Rabu, 11 Maret 2009

Pemuda Dalam Kubah Permata

Pemuda Dalam Kubah Permata

Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa nabi Sulaiman as bersama bala tentaranya berjalan menelusuri kerajaannya yang luas. Hingga suatu hari sampailah dia dan tentaranya di tepi samudera. Saat itu ombak sangat besar, lalu Sulaiman menyuruh angin berhenti berhembus agar laut kembali tenang. Kemudian, Sulaiman as menyuruh tentaranya, Jin untuk menyelam ke dasar samudera melihat apa yang ada di sana. Setelah lama berkeliling di dasar lautan, jin pun naik ke permukaan karena tidak menemukan apapun.
Akan tetapi, tidak lama kemudian muncullah sebuah kubah permata dari dasar samudera tersebut. Nabi Sulaiman as. sangat heran dengan kubah permata itu dan meminta kepada Allah agar dibukakan pintunya. Atas izin Allah pintu kubah itu terbuka dan Sulaiman as. melihat seorang pemuda sedang beribadah di dalam kubah tersebut. Kemudian Sulaiman as. bertanya bagaimana dia bisa mendapatkan karamah seperti itu. Pemuda tersebut menjawab, “Dulu saya punya orang tua yang sudah sangat tua, keduanya saya rawat dan pelihara tanpa pernah menyakiti hati mereka. Jika mereka ingin mandi saya mandikan, dan jika mereka ingin makan saya suapkan dengan kasih sayang, begitulah seterusnya hari demi hari saya jalani, hingga pada suatu hari ayah saya meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, dia berdo’a “Ya Tuhan panjangkanlah umur anak saya serta jadikanlah dia hamba yang selalu beribadah kepada Engkau siang dan malam.
Kemudian saya melanjutkan perawatan ibu saya dengan penuh kasih sayang tanpa pernah menyakiti hatinya, seperti halnya perlakuan kepada ayah saya. Sampai suatu hari ibu sayapun meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia berdo’a kepada Tuhan, “Ya Tuhan tempatkanlah anakku di suatu tempat tidak di langit dan tidak di bumi, serta tempatkan dia di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh jin dan manuisa.”
Setelah itu saya pergi ke tepi sebuah samudera dan saya melihat sebuah kubah permata. Kubah itu kemudian terbuka sehingga sayapun memasukinya. setelah berada di dalam kubah tersebut, saya tidak tahu berada dimana, apakah saya sedang berada di bumi atau di langit sampai waktu yang saya sendiri tidak tahu lamanya.
Nabi Sulaiman as bertambah heran, kemudian bertanya lagi “Bagaimana engkau makan dan minum? dan dari mana rezeki engkau peroleh?”. Pemuda tersebut menjawab “Jika saya lapar maka tumbuhlah sebatang pohon di dalam kubah ini dan berbuah, kemudian saya memakannya buahnya hingga kenyang. Begitu juga jika saya merasa haus muncullah sebuah mata air di dalam kubah ini yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Ketika saya memakan buah pohon dan meminum air tersebut, maka hilanglah rasa haus dan lapar serta hilanglah rasa kantuk saya, sehingga saya selama di dalam kubah ini tidak pernah tidur dan selalu beribadah kepada Tuhan. Nabi Sulaiman bertanya kembali, “Lalu bagaimana engkau mengetahui siang dan malam?”. Pemuda itu menjawab, “Jika fajar terbit, kubah ini berwarna putih maka saya tahu hari siang, dan jika matahari terbenam kubah ini berwarna gelap maka saya tahu hari malam”.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bahwa do’a orang tua terhadap anaknya adalah di antara do’a yang selalu dikabulkan Allah. Jika orang tua mendo’akan anaknya untuk kebaikan maka anaknya akan hidup dalam kebaiakan. Namun, jika orang tua mendo’akan anaknya untuk kejahatan dan keburukan, maka anaknya akan hidup sesuai do’a tersebut. Dalam subuah haditsnya Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak oleh Allah; do’a orang tua terhadap anaknya, do’a orang yang dizhalimi terhadap orang yang menzhaliminya, dan do’a orang yang berpuasa hingga dia berbuka.”
Kedua, jika kita berbuat baik kepada orang tua maka kebaikan itu akan kembali kepada kita sendiri. Sebab, berbuat baik (berlaku ihsân) kepada kedua orang tua adalah perintah Allah sebagai wujud syukur seseorang kepada Allah dan orang tuanya. Seperti yang terdapat dalam surat Luqman [31]: 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Dan ketika seseorang bersyukur, maka berarti dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat an-Naml [27]: 40
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
Artinya: “…Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri…”
Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 7, Allah swt. mengingatkan bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri balasannya. Seperti firman-Nya
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ…
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri …”

Abid Penghuni Neraka

Abid Penghuni Neraka

Disebutkan dalam sebuah kisah, bahwa nabi Musa as. suatu ketika ingin menemui Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Di tengah perjalanan, nabi Musa as. dicegat oleh seorang abid. Sang abid berkata kepada Musa as. “Hai Musa mau kemana engkau?”. Nabi Musa menjawab, “Saya ingin menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya”. Sang abid berkata, “Hai Musa! tolong nanti engkau katakan kepada Tuhan, bahwa di sana terdapat hamba-Nya yang sudah puluhan tahun menghabiskan umurnya beribadah kepada-Nya. Dia mengasingkan dirinya di sebuah goa dan menghindarkan manusia banyak demi hanya untuk beribadah kepada Tuhannya. Tanyakan kepada Tuhan, sorga yang mana yang pantas untuknya.”
Setelah nabi Musa as. menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya, maka Musa menyampaikan pesan sang abid tersebut. Setelah mendengarkan uraian Musa tentang abid itu, maka Allah swt mengatakan bahwa tempatnya adalah neraka.
Nabi Musa as. kemudian pulang dan ditengah perjalannya, kembali bertemu dengan sang abid. Nabi Musa as memberitahukan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya, bahwa dia akan masuk neraka. Sang abid kemudian, berfikir bagaimana mungkin dia bisa masuk neraka dengan kesalehan yang dinilainya sangat tinggi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib orang-orang yang tidak pernah beribadah kepada Tuhan.
Sang abid kemudian berkata kepada Musa, “Hai Musa! besok jika engkau kembali menemui Tuhan, tolong katakan kepada-Nya; jika saya mesti masuk neraka, maka tolong jadikan tubuhku ini sebesar-besarnya hingga menutupi pintu neraka sehingga tidak ada manusia lain yang bisa memasukinya. Jika saya harus masuk neraka, biarlah saya sendiri saja yang menjadi wakil semua manusia yang akan masuk neraka. “Nabi Musa as kemudian datang lagi menemui Tuhan dan menanyakan kembali tentang abid tersebut. Allah swt menjawab “Dia adalah penghuni sorga”.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa betapa kesalehan seseorang kepada Allah tidak menjadi jaminan dia menjadi penghuni sorga, jika dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama. Sebab, dalam menjalankan kehidupan di dunia ini ada dua hal yang mesti dijaga oleh manusia; hubungan baik dengan Allah (habulum minallâh), dan hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannâs). Jika salah satunya tidak dijalankan manusia, maka tentu tujuan dan maksud penciptaanya tidak tercapai.
Bahkan jika dihayati semua ritual ibadah yang dilaksankan umat Islam, maka kedua hal di atas adalah bagian yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Setiap ibadah ritual (mahdhah) yang diperintahkan Allah kepada manusia selalu memiliki dua dimensi; dimensi vertikal (hablum minallâh), dan dimensi horizontal (hablum minanâs). Misalnya, shalat yang dimulai dengan takbir; mengagungkan Allah swt dan diakhiri dengan salam; mendo’akan orang-orang yang di sekeliling. Begitu juga puasa, walaupun wujudnya menahan haus dan lapar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, namun pada hakikatnya Allah mengajak manusia untuk ikut merasakan apa yang sering dirasakan oleh manusia lain yang hidup dalam kekurangan, sehingga orang yang berpuasa memiliki simpati dan empati kepada penderitaan sesama dan perasaan mau berbagi yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk zakat fitrah. Zakat juga begitu yang walaupun tujuannya mensucikan harta dan jiwa karena Allah, akan tetapi pelaksanaanya adalah bahwa harta itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan begitulah seterusnya. Bahkan pelanggaran terhadap aturan agama yang mengharuskan seseorang membayar denda (dam), bentuknya tetap dalam kerangka kepedulian sosial; yaitu memberi makan orang miskin.
Begitu pentingnya menyatukan kesalehan dalam ibadah ritual dengan kesalehan sosial. Al-Qur’an dalam banyak ayatnya mengecam manusia yang rajin beribadah, namun ibadahnya tidak memberi bekas pada kesalehan sosilnya. Seperti dalam surat al-Ma’un [107]: 4-5
فويل للمصلين (4) الذين هم عن صلاتهم ساهون (5)
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya(5).”
Lalai yang dimaksud di sini adalah tidak mengayati shalat yang dilakukannya. Sebab, dalam ayat di atas Allah swt menggunakan kata (عن) yang berarti dari atau tentang. Oleh karena itu, yang dimaksud orang shalat yang celaka oleh Allah dalam ayat ini bukannya lalai dalam pelaksanaan shalat, namun tidak menghayati makna shalatnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang yang mengerjakan shalat, namun tidak punya rasa simpati kepada penderitaan orang lain atau tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama juga dikategorikan celaka, karena shalat mengajarkan kepedulian melalui salam sebagai salah satu rukunnya,begitulah seterusnya.

