Kamis, 19 Desember 2013

Apa yang Salah Dalam Shalat Kita?



Apa yang Salah Dalam Shalat Kita?
Dalam surat al-Ankabut [29]: 45, Allah berfirman.
اتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menegaskan bahwa secara teoritik seorang yang melaksanakan shalat akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Idealnya adalah bahwa setiap orang yang mengerjakan shalat akan terhindar dari perbuatan yang buruk, baik keburukan terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.
Akan tetapi, fakta ternyata tidak seperti teorinya dan kenyataan terbukti tidak sama dengan idealnya. Buktinya bahwa shalat ternyata tidak memberikan pengaruh dan dampak positif apa-apa pada pelakunya. Sepertinya antara shalat yang dikerjakan seseorang dengan prilaku dan tindakan keseharianya adalah dua hal yang tidak punya keterkaitan sama sekali. Shalat adalah hal yang lain, sedangkan tindakan atau prilaku adalah hal lain lagi, dan antara keduanya tidak memiliki keