Jumat, 07 Mei 2010

Bertemu Dengan Tuhan

Bertemu Dengan Tuhan

Sudah menjadi ketetapan Allah swt, bahwa yang selain Diri-Nya akan mengalami kerusakan, kebinasaan dan kehancuran. Hanya Allah sajalah Dzat yang tidak akan pernah rusak, binasa ataupun hancur. Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan, tentu juga tidak bisa luput dari hukum kebinasaan dan kehancuran yang telah ditetapkan Allah tersebut. Kematian adalah cara Allah membinasakan dan mengahancurkan manusia, ini juga berlaku bagi makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan. Akan tetapi, Allah membinasakan dan menghancurkan manusia dengan kematian memiliki tujuan dan maksud yang berbeda dengan yang dialami makhluk yang lain seperti binatang dan tumbuhan. Jika binatang dan tumbuhan mengalami kebinasaan dan kehancuran melalui kematian, akan hilang dan lenyap begitu saja. Sementara manusia, mengalami kebinasaan dan kehancuran, akan datang menemui Allah dan memberikan pertangungjawaban atas segala aktifitasnya selama hidup di dunia untuk kemudian memperoleh kehidupan berikutnya yang jauh lebih baik dan lebih sempurna, jika pertanggungjawaban diterima oleh Allah. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Insyiqaq [84]: 6-15

يَاأَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ(6)فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ(7)فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا(8)وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا(9)وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ(10)فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا(11) وَيَصْلَى سَعِيرًا(12)إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا(13)إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ(14)بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا(15)
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (6). Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, (7) maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,(8) dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.(9) Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,(10) maka dia akan berteriak: "Celakalah aku".(11) Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(12) Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).(13) Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (14) (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.(15).

Kata kadihan berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu hingga letih dan akhirnya berhenti. Begitulah kehidupan yang dijalankan manusia di dunia ini, bahwa manusia dituntut bekerja dan beramal dengan tekun dan sungguh-sungguh, hingga tubuhnya lelah dan letih. Kepayahan dan keletihan akan menjadikan manusia menikmati akhir hidupnya. Bukankah tidur yang nikmat akan dirasakan bagi yang badannya lelah dan letih bekerja di siang hari. Namun, bagi yang tidak bekerja tentulah matanya akan sangat tersiksa dikarenakan susah tidur.
Akhir dari keletihan manusia adalah bahwa ia menemui kematian. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap yang pasti akhir kehidupan akan ditutup dengan kematian. Kematian akan mengantarkan manusia untuk bertemu dengan Tuhan. Ibarat kehidupan nyata di bumi ini, jika kita hendak menemui atasan, pimpinan atau seorang yang memiliki kedudukan tinggi, tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Maka manusia datang menemui Allah setelah kematian juga memiliki maksud dan tujuan. Tujuannya adalah untuk memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Begitulah yang tergambar dalam ayat di atas, bahwa ada manusia yang menerima catatan amalnya ketika hidup di dunia dengan tangan kanan yang berarti pertangungjawabannya akan diterima oleh Allah. Sebagai penghargaan atas kinerjanya yang baik selama hidup di dunia, maka dia akan berkumpul bersama keluarganya dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Pengertian berkumpul bersama keluarga bisa dua bentuk; pertama, bentuk majazi, di mana itu sebuah gambaran tentang betapa bahagianya manusia dengan kematian datang menuju Tuhan dan kampung akhirat setelah berhasil mengumpulkan berbekalan yang banyak melalui kegigihannya berusaha dan beramal kebajikan selama hidup di dunia. Ibarat seorang yang pergi merantau, tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada saat pulang ke kampung dan berkumpul bersama keluarga, setelah berhasil membawa pulang harta yang berlimpah melalui kerja keras selama di perantauan. Tentu berbeda dengan orang yang pergi merantau dan tidak berhasil mengumpulkan harta walau satu rupiahpun, tentu pulang ke kampung dan berklumpul dengan keluarga adalah hal yang sangat menakutkan dan memalukan.
Kedua makna hakiki, di mana orang yang memiliki kebajikan yang banyak selama hidup di dunia dan mampu memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukanya selama di dunia, dia akan dikumpulkan bersama keluarganya yang beriman dan shalih dalam satu tempat di sorga. Seperti disebutkan Allah dalam surat Ya Sin [36]: 55-58
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ(55)هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ(56)لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُمْ مَا يَدَّعُونَ(57)سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ(58)
Artinya: “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).(55) Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.(56) Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.(57) (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.(58)