Burung Dara Dan Seekor Tikus

Burung Dara Dan Seekor Tikus

Dikisahkan sekelompok burung dara yang berjumlah ratusan ekor atau bahkan ribuan selalu terbang melintasi sebuah daerah. Ternyata selama ini, ada seorang pemburu yang setiap hari memperhatikan rute terbangnya gerombolan burung dara tersebut. Suatu hari, pemburu itu memasang umpan dan jerat di sebuah lokasi tempat melintasnya gerombolan burung dara. Tidak lama kemudian, gerombolan burung darapun terbang melintasai kawasan yang sudah dipasang jerat oleh pemburu tadi. Beberapa ekor burung dara ternyata melihat umpan yang ditaburkan oleh pemburu, sehingga mereka berteriak "Itu ada makanan dibawah, marilah kita turun!". Ternyata gerombolan burung dara itu memiliki raja yang memimipin mereka. Raja burung itu mengingatkan agar berhati-hati karena bisa saja itu jebakan. Ternyata dugaan raja burung tidak melesat, karena setelah semua mereka turun pemburu langsung menarik jeratnya hingga semua burung dara terjerat di jeratnya sang pemburu. Semua mereka meronta melepaskan diri dari jerat yang mengikat mereka, namun usaha mereka sia-sia saja. Akhirnya raja burung mengingatkan akan kebersamaan seraya berkata “Wahai saudara-saudaraku! bila masing-masing kita berjuang sendiri-sendiri, maka saya yakin semua kita akan celaka, marilah kita semua bersatu, kita kumpulkan semua kekuatan yang kita miliki, saya akan menghitung sampai tiga kali dan hitungan ketiga kita terbang secara serentak sehingga jerat ini bisa kita terbangkan”. Sesuai dengan instruksi raja burung dara semuanya secara serempak terbang dan menghasilkan kekuatan yang sangat besar, hingga jerat sang pemburu tercabut dan dibawa terbang oleh gerombolan burung dara.
Sang pemburu tenyata mengikuti arah terbangnya gerombolan burung dara, karena dia yakin nanti burung itu akan letih dan akan jatuh secara bersamaan. Raja burung dara mengetahui bahwa mereka diikuti, kemudian memerintahkan kawan-kawanya sambil berkata "Marilah kita terbang ke balik bukit itu, karena saya yakin pemburu itu tidak akan bisa mendakinya dan di balik bukit itu ada teman saya seekor tikus, marilah kita ke sana untuk meminta bantuannya melepaskan kita semua dari ikatan jerat ini”. Atas saran raja mereka, semua burung dara mengikutinya hingga sampailah mereka di balik bukit yang ditunjukan oleh raja mereka dan turunlah mereka di depan lobang tikus; sahabat raja burung dara itu. Raja burung dara berseru memanggil temannya tikus. Tak lama kemudian keluarlah tikus sahabatnya sambil bertanya keheranan "Apa yang terjadi sahabatku? Kenapa kakimu terjerat?". Raja burung menjelaskan peristiwa yang telah mereka alami dan berkata "Itulah maksud kedatangan saya dan teman-teman saya, meminta bantuanmu". Sang tikus lalu bergegas menuju kaki raja burung dara sahabatnya itu dan bermaksud melepaskan ikatan tali dari kakinya. Namun raja burung itu mengelak sambil berkata "Jangan saya yang engkau tolong terlebih dahulu, tetapi lepaskanlah tali ini dari kaki kawan-kawanku". Tikus menjadi heran dan bertanya "Ada apa denganmu? Bukankah engkau perlu bantuan?". Raja burung menjawab " Betul, saya perlu bantuanmu, tapi bila saya yang engkau tolong terlebih dahulu, saya khawatir karena jumlah kami banyak, engkau akan kehabisan tenaga sebelum semua kami engkau lepaskan dari ikatan ini. Dan mungkin engkau akan berhenti dan membiarkan mereka terjerat, karena antara engkau dan mereka tidak ada ikatan apa-apa, engkau hanya bersahat denganku. Nemun, bila aku yang engkau bebaskan terakhir, walaupun engkau mengalami kelelahan dan kepayahan disaat engkau melepaskan ikatan ini, namun ketika engkau masih melihatku terjerat, engkau pasti merasa kasihan dan akan tetap bersemangat serta tidak akan berhenti sampai semuanya bisa lepas dari ikatan ini". Sang tikus merasa sangat kagum dengan sikap temannya sebagai raja, terhadap bawahan dan rakyatnya.
Dari kisah di atas, dapat diambil sebuah pelajaran tentang bagaimana sikap seorang pemimpin dalam memberikan pengayoman kepada rakyatnya. Seorang pemimpin hendaklah lebih mendahulukan keselamatan dan kemashlahatan rakyatnya di atas keselamatan dan kepentingannya sendiri. Pemimpin sepeerti itu adalah pemimpin yang menjadi teladan bagi masyarakatnya. Kepemimpinan seperti itulah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah ar-Rasyidun sesudahnya. Bahkan Umar bin Khattab ra. pernah berkata “Bilamana umat ini ditimpa kelaparan biarlah, saya yang pertama merasakan lapar itu, namun bilamana umat ini merasa kekenyangan biarlah saya orang terakhir yang merasakan kenyang itu". Itulah bentuk seorang pemimpin (imam) yang selalu mengedepankan kebaikan dan kepentingan rakyatnya.

Sulaiman dan Sahabatnya

Sulaiman dan Sahabatnya

Konon, pada masa nabi Sulaiman as. hiduplah seorang manusia yang bersahabat dengan nabi Allah tersebut. Hampir setiap hari dia berada di istana Sulaiman untuk belajar sekaligus membantu pekerjaan istana. Suatu ketika, datanglah malaikat maut ke istana Sulaiman dalam wujud manusia. Dalam pertemuan di istina, sahabat Sulaiman tersebut melihat manusia yang aneh dan baru kali ini dia dilihatnya berada di istana. Orang itu memandang kepadanya dengan pandangan yang menakutkan.
Setelah usai pertemuan dia bertanya kepada Sulaiman tentang manusia yang baru datang ke istananya. Nabi Sulaiaman mengatakan bahwa orang itu adalah malaikat maut yang datang bertamu kepadanya. Mengetahui bahwa yang baru dilihatnya adalah malaikat maut, dia menjadi takut terlebih ketika mengingat pandangan orang itu kepadanya. Dia berfikir jangan-jangan kedatangan orang itu adalah untuk mengambil nyawanya. Kemudian, dia meminta tolong kepada Sulaiman as. agar memerintahkan angin untuk membawanya ke suatu negeri yang jauh - yang dalam kisah itu disebutkan negeri Cina - untuk menghindarkan diri dari malaikat maut tersebut.
Atas desakan sahabatnya Sulaiman as. memperkenankannya, lalu memerintahkan salah satu tentaranya; angin untuk membawa sahabatnya ke negeri jauh tersebut (Cina). Tidak lama kemudian, malaikat maut datang lagi ke istana Sulaiman dalam wujud yang sama. Sesampainya di istana, ia tidak lagi melihat manusia yang ditemuinya kemarin berada di sana. Malaikat maut bertanya kepada nabi Sulaiman tentang keberadaan laki-laki tersebut. Sulaiman menjelaskan apa yang terjadi dan kemudian berkata, “Dan sekarang sahabatku itu telah berada di negeri Cina karena takut kedatangan engkau untuk mengambil nyawanya”. Malaikat maut menjawab sambil tersenyum “Itulah yang membuat aku resah sewaktu datang ke sini hingga aku menatapnya. Sebab, Allah memerintahkan aku mengambil nyawanya di negeri Cina, sementara kemarin dia masih berada di sini, sehingga aku khawatir tidak bisa menjalankan perintah Allah. Namun, jika sekarang dia sudah di sana, agaknya saya perlu ke sana secepatnya supaya tugas saya cepat pula selesai”.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran; Pertama, kematian adalah sesuatu yang tidak akan bisa dihindari manusia kedatangannya. Betapapun dia berusaha untuk menjauhinya, kematian pasti datang kepada manusia itu jika ajalnya sudah datang. Bahkan, dengan usaha menghindari kematian itulah kadangkala manusia menemuinya. Dalam surat al-Jumu’ah [62]: 8 Allah swt. berfirman
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu…”
Begitu juga dalam surat an-Nisa’ [4]: 87
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ…
Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…”.
Kedua, seperti halnya saat kematian, manusia juga tidak akan tahu di mana tempatnya dia akan mati. Seringkali manusia enggan naik pesawat karena takut jatuh, namun betapa banyak pilot yang setiap hari naik pesawat matinya di atas tempat tidur. Seringkali manusia takut naik kapal karena khawatir akan tenggelam, akan tetapi betapa banyak nakhoda yang setiap hari di laut matinya di rumah sakit, dan seterusnya. Dengan demikian, tempat atau di mana kematian manusia datang adalah rahasia Tuhan, sama seperti saat kematian itu sendiri. Firman Allah dalam surat Luqman [31]: 34
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Oleh karena itu, yang paling bagus adalah mempersiapkan diri menghadapi kematian, bukan menghindar ataupun mengharap agar ia datang lebih cepat. Sebab, betapapun manusia menghindarinya kematian pasti menjemput sekalipun dia bersembunyi di dalam peti besi yang dikunci rapat. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah mengingatkan, “Manusia yang paling pintar adalah yang paling banyak ingatannya akan kematin dan paling banyak pula persiapannya menghadapi kematian itu”.

