam surat Maryam [19]: 58
…..إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
Artinya: “…Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”

Beberapa Aturan Ibadah Dan Mua’malah

Beberapa Aturan Ibadah Dan Mua’malah

Dalam surat an- Nisa’ [4]: 43, Allah swt. berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.”
Ayat di atas berbicara tentang beberapa aturan ibadah dan mu’amalah (cara berinteraksi dengan sesama manusia). Adapun aturan tersebut adalah;
1. Ayat di atas di mulai dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman”. Hal itu menunjukan bahwa ibadah apapun bentuknya, terutama ibadah yang wajib hendaklah pelaksanaanya dilandasi dasar keimanan.
Iman secara sederhana diartikan ilmu tentang al-haq (kebenaran), dan puncak al-Haq adalah Allah swt. Akan sia-sialah ibadah seseorang jika dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang benar. Manusia dilarang oleh Allah bersikap taqlid, terutama dalam hal ibadah. Seseorang boleh mengikuti apa yang dilakukan orang tanpa pengetahuan, namun ketidaktahuannya itu hanyalah untuk waktu tertentu. Dia tidak boleh bertahan dalam ketidaktahuannya. Karena, manusia telah diberikan seperangkat alat untuk terhindar dari ketidaktahuan, seperti mata, telinga, mulut, akal dan seterusnya. Semua itu tentu akan diminta pertanggungjawabannya nanti di akhirat.
2. Ayat ini adalah ayat kedua yang turun mengatur hukum khamar. Ayat yang pertama adalah surat al-Baqarah [2]: 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا…
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya"…”.
Sedangkan ayat ke tiga atau yang terakhir mengatur tentang khamar adalah surat al-Maidah [5]: 90. Ayat ini turun di Madinah ketika kondisi umat sudah mapan dan keimanan umat Islam sudah kokoh dan siap menerima hukum yang keras. Seperti firman Allah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Hal ini mengandung pengajaran, bahwa hendaklah umat Islam bijaksana dalam mengajak manusia ke jalan Tuhan. Umat Islam dalam berda’wah janganlah memaksakan keingananya kepada orang lain. Janganlah terlalu berambisi merobah kebiasaan dan tradisi seorang atau sekelompok orang dengan cepat dan seperti membalik telapak tangan. Hendaklah ajakan dan perobahan dilakukan secara bertahap, hingga akhirnya orang lain mengikuti kebenaran yang disampaikan dengan utuh dan sempurna. Sebab, jika kita ingin merobah sesuatu yang sudah mapan di tengah suatu masyarakat dengan cepat dan paksaan, tentulah akan menimbulkan gejolak yang hebat dan Islam bukannya akan diterima, namun akan dibenci dan dimusuhi.
3. Jangan seseorang mendekati shalat termasuk dilarang mendekati tempat shalat jika sedang mabuk. Ayat ini kemudian dijadikan alasan oleh sebagian ulama untuk melarang shalat bagi yang sedang dilanda rasa kantuk.
Jika seseorang dilanda kantuk yang hebat, hendaklah dia pergi tidur telebih dahulu baru kemudian melaksanakan shalat. Hal itu juga disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, “Jika salah seorang kamu dilanda kantuk hendaklah dia tidur terlebih dahulu. Sebab, jika sedang mengantuk kemudian dia shalat boleh jadi dia meminta ampun, namun malah minta kutuk”.
4. Ayat di atas juga menjadi alasan sebagian ulama untuk melarang tidur di dalam masjid.
Orang yang sedang mabuk sama keadaannya dengan orang yang tidur, karena dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Sementara, masjid adalah rumah Allah yang mesti dijaga kesuciannya. Bagaimana halnya, jika orang yang tidur mengeluarkan air ludahnya di atas tempat sujud, atau “ngompol” di atas tikar masjid, atau bahkan bermimpi hingga dia junub di dalam masjid? Tentulah semua itu akan merusak kebersihan dan kesucian masjid.
5. Melalui ungkapan “…sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” , para ulama memahami bahwa orang yang shalat dituntut untuk mengerti dan mengetahui apa yang dibaca dan diucapkannya, termasuk memahami dan menghayati setiap gerakan shalat yang dilakukannya.
Oleh karena itu, tidak cukup shalat bagi seseorang sampai batas bisa melaksanakannya saja. Namun, harus mampu memahami setiap apa yang diucapkan dan dilakukannya.
6. Tidak boleh shalat dan juga mendekati tempat shalat jika sedang junub, termasuk haid bagi perempuan, sehingga dia mandi untuk menghilangkan hadats besarnya yang disebut dengan mandi janabat.
Sebelum suci dari hadatsnya, orang yang sedang junub hanya boleh lewat tempat shalat dengan perjalanan yang cepat seperti layaknya seseorang yang menyeberang di jalan raya.
7. Bagi orang junub dapat, dia bisa menghilangkan hadatsnya dengan cara mandi. Namun, mandinya haruslah dalam bentuk taghtasilu (mandi yang bersangatan). Kata ini berbeda dengan ghasala yang juga sama berarti mandi. Tidaklah disebut mandi junub menurut ayat di atas, jika mandinya hanya sebatas menyampaikan air ke seluruh tubuh. Akan tetapi, harus lebih dari itu dengan cara menggosok seluruh tubuh, menggunakan sabun atau pembersih lain dan sebagainya.
8. Jika seseorang sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat yang rendah (buang air kecil atau besar), menyentuh perempuan, maka dia boleh bertayamamum jika tidak mendapatkan air.
Tidak mendapatkan air bisa dalam pengertian karena tidak ada air atau sakit yang menghalangi untuk memakai air. Dan alat yang bisa dipergunakan untuk bertayamum adalah sha’idan thaiyiba, yang secara harfiyah berarti sesuatu yang tinggi, menonjol di permukaan, atau naik. Dari sinilah munculnya perbedaan pendapat para ulama tentang alat bertayamum yang dipakai. Imam Syafi’i dan Maliki berpendapat tanah. Sementara imam Hanafi berpendapat batu, sedangkan Hambali berpendapat boleh dengan kayu. Akan tetapi, para ulama sepakat mengatakan bahwa tayamum tidak boleh dengan besi, emas, perak, tembaga dan sejenisnya. Sebab, benda-benda tersebut bukan bagian dari tanah.
Adapun anggota tubuh yang mesti ditayamumkan adalah wajah dan kedua tangan. Sebab, tayamum bukan untuk tujuan membersihkan seperti halnya wudhu’ atau mandi. Namun, tayamum dimaksudkan akan arti pentingnya bersuci bagi manusia ketika akan menghadap Allah.
9. Dari ungkapan “Kembali dari tempat yang rendah”, terkandung ajaran moral dan akhlak yang tinggi. Sebab, Allah tidak menyebutkan “Kembali dari buang air besar atau kecil”. Zaman dulu, ketika wc belum seperti sekarang, orang jika hendak buang air besar atau kecil harus mencari tempat yang rendah agar tidak terlihat oleh orang lain. Atau jika buang air di padang pasir yang kemungkinan akan terlihat orang lain, seseorang disuruh agar duduk melaksanakannya.
Begitulah buang air besar dan kecil yang semestinya dilakukan oleh manusia, yaitu dengan cara menyembunyikannya. Sangatlah tidak etis, jika seseorang melaksanakan buang air besar atau kecil di hadapan orang lain, di tempat terbuka atau di tempat-tempat yang dengan mudah orang lain melihatnya. Buang air kecil maupun besar adalah sesuatu yang tidak semestinya dilihat orang lain, karena di situlah salah satu letak perbedaan manusia dengan binatang.
Bahkan, buang air besar atau kecil bukan hanya pelaksanaannya saja yang mesti disembunyikan, mengatakannya kepada orang lainpun haruslah dengan bahasa yang tersembunyi. Ada banyak ungkapan yang bisa dipakai untuk mengatakan pekerjaan hal ini, seperti “Saya mau ke belakang”, “Saya mau melapor”, “Saya mau ke sungai” dan sebagainya.
10. Ayat ini juga menjadi dasar para ulama menetapkan bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal, karena terjadinya persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Namun demikian, terhadap kata lâmastum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan bentuk persentuhan. Imam Syafi’i berpendapat asalkan terjadi bersentuhan kulit, sementara Maliki dan Hanafi memahami bersentuhan harus dengan syahwat, dan imam Hambali berpendapat jima’ (berhubungan suami isteri).