Begitu juga dalam surat At-Thur [52]: 21
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Sementara kelompok manusia yang lain, adalah orang yang diberikan buku catatan amalnya dari tangan kiri atau dari belakang. Maka mereka adalah manusia yang dulu di dunia tidak mau bersusah payah berbuat kebajikan, bahkan hidup bergelinag dosa dan pelanggaran, hidup selalu dengan kegembiraan bersama orang-orang yang dicintainya ketika di dunia. Bagi mereka tiada lain pertemuan dengan Allah adalah sesuatu yang paling menakutkan dan memalukan. Di hadapan Allah mereka tidak mampu memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Saat itulah waktu mereka menyesali diri dan berteriak histeris, “Celakalah aku, Kenapa dulu saya tidak mau bersusah untuk berbuat baik, kenapa dulu saya hidup selalu gembira dan tertawa, kenapa saya tidak pernah memikirkan kehidupan sekarang ini?,” Dan seterusnya. Akan tetapi, sesal ketika itu tiadalah guna dan manfaatnya, mereka akan dihalau ke dalam neraka dengan siksa yang tidak akan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Oleh karena itu bagi kita yang masih hidup, marilah kita berupaya berbuat yang terbaik guna mempersiapkan diri menghadapi hari yang sangat sulit dan secara pasti akan kita temui. Menarik kita cermati pesan Allah dalam lanjutan ayat di atas, yaitu ayat 16-19;

فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ(16)وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ(17)وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ(18)لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ(19)
Artinya: “Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,(16) dan dengan malam dan apa yang diselubunginya,(17) dan dengan bulan apabila jadi purnama,18sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).(19).”

Dalam ayat di atas Allah swt, bersumpah demi syafaq yang secara harfiyah berarti cahaya matahari yang berwarna merah di saat akan tenggelam. Syafaq adalah pertemuan atau percampuran antara akhir siang dan awal malam. Bercampurnya perasaan gembira dan sedih, harap dan cemas, suka dan duka juga disebut syafaq. Kemudian Allah melanjutkan sumpahnya dengan bintang dan rembulan yang muncul setelah syafaq menghilang dan malam sudah gelap. Sumpah tersebut kemudian dijawab dengan kalimat bahwa semua kamu akan melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan ini.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas:
Pertama, bahwa sudah menjadi ketetapan Allah bahwa setiap kehidupan akan berakhir dan berganti dengan kehidupan baru. Begitulah bahwa siang akan hilang dan akan digantikan era malam hari. Begitu juga hidup di dunia ini, bahwa ia juga akan berakhir dengan kematian. Tidak akan pernah ada satu era, masa atau periode kehidupan berjalan terus tanpa batas akhir dan kemunculan masa, era dan periode yang lain.
Dua, bahwa pertukaran alam dan kehidupan selalu akan memunculkan syafaq; percampuran dua hal, ada terang ada gelap kemudian terang lagi dan gelap kembali begitu seterusnya. Kematian juga akan melahirkan dua hal tersebut, harap dan cemas, gembira dan sedih. Kematian tentu akan menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi yang meninggal, jika saja dia memiliki banyak amalan dan kebaikan. Akan tetapi, bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan dan bahkan menakutkan jika tidak memiliki cukup amal untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Kematian akan menjadi kesedihan dan duka bagi keluarga yang ditinggalkan, karena akan berpisah dengan orang yang paling dicintainya untuk selamanya. Namun, di sisi lain bisa menjadi hal yang membahagiakan dan menggembirakan, karena mereka akan mendapatkan tiga janji Allah sebagai karunia-Nya yang paling besar; berupa Shalawat dari Tuhan, rahmat dan petunjuk, jika saja mereka sanggup bersabar dan menerima dengan ungkapan Ina lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tiga, Hilangnya siang dan datangnya malam ditandai dengan munculnya bintang gemintang yang akan menjadi petunjuk jalan bagi manusia lain seperti nelayan dan musafir atau munculnya rembulan yang menerangi kegelapan malam. Begitulah hendaknya akhir kehidupan kita, bahwa ketika kita meninggalkan kehidupan dunia dan menuju kehidupan lain, jadilah kita bintang yang menunjuki orang yang hidup setelah kita atau menjadi rembulan yang menerangi makhluk di tengah kegelapan malam. Lihatlah para ulama kita, bahwa setelah kematian mereka, betapa banyak orang yang menerima petunjuk atau cahaya karya mereka. Lihatlah imam syafi’I, imam Ahmad bin Hambal dan sebagainya, mereka meninggalkan cahaya terang bagi generasi yang hidup setelah mereka. Jadilah kita seperti mereka, yang meninggalkan cahaya petunjuk bagai orang lain setelah kita tiada. Atau setidaknya, jadilah nama kita seperti kita bintang tau rembulan setelah kita meninggal. Jadikan nama kita setingga bintang dan rembulan yang dihormati dan dimuliakan orang yang masih hidup, bukan nama yang jelek, cacat dan akan menjadi makian dan cemoohan mansuia lain.
empat, penggunaan kata tarkabunna yang secara herfiyah berarti naik. Adalah isyarat Allah kepada manusia agar selalu beranjak naik dalam setiap fase kehidupan yang dilalui. Dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pintar, dari pemalas menjadi rajin, dari sedikit menjadi banyak dan seterusnya. Begitu juga kematian yang akan datang hendaknya menjadikan kita naik dari manusia yang belum sempurna menjadi sempurna. Bukankah salah satu tujuan kematian didatangkan kepada manusia untuk menjadikan manusia makhluk yang sempurna?
Begitu juga bahwa kemajuan yang kita capai haruslah dilakukan selalu dan terus menerus, begitulah maksud Allah menggunakan kata kerja Tarkabunna yang berbentuk mudhari’ (masa sekarang dan akan datang serta terus menerus). Selalulah bergerak maju dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hendaklah setiap amal dan kebjikan yang dilakukan selalu meningkat dan mengalami kemajuan waktu demi waktu. Dan kata tarkabunna yang berarti naik juga memberikan isyarat kepada kita, bahwa bukanlah Allah yang menaikan derajat dan kedudukan seseorang, namun manusia itu sendirilah yang akan menaikan dan mengangkat derajatnya sendiri. Bukan Allah yang menempatkannya di sorga yang paling tonggi, namun mereka sendirilah yang menempatkan dirinya di dalam sorga yang paling tinggi. Begitu juga, bukan Allah yang menempatkan seseorang di dalam nereka Jahannam, namun dia sendiri yang memilih kedudukan yang rendah dan hina tersebut.
Semoga menjadi renungkan kita, amin.

Islam anti Kemiskinan

Islam anti Kemiskinan

Islam secara bahasa mengandung arti dinamis dan bergerak, karena ia berasal dari kata aslma yang dalam gramatika bahasa Arab disebut fi’il madhi mazid bi harfin (kata kerja yang berbentuk transitif). Dengan demikian Islam bukan hanya berarti tunduk, patuh, pasrah, atau selamat seperti yang selama ini diartikan, namun Islam lebih tepat diartikan menyelamatkan. Oleh Karena itu, Islam adalah agama yang selalu mendorong dan membawa umatnya ke arah kemajuan. Adalah keliru kalau mengidentikan Islam dengan kejumudan, keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Kalaupun dalam kenyataan hari ini umat Islam terbelakang, itu bukan karena Islamnya yang salah, namun umat Islam itu sendiri yang belum sempurna memahami dan mengikuti petunjuk agama yang sempurna ini.
Secara normatif dan dogmatis, maupun historis, Islam tidak pernah mengajak umatnya untuk hidup terbelakang baik secara ekonomi, pendidikan maupun aspek kehidupan lainnya. Islam semenjak awal kemunculannya, telah berusaha melawan dan memerangi kemiskinan. Sehingga kata miskin itu sendiri dalam bahasa al-Qur’an berasal dari kata sakana yang berarti diam atau tidak bergerak. Dengan demikian, faktor penyebab kemiskinan adalah sikap malas, berpangku tangan dan tidak mau bergerak atau berusaha. Sementara Allah telah memberikan jaminan rezeki bagi setiap makhluk-Nya yang mau bergerak, seperti dalam surat Hud[11]: 6