Abid Yang Disesatkan Syaithan

Abid Yang Disesatkan Syaithan
Dikisahkan oleh seorang tabi’in yang bernama Wahhab bin Munabbih, konon terdapat seorang abid dari kalangan bani Israel yang terkenal kesalehannya. Dia begitu tekun dan taat beribadah sehingga dia begitu dihormati dan disegani serta dipercayai oleh bangsanya. Kala itu, hiduplah tiga orang bersaudara yang memiliki seorang saudara perempuan yang masih perawan.
Suatu ketika, ketiga bersaudara ini diperintahkan untuk berperang dalam waktu yang cukup lama. Hal ini membuat mereka sangat khawatir terhadap saudara perempuan mereka. Mereka berfikir kepada siapa dia akan ditinggalkan. Akhirnya mereka sepakat untuk menitipkan saudara perempuan mereka kepada sang abid yang terkenal kesalehannya itu.
Pada awalnya sang abid menolak karena takut tidak mampu menjaganya dengan baik, apalagi dia adalah seorang abid dan yang akan tinggal bersamanya adalah seorang perempuan. Akan tetapi, ketiga bersaudara tersebut terus mendesak dengan alasan tidak ada lagi orang lain yang lebih mereka percaya selain dari sang abid yang sudah terkenal kesalehannya. Mereka sangat yakin sang abid akan mampu menjaga adik mereka dengan baik. Akhirnya atas desakan mereka, sang abid menerima saudara perempuan mereka untuk dititipkan di rumah sang abid selama mereka pergi.
Setelah kepergian ketiga bersaudara itu, tinggallah saudara perempuan mereka di rumah sang abid. Sang abid berada di lantai atas sambil khusu’ beribadah, sementara perempuan itu tinggal di sebuah kamar di lantai bawah. Ketika saat makan datang, sang abid turun dan meletakan makanan di bawah tangga dekat kamar perempuan tersebut, kemudian memberitahukannya bahwa makanan ada di bawah tangga supaya diambil. Kondisi ini terus berlangsung selama beberapa hari tanpa mereka saling menampakan wajah satu sama lain.
Syaithan yang sudah sejak semula memiliki rencana besar untuk menyesatkan sang abid, tetap membiarkan kondisi seperti itu berjalan selama beberapa hari. Hingga akhirnya syaithan memulai rencananya dengan membisikan ke dalam hati sang abid akan kebaikan yang besar. Syaithan membisikan kepada abid, “Jika saja engkau bersedia mengantarkan makanan itu di depan pintu kamarnya, tentulah pahalamu sangat besar di sisi Allah”. Sang abid membenarkan bisikan tersebut, kemudian mengantarkan makanan sampai di depan kamar perempuan itu. Kemudian dia memberitahukan bahwa makanan ada di depan pintu.
Syaithan membiarkan kondisi tersebut berjalan selama beberapa hari. Kemudian ia kembali membisikan ke dalam hati sang abid, “Jika saja engkau mau mengantarkan makanan sampai ke kamarnya, tentulah dia sangat senang dan pahalamu tentu lebih besar dari Allah”. Sang abid kemudian membenarkan ajakan itu kemudian mulailah dia mengetuk pintu dan masuk mengantarkan makanan langsung ke dalam kamar.
Kondisi seperti itu dibiarkan berjalan selama beberapa hari oleh syaithan. Kemudian syaithan membisikan lagi kepada sang abid, “Jika saja engkau mau berbicara dengannya dan mengajaknya bercerita, tentulah dia akan sangat senang dan pahalamu tentu lebih besar lagi di sisi Allah. Sebab, selama ini dia kesepian karena kesendiriannya. Ajakan inipun dibenarkan oleh sang abid, hingga mulailah mereka berbicara yang pada awalnya dalam jarak yang berjauhan di depan pintu, namun kemudian terus mendekat hingga sangat dekat. Mereka mulai bercanda hingga tanpa sengaja mulai “saling cubit” yang akhirnya berujung pada perbutan zina. Perbuatan inipun dilakukan selama berkali-kali sampai perempuan itu hamil.
Ketika itulah datang syaithan ke dalam mimpi sang abid sambil berkata, “Bagaimana kiranya jika nanti ketiga saudara perempuan itu pulang dan mendapati adik mereka sudah melahirkan anak zina?. Bukankah mereka akan membunuhmu?”. Karena dihantui rasa takut dan salah, akhirnya sang abid membunuh perempuan yang sedang hamil tua itu dan meletakan mayatnya di bawah kamar tempat perempuan itu tinggal. Sang abid kemudian membuat kuburan palsu untuk menutupi “kedoknya” dan nanti jika ketiga saudara perempuan itu pulang kuburan itu akan ditunjukannya kepada mereka sebagai kuburan adik mereka yang meninggal karena sakit.
Ketika ketiga besaudara itu pulang, mereka langsung ke rumah sang abid untuk menjemput adik mereka. Sang abid dengan nada sedih dan meyakinkan menceritakan bahwa adik mereka telah meninggal dunia setelah kepergian mereka. Kemudian sang abid menunjukan kuburannya yang sebelumnya dia gali sendiri untuk menutupi kebohonganya.
Ketiga bersaudara itu hanya bisa pasrah dan meratapi kematian adik mereka. Sedikitpun mereka tidak mencurigai sang abid karena kejujurannya yang mereka kenal selama ini. Namun, suatu malam syaithan mendatangi mereka lewat mimpi sambil memberitahukan yang sebenarnya. Syaithan menjelaskan bahwa adik mereka bukanlah mati karena sakit, melainkan di bunuh sang abid karena telah hamil dan akan melahirkan anak hasil hubungan mereka. Sang abid membunuh adik mereka karena takut diketahui perbuatannya. Syaithan menyarankan untuk menggali kamar tempat adik mereka tinggal di rumah sang abid karena disitulah mayatnya dikuburkan. Setelah itu, ketiganya bangun dan saling pandang satu sama lain. Akhirnya mereka saling menceritakan mimpi masing-masing, namun mereka heran ternyata mimpi mereka sama.
Keesokan harinya dengan wajah marah dan emosi ketiga bersaudara ini mendatangi sang abid dan memaksanya untuk mengakui perbuatannya. Karena tidak mengaku, akhirnya mereka menggali kamar tempat adik mereka ditinggalkan. Akhirnya mereka menemukan jasad adik mereka yang sedang dalam kondisi hamil tersebut. Sang abid tidak bisa lagi mengelak dari perbuatannya dan sebagai hukumannya sanga abid dihukum mati dengan cara disalib. Sang abid mati dalam pelukan syaithan dengan kekufurannya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, diantaranya. Pertama, syaithan tidak akan pernah senang melihat manusia patuh dan taat kepada Tuhan. dengan segala daya dan upaya ia akan menjerumuskan manusia dari jalan Tuhan. Sebab, permusuhan manusia dengan syaithan adalam permusuhan yang abadi dan tidak akan pernah putus. Bahkan Allah swt. telah memperingatkan manusia akan kokohnya permusuhan syaitan, mulai semenjak Adam dalam sorga sampai anak cucunya akhir zaman nanti. Hal itu bisa kita lihat dari ayat-ayat berikut;
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”(Thaha[20]:117
Sebelum Adam diturunkan ke bumi akibat tergoda oleh syaithan, kembali Allah mengingatkannya akan permusuhan itu. Seperti yang disebutkan dalam surat al-A’raf [4}22
….وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “…dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
Begitu juga dalam surat al-Baqarah [2]: 26
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ…
Artinya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain,…”


Begitu juga dengan anak cucu Adam dikemudian hari, Allah peringatkan akan permusuhan ini. Seperti yang disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 27
يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Artinya: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”
Begitulah abadi dan kokohnya permusuhan syaithan dengan manusia, dan sampai kapanpun, syaithan tidak akan pernah senang melihat anak cucu Adam yang patuh kepada Tuhan sampai ia berhasil menggelincirkan. Syaithan sendiri telah bersumpah tentang hal itu seperti yang disebutkan dalam surat surat al-A'raf [7]: 16-17
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Artinya: “Iblis menjawab:" karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya pasti akan menyesatkan mereka dari jalan-Mu yang benar . kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”
Begitu juga seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Hijr [15]:39
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
Kedua, menyadarkan manusia bahwa betapapun banyaknya ibadah seseorang janganlah membawanya menjadi orang yang sombong dan merasa diri paling berhak menjadi penghuni sorga. Dengan sikap seperti ini manusia akan selalu meningkatkan ibadahnya kepada Allah. Suatu sikap yang ditunjukan oleh para sahabat, para aulia dan para sufi adalah selalu menangis setiap malam saat beribadah, karena merasa bahwa neraka hanya diciptakan untuk mereka sendiri.
Ketiga, bagi orang yang saleh dan taat kepada Allah, maka godaaan syaithan bukanlah dengan dosa dan kejahatan. Namun, godaan syaithan bagi mereka pada awalnya adalah kebaikan dan pahala yang besar, namun diarahkannya untuk selain Allah, seperti ria dan sebagainya. Sehingga tanpa disadari manusia telah masuk perangkap syaithan dan mengikuti jalannya. Oleh karena itulah dalam surat al-Hijr [15]: 40, syaithan menyebutkan manusia yang tidak akan bisa diperdayanya.
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Artinya: “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.”
Keempat, janganlah seseorang laki-laki pernah berkhalwat (bersunyi-sunyi) bersama seorang perempuan yang bukan muhrim, betapaun shalihnya seseorang itu. Sebab, seksual adalah gerbang utamanya syaithan menggelincirkan manusia dari jalan Tuhan dan mengikuti jalan syaithan. Dalam sebagain tafsir disebutkan bahwa nabi Adam as. terusir dari sorga karena perkara seksual. Kata hâdzi al-Syajarah/ pohon ini ( Q.S. al-Baqarah [2}: 35) di tafsirkan oleh sebgai mufassir dengan jima’/ berhubungan seksual. Akan tetapi, nabi Adam tidak mampu menahan diri, hingga atas bujuk rayu iblis mereka tergelincir melakukan larangan Tuhan. Sehingga sangat wajar kalau Rasulullah saw. mengingatkan, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali ada mahramnya bersama mereka, karena tidak ada seorang laki-laki dan perempuanpun yang berdua-duaan kecuali yang ketiga adalah syaithan”.

Burung Merpati, Bangau Dan Srigala

Burung Merpati, Bangau Dan Srigala

Suatu ketika, seekor burung merpati hendak bertelur, maka mulailah ia membangun sarang dengan mengumpulkan dan merajut berbagai jenis dedaunan dan rerumputan. Ia membangun sarang di atas sebuah pohon korma yang tinggi menjulang ke langit.
Setelah bertelur kemudian mengeraminya, maka tibalah saat anaknya lahir. Akan tetapi, begitu anaknya lahir datanglah seekor srigala yang berteriak di bawah pohon korma tempat merpati bersarang. Srigala itu menyuruh merpati agar menjatuhkan anak-anaknya dan menggertaknya dengan ancaman jika ia tidak menjatuhkan anaknya, maka srigala itu akan naik ke atas pohon dan memakannya. Merasa takut akan ancaman srigala itu, merpati dengan berat hati menjatuhkan anaknya untuk menjadi santapan srigala.
Kemudian masa terus berlalu, hingga datang kembali masa bertelur burung merpati tersebut. Seperti biasanya ia kembali membangun sarang di puncak sebuah batang korma. Setelah bertelur, mengerami, maka tibalah saat kelahiran anak-anaknya. Teringat kejadian yang lalu, burung merpati kembali merasa sedih dan cemas, karena ia yakin srigala itu akan datang lagi dan meminta anak-anaknya untuk menjadi santapan.
Burung merpati sedang dirudung rasa sedih, cemas, dan takut, hingga dia bermenung di atas pelepah korma tempat dia bersarang. Saat itulah datang seekor bangau yang sedang melintasi pohon tempat merpati bermenung. Melihat kondisi merpati yang sedang menanggung beban dan masalah yang amat berat, burung bangau berhenti dan bertanya, “Apa gerangan yang membuat engkau bersedih seperti ini?”. Merpati menjawab, “Bagaimana saya tidak akan bersedih dan risau, karena sebentar lagi anak-anak saya akan lahir. Akan tetapi, saya yakin srigala itu datang lagi dan meminta anak saya untuk menjadi makanannya. Itulah yang terjadi terhadap anak-anak saya sebelumnya”.
Mendengar cerita burung merpati, bangau menjadi tertawa melihat kepolosan merpati. Ia berkata, “Maukah engkau saya ajarkan cara selamat dari ancaman srigala itu?”. Burung merpati menjawab dengan rasa senang hati, “Tentu wahai sahabatku”. Bangau kemudian berkata, “Nanti, jika ia kembali datang kepadamu dan meminta anakmu katakan kepadanya, aku tidak akan memberikan anak-anakku, jika engkau mau silahkan engkau naik ke atas batang pohon ini”. Srigala itu tidak akan berani naik ke atas pohon ini, karena ia tidak bisa naik pohon.
Seperti dugaan merpati, setelah anaknya lahir kembali srigala itu datang kepadanya dan meminta anak-anaknya. Sesuai anjuran bangau, merpati berteriak dari atas pohon, “Kalau engkau ingin anakku, silahkan naik sendiri ke atas batang pohon ini”. Mendengar jawaban merpati srigala merasa heran, lalu bertanya, “Siapa yang mengajari engkau berbicara seperti itu?”. Dengan cepat merpati menjawab, “Burung bangau yang telah mengajari aku”. Srigala kembali bertanya, “Di mana saya akan menemuinya”. Jawaban merpati, “Dia ada di pingir sungai, dengan menunjuk ke arah di mana burung bangau berada”.
Srigala kemudian bergegas ke tempat burung bangau berada, dan seperti yang ditunjukan merpati, ternyata ia memang sedang bermain di pinggir sungai.
Dengan wajah ceria dan penuh persahabatan srigala mendekati bangau sambil berkata, “Alangkah sempurnaya ciptaan Tuhan terhadapmu wahai burung bangau. Engkau diberikan Tuhan sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lain. Engkau memiliki tubuh yang indah, leher yang panjang, dan sayap yang indah. Engkau bisa melakukan perjalan dalam sehari yang makhluk lain melakukannya dalam setahun. Akan tetapi, saya tidak tidak tahu bagaimana caranya engkau melindungi kepalamu dari terpaan angin kencang?”. Burung bangau terlena mendengar pujian srigala, hingga dengan bangga ia menjawab, “Caranya sangat gampang temanku, jika angin datang dari arah kanan maka saya menyembunyikan kepala saya di dalam sayap yang sebelah kiri. Jika anginnya datang dari arah kiri, maka saya menyembunyikan kepala saya di sayap sebelah kanan”. Srigala kembali bertanya, “Bagaimana jika yang datang adalah angin puting beliung dan bertiup dari semua arah, di manakah engkau sembunyikan kepalamu?”. Bangau menjawab, aku menyembunyikan kepalaku di bawah badan”. Srigala berkata, “Bagaimana mungkin engkau akan melakukannya, saya benar-benar tidak percaya sebelum aku melihatnya”.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, bangau mencontohkan bagaimana ia menyembunyikan kepalanya di bawah badannya. Saat itulah dengan cepat srigala melompat menerkam leher bangau, hingga ia jatuh tak berdaya dan menjadi santapan srigala.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran. Pertama, seseorang yang memberi yang nasehat orang lain untuk sebuah kebaikan, maka semestinya yang memberi nasehat juga harus mengamalkan nasehatnya itu. Sebab, orang yang menasehati orang lain namun melupakan dirinya sendiri tidak ubahnya seperti lilin yang menerangi orang lain, dan membakar dirinya sendiri. Teramat buruklah sifat manusia yang seperti itu, karena bukan hanya dia akan merugi di dunia namun juga merugi di akhirat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa manusia yang bersifat seperti demikian, akan dibangkitkan dari kuburnya dalam kondisi tanpa kepala. Sangatlah tepat jika Allah mencela manusia yang memiliki sifat seperti ini. Seperti celaan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 44
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?.”
Begitu juga celaan Allah dalam surat ash-Shaf [61]: 3
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Kedua, dalam hidup di dunia ini sikap waspada harus selalu dimiliki termasuk kepada orang-orang terdekat sekalipun. Buruk sangka memang sesuatu yang dilarang dan merupakan sebuah dosa di sisi Allah. Namun, kewaspadaan adalah sikap yang mesti dimiliki setiap manusia, karena tidak semua orang senang dan menginginkan kebaikan untuk kita. Atau bahkan tidak selamanya orang yang kita cintai dan sayangi mendatangkan kebaikan bagi kita. Itulah yang diingatkan Allah dalam surat al-Anfal [8]: 28
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Begitu juga dalam surat at-Taghabun [64]: 14
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;…”
Ketiga, jika seseorang berbuat baik, maka semesti kita membalasnya dengan kebaikan pula, atau bahkan berbuat yang terbaik baginya sebagai balasan kebaikan yang sudah kita terima. Janganlah hendaknya seperti merpati yang diberikan kebaikan oleh bangau, namun dia sendiri memberikan kecelakaan bagi orang yang telah berbuat baik kepadanya. Bukankah Allah telah mengingatkan dalam surat ar-Rahman [55]: 60
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 7, Allah swt. mengingatkan bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri balasannya. Seperti firman-Nya
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ…
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri …”
Keempat, seseorang tidak boleh lengah dan terlena dengan pujian orang lain, karena pujian itu belum tentu sesuai dengan sebenarnya. Sangat mungkin sekali ketika seseorang memuji kita, ada sesuatu yang diinginkannya. Dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan “Pujian adalah racun yang paling ampuh membunuh seseorang tanpa dia sendiri menyadarinya”.
Oleh karena itu, jika seseorang memuji kita maka sebaiknya kembalikanlah kelebihan itu kepada Allah. Sebab, semua kelebihan yang dimiliki seseorang adalah berasal dari Allah dan diberikan atas kemurahan-Nya. Itulah yang pernah diucapkan oleh nabi Sulaiman as. atas kelebihan yang dimilikinya. Seperti yang terdapat dalam surat an-Naml [27]: 40
...فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ….
Artinya: “…Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya)…”