Mukmin Yang Sesungguhnya

Mukmin Yang Sesungguhnya

Mukmin adalah sebuah posisi atau tingkatan manusia dalam pandangan Allah. Menurut informasi al-Qur’an, seorang mukmin lebih tinggi posisinya dari seorang muslim. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Hujurat [49]: 14
قَالَتِ الْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Di dalam surat al-Anfal [8]: 2-4, Allah swt menyebutkan ciri-ciri mukmin atau manusia yang disebut beriman. Sebagaimana firman-Nya
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ(2)الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ(3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ(4)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (2). (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (3). Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni`mat) yang mulia (4).”
Dalam ayat di atas, Allah swt. menyebutkan lima ciri orang yang mukmin sesungguhnya. Pertama, orang yang apabila disebutkan nama Allah, maka bergetarlah hatinya atau hatinya akan berdebar dengan keras. Seseorang akan berdebar hatinya jika mendengar nama Allah, tentu karena hubungan yang begitu dekat dan akrab, atau bahkan orang yang telah menjadikan Allah swt. sebagai kekasihnya. Kenapa seseorang berdebar jantungnya jika mendengar nama kekasihnya disebut oleh orang lain? Ada beberapa jawaban, pertama karena rindu ingin bertemu. Kedua, karena cemberu jangan-jangan orang yang menyebut nama kekasihnya itu, memiliki hubungan pula dengannya atau bahkan lebih dekat dari dirinya. Ketiga, rasa memiliki yang sangat besar, sehingga dia tidak ingin ada orang lain yang menyebut namanya apalagi dekat dengannya.
Begitulah seorang mukmin dengan Allah, bahwa ketika disebutkan nama Allah dia merasa rindu ingin bertemu dengn-Nya. Dia juga tidak ingin ada orang yang lebih dekat kepada-Nya melebihi kedekatannya dengan Allah dan akan sangat cemburu bila ada orang lain yang lebih dekat kepada Allah dari dirinya. Serta dia merasa kalau Allah itu hanyalah miliknya saja, seakan dia tidak ingin ada yang lain memiliki-Nya pula.
Kedua, orang yang jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, bertamabahlah keimanan mereka. Di dalam al-Qur’an, semua kata membaca yang menggunakan kata talâ-yatlû-tilâwah (تلا- يتلو- تلاوة), objek yang dibaca adalah kitab suci yang diturunkan kepada nabi dan rasul Allah swt. Berbeda dengan kata qara’a, yang objeknya bisa bacaan yang tertulis, baik yang datang dari Allah maupun yang ditulis oleh manusia sendiri, ataupun sesuatu yang tidak tertulis.
Orang yang benar-benar beriman akan bertambah keimanannya ketika mendengar bacaan ayat-ayat Allah, tentunya karena dia mengerti dan memahami apa yang didengar dan dibacakan tersebut. Sebab, bagaimana mungkin seseorang akan bisa menambah keimanannya ketika mendengar ayat-ayat Allah, jika dia sendiri tidak memahaminya. Logikanya adalah, bahwa salah satu syarat menjadi orang yang sempurna imannya adalah harus mengerti dan memahami al-Qur’an. Maka di sinilah perlunya setiap muslim mempelajari al-Qur’an dan berupaya memahaminya. Tentu, tidak cukup hanya sampai bisa membacanya saja, namun mesti sampai ke tingkat mampu memahaminya.
Ketiga, orang-orang yang bertawakkal atau menyerahkan dirinya kepada Allah. Bertawakkal secara harfiyah artinya menjadikan Allah sebagai sebagai wakil dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan diri seseorang. Seseorang biasanya mewakilkan urusannya kepada orang lain dengan beberapa alasan. Pertama, karena orang tersebut tidak mampu melakukannya, maka perlu mencari orang yang cakap dan mampu untuk malakukan hal itu sebagai wakil dirinya. Kedua, karena seseorang ingin menghormati atau memberi kehormatan kepada orang yang dijadikan wakil. Sebenarnya, dia mampu mengerjakannya, namun dia ingin memberikan kepada orang lain sebuah kehormatan untuk melakukan hal tersebut. Manusia menjadikan Allah sebagai wakilnya, tentu bukan kerana alasan kedua. Namun, karena manusia tidak mampu mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya. Karena, boleh saja dia menganggap sesuatu itu baik, namun hal itu buruk baginya begitupun sebaliknya. Hanya Allah lah Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 216
…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Keempat, orang-orang yang mengerjakan shalatnya dengan benar dan sempurna. Pemahaman kata mengerjakan shalat dengan benar dan sempurna diperoleh dari penggunakan kata yuqîmûna yang berarti mengerjakannya dengan benar dan kokoh. Sebab, betapa banyak manusia yang mengerjakan shalat, namun hanya sebatas shalat belum termasuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat adalah melaksanakannya secara sempurna sesuai aturan syari’at, mulai dari berwudhu’ yang sempurna, pelaksanaannya, sampai kekhusu’an di dalamnya. Jika shalat dikerjakan hanya sebatas menurut definsi shalat, yaitu melakukan serangkaian perkataan dan perbuatan yang dimulai dari takbir dan disudahi dengan salam, maka itu baru sekedar shalat belum mendirikan shalat.
Kelima, orang-orang yang memberikan sebagian rezeki yang telah diberikan kepadanya untuk orang yang membutuhkannya. Orang yang sempurna imannya adalah manusia yang memiliki kepedulian sosial. Dia bukan orang yang kikir kepada orang lain, namun mau berbagi dengan sesama. Sikap hidup ini lahir dari empat sikap sebelumnya. Di mana, seorang yang merasa dekat dengan Allah, memahami al-Kitab, selalu bertawakkal, dan mendirikan shalat maka buahnya adalah hubungan yang baik dengan sesama yang terwujud dalam bentuk kepedulian kepada sesama.

Belajar Dari Kehidupan Semut

Belajar Dari Kehidupan Semut

Semut adalah salah satu jenis binatang yang namanya Allah sebutkan dalam al-Qur’an. Bahkan, salah satu nama surat dari seratus empat belas surat, diberi nama surat semut (an-Naml), surat yang ke-27 dalam urutan mushhaf. Begitu agungnya seekor semut, walaupun hanya dalam dua ayat disebutkan Allah, namanya dicatat sebagai nama sebuah surat.
Tanpa bermaksud merendahkan manusia apalagi nabi Allah yang sangat mulia, coba lihat misalnya cerita Musa as. di dalam al-Qur’an, atau cerita Adam as. Alangkah banyaknya cerita Musa, atau Adam disebutkan di dalam al-Qur’an, namun tidak satupun surat diberi nama dengan nama surat Musa atau surat Adam. Sementara semut, hanya pada dua ayat saja disebutkan ceritanya, langsung ditetapkan namanya sebagai nama surat. Cerita tentang binatang ini, Allah swt. sebutkan dalam surat an-Naml [27]: 18-19
حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَاأَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ(18)فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ(19)
Artinya: “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (ratu semut): “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari" (18). Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (19).”
Ada hal yang menarik untuk dipertanyakan, kenapa ketika melihat pola kehidupan semut, nabi Sulaiman tertawa sambil teringat kedua orang tuanya? Untuk menjawab itu, agaknya menarik jika kita mau memperhatikan pola kehidupan semut. Dengan memperhatikan semut, pastilah seseorang akan tahu betapa besar peran orang tua, terutama ibu dalam membentuk pribadi anak-anak mereka. Adapun pola kehidupan semut tersebut adalah;
Pertama, semut adalah binatang yang hidup berkelompok dan bersama serta selalu bekerjasama. Semut adalah binatang yang tidak hidup dengan pola kesendirian atau individualisme. Semut menyadari akan kondisinya yang kecil dan lemah. Namun, kebersamaan dan kerjasama membuatnya menjadi binatang yang tidak bisa dipandang remah. Seekor gajahpun, jika diserang semut secara bersama akan mati mengenaskan. Semut, dengan kersamaannya sekalipun fisiknya kecil, namun bisa membuat onggokan sebesar bukit
Begitulah hebatnya pola kehidupan semut yang suka dengan kebersamaan dan saling membantu. Tentu saja, sikap hidup seperti ini didapatkan oleh manusia melalui pendidikan di lingkungan keluarga dari kedua orang tua, terutama seorang ibu.
Kedua, semuat adalah binatang yang selalu hidup damai dengan sesamnya dan tidak pernah berkelahi. Coba lihat! Sekelompok semut yang sedang menarik makanan. Pernahkah mereka menariknya ke arah yang berlawanan satu sama lain? Sekelompok semut tidak pernah bertengkar dalam memperebutkan sesuatu. Bahkan, mereka saling memberitahu jika memperoleh sesuatu. Dan ketika menarik makanan ke dalam lobang atau sarang, mereka menunjukan pola kebersamaan. Jika yang satu menarik, maka yang lain mendorong, begitupun sebaliknya.
Begitulah kerukunan hidup yang perlu dicontoh manusia dari semut. Dan sikap hidup seperti itu, biasanya didapatkan dari lingkungan rumah tangga dari kedua orang tua terutama ibu.
Ketiga, semut adalah binatang yang selalu bertegur sapa dan bersalaman ketika bertemu dengan lain. Bahkan saking akrabnya, mereka saling cium pipi antara satu dengan yang lain. Menurut hasil pengamatan, cium pipi yang dicontohkan semut adalah cium pipi keakraban. Di mana, mereka memulainya dari pipi kiri kemudian pipi kanan. Sama halnya dengan thawaf yang juga di mulai dari kiri ka’bah, sebagai wujud kedekatan dan larut dengan Allah.
Begitulah sikap mulia semut yang juga mesti dicontoh manusia. Hendaklah mereka ketika bertemu dengan yang lain, saling tegur sapa dan memberi salam. Terlepas, apakah dia orang yang kita kenal atau bukan.
Keempat, semut adalah binatang yang kreatif dan selalu bergerak. Semut adalah binatang yang tidak kenal lelah, suka bermalasan dan berpangku tangan. Tidak akan ditemui seekor semut yang tidur pulas, apalagi dalam waktu yang lama. Begitulah sikap hidup yang mesti dicontoh setiap manusia. Janganlah manusia yang diberi akal dan fisik yang kuat menyia-nyiakan anugerah Allah tersebut. Hendaklah manusia menghargai setiap detik waktu yang dilaluinya dan setiap kesempatan yang datang kepadanya. Sebab, apa yang telah berlalu darinya berupa waktu dan kesempatan, tidak akan pernah lagi kembali sampai hari kiamat.
Kelima, semut adalah binatang yang selalu memikirkan dan mempersiapkan hari esoknya. Semut adalah binatang yang suka menumpuk makanan, bahkan dalam jumlah yang sangat banyak melebihi kebutuhannya. Semut selau memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi hari esok. Ia menumpuk makanan mungkin dengan keyakinan, bahwa hari esok bisa saja kendisinya lebih buruk dari hari ini. Jika kemudian ia berada dalam kondisi kurang menguntungkan, setidaknya ia tidak akan mati kelaparan bersama keluarganya. Begitulah pola hidup yang juga mesti dicontoh manusia. Yaitu memperhitungkan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi hari esok, dan melakukan persiapan menghadapinya. Itulah yang dipesankan Allah swt. dalam surat al-Hasyar [59]: 18
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keenam, semut adalah biantang yang kuat, karena seekor semut mampu menarik baban sebesar sepuluh kali berat bobot badannya. Hal itu tentu juga mesti menjadi contoh bagai manusia terutama umat Islam. Seorang mukmin mestilah kuat baik fisik, akal maupun rohani. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa “seorang mukmin yang kuat lebih utama dan dicintai Allah dibandingkan mukmin yang lemah”.
Tentu saja, kekuatan fisk ini didapatkan manusia dari kedua orang tuanya terutama seorang ibu. Mulai dari pemberian ASI oleh ibu, pemenuhan gizi, biaya pendidikan dan seterusnya. Bagaimana mungkin seorang anak akan kuat secara fisik, mental maupun spiritual jika kedua orang tua tidak mampu memberikan nafkah yang cukup.
Ketujuh, semut adalah binatang yang sangat informatif, suka berbagi dan tidak rakus serta suka menang sendiri. Jika seekor semut menemukan makanan, maka dengan cepat ia akan menyebarkan berita tersebut kapada yang lain. Sehingga, dalam waktu yang pendek dan cepat segerombolan semut telah berkumpul untuk membawa makanan yang ditemukan saudara mereka. Seekor semut tidak memiliki sikap rakus dan mau kenyang sendiri. Ia dengan senang hati akan berbagi dengan saudaranya yang lain. Itulah sikap hidup yang semestinya dicontoh manusia dari semut. Janganlah manusia rakus dan punya sikap tidak mau berbagi dengan saudaranya yang lain, yang juga sama membutuhkan. Bukankah dalam banyak ayat-Nya, Allah swt. mencela manusia yang bersikap kikir dan rakus?
Kedelapan, semut adalah binatang yang suka hidup teratur dan disiplin. Coba perhatikan jika sekelomnpok semut sedang berjalan. Yang terlihat adalah keteraturan dan kedisiplinan yang tinggi. Segerombolan semut akan berjalan dengan teratur, antri, tidak saling mendahului apalagi saling injak satu sama lain. Jika semut bisa hidup terarur, disiplin serta patuh pada aturan, lalu kanapa manusia yang berakal tidak bisa diatur dan selalu melanggar aturan dan yang lebih buruk lagi manusia seringkali “memotong langkah” saudaranya bahkan menginjak yang lain supaya keinginannya terpenuhi lebih dahulu. Jika demikian, tentulah lebih mulia sikap hidup semut bila dibandingkan manusia yang berakal.
Kesembilan, semut adalah binatang yang menghargai kehidupan, serta mencintai anak-anaknya melebihi harta dan nyawanya sendiri. Coba lihat! Jika sarang semut dirusak, maka semua mereka akan berlarian sambil membawa dan menyelamatkan telur yang ada. Semut tidak akan peduli dengan harta dan kekayaannya, ketika kondisi berbahaya. Anak-anak dan keluarga, lebih utama untuk diselamatkan dari harta benda dan kekayaan, bahkan dari keselamatan diri sendiri.
Jika semut saja lebih mengutamakan keselamatan anak-anaknya dari harta dan jiwanya, lalu kenapa ada sebagian orang tua yang rela mengorbankan anak mereka demi kebaikan mereka sendiri? Atau kenapa ada sebagian orang tua yang tega membunuh anak mereka sendiri atau membuangnya di dalam tong sampah dan sebagainya. Sungguh, semut dalam hal ini patut dijadikan pelajaran hidup.
Kesepuluh, semut adalah binatang yang patuh pada atasanya (ratunya). Semut dalam kesatuannya, dipimpin oleh seekor ratu yang dipatuhi oleh semua anggotanya. Ratu inilah yang memberi perintah, ke mana harus pergi dan bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan makanan. Termasuk, cara penyelamatan diri ketika dihadang bahaya seperti yang diceritakan dalam surat an-Naml [27]: 19 di atas. Tidak pernah seekor semut membantah dan melawan perintah sang ratu, sehingga kepatuhan inilah yang membuat rumah tangga semut senantiasa rukun dan tentram.
Begitulah pentingnya peran seorang pemimpin dalam menciptakan kehidupan yang teratur dan damai. Tanpa pemimpin tentu kehidupan akan kacau dan jauh dari ketenangan. Begitu juga dalam rumah tangga, tentu peran orang tua sangat dominan dalam menciptakan keteraturan anak-anak. Orang tua tidak hanya bisa memberikan pertintah, namun juga mampu memberikan contoh sikap terpuji pada anak-anak mereka. Terutama ibu yang menjadi teladan dan panutan setiap anak.
Begitulah sikap-sikap terpuji dari kehidupan semut yang mestinya menjadi contoh dan pelajaran bagi manuaia. Alangkah buruknya, jika manusia yang memiliki akal, pola kehidupannya lebih rendah dari yang dicontohkan semut.