وما من دآبة في الأرض إلا على الله رزقها......
Artinya: “Dan tidaklah satupun binatang melata di bumi ini (yang mau bergerak) kecuali Allah menjamin rezekinya…



Begitu juga dalam surat al-Jum’ah [62]: 10 Allah berfirman


Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Selanjutnya dalam surat Alam Nasyrah[94]: 7, Allah juga mengingatkan
فإذا فرغت فانصب
Artinya: :”Maka apabila kamu telah selesai mengerjakan suatu pekrjaan maka kerjakan pekrjaan yang lain lagi”
Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk hidup kreatif dan dinamis, agar mereka terhindar dari kemiskinan dan menggantungkan hidup pada pihak lain. Kalaupun Islam menyantuni dan melindungi orang miskin, bukan berarti Islam melestarikan kemiskinan untuk umatnya. Betapa Rasulullah saw memperingatkan umatnya dalam banyak haditsnya, seperti “Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya” . Bukankah hal itu menunjukan bahwa Rasulullah mendorong umatnya untuk menjadi “bos”, bukan pekerja. Sementara dalam riwayat lain beliau bersabda “ Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Atau dalam hadits lain disebutkan “Kefakiran sangat dekat dengan kekufuran”. Bahkan beliau selalu berdo’a; “Allahumma a’uzubika min al-kufr wa al-faqr/ Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran”. Sebab, dalam surat al-Baqarah [2]: 268 Allah swt mengingatkan, bahwa kemiskinan adalah gerbangnya syaithan menggelincirkan iman manusia.


Artinya: ”Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui”
Pengentasan kemiskinan telah diajarkan Islam dengan sangat sempurna. Pertama, dilakukan secara individu dengan cara mendorong umat Islam untuk menjadi pemilik kekayaan yang bersifat material. Islam mendorong umatnya untuk gigih berusaha dan Islam juga mengakui hak kepemilikan manusia terhadap harta benda yang disebut sebagai bagian dari fitrah manusia. Dalam surat Ali Imran [3]: 14 Allah swt berfirman;


Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak,dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Begitu juga dalam surat an-Nisa’ [4]: 100, Allah swt mengingatkan manusia untuk selalu mencari dan terus mencari tempat dan model usaha yang cocok, tidak berhenti pada satu kegagalam karena bumi Allah sangat luas.


Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendpati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. an-Nisa’ {4]: 100)
Kedua, cara pengentasan kemiskinan diajarkan Islam melalui kerjasama sosial kemasyarakatan. Seluruh anggota masyarakat bertanggung jawab membantu saudaranya yang kurang mampu untuk mengangkat derajat kehidupan mereka ke arah lebih baik. Oleh karena itu, Allah swt mengecam manusia yang tidak punya rasa peduli kepada orang miskin seperti dalam surat al-Ma’un[107]: 3. Bahkan dalam ayat selanjutnya Allah mengecam kecelakaan bagi yang shalat, namun tidak mengahayati makna shalat, yaitu tidak memiliki rasa peduli dan mau berbagi dengan sesama.
Begitu besarnya perhatian Islam terhadap kemiskinan, sehingga ditetapkan bentuk pemberian wajib dari harta yang dimiliki dalam bentuk zakat. Seperti yang terdapat dalam surat Adz-Dzariyat [51]: 19


Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Begitu juga dalam surat at-Taubah (9) ; 103


Artinya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dalam surat al-Isra’ (17) : 26


Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros
Dalam surat Muhammad (47) : 37



Artinya: “Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu”.
Ketiga, pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah melalui pembentukan badan atau lembaga yang menangani orang miskin secara khusus. Oleh karena itulah, Islam membolehkan pemerintah memungut zakat secara paksa atau bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat. Pendapatan dari pungutan zakat inilah yang kemudian dikelola oleh pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan.