Allah Memberi Petunjuk Hamba-Nya Yang Sabar

Allah Memberi Petunjuk Hamba-Nya Yang Sabar
Dalam suatu perkuliahan, Dr. Khalid al-Jabir salah seorang dokter spesialis bedah dirumah sakit Riyadh menuturkan sebuah kisah nyata. Beliau berkata, bahwa dulu ketika masih kuliah beliau punya seorang teman yang kuliah di akademi militer. Dia adalah mahasiswa yang sangat gagah, cerdas dan shalih. Ketika wisuda dia adalah lulusan terbaik dan meraih penghargaan tertinggi dari kampusnya. Tentu saja hal ini membuat dia dan keluarganya merasa bangga.
Akan tetapi, setelah beberapa bulan selesai dari pendidikannya itu, dia terserang demam yang pada awalnya hanyalah influenza biasa. Demamnya ini kemudian membuat tubuhnya menjadi sangat kurus bahkan akhirnya dia terserang lumpuh total. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit karena kondisinya yang semakin memburuk. Menurut analisa dokter sangat kecil kemungkinan dia bisa sembuh dan baik kembali.
Sebulan kemudian, saya datang menjenguknya di rumah sakit. Saya mendapatinya terbaring lemah tanpa bisa bergerak, sangat berbeda dengan kondisinya yang gagah, kuat, lincah dan agresif ketika masih sehat dahulu. Saya berusaha menghiburnya untuk selalu bersabar dan berdo’a supaya bisa cepat sembuh. Akan tetapi, diluar dugaan saya dia mengucapkan suatu ungkapan yang membuat saya terkejut sekaligus merasa kagum atas kesabarannya. Dia berkata kepada saya, “Saudaraku, ini adalah bukti kasih saying Allah kepada saya. Dulu ketika saya sehat dan kuat saya lengah terhadap al-Qur’an, karena kesibukan saya menghadapi tugas dunia. Dengan sakit seperti ini, saya tidak lagi disibukan oleh dunia sehingga saya bisa berkosentrasi menghafal al-Qur’an”. Saya benar-benar terkejut dengan ucapannya itu dan mungkin tidak akan bisa saya lupakan.
Beberapa bulan kemudian, saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan program S2 sehingga saya harus berangkat ke luar kota. Sebelum saya berangkat terlebih dahulu saya menjenguknya di rumah sakit. Saat bertemu dengannya kembali saya menghiburnya dan mengajaknya untuk menggerak-gerakan kakinya demi percepatan kesembuhannya. Kembali saya mendapat pelajaran berharga yang keluar dari mulutnya, “Saudaraku, saya malu untuk cepat sembuh. Jika Allah mentakdirkan saya sembuh, saya akan terima dengan penuh rasa syukur. Namun, jika Allah mentakdirkan saya untuk tidak sembuh saya juga bersyukur kepadanya. Sebab, hanya Allah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Bisa jadi kita mengharapkan kesembuhan, namun bagi Allah kesembuhan bukanlah yang terbaik untuk kita. Ingatlah firman Allah
…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah[2]:216
Saya benar-benar kagum atas ketabahan dan sikapnya yang selalu memandang semua yang datang dari Allah adalah kebaikan. Kemudian saya berangkat melanjutkan studi ke luar kota selama dua tahun. Namun, setelah satu tahun saya kembali ke kampung saat liburan musim panas. Saya mengira sahabat saya masih terbaring tidak berdaya di rumah sakit, sehingga sayapun menuju ke sana untuk melihat keadaannya. Setelah saya tanya kepada petugas rumah sakit tentang keberadaan sahabat saya itu, petugas memberitahukan bahwa dia sudah pulang.
Ketika itu waktu shalat zuhur datang, saya berwudhu’ untuk kemudian shalat berjama’ah di sebuah masjid. Alangkah terkejutnya saya ketika ada suara memanggil yang tidak lain adalah sahabat saya yang dulu terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Dia sekarang sangat sehat seperti sebelum dia diserang penyakit. Kemudian dia berkata, “Sahabatku, begitulah Tuhan menyayangi saya, dengan penyakit yang didatangkan-Nya dulu sekarang saya sudah hafal al-Qur’an dengan sempurna. Dan sekarang saya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Riyadh”.
Saat itulah saya menangis, disamping karena haru melihat sahabat saya atas kesembuhannya, namun juga saya menangis karena menyesali diri saya sendiri betapa lalai dan lengahnya saya yang diberikan kesehatan oleh Allah namun tidak bisa memanfaatkannya dengan baik.
Setelah itu lama sekali kami tidak bertemu, hingga lima tahun kemudian saya mengetahui bahwa dia sudah menjadi perwira berpangkat kapten di dinas militernya.
Begitulah akhir sebuah kesabaran dan baik sangka seorang hamba terhadap Allah. Allah akan selalu membimbingnya, mengasihinya bahkan akan memberikan yang terbaik untuknya, di dunia dan di akhirat. Begitulah yang disebutkan Allah adalam surat al-Baqarah [2]: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar(155), (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"(156), Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(157).”