Manusia Adalah Makhluk Yang Pelupa

Manusia Adalah Makhluk Yang Pelupa
Al-insân adalah salah satu kata yang dipakai oleh Allah swt. untuk menyebut makhluk yang bernama manusia. kata insân menurut sebagain ahli bahasa Arab, memiliki keterkaitan makna dengan kata nisyân yang secara harfiyah berarti lupa. Oleh karena itu, manusia tidaklah disebut dengan insân keculai bahwa dia adalah makhluk yang sangat pelupa;
(لا يسمي الإنسان بالإنسان إلا لنسيانه), Begitulah yang dikatakan oleh ahli bahasa.
Adalah sudah menjadi tabi’at manusia, bahwa dia dengan cepat dan mudah melupakan sesuatu, dan baru dia teringat serta menyadari apa yang dilupkan itu ketika berada dalam kondisi dan situasi sulit, genting, susah, atau membahayakan. Menurut informasi al-Qur’an, setidaknya ada dua hal yang seringkali dengan mudah dilupakan manusia, dan barulah dia teringat dan menyadari apa yang telah dilupakan itu, ketika berada dalam kondisi sulit, susah dan membahayakan.
Pertama, manusia dengan mudah dan gampang melupakan Allah swt. dan baru ingat kembali kepada-Nya, ketika manusia menghadapi kondisi sulit, susah dan membahayakan. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Yunus [10]: 12
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo`a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”
Begitu juga dalam surat Fushshilat [41]: 50
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً….
Artinya: “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang…”
Begitulah sifat manusia yang cenderung dengan mudah melupakan Allah dalam kehidupannya. Manusia baru ingat kembali kepada Allah, ketika berada dalam kodisi susah dan berbahaya. Di saat manusia dihadapkan kepada kondisi sulit atau berbahaya, maka yang ada dalam ingatannya hanyalah Allah. Begitu juga ucapan yang keluar dari bibirnya adalah nama Allah, sambil mengharap pertolongan-Nya dalam setiap waktu dan keadaan, berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, ketika Allah telah menghilangkan kesulitannya atau telah melepaskannya dari bahaya yang menghadangnya, maka manusia akan berlalu dan melupakan Allah dengan mudahnya, seolah dia tidak pernah mengingat-Nya, menyebut nama-Nya atau mengharap pertolongan-Nya. Bahkan, yang lebih ironis lagi, manusia yang tadinya bersimpuh dan bersujud mengharap pertolongan Allah, begitu lepas dari kesulitan berani menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa apa yang dia peroleh dari keselamatan adalah berkat kemampuan dan usahanya. Dia melupakan pertolongan Allah kepadanya, dan tidak cukup sampai di situ, manusia kemudian mendustakan adanya kiamat dan pembalasan Allah.
Sikap manusia seperti ini, tentu dengan sangat mudah bisa kita amati dan temui. Mislanya, jika sekelompok manusia menaiki sebuah pesawat, dipastikan semuanya akan berdo’a kepada Allah mengharap keselamatan. Dari bibir setiap penumpang akan keluarlah nama Allah dan ungkapan do’a terhadap kepada-Nya. Karena memang pada saat itu, manusia berada dalam kondisi berbahaya. Namun, setelah pesawatnya nanti mendarat, dan manusia kembali menginjakan kakinya di bumi, serta mereka tidak lagi berada dalam kondosi berbahaya, maka Allah akan sangat mudah dilupakan oleh manusia tersebut.
Ketika terjadi bencana semisal gempa bumi, maka serta merta nama Allah akan keluar dari mulut setiap manusia, seraya meminta pertolongan-Nya. Namun, ketika bencana telah usai dan meraka telah diselamatkan dari bahaya, manusia kembali dengan cepat melupakan Allah. Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika isu tsunami merebak akan melanda sebagian besar wilayah di Indosesia, maka mendadak ketaatan manusia meningkat tajam. Di mana-mana diadakan dzikir bersama, istighastah, do’a tolak bala dan sebagainya. Masjid dan mushalla mendadak ramai oleh manusia untuk ikut melaksanakan shalat berjama’ah. Bahkan, bukan hanya berjama’ah dalam shalat wajib, shalat Dhuha pun yang tidak ada aturan berjam’ah, juga dikerjakan manusia secara berjam’ah. Nama Allah dikumandangkan dengan secara bersama di setiap tempat. Hal itu terjadi, karena manusia sedang dihantui bahaya dan bencana. Maka, secara mendadak manusia ingat kepada Allah. Akan tetapi, ketika bencana telah lewat atau tidak jadi didatangkan Allah, maka serta merta manusia kembali melupakan Allah. Tempat-tempat ibadah kembali sepi, dan maksiat kembali meraja lela.
Kedua, manusia dengan mudah dan gampang melupakan amal kebaikan, dan barulah manusia menyadari kelalaiannya atau teringat apa yang dilupakannya, ketika telah berada dalam kondisi sulit, genting dan berbahaya. Dan di dalam al-Qur’an disebutkan minimal ada tiga kondisi genting dan sulit yang dihadapi manusia, di mana saat itulah dia baru menyadari akan kelalaiannya, atau teringat apa yang telah dilupakannya dari amal kebaikan.
Keadaan genting pertama adalah ketika kematian datang menjemputnya. Di saat itulah manusia teringat akan kebaikan yang dilupakannya, dan meminta waktu penagguhan kepada Allah dari kematiannya. Namun, hal itu tidak ada lagi gunanya, sebab Allah tidak akan pernah menerima permohonan mereka untuk mengundur kematian. Seperrti yang disebutkan dalam surat al-Munafiqun [63]: 10
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?".”
Kondisi genting kedua yang disaat itu barulah manusia teringat akan kelaiannya dan sadar apa yang telah dilupakannya dari amal shalaih, adalah ketika sudah berada di alam barzakh. Di alam barzakh, manusia sudah terkungkung dalam suatu wadah, di mana ke belakang dia bisa melihat dunia dan ke depan dia bisa melihat akhirat. Di alam barzakh tersebut, dihadapkan kepada manusia tempat yang akan ditempatinya sesuai dengan amalnya masing-masing. Jika dia calon penduduk sorga, maka sorga dan segala kenikmatannya diperlihatkan kepadanya. Namun, jika dia calon penghuni neraka, maka neraka dan segala bentuk siksanya pun dihadapkan kepadanya. Manusia yang dulu lengah dan melupakan kebaikan, ketika melihat siksa neraka yang akan diterimya, sadarlah dia akan apa yang telah dilupakan dulu. Maka, diapun meminta kepada Allah untuk dikembalikan lagi ke dunia. Akan tetapi, Allah tidak akan pernah mengabulkan permohomoan itu. Itulah yang disebutkan dalam surat al-Mukminun [23]: 99-100
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ(99)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(100)
Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (99). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (100).”
Kondisi sulit dan genting ketiga yang dihadapi manusia dan barulah ketika itu manusia ingat apa yang telah dilupakannya dari berbuat kebajikan adalah ketika manusia sudah berada di pinggir jurang nereka. Di saat manusia telah melihat azab neraka di depan mata mereka, dan malaikat telah siap melemparkan mereka ke dalamnya, manusia serentak berteriak kepada Allah agar dikeluarkan dari siska yanag akan menimpa mereka dan dikembalikan kepada kehidupan dunia. Jika Allah mengelurkan mereka dari sana, mereka berjanji akan mengerjakan amal shalih yang dulu ketika di dunia mereka lupakan. Namun, permintaan mereka di tolak oleh Allah swt, seperti yang disebutkan dalam surat Fathir [35]: 37
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”
Kenapa Allah selalu menolak permohonan manusia, mulai dari penangguhan kematian, dikembalikan ke dunia dari alam berzakh, dan dikeluarkan dari siksa neraka serta dikembalikan kepada kehidupan dunia? Di antara jawabannya adalah, bahwa Allah swt. persis tahu tabi’at manusia yang dengan mudah akan melupakan janji dan ucapam mereka. Sekalipun mereka diberi waktu untuk memperbaiki diri, atau bahkan dikembalikan lagi kepada kehidupan dunia, nisacya mereka akan tetap melupakan Allah dan melakukan larangan-Nya. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-An’am [6]: 27-28
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَالَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ(27)بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ(28)
Artinya: “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan) (27). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka (28).”
Lalu bagaimana cara manusia agar tidak melupakan Allah dan melupakan amal kebajikan? Supaya manusia tidak mudah melupakan Allah dan melupakan kebajikan, dia harus menjsdi manusia yang paling cerdas dan pintar, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut Ulul al-Bâb. Sebab, kelompok manusia Ulul al-Bâb memiliki beberapa ciri yang menjadikan mereka makhluk yang selalu ingat Allah dan tidak lupa berbuat kebajikan. Adapun ciri Ulul al-Bâb ini adalah:
1. Orang yang mampu menghargai kehidupan, mengerti dan memahami akan makna dan tujuan hidup yang diberikan Allah swt. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 179
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Qishash adalah salah satu bentuk penghargaan manusia akan kehidupan. Dengan qishash manusia memahami betapa berharganya suatu kehidupan. Kehidupan bukanlah suatu kebetulan, karena Allah menjadikan hidup adalah dengan tujuan agar Dia mengetahui siapa yang paling baik kualitas amalnya.
Kenapa seseorang melupakan Allah dan melupakan kebajikan? Sebab, dia tidak mengerti dan memahami hakikat dan tujuan kehidupan ini. Bagi yang melupakan Allah dan kebajikan, seringkali berpandangan bahwa hidup di dunia adalah tujuan akhirnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan di dunia dia berbuat semaunya tanpa ada rambu dan aturan yang mesti dipatuhi. Namun, bagi yang mengerti akan makna, hakikat dan tujuan kehidupan, dia akan sadar bahwa hidup di dunia adalah sarana menuju kehidupan yang lebih sempurna dan abadi. Sehingga, manusia yang sadar akan hal ini dipastikan tidak akan pernah melupkan Allah dan beramal untuk menghadapi kehidupan yang sempurna dan abadi tersebut.
2. Orang yang selalu memadukan anatara zikir, fakir dan do’a. Seperti
yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3] 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (191).”
Jika seseorang selalu berzikir kepada Allah swt, selalu berfikir tentang ciptaan-Nya untuk menemukan kebesaran Allah, serta selalu berdo’a kepada-Nya untuk dilepaskan dari siksa api neraka, sudah pasti bukanlah manusia yang melupakan Allah serta melupakan amal kebajikan. Barulah manusia disebut melupakan Allah dan kebajikan, jika ketiga hal tersebut sudah ditinggalkannya.
3. Orang yang mampu membedakan anatar kebaiakn dan keburukan. Seperti yang doisebutkan dalam surat al-Maidah [5]: 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."”
Kenapa seorang melupakan Allah dan lupa beramal kebajikan? Sebab, dia sendiri tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang disuruh dan mana yang dilarang, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Ketidaktahuan akan hal inilah yang membuat manusia menjadi sangat mudah melupakan Allah dan amal kebajikan.
4. Orang yang belajar dan mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu. Seperti yang disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ …
Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal…”
Jika saja masusia mampu mengambil pelajaran dari apa yang menimpa umat-umat yang durhaka pada masa lalu, tentulah manusia akan bersegera mengingat Allah dan berbuat kebajikan. Jika saja manusia mampu mengambil pelajaran dari apa yang menimpa raja Namrudz, Fir’aun, Qarun dan tokoh-tokoh pembangkang masa lalu, tentulah manusia tidak akan melupakan Allah dan amal kebajikan. Gampangnya manusia melupakan Allah dan lalai dari kebajikan, disebabkan manusia tidak mampu mengambil pelajaran dari cerita dan peristiwa masa lalu.
5. Orang yang mau menerima kebenaran dan nasehat. Seperti yang disebutkan dalam surat ar-Ra’d [13]: 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
Jika seseorang tidak buta mata hatinya dari kebenaran dan nasehat orang lain, tentulah dia tidak akan lupa kepada Allah dan kebajikan. Namrudz, Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab dan sebagainya, mereka melupakan Allah dan kebajikan karena hatinya telah buta untuk menerima kebenaran dan nasehat. Sekalipun mereka sadar bahwa yang datang kepada mereka adalah kebenaran, namun mereka menutup hati mereka agar tidak menerimanya. Hal inilah yang membuat mereka lupa akan Allah dan lupa akan kebajikan.
6. Orang yang mau mempelajari al-Qur’an dan mengambil pelajaran dari padanya. Seperti yang disebutkan dalam surat Ibrahim [14]: 52
هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”
Jika saja seseorang mau mendekatkan diri dengan Al-Qur’an dengan cara membaca, memahami dan mengamalkannya, tentulah dia tidak akan lupa kepada Allah dan kebajikan. Bagaimana mungkin dia akan melupakan Allah, ketika dia selalu dekat dengan kalam-Nya? Begitu juga, bagaimana mungkin seseorang dikatakan lupa beramal, sementara membaca dan mempelajari al-Qur’an adalah suatu amal kebajikan yang sangat besar nilainya? Begitulah manusia paling cerdas yang tidak akan pernah lupa kepada Allah dan berbuat kebajikan.