Reinterpretasi Makna Jahiliyah

Reinterpretasi Makna Jahiliyah
Kata jahiliyah adalah sebuah kata yang sudah sangat populer di kalangan umat Islam. Kata jahiliyah dipahami sebagai suatu masa sebelum kemunculan Islam; merupakan masa yang penuh dengan kegelapan, kebodohan, serta jauh dari peradaban. Agaknya, mengartikan jahiliyah dengan pengertian di atas tidaklah seluruhnya salah. Karena jahiliyah secara harfiyah memang berarti kebodohan. Akan tetapi, menyebut bangsa Arab sebe;um Islam sebagai bangsa yang bodoh dan jauh dari peradaban juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, sejarah mengakui bahawa pada masa sebelum kemunculan Islam, bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat maju dalam seni berbahasa. Bahkan, semenjak masa sebelum Islam sampai sekarang, tidak ada satupun bangsa di dunia ini, yang bisa menyamai kemampuan seni berbahasa bangsa Arab. Oleh karena itulah, al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar, yang salah satunya dari segi keindahan bahasanya.
Akan tetapi, jika kita mencermati kata jahiliyah di dalam al-Qur’an, kita akan menemukan makna jahiliyah lebih kepada arti sikap-sikap hidup yang negative. Dan jahiliyah tidak hanya terbatas kepada masa sebelum kemunculan Islam, akan tetepai bersifat umum; kapanpun dan di manapun asalkan sikap-sikap itu dimiliki sebuah masyarakat, maka sebutan masyarakat jahiliyah layak di sandang mereka. Ada empat kali kata jahiliyah disebutkan di dalam al-Qur’an;
Pertama, surat Ali ‘Imran [3]: 154
….وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ…
Artinya:…sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah….
Dalam ayat di atas, kata jahiliyah menunjukan sikap hidup berupa buruk sangka dan penuh kecurigaan. Begitulah salah satu sikap hidup yang dimiliki masyarakat Arab sebelum kelahiran Islam. Mereka hidup dengan saling curiga, saling mencari aib, kekurangan orang lain dan jauh dari rasa saling menghargai. Mereka lebih senang memiliki banyak musuh daripada banyak kawan. Sehingga, salah satu ajaran pokok al-Qur’an adalah menghilangkan rasa buruk sangka dan curiga kepada orang lain (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).
Jika kita cermati bangsa kita, ternyata sikap ini sudah sangat melekat dalam budaya anak bangsa ini. Di mana saling curiga dan cari kesalahan adalah hal yang sudah begitu dekat dengan kehidupan kita. Rakyat yang selalu curiga kepada pemimpin, para pemimpin dan elit bangsa sendiri yang saling curiga dan saling cari kesalahan, saling mencari kambing hitam atas sebuh musibah, hanya bisa menunjukan kekurangn orang lain, namun tidak bisa memberikan masukan, hanya bisa mengkritik tetapi tidak bisa memberikan solusi. Begitulah bentuk jahiliyah pada abad modern yang dipertontontakn bangsa ini.
Kedua, surat al-maidah [5]: 50
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ…
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,…
Ayat di atas, membicarakan jahiliyah dalam makna hukum; di mana berlaku hukum di tengah masyarakat Arab sebelum Islam, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, yang banyak menindas yang sedekit dan seterusnya. Tidak ada belas kasih dan sikap mendahulukan kepentingan orang lain. Sehingga, ajaran moral yang terpenting di dalam al-Qur’an adalah berbuat ihsan “mendahulukan kepentingan dan kebahagian orang lain” (QS. An-Nahl [16]: 90).