Abu Hurairah Dengan Pencuri

Abu Hurairah Dengan Pencuri
Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat cinta dan setia kepada Rasulullah saw. Dia juga terkenal dengan kecintaannya kepada ilmu, sehingga gelar Abu Hurairah (Bapak yang seperti kucing kecil) diberikan oleh para sahabat kepadanya karena sikapnya yang selalu mengikuti Rasulullah saw. untuk bisa memperoleh ilmu dari beliau. Sikapnya terhadap Rasulullah saw. layaknya seperti seekor anak kucing yang selalu mengikuti kaki tuannya, sehingga wajar kiranya kalau diantara para sahabat dialah yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah.
Suatu ketika, Rasulullah memerintahkannya untuk menjaga baitul mal untuk beberapa malam. Pada saat dia menjaga tersebut datanglah orang tak dikenal yang bermaksud mencuri harta umat Islam dari baitul mal. Berkat kesigapan Abu Hurairah pencuri itu berhasil ditangkapnya. Abu Hurairah bermaksud hendak membawa pencuri itu ke hadapan Rasulullah untuk diberi hukuman. Pencuri itu kemudian meronta dan meminta belas kasihan Abu Hurairah. Pencuri itu berkata, “Tolong jangan hadapkan saya kepada Rasulullah, untuk kali ini maafkan dan lepaskanlah saya. Saya adalah orang miskin dan memiliki beberapa anak yang sedang kelaparan. Saya tidak punya pilihan lain, selain mencuri untuk memberi makan anak-anakku yang sedang menangis kelaparan”. Mendengar perkataan pencuri itu Abu Hurairah menjadi kasihan dan kemudian melepaskannya.
Keesokan harinya dia menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Setelah mendengar cerita Abu Hurairah tentang pencuri itu, Rasulullah berkata, “Dia adalah pembohong, nanti malam dia akan datang lagi untuk mencuri”.
Maka pada malam berikutnya, Abu Hurairah kembali berjaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Seperti yang dikatakan Rasulullah, pencuri itupun datang lagi untuk mengambil harta dari baitul mal. Abu Hurairah yang semenjak tadi siaga, kembali berhasil menangkap pencuri itu dan berkata, “Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, aku akan membawamu kepada Rasulullah”. Mendengar hal itu, kembali pencuri tersebut ketakutan dan berkata, “Tolong maafkan saya utnuk yang terakhir kalinya. Mulai hari ini saya berjanji tidak akan mencuri lagi”. Mendengar pernyataan pencuri itu, Abu Hurairah kembali merasa kasihan sehingga dilepaskan untuk kedua kalinya.
Keesokan harinya kembali Abu Hurairah menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian tadi malam. Setelah mendengar cerita Abu Hurairah tentang pencuri itu, Rasulullah berkata, “Dia adalah pembohong, nanti malam dia pasti datang lagi”.
Pada malam berikutnya, Abu Hurairah kembali menjaga baitul mal, dan dengan tekad yang kuat dan bulat dia benar-benar akan menangkap pencuri itu dan membawanya kepada Rasulullah. Abu Hurairah berkata dalam hati, “Kali ini aku benar-benar tidak akan melepaskanmu”.
Seperti yang dikatakan Rasulullah, setelah lewat tengah malam pencuri itu benar-banar datang dan ingin mencuri kembali. Abu Hurairah yang semenjak tadi menjaga dengan penuh kesiagaan kembali berhasil menangkapnya, dan kali ini benar-benar dipegangnya dengan kuat. Sekalipun pencuri itu berupaya meronta sekuat tenaga, namun pegangan Abu Hurairah jauh lebih kuat. Dia berkata, “Sekarang aku akan membawamu kepada Rasulullah untuk memperoleh hukuman”. Pencuri itu kemudian berkata, “Maukah engkau melepaskan saya, sebagai imbalannya saya akan mengajarkan kepadamu suatu kalimat yang jika engkau membacanya ketika akan tidur maka Allah pasti menjagamu sampai pagi, begitu juga syithan tidak akan bisa menganggumu”.
Mendengar tawaran pencuri itu, Abu Hurairah kembali melepaskannya dan bertanya, “Kalimat apakah itu?”. Pencuri itu menjelaskan “kalimat itu adalah ayat kursi, jika engkau membacanya saat akan tidur Allah akan menjagamu sampai pagi dan syaithan tidak akan bisa memasukimu”.
Setelah dilepaskan pencuri itu berlalu, dan seperti biasanya keesokan hari Abu Hurairah menemui Rasulullah dan menceritakan yang terjadi. Setelah mendengar uraian Abu Hurairah tentang pencuri itu, dan mengatakan bahwa dia melepaskannya karena diajari sebuah kalimat. Rasulullah berkata, “Kali ini pencuri itu berkta benar, sekalipun dia tetap pembohong”. Lalu Rasulullah bertanya kepada Abu Hurairah “Tahukah engkau siapa pencuri itu?”. Abu Hurairah menjawab, “Saya tidak tahu ya Rasulullah”. Rasulullah menjelaskan bahwa yang datang kepadanya adalah syaithan.
Dari kisah Abu Hurairah dengan pencuri tersebut dapat diambil pelajaran; Pertama, seperti yang dikatakan oleh syaithan sendiri bahwa bahwa siapa yang membaca ayat kursi setiap akan tidur maka Allah swt akan memeliharanya sampai pagi dan syaithan tidak akan pernah bisa memasuki dan mengganggunya.
Kedua, bahwa syaithan sekalipun makhluk pembohong dan berbohong adalah bagian dari ciri dan tabi’atnya, namun atas nama Allah syaithan tidaklah berani berbohong. Sedangkan manusia, ada sebagain mereka yang berani berbohong atas nama Allah, bahkan bersumpah dengan nama-Nya. Alangkah lebih durhakanya manusia bila dibandingkan dengan makhluk paling durhaka yaitu syaithan. Dalam surat al-An’am [6]: 21 Allah swt berfirman.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.”
Begitu juga dalam surat Yunus [10]: 17
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْمُجْرِمُونَ
Artinya: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa (pelaku kejahatan).”
Ketiga, sikap yang ditunjukan oleh Abu Hurairah adalah bahwa seorang yang mencintai ilmu tidak akan pernah melihat sisi pembawa ilmu atau kebenaran itu. Akan tetapi, seorang yang mencintai ilmu akan menerima ilmu dari siapapun datangnya termasuk dari seorang pencuri sekalipun. Seorang yang benar-benar haus akan ilmu pengetahuan dia akan membuang jauh sikap subjektifitas dalam belajar, karena sikap itu adalah salah satu penghalang kemajuan ilmu. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat al-A'raf [7]: 79
فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ
Artinya: “Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata" Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikna risalah Tuhanku dan aku telah menasehati kamu tetapi kamu tidak menyukai pemberi nasehat.”
Imam Ali bin Abi Thalib kw. pernah berkata “Perhatikanlah apa yang disampaikan seseorang kepadamu, dan jangan kamu lihat siapa yang menyampaikannya.” Dalam sebuah ungkapan canda disebutkan “Sekalipun tempat keluarnya sama dengan kotoran, tetapi bila yang keluar itu telur maka ambillah!”.
Keempat, seseorang bila mencintai ilmu pengetahuan maka kecintaan tersebut mengalahkan segalanya, termasuk rasa amarahnya ketika ditawarkan ilmu kepadanya. Inilah sikap yang ditunjukan oleh Abu Hurairah, dimana amarahnya melunak ketika pencuri menawarkan suatu ilmu kepadanya. Sikap seperti ini juga pernah ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. yang terkenal dengan kecintaannya kepada ilmu. Diceritakan suatu ketika nabi Sulaiman memeriksa bala tentaranya, namun dia tidak menemukan burung hud-hud. Nabi Sulaiman marah dan berniat akan membunuhnya atau menghukumnya dengan hukuman yang sangat berat.
Ketika burung hud-hud datang ia berkata kepada Sulaiaman, “Aku mengetahuai apa yang belum engkau ketahui”. Mendengar ucapan burung hud-hud tersebut amarah Sulaiman menjadi lunak dan berbalik mendengarkan informasi burung hud-hud dengan penuh keseriusan. Begitulah yang diceritakan Allah dalam surat an-Naml [27]: 21-23.
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ(20)لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ(21)فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ(22)إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ(23)
Artinya: “Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir(20). Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang"(21). Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini (22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (23).”

Dialog Malaikat Jibril, Kerbau, Kelelawar, Ulat dan Cacing

Dialog Malaikat Jibril, Kerbau,
Kelelawar, Ulat dan Cacing

Suatu ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. Jibril pun bertanya kepadanya, “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?”. Kerbau menjawab, “Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini. Daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.”
Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelewar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. Kelelawarpun menjawab “Alhamdulillâh saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang singkat dan cepat. Daripada saya diciptakan sebagai seekor ulat yang ukuran tubuhnya kecil dan berjalan melata di atas bumi”.
Malaikat Jibrilpun berangkat menemui ulat dan bertanya kepadanya apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor ulat. Ulatpun menjawab, “Alhamdulillâh saya sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor ulat, walaupun berjalan melata di muka bumi namun masih dapat menyaksikan dan menatap cahaya matahari. Tidak seperti cacing yang hidup di dalam tanah, tidak berani menatap matahari dan berjalan menarik tubuhnya”.
Maka Jibril pun berangkat menemui cacing dan bertanya kepadanya apakah ia senang dan bahagia diciptakan menjadi seekor cacing. Cacingpun menjawab, “Alhamdulillâh saya senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing. Walaupun tubuh saya kecil dan berdiam di dalam tanah serta tidak bisa menatap matahari, namun kalau saya nanti mati saya tidak akan mempertanggungjawabkan apa yang telah aku lakukan kepada Tuhan. Dari pada saya diciptakan menjadi manusia yang sempurna, namun jika dia tidak mampu beramal kebajikan dan menggunakan kesempurnaannya itu untuk beribadah kepada Tuhan, maka selamanya dia akan menerima siksa dari Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran. Pertama, bahwa dalam hidup di dunia ini kita haruslah selalu memandang ke bawah. Jangan membiasakan diri memandang ke atas karena akan membuat kita “silau” karenanya. Orang yang selalu melihat ke bawah akan senantiasa bersyukur dengan kondisinya apapun bentuknya. Sebab, dia akan merasakan bahwa kondisinya jauh lebih baik dan lebih sempurna bila dibandingkan orang lain.
Kedua, manusia selaku makhluk sempurna akan diminta pertanggungjawaban atas kesempurnaannya itu. Allah telah memberikan akal dan rohani kepadanya yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dengan itu juga manusia dibebani dengan serangkaian tugas dan kewajiban yang mesti ditunaikannya. Jika dia tidak mampu maka kelak dia akan menerima siksa dari Allah. Berbeda halnya dengan binatang yang tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Oleh karena itu, manusia haruslah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertanyaan Tuhan nanti di akhirat dengan melakukan amal-amal shalih.