Mendidik Dengan Kasih Sayang

Mendidik Dengan Kasih Sayang
Sebelum nabi Adam as. diturunkan ke permukaan bumi dan menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah, terlebih dahulu Allah mendidik dan mengajarakannya di sorga. Di sorga nabi Adam dididik oleh Allah dengan cara memberikan peringatan kepadanya agar tidak tergelincir dari jalan Tuhan karena godaan syaithan, sehingga membuat mereka terusir dari sorga dan menaggung kesusahan. Pendidikan itu dijelaskan dalam beberapa ayat. Di antaranya surat Thaha [20]:117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”
Sebelum Adam diturunkan ke bumi, akibat tergoda oleh syaithan, kembali Allah mengingatkannya akan permusuhan abadi antara manusia dan syaithan agar dia tidak mengulangi kesalahan yang sama, ketika sampai di dunia. Seperti yang disebutkan dalam surat al-A’raf [4}22
….وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “…dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
Sementara itu, pengajaran dilakukan Allah kepada Adam as. dengan cara membekalinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan, guna kesuksesan tugas khalifah yang akan diembannya. Bentuk pengajaran itu disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 31
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Begitulah pentingnya pendidikan dan pengajaran bagi manusia, demi suksesnya tugas khalifah yang dibebankan kepadanya. Allah swt. Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tentulah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada Adam as. didasarkan kasih sayang-Nya. Memang itulah prinsip yang utama dalam proses pendidikan dan pengajaran, yaitu prinsip kasih sayang. Seorang guru dalam mendidik dan mengajar muridnya, haruslah dengan dasar kasih sayang.
Akan tetapi, yang mesti dapahami bahwa kasih sayang tidak mesti selalu dalam bentuk kelembutan, wajah penuh senyum, canda tawa serta tidak pernah marah dam memberikan hukuman. Kasih sayang adalah prinsip umum dalam mendidik, namun wujud dan operasionalnya bisa mengambil bentuk beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Kasih sayang bisa dengan senyum, suara yang lembut dan penuh persahabatan. Namun, kasih sayang bisa berbentuk suara yang keras, bentakan, kemarahan, hukuman bahkan sanksi berupa hukuman fisik.
Untuk memehami wujud kasih sayang dalam mendidik, kita bisa melihat bentuknya di dalam al-Qur’an, ketika Allah menggambarkan beberapa pola pendidikan yang berbasis kasih sayang pada beberapa ayat-Nya. Bentuk-bentuk kasih sayang tersebut adalah;
Pertama, memberi nasehat dan pengajaran dengan bahasa yang santun, suara dan nada yang lemah lembut. Seperti yang ditunjukan oleh Ibrahim as. ketika mendidik Isma’il untuk mengeluarkan pendapatnya. Sebagaimana terdapat dalam surat ash-Shafat [37]: 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Begitu juga yang ditunjukan oleh nabi Ya’qub as. ketika menasehati anak-anaknya untuk selalu bertauhid kepada Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 132-133
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ(132)أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ(133)
Artinya; “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam (132). Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.(133).”
Begitu juga yang ditunjukan oleh Luqman, ketika mendidik anak-anaknya, seperti yang disebutkan dalam surat Luqman [31]: 13, 16 dan 17.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Luqman [31]: 13).
Sementara itu, wujud kasih sayang yang lain adalah dengan cara menegur melalui kata-kata yang bernada keras ketika yang dididik itu melakukan kesalahan. Jika memang kemarahan dan suara yang keras dibutuhkan demi kebaikan peserta didik, maka itu mesti dilakukan. Asalkan masih dalam kerangka kasih sayang, yang bertujuan untuk perubahan peserta didik ke arah yang lebih baik. Begitulah yang digambarkan Allah swt ketika mengur nabi Nuh as. atas kekeliruannya, sehingga dengan teguran itulah Nuh kemudian menyadari kesalahannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Hud [11]: 46-47
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ(46)قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ(47)
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (46). Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (47).”
Begitu juga yang dilakukan Allah terhadap nabi Musa as. ketika mengurnya dengan teguran yang keras atas kesalahannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Thaha [20]: 83
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَامُوسَى
Artinya: “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?”
Nabi Khidr as. juga yang menunjukan hal itu ketika Musa as. melakukan kesalahan dalam proses belajar yang dilaluinya, hamba Tuhan tersebut menegurnya dengan kata dan suara bernada tinggi. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Kahfi [18]: 72 dan 75
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Artinya: “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.”
Oleh karena itu, teguran dengan suara yang keras atau kemarahan seorang kepada peserta didik adalah suatu yang tidak melanggar prinsip kasih sayang. Sebab, hal itu dilakukan tentunya demi kebaikan dan perubahan peserta didik itu sendiri. Bahkan, bentuk kasih sayang yang paling ekstrim adalah dengan memberikan sanksi berupa hukuman fisik kepada peserta didik atas kesalahannya, jika hal itu dipandang perlu untuk dilakukan demi kebaikan peserta didik. Tidak salah jika seorang guru memukul atau memberikan hukuman fisik kepada muridnya, dan tidak pula dikatakan dia telah melanggar prinsip kasih sayang dalam mendidik. Bukankah Allah menunjukan kasih sayang kepada hamba-Nya tidak hanya dengan memberinya nikmat dan kesenangan, namun juga dengan memberinya kesusahan, kesulitan, musibah yang dirasakannya sangat pahit dan getir. Bukankah kita selalu memuji Tuhan (Rabb) Yang Mendidik manusia dengan berbagai cara, kadang dengan kesenangan, kadang melalui kesusahan. Akan tetapi,yang pasti bahwa apapun bentuknya yang datang dari Tuhan, adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya. Kalaupun itu buruk, maka itu hanya karena keterbatasan manusia dalam memandang dan memahami Tuhan Yang Maha Besar.
Kita bisa lihat bagaiman Allah mendidik beberapa nabi dan rasul-Nya dengan memberikan teguran yang berbentuk hukuman fisik. Lihat misalnya nabi Adam as. yang diusir dari sorga karena kesalahannya. Seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 36
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Artinya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”
Nabi Sulaiman as. Allah berikan hukuman berupa penyakit, karena kelalaiannya mengingat Allah akibat kecintaan kepada kudanya. Seperti yang disebutkan dalam surat Shad [38]: 34
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.”
Nabi Ayyub as. Allah didik terlebih dahulu dengan memberikan kepadanya kekayaan dan kenikmatan yang melimpah, namun kemudian dididik dengan cara sebaliknya berupa kemiskinan, kegetiran hidup serta penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Hal itulah yang disebutkan Allah dalam surat Shad [38]: 41
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
Artinya: “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya; "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.”
Selanjutnya, nabi Yusuf as. meminta kepada Tuhan agar memenjarakannya, karena dia melihat penjara adalah lebih baik baginya demi kemashlahatannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 33
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
Nabi Yunus as. karena meninggalkan kewajiban dakwahnya, Allah memberikan hukuman kepadanya, berupa di utusnya ikan paus untuk memakannya. Sehingga, beberapa lama dia berada di dalam perut ikan, sampai dia menyadari kesalahannya dan bahkan hukumamn itu membuat dia mengingat Allah sangat banyak. Begitulah yang disebutkan dalam surat ash-Shaffat [37]: 42
فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ(142)فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ(143)لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(144)
Artinya: “Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela (142). Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (143), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangki (144)t.”
Begitulah wujud kasih sayang dalam mendidik dan mengajar. Kadangkala dengan penuh kelumbutan dan senyuman yang manis, terkadang mesti dengan suara dan nada yang keras serta amarah, dan terkadang harus dengan memberikan sanksi dan hukuman berbentuk fisik. Akan tetapi, semua itu, tentulah bertujuan demi kebaikan semua peserta didik untuk masa berikutnya.
Jika kita melihat fenomena pendidikan yang terjadi hari ini, maka kita temukan kondisi peserta didik yang sangat memprihatinkan. Murid yang tidak patuh dan segan lagi kepada gurunya. Bahkan, ada sebagian murid yang memukul dan mengeroyok gurunya karena memarahinya. Para guru kehilangan akal, daya dan upaya dalam mendidik muridnya. Guru-guru yang kehilangan wibawa di depan muridnya, dan sebagainya.
Salah satu penyebab utama dari terjadinya hal seperti ini di dunia pendidikan, adalah karena kesalahan pendidik dan peserta didik dalam memahami dan menerapakan makna dan prinsip kasih saynag dalam mendidik. Kasih sayang hanya dipahami dalam bentuk kelemahlembutan, tidak marah dan tidak pernah memberikan hukuman. Sehingga, para murid seringkali tidak menyadari kesalahannya atau bahkan cendrung mengulangi kesalahan yang sama untuk masa berikutnya, karena tidak ada teguran keras atau sanksi yang mesti mereka terima. Hal itu kemudian memberikan dampak kepada para murid berupa keberanian mereka berbuat salah atau melanggar peraturan.
Begitu juga para orang tua yang juga terlibat dalam membantu proses pendidikan, keliru dalam memahami mendidik dengan kasih sayang. Seringkali para orang tua meneror, mencari, mengadukan ke pihak berwajib atau bahkan memukul seorang guru, jika guru tersebut memberikan hukuman fisik kepada anaknya. Sehingga seorang anak merasa dibela dan dibenarkan atas kesalahannya, yang akhirnya seorang anak didik tidak pernah merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Semoga ini bisa menjadi renungan bagi semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan.