Jika kita jujur mencermati bangsa ini, ternyata pola hukum jahiliyah juga menjadi cirri kehidupan bangsa ini. “Tregedi Pasuruan 15 September 2008, Zakat yang berujung maut”, 21 orang tewas dan belasan lain dirawat di rumah sakit, memperlihatkan betapa anak bangsa ini tidak lagi memperhatikan kebaikan dan kemashlahatan orang lain. Mereka bersedia menginjak dan membunuh sesama hanya untuk mendapat 30.000 rupiah. Mereka hanya melihat diri mereka, tanpa memperhatikan orang lain, sehingga yang kuat menindas dan menginjak yang lemah. Lihat; betapa korban yang meninggal dan terinjak adalah para wanita dan orang tua. Orang yang kuat tidak lagi membantu yang lemah, tetapi malah mnginjak dan membunuh mereka. Andai saja budaya antri dan mau di atur sudah menjadi bagian dari budaya bangsa ini, tentulah insiden seperti itu tidak akan terjadi. Inilah gambaran hukum jahiliyah yang dipertunjukan bangsa ini.
Ketiga, [33]: 33
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى…
Artinya: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu….
Kata jahiliyah dalam ayat di atas menjukan sikap hidup negatife yang pernah dipertunjukan wanita jahiliyah, berupa cara berpakian dan berpenampilan. Kata tabarruj, secara harfiyah berasal dari kata buruj/baraj, yang berarti benteng/tower. Benteng/tower dinamakan buruj karena, letaknya yang tinggi, sehingga jika kita memandang dari kejauhan yang pertama terlihat adalah benteng/tower yang ada di tempat tersebut. Tabarruj artinya menjadi fokous pandangan dan perhatian orang banyak.
Dahulu, Wanita jahiliyah berpakaian sangat “norak”, hiasan yang mencolok serta tampilan lain yang pada akhirnya menjadi objek pandangan mata manusia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika pada masa sebelum Islam, wanita tidak dihargai dan mendapatkan pelecehan seksual dari kaum lelaki. Oleh karena itulah, di antara ajaran moral dalam Islam adalah bagaimana mansuia khususnya para wanita seharusnya berpakaian, menjaga mata dan nafsu seks (QS. An-Nur [24]: 31)
Akan tetapi, pemandangan yang sama juga dengan mudah ditemukan hari ini. Para wanita muslimah – katanya - menampilkan pakaian yang sangat minim, tipis, sempit, dengan berbagai macam bentuk perhiasan dan kosmetik, sehingga penampilan para wanita sekarang betul-betul menjadi objek yang menghibur mata lelaki. Oleh karena itu, mall-mall di mana-mana dipadati para remaja dan anak muda bukan untuk berbelanja, tetapai hanya untuk “cuci mata”- meminjam istilah anak muda sekarang-, karena di sana akan dengan mudah di temukan para wanita yang menampilkan kecantikan tubuh mereka memaluli balutan busana minim.
Keempat, surat al-Fath [48]: 26
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ…
Artinta: “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah…
Kata jahiliyah dalam ayat di atas, menunjukan makna keangkuhan, kesombongan, mudah tersinggung, pendendam, pemarah, serta jauh dari sikap lemah lembut. Oleh karena itulah, al-Qur’an mengajarkan bagaimana supaya manusia menjadi makluk pemaaf dan tidak mengingat kesalahan orang lain. (al-Ma’idah [5]: 12).
Sikap jahiliyah ini juga menjadi bagian dari cirri kehidupan bangsa ini, betapa bangsa ini sangat dekat dengan pola kehidupan yang penuh kekerasan, perkelahian dan kesadisan. Bangsa ini sudah sangat jauh dari sifat pemaaf. Adalah persoalan kecil sangat sering memunculkan pekelahian massal, perekelahian antar nagari dan antar kampung, tawuran antar pelajar, mahasiswa, rakyat jelata dengan aparat penegak hukum sperti satpol PP, Polisi dan TNI, sesama penegak hukum seperti polisi dengan TNI, tidak terkeculai anggota DPR di Senayan yang katanya merupakan kelompok elit dari bangsa ini. “Main sikut” dan “gontok-gontokan’ adalah cirri khas bangsa ini.
Sampai kapan kita akan menjadi bangsa Jahiliyah? Apakah kita akan menunggu datangnya nabi kembali? Yang pasti jawaban tentu tidak, sebab kenabian sudah berakhir. Bangsa ini hanya bisa meninggalkan tradisi jahiliyahnya, jika semua memiliki niat yang sama untuk mau berubah. Perubahn harus dilakukan secara kolektif dan universal. Renungkanlah!