Pentingnya Kritik dan saran

Pentingnya Kritik dan saran
“Tak ada gading yang tidak retak”, begitulah ungkapan pepatah yang seringkali kita dengar. Pepatah tersebut berarti bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang pasti punya kelemahan dan kekurangan. Akan tetapi, di balik kelemahan dan kekurangan yang dimiliki seseorang, pastilah dia memiliki kelebihan yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki seseorang bukanlah untuk tujuan saling merendahkan, saling mengejek, saling menjatuhkan dan sebagainya. Akan tetapi, bagaimana dengan kelebihan dan kekurangan itu kita bisa hidup saling memberi dan menerima, saling melengkapi satu dengan lainnya. Begitulah pesan Allah swt dalam surat Az-Zukhruf [43]: 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Untuk menyempurnakan kekurangan itulah diperlukan kritik dan saran dalam kehidupan kita. Kita perlu menerima kritik dari orang lain sekaligus saran yang sifatnya konstruktif atau membangun. Bukankah nabi Sulaiman sekalipun manusia hebat, diberikan segalanya oleh Allah, tidak hanya manusia, angin dan jin pun turut patuh terhadap perintahnya, bahkan mengerti bahasa segala binatang. Akan tetapi, ada hal yang tidak diketahui oleh Sulaiman yang pengetahuan itu ada pada seekor burung kecil bernama hud-hud. Hud-hud lah yang kemudian memberikan kritik dan saran kepada Sulaiman. Lihatlah surat an-Namal [27]: 22
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
Artinya: “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini,”
Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita seharusnya menyampaikan kritik dan saran tersebut. Supaya orang yang dikritik tidak merasa direndahkan, dilecehkan ataupun disakiti perasaanya. Sekaligus saran yang kita berikan bisa diterima dengan baik tanpa ada kesan menggurui ataupun mengecilkan orang yang kita beri saran.
Di dalam al-Qur’an, Allah swt. menceritakan beberapa tokoh yang pernah mengajukan kritik dan saran kepada orang yang mereka temui dalam kehidupan mereka. Sekaligus al-Qur’an mencontohkan gaya dan bahasa menyampaikan kritik dan saran melalui “lidah” tokoh tersebut.
Pertama, nabi Ibrahim ketika mengktirik kesalahan dan kekeliruan ayahnya, sekaligus memberikan saran untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Kisah tersebut terdapat dalam surat Maryam [19]: 41- 43
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا(41)إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا(42)يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا(43) يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا(44)يَاأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا(45)
Artinya : “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi (41). Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?(42). Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.(43). Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.44Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".(45)
Ayat di atas menceritakan ketika Ibarahim mengkritik ayahnya yang musyrik dan menyembah patung. Coba kita lihat gaya bahasa Ibrahim ketika mengkritik ayahnya pada ayat 42. Ibrahim menggunakan panggilan ya abati yang berarti “wahai Ayahanda tercinta”. Ibrahim tidak menggunakan kata ya abi sekalipun maknanya sama. Namun, panggilan ya abati dinilai sebagai panggilan kasih sayang. Ibrahim, sekalipun mengetahui dengan pasti kekeliruan dan kesalahan ayahnya, namun dia tidak pernah menghujat, mengecam apalagi mengecilkan panggilan kepada ayahnya dengan pangggilan yang tidak layak. Penghormatannya tidak berkurang sekalipung ayahnya tersebut telah melakukan kesalahan yang fatal.
Inilah cara menyampaikan kritik yang terbaik, janganlah melontarkan panggilan yang merendahkan, seperti hai bodoh, dungu, goblok, pandir dan seterusnya. Panggillah mereka dengan panggilan hormat dan sayang, sehingga mereka tidak merasa dikecilakn apalagi disakiti perasaanya. Bagaimana mungkin seseorang akan menerima kritikan dan saran, jika hati dan perasaannya sudah tersakiti.
Seorang guru yang ingin mengkritik kesalahan dan memberikan saran kepada muridnya yang bersalah, maka panggillah mereka dengan panggilan mesra dan sayang, nisacaya mereka akan mendengarkan kritik dan saran kita. Seorang “bos” atau pimpinan suatu instansi yang ingin mengkritik dan memberikan saran terhadap kekeliruan anak buahnya, maka pangillah mereka dengan panggilan penghormatan, niscaya mereka akan mendengar kririk dan saran kita, begitulah seterusnya.
Selanjutnya, setelah Ibrahim memanggil ayahnya dengan panggilan hormat dan sayang, Ibrahim mulai menyampaikan kritiknya. Akan tetapi bahasa yang dipilih Ibrahim adalah bentuk kalimat tanya. “...Kenapa ayah menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, melihat atau berbuat apa-apa?”. Ibrahim tidak mengeluarkan kritikan yang sifatnya menghakimi, memvonis atau menunjuk tangan. Seperti kalimat, “anda salah, anda keliru, anda sesat, anda kafir dan seterusnya. Tetapi, Ibrahim berusaha mengajak ayahnya untuk berfikir tentang kekeliruannya. Ibrahim berusaha agar ayahnya menjawab dan menyadari sendiri akan kekeliruan dan kesalahannya.
Begitulah cara menyampaikan kritik yang terbaik, kita tidak memberikan vonis akan kesalahan seseorang. Akan tepai, kita hanya berusaha menyadarkannya akan kekeliruan yang telah dia lakukan. Biarkan dia sendiri yang menyadari kesalahannya melalui pertanyaan yang kita berikan. Karena, jika seseorang tidak mampu memberikan jawaban atau penjelasan atas pertanyaan yng kita ajukan, pastilah dia akan menyadari bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kekeliruan dan kesalahan.
Selanjutnya, ketika yahnya tidak mampu memberikan jawaban dan penjelasan atas apa yang dilakukannya. Kemudian ibrahim berupa memberikan saran. Namun sebelum saran dan nasehat dikemukan Ibarahim berakata seperti yang terlinat pada ayat 43, “wahai ayahanda, sungguh telah datang kepadaku sedikit ilmu yang mungkin tidak engkau miliki maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. Ibrahim tidak berkata bahwa dia lebih tahu, punya segudang ilmu, punya wawasan yang lebih banyak dan seterusnya. Tatapi Ibrahim berkata, “saya punya sedikit ilmu”. Bukankah Allah telah mengatakan kepada Ibrahim bahwa dia adalah orang yang mengetahui rahasia langit dan bumi? Kenapa Ibrahim berkata kepada ayahnya hanya punya sedikit ilmu?
Begitulah cara menyampaikan kritik dan saran yang terbaik. Jangan ada kesan kita membanggakan diri, menyombongkan diri kepada orang yang akan kita beri saran. Rendahkanlah diri dan bicara anda kepada orang yang akan anda beri kritik dan saran. Janganlah anda pernah berkata kepada orang yang akan dikritik, “saya lebih tahu dari anda, saya telah membaca sekian bayak buku dan teori, saya lebih paham dari anda” dan seterusnya. Sebab, bahasa seperti itu terkesan mengecilkan dan membuat orang lain kehilangan simpati menerima kritik dan saran kita.
Setelah Ibrahim memanggil ayahnya dengan panggilan hormat dan sayang, lalu merendakan dirinya di hadapan ayahnya, barulah Ibrahim menyampaikan saran seperti tergambar dalam ayat 44 dan 45.
Kedua, nabi Ibrahim ketika mengkritik kesalahan dan kekeliruan kaumnya yang menyembah berhala. Seperti tergambar dalam surat asy-Syu’ara’ 69-102
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ(69)إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ(70)قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ(71)قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ(72)أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ(73)
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim.69Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?"(70). Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya"(71). Berkata Ibrahim: "Apakah berhala-berhala itu mendengar (do`a) mu sewaktu kamu berdo`a (kepadanya)?(,72). atau (dapatkah) mereka memberi manfa`at kepadamu atau memberi mudharat?" (73)
Dalam ayat di atas juga tergambar betapa Ibrahim menggunakan bahasa yang santun kepada kaumnya dengan juga menggunakan kalimat tanya dan mengajak mereka berfikir guna menemukan kesalahan mereka. Ibrahim berkata kepada kumnya ketika mereka bersikeras untuk tetap pada keyakinan yang salah, “Kenapa kamu semua menyembah sesuatu yang tidak akan pernah mendengar seruan kalian? Sesuatu yang tidak akan memberikan manfaat atau bahaya buat kalian? Ketika kaumnya tidak bisa memberikan jawaban dan penjelasan yang tepat, kemudian Ibrahim memberikan saran dengan menjelaskan Tuhan yang semestinya disembah. Seperti digambarkan dalam ayat 77-82
Ketiga, ratu Balqis dan pemuka bangsa Saba’ ketika mereka saling memberikan kritik dan saran seperti terlihat dalam surat an-Naml [27]: 32-34
قَالَتْ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ(32)قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ(33)قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ(34)
Artinya: “Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)"(32). Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan"(33). Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat (34).”
Ketika ratu Balqis meminta saran dari para pembesarnya saat hendak mengambil tindakkan yang tepat untuk menanggapi surat Sulaiman yang meminta bangsa Saba’ dan rakyat Yaman tunduk di bawah kekuasan Sulaiman. Para pemuka Saba’ menyarankan agar rakyat Saba’ melawan Sulaiman dan tenataranya dengan cara konfrontasi atau peperangan fisik. Sebab, mereka yakin akan mampu mengalahkan Sulaiman dan tentaranya dengan melihat kekuatan yang mereka miliki. Namun, di akhir saran yang mereka kemukan, para pembasar Balqis berkata, “keputusan tetap di tangan engkau”. Beginilah cara menyampaikan saran yang terbaik. Kita tidak boleh memaksakan pendapat kita agar diterima orang lain. Kita juga tidak boleh kecewa, sakit hati atau marah jika saran kita tidak diterima. Tugas kita hanyalah memberikan masukan dan saran, soal diterima atau tidak kita serahkan kepada yang bersangkutan.
Akan tetapi, ratu Balqispun bukan menolak saran pembesarnya atas dasart kengkuhan atau menganggap saran itu tidak baik, tidak berguna ataupun tidak berbobot. Namun Balqis berusaha memberikan pandangan lain, dengan mengatakan “jika peperangan terjadi, betapa sering kita saksikan, bahwa yang akan menjadi korban adalah rakyat biasa. Mereka yang sebelumnya hidup damai, tentram dan nyaman, harus menanggung penderitaan akibat perang dan ambisi para penguasa”. Maka Balqis memberikan tawaran dan pertimbangan lain, yaitu cara diplomasi. Akhirnya saran ratu Balqis diterima semua pihak, tanpa pihak yang diminta saran sebelumnya dikecilkan dan dianggap tidak berarti dan berguna.
Keempat, nabi Musa ketika mengkritik Khaidir, seperti terlihat dalam surat al-Kahfi [18]: 71-77.
َانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا(71) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا(74)فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا(77)
Artinya: “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (71). Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar" (74). Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu" (77).”
Ayat ini adalah rangkaian kisah nabi Musa as berguru kepada nabi Khaidir. Khaidir mengajak Musa melakukan perjalanan dengan syarat tidak boleh bertanya apapun yang dilakukanya sepanjang perjalananan, sampai diberitahukannya. Ketika mereka menumpang sebuah kapal, dan setelah sampai di seberang lautan Khaidir melobangi kapal tersebut hingga rusak dan airpun masuk ke dalam kapal tersebut. Musa akhirnya tidak bisa diam dan menahan diri untuk tidak mengkritik perbutan sang guru. Musa pun berkata "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Selanjutnya, ketika sang guru membunuh seorang anak yang tidak berdosa, Musa pun mengajukan kritikan, "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?”. Dan ketika Khaidir memperbaiki rumuh orang yang tidak bersedia menjamu mereka ketika kehausan, Musapun mengajukan kritik dengan berkata "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
Coba kita perhatikan semua ungkapan Musa ketika mengkritik khaidir. Musa mengajukan kalimat tanya atau kalimat syarat. Musa tidak mengatakan “ anda salah, anda keliru, anda bodoh, anda sesat dan seterusnya.
Begitulah bahasa terbaik yang semestinya dipakai untuk mengajukan kritik dan saran kepada seseorang yang menurut kita melakukan kesalahan atau kekeliruan. Ajukanlah dengan gaya dan bahasa yang sopan, santun dan mengundang simpati, serta tidak terkesan menggurui atau merendahkan pihak lain.

Telapak Tangan

Telapak Tangan
Kata kaffaih (dua telapak tangan) adalah salah satu dari bagian tubuh manusia yang dipakai oleh Allah untuk membuat perumpamaan bagi manusia. Dan perumpmaan itu terdapat sebanyak dua kali. Pertama kata kaffaih surat ar-Ra’d [13]: 14, yang berbicara tentang perumpamaan orang yang tidak mengenal Allah sehingga dia menyembah dan meminta kepada selain-Nya. Namun, permohonan yang mereka ajukan kepada selain Allah hanyalah kesia-siaan belaka, sama seperti orang yang membentangkan kedua telapak tangnnya untuk membawa air ke mulutnya. air tersebut tidak akan pernah sampai ke mulutnya. sebagaimana firman-Nya dalam surat ar-Ra’d [13]: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do`a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do`a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”
Sebeluam membuat perumpamaan tersebut pada ayat 14 di atas, pada ayat-ayat sebelumnya Allah swt telah memperkenalkan diri-Nya dengan baik kepada Manusia. Marilah kita lihat ayat-ayat sebelumnya, betapa Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia agar dia mengenal Allah dengan baik.
Ayat 2 Allah swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang meciptakan dan meninggikan langit tanpa tiang, menundukkan matahari dan bulan dan mengatur keseimbangan jagat raya ini.
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
Ayat 3 Allah swt. memperkenal diri-Nya sebagai Dzat yang membentangkan bumi, mengokohkannya dengan gunung-gunung, menghiasinya dengan sungai-sungai, menciptakan tumbuhan dan buah-buhan secara berpasangan
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Ayat 4 Allah swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang menciptakan tumbuhan yang beragam, ada yang bercabang dan tidak bercabang, menciptakan buahan dengan beraneka rasa dan aroma sekalipun tumbuh di bumi dan tanah yang sama.
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
Ayat 5 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang menciptakan manusia dari saripati tanah, lalu menjadikannya makhluk yang indah dan sempurna, mematikannya kemudian menghidupkan dan membangkitkannya kembali setelah kematiannya.
“Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan mereka: "Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?" Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ayat 8 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di dalam rahim, baik jenis kelaminnya, keketapan atas dirinya, rezekinya, jodohnya, ajalnya dan seterusnya.
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.
Ayat 9 Allah menyebutkan diri-Nya sebagai Dzat yang Maha mengetahui baik yang gaib maupun yang tanpak, Maha Besar lagi Maha Tinggi.
“Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.
Ayat 10 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang mengetahui apapun yang ada dalam hati manusia, baik yang berterus terang maupun yang merahasiakan ucapannya, yang bersembunyi di malam hari maupun yang muncul di siang hari.
“Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.
Ayat 11 Allah menyebutkan diri-Nya sebagai Dzat yang meciptakan para malikat yang ditugasi menjaga dan memelihara manusia, sekaligus mencatat segala perbuatannya. Allah juga menyebutkan bahwa Dia Yang berkuasa memutuskan sesuatu terhadap makhluk-Nya, baik maupun buruk jika itu dikehendaki-Nya.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ayat 12 Allah menyebut diri-Nya sebagai Yang berkuasa menciptakan kilat dan halilintar yang bisa menimbulkan rasa takut bagi orang tertentu sekaligus harapan bagi orang tertentu. Dia juga yang menciptakan awan yang mengandung hujan, hingga bumi menjadi subur kembali setelah hujan turun dari langit melalui perantara awan tersebut.
“Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung.
Ayat 13 Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Dzat yang bertasbih kepada-Nya semua makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, termasuk para malaikat. Termasuk juga kuasa-Nya dalam menimpakan halilintar kepada orang tertentu sebagai bentuk azab atas pembangkangan terhadap aturan-Nya.
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.
Masih kurang lengkapkah Allah memperkenalkan diri-Nya kepada manusia? Lalu kenapa manusia masih juga belum mngenal Allah dengan baik. Oleh karena itulah, setelah perkenalan dianggap lengkap, maka Allah menutup perkenalan-Nya dengan membuat perumpamaan bagi orang yang masih belum mengenal-Nya dan menyembah serta memohon pertolongan kepada selain-Nya seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya.
Pertanyaanya adalah apa hubungan perkenalan Allah akan diri-Nya kepada manusia dengan kedua telapak tangan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita membuka kedua telapak tangan kita! Lihatlah dengan cermat garis utama kedua telapak tangan kita! Pada telapak tangan yang bagian kiri kita, akan dilihat garis persis seperti angka Arab ۸۱ (latin :81) bukan? Sekarang lihat garis telapak tangan kita yang sebelah kanan, maka kita akan temukan garis yang persis seperti angka Arab ۱۸ (latin 18) bukan? Semua telapak tangan manusia memiliki garis utama yang sama. Sekarang coba kita gabungkan (jumlahkan) kedua garis tersebut; 81+18= 99. Itulah nama Allah yang diperkenalkan-Nya di dalam al-Qur’an sebanyak 99 yang kita kenal dengan nama al-Asma al-Husna.
Maka jika manusia mau memperhatikan kedua telapak tangannya dengan baik, di situlah dia akan menenukan Allah. Kedua telapak tangan seseorang akan mengantarkanya kepada pengetahuan akan adanya Allah. Selanjutnya, jika dia telah menemukan Allah di kedua telapak tangannya, tentulah semua perbuatan yang merupakan hasil kerja kedua telapak tangan itu akan dipersembahan untuk ibadah dan pengabdian kepada Allah. Seorang yang melihat Allah di kedua telapak tangannya, tidak pernah melakukan sesuatu yang merupakan pelanggaran terhadap aturan Allah, seperti mengambil milik orang lain, menyakiti orang lain dan sebagainya.
Perumpamaan telapak tangan yang kedua disebutkan Alah swt dalam surat al-Kahfi [18]: 34. Di mana dalam ayat tersebut Allah membuat perumpaan tentang seorang yang tidak meyakini adanya kematian, seorang yang berbangga dengan apa yang dimiliki dan mengira apa yang dimilikinya akan abadi, tidak akan hilang dan punah. Akhirnya, Allah membinasakan apa yang dimilikinya, harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku".
Begitulah perumpamaan yang tergambar dalam ayat berikut, surat al-Kahfi [18]: 42
وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا
Artinya: “Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku".
Sebelum menyebutkan kata dua telapak tangan sebagai bentuk perumpaan tentang akhir kepemilikan seorang yang tidak meykini akan kemtaion dan kefanaan sesuatu, pada ayat-ayat sebelumnya Allah swt. Menceritkan sikap, keyaikian dan prilakunya. Mari kita lihat!
Ayat 32: Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
Ayat 33: Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
Ayat 34: dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu'min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat".
Ayat 35: Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
Ayat 36: dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu".
Ayat 37: Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?
Ayat 38: Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
Ayat 39: Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu "MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH" (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
Ayat 40: maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
Ayat 41: atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi".
Ayat 42: Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku".
Kenapa Allah menjadikan kedua telapak tangan sebagai perumpamaan untuk sikap seorang yang tidak meyakini kematian, kebinasaan dan kefanaan sesuatu? Untuk menjawabnya, mari kita lihat sekali lagi kedua telapak tangan kita!
Pada telapak tangan yang bagian kiri kita, akan dilihat garis persis seperti angka Arab ۸۱ (latin :81) dan telapak tangan kita yang sebelah kanan, akan ditemukan garis yang persis seperti angka Arab ۱۸ (latin 18)? Sekarang coba kita kurangkan kedua angka tersebut; 81-18= 63. Angka 63 mengingatkan kita akan usia manusia agung nabi Muhammad saw. Dengan angka 63 kita akan teringat bahwa semua manusia akan mati, semua yang ada akan lenyap. Bukankah Rasulullah seorang manusia yang paling mulia dan paling dikasihi-Nya pun mati dan binasa.
Dengan melihat kedua telapak tangan, niscaya manusia akan sadar dan percaya bahwa semua yang ada selain Allah akan berkahir. Semua manusia dan makhluk bernyawa apapun akan berakhir dengan kematian. Kedua telapak tangan akhirnya mengantarkan manusia akan keyakinan adanya kebinasaan dan batas waktu sesuatu yang ada. Hanya Allah sajalah yang tidak akan pernah lenyap dan binasa.
Lihatlah dirimu, kamu akan kenal Tuhanmu! Semoga bermanfaat.