Membangun Keluarga Sakinah

Membangun Keluarga Sakinah
Allah swt. telah memberikan fitrah kepada setiap makhluk untuk membangun tempat tinggal sebagai tempat berlindung dan memperoleh kanyamanan dan ketenangan. Jika pada binatang tempat tinggal yang mereka bangun disebut sarang, maka manusia menyebutnya dengan istilah rumah. Di dalam al-Qur’an Allah swt. menyebut rumah dengan dua istilah. Pertama, disebut dengan bait seperti yang terdapat dalam surat an-Nahl [16]: 68
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Bait secara harfiyah berarti tempat bermalam. Rumah disebut bait, karena memang berfungsi bagi pemiliknya untuk tempat bermalam dan beristirahat dari kesibukan. Hal ini juga sama seperti yang dilakukan binatang, seumpama burung yang kembali ke sarangnya di sore hari untuk bermalam dan beristirahat. Di samping itu, rumah dalam bentuk bait juga berfungsi melindungi pemiliknya dari berbagai gangguan luar, seperti panas, dingin, dan serangan makhluk lain. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 125
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا...
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…”
Kedua, Allah swt menyebut rumah dengan istilah maskan. Seperti yang terdapat dalam surat an-Naml [27]: 18
حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَاأَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
Dalam surat at-Taubah [9]: 72 Allah swt juga berfirman
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat (rumah-rumah) yang bagus di syurga `Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”
Kata maskan berasal dari kata sakana yang berarti tenang, tentram, dan bahagia. Oleh karena itu, rumah dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai tempat bermalam, tempat beristirahat atau tempat berlindung. Tetapi lebih jauh, rumah berfungsi sebagai tempat mencari ketenangan dan kebahagian batin. Di dalam rumah (maskan) inilah manusia membangun keluarga sakinah, yaitu tatanan keluarga yang membawa kebahagian dan ketenangan hati.
Jika rumah hanya dijadikan bait, maka tidak jarang rumah dirasakan seperti di neraka. Itulah yang digambarkan Tuhan dalam surat al-Ankabut [29]: 41
...وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “…Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah (rapuh) adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
Rumah laba-laba bukan hanya rapuh secara struktur, karena tidak mampu melindungi penghuninya dari segala macam gangguan luar seperti panas, dingin dan sebagainya. Namun, rumah laba-laba juga rapuh dari sisi penghuninya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa laba-laba betina setelah melakukan perkawinan langsung membunuh laba-laba jantan. Begitu juga anak laba-laba, berjumlah sangat banyak namun diletakan dalam wadah yang kecil dan sempit, sehingga seluruh anaknya terlibat saling injak dan saling tindas, yang menyebabkan lebih separuh anaknya mati karena pertarungan sesamanya. Begitulah perumpamaan rumah yang rapuh, jauh dari kebahagian dan ketenangan.
Lalu bagaimana upaya manusia menjadikan rumahnya sebagai maskan (tempat mencari ketenangan dan ketentraman batin)? Dan bagaimana membangun kelurga yang sakinah di dalam rumah (maskan) tersebut?
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan petunjuk kepada umatnya tentang bagaimana membangun keluraga yang sakinah. Sehingga, rumah benar-benar menjadi tempat tinggal seperti sorga bagi setiap pemiliknya, yang sekiranya mereka telah berada di dalamnya, mereka enggan untuk keluar. Dan jika mereka berada di luar rumah, mereka ingin secepatnya kembali ke dalamnya. Adapun cara membangun keluraga sakinah adalah;
1. Mulai dari memilih jodoh
Di mana Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk kepada umatnya yang akan menikah agar memprioritaskan agama sebagai landasan membangun rumah tangga. Sekalipun ada beberapa kriteria, seperti kecantikan, kekayaan, kedudukan yang terhormat, namun Rasulullah saw. menegaskan akan keberuntungan orang yang memilih agama sebagai kriteria memilih jodohnya.
Lalu kenapa harus agama yang menjadi landasan utama dalam memilih jodoh? Alasannya adalah, bahwa membangun kelaurga bukan hanya sekedar untuk menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram. Namun, perkawinan adalah akad suci yang bukan hanya untuk di dunia, bahkan juga di akhirat. Kedua yang berakad akan diminta pertangungjawabannya terhadap segala sesuatu yang terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing, termasuk anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan mereka. Tentu saja perkawianan atas dasar agamalah yang bisa memberikan pertanggungjawaban tersebut. Bagaimana mungkin seorang suami atau isteri akan mengerti hak dan tanggung jawab masing-masing dengan baik, jika keduanya tidak memahami agama dengan baik dan benar.
Alasan yang lain adalah, bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk memelihara diri dan kelurganya dari siksa api nereka. Bagaimana mungkin seorang ayah atau seorang ibu yang tidak mengenal ajaran agama dengan baik bisa menjaga kelurganya dari siksa api nereka. Jangankan untuk menjaga keluarga, diri sendiri saja tidak mungkin mampu dijaganya. Begitulah yang disebutkan dalam surat at-Tahrim [66]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Oleh karena itulah, Allah swt. mengingatkan manusia yang akan menikah dengan peringatan yang sangat tegas dalam urusan memilih jodoh ini. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
2. Saling percaya dan saling menutupi kekurangan yang lain
Ikatan sepasang suami isteri dalam rumah tangga pada prinsipnya melebihi ikatan antara orang tua dengan anaknya. Sebab, bagi sepasang suami isteri tidak boleh ada yang tersembunyi sedikitpun. Sementara, antara orang tua dan anaknya masih ada hal-hal tertentu yang disembunyikan, di mana salah satu tidak boleh mengetahui yang lain. Di sinilah dituntutnya landasana amanah (saling percaya) dalam membangun rumah tangga, agar tercapai kelurga yang sakinah. Masing-masing juga harus menjaga rahasia yang lain, serta menutupi kekurangan dan aib yang lain. Tidak boleh seorang suami membeberkan kekurangan isterinya kepada orang lain, begitupun sebaliknya. Sehingga, Allah swt. mengumpamakan sepasang suami isteri dengan pakaian bagi yang lain. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 187
…هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ…
Artinya: “Mereka isteri-isterimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.
Saking berat dan hebatnya akad perkawinan ini, sehingga Allah swt. menyebutnya sebagai mitsâq ghalîzha (perjanjian yang teramat berat). Seperti yang disebutkan dalam surat an-Nisa’ [4]: 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Di dalam al-Qur’an, kata mitsâq ghalîzha hanya tiga kali disebutkan oleh Allah swt. Pertama, untuk menyebutkan janji Allah dengan para nabi dan rasul-Nya, seperti dalam surat al-Ahzab [33]: 7. Kedua, untuk menyebutkan perjanjian Allah swt dengan bani Israel, seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 154. Dan ketiga, untuk menyebutkan akad perkawian seperti disebutkan di atas. Hal itu berarti, bahwa sepasang suami isteri yang mengikat tali perkawinan berpeluang memiliki kedudukan seperti nabi dan rasul di hadapan Allah, jika saja keduanya mampu menjaga akad dan memenuhi janji perkawinan tersebut. Sama halnya dengan para nabi yang selalu memenuhi janji mereka dengan Allah. Akan tetapi, keduanya juga berpeluang seperti bani Israel yang mendapat murka Allah, jika keduanya tidak mampu menjaga akad dan janji perkawinan itu. Sama seperti bani Israel yang selalu menyalahi janji mereka dengan Allah.
3. Saling menjaga hak dan kewajiban
Untuk terciptanya keharmonisan, ketentraman dan kebahagian hidup berumah tangga, perlu masing-masing dari suami isteri memahami hak dan kewajiaban mereka. Di samping itu, keduanya harus meletakan pemahaman tentang hak dan kewajiaban itu secara benar dan proporsional. Sebab, persoalan dan kemelut rumah tangga, seringkali terjadi karena masing-masing tidak mampu meletakkan hak dan kewajiban secara benar dan proporsional.
a. Kewajiban suami/hak isteri
- Memberikan nafkah berupa tempat tinggal yang layak dan belanja kebutahan pokok. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ath-Thalaq [65]: 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى(6)لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا(7)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (6). Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (7).”
Dalam ayat di atas, Allah swt. menegaskan bahwa khusus untuk nafkah kebutuhan hidup (pangan dan sandang), bagi suami yang memiliki kekayaan dia harus menafkahi isterinya sesuai kekayan dan kemampuan yang dimilikinya. Tentu, berdosa seorang suami yang kaya, jika memperlakukan isterinya sebagi orang miskin. Namun, bagi suami yang miskin, dia harus memperlakukan isterinya sesuai keadaan dan kemampuan yang dimilikinya. Seorang suami yang miskin jangan pula memaksakan diri untuk memberikan nafkah kepada isterinya seperti halnya orang kaya. Sebab, Allah swt. tidak memberati setiap manusia, selain menurut kesanggupannya.
Di sinilah seringkali muncul persoalan rumah tangga, di mana seorang isteri terkadang tidak memahami keadaan suaminya. Seorang isteri terkadang menuntut sesuatu melebihi kemampuan suami. Maka yang muncul adalah “cek-cok” dan berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Atau, bagi suami yang terlalu sayang kepada isterinya, tetap mengikuti kemauan sang isteri namun menempuh cara yang salah seperti mencuri, korupsi dan sebagainya.
Namun, ada hal yang mesti disadari oleh para suami, bahwa kalaupun nanti semua kebutuhan dan tuntutannya dipenuhi, seorang isteri akan meminta lagi lebih dari itu. Dan jika sekali saja tidak dipenuhi dan dituruti kehendaknya, maka seorang isteri biasanya memberontak, menyebut keburukan suaminya atau membandingkan suaminya dengan lain.
Memang, begitulah salah satu watak “buruk” perempuan seperti yang digambarkan Rasulullah saw. dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim.
إني رأيتكن أكثر من أهل النار. فقلن بم يا رسول الله ؟ قال لأنكن تكفرن. قلن,أنكفر بالله؟ قال, لا إنكن تكفرن العشير أي الزوج, لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك شيأ لقالت مارأيت منك خيرا قط (مسلم)
Artinya: “Sesungguhnya aku melihat kebanyakan kalian (perempuan) termasuk penduduk neraka. Maka mereka bertanya, “Kenapa begitu ya Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab, “Karena kalian durhaka”. Mereka kembali bertanya, “Apakah kami durhaka kepada Allah? Rasulullah menjawab, “Tidak, (kalian tidak durhaka kepada Allah), namun kalian durhaka kepada suami kalian. Jikalau kamu (para suami) berbuat baik kepada salah seorang mereka (isteri kamu) sepanjang masa, namun satu kali saja dia melihat keburukanamu, maka semua kebikanmu tidak akan pernah terlihat sedikitpun oleh mereka.” (HR. Muslim)
- Memperlakukan isteri dengan baik
Memperlakukan isteri dengan baik, salah satu bentuknya adalah melakukan hal-hal yang membuat hati sang isteri senang dan bahagia. Bisa dengan bercanda, memuji dirinya atau apa yang dilakukannya atau memanggilnya dengan panggilan yang menyengkannya, seperti yang pernah ditunjukan oleh Rasulullah ketika mamanggil isteri beliau “’Aisyah dengan panggilan sayang humairah (yang pipinya kemerahan).
Memperlakukan isteri dengan baik juga bisa dalam bentuk tidak berlaku kasar kepadanya atau yang popular dengan istilah tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat an-Nisa’ : 19
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Begitu juga dalam surat al-Baqarah [2]: 229
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw pernah bersabda “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik kepada kelurganya, dan saya adalah yang terbaik terhadap kelurga saya”
b. Kewajiban isteri/hak suami
- Memelihara rumah, harta dan anak-anak
Seorang isteri berkewajiban menjaga dan memelihara rumah, harta dan anak-anak. Karena suami disibukan dengan kegiatan mencari nafkah di luar rumah. Seorang isteri dibebani kewajiban seperti itu, karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang bertanggung jawab penuh terhadap isteri dan anaknya dalam memenuhi nafkah dan kebutuhan mereka. Hal itu seperti disebutkan Alah dalam surat an-Nisa’[4]: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dalam sebuah hadistnya riwayat Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda
أربع من أعطيهن فقد أعطي خير الدنيا و الآخرة: لسان ذاكروقلب شاكر وبدن علي البلاء صابر وزوجة لا تبغيه خونا فى نفسها ولا مالها (حاكم من أبو داود)
Artinya: “Empat hal yang jika diberikan kepada siapapun, berarti dia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat: lidah yang berzikir, hati yang bersyukur, tubuh yang sabar ketika mendapat musibah, dan isteri yang tidak pernah mengkhianatinya dan mampu memelihara diri dan hartanya”.(HR. Abu Daud)
Dalam hadits lain riwayat at-Tarmizi, Rasululah saw juga bersabda
أربع من سعادة المرء: أن تكون زوجته صالحة, وأولاده أبرارا, وخلطائه صالحين, و أن يكون رزقه فى بلده (الترميذى)
Artinya: “Empat hal yang merupakan sumber kebahagian seseorang: bahwa ada isterinya seorang yang shalihah, anak-anaknya adalah anak-anak yang baik, teman-temannya orang-orang baik, dan rezekinya berada di kampungnya sendiri”.(HR. at-Tarmizi)

- Patuh dan taat pada suami
Kepatuhan seorang isteri kepada suami adalah sesuatu yang “mutlak” dan tidak bisa ditawar. Oleh karena itulah, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabada, “Jika boleh manusia sujud pada manusia, maka saya akan memerintahkan isteri sujud pada suaminya”
Saking tingginya kedudukan suami terhadap isteri, sehingga keridhaan Allah terkadang tergantung kapada keridhaan suami, dan murka Allah terkadang terkait dengan murka suami kepada isterinya. Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa haram bagi seorang isteri puasa sunat, ketika suaminya di rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu. Jika suaminya tidak memberi izin, dan dia memaksakan diri untuk berpuasa bukannya pahala yang akan diperolehnya, namun adalah dosa. Seperti dalam hadits riwayat Bukhari berikut
لايحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه (البخارى)
Artinya: “Tidak halal bagi seorang isteri berpuasa ketika suaminya ada di rumah, kecuali mendapat izinnya”. (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain juga disebutkan bentuk kepatuhan isteri kepada suami. Seperti hadits riwayat Bukahri dan Muslim berikut
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأت فباتت غضبان عليها لعنتها الملئكة حتى تصبح (البخارى و مسلم)
Artinya: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke atas ranjang, lalu isterinya menolak hingga dia tidur dengan kemarahan suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Dalam hadits lain disebutkan
إذا دعا الرجل امرأته لحاجته فلتأته وإن كانت على التنور
Artinya: “Apabila seorang suami mengajk isterinya untuk memenuhi hajatnya (berhubungan),mak hendak dia penuhi sekalipun dia sedang berad di dapur”.
Sangat populer sebuah kisah, seorang perempuan yang ditinggal suaminya untuk pergi berperang bersama Rasulullah. Sebelum berangkat, sang suami berpesan kepada isterinya agar tidak meninggalkan rumah sampai dia kembali dari peperangan. Namun, sepeninggal suaminya datang berita bahwa ayahnya sakit dan telah sakarat. Sang isteri tetap bertahan untuk tidak meninggalkan rumah sesuai pesan suaminya dan tidak datang untuk menengok ayahnya.
Sampai datang berita dan panggilan beberapa kali untuk segera melihat ayahnya yang sedang meregang nyawa. Namun, dia tetap bersikukuh mentaati pesan suaminya, hingga akhirnya ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan tanpa dia melihat dan menghadirinya, demi mematuhi pesan sang suami.
Sepulang dari peperangan, sebagian orang mengadukan perihal wanita dan suaminya tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah mendengarkan cerita mereka, Rasulullah menjawab, “Ayahnya masuk sorga, karena memiliki anak yang patuh dan taat pada suaminya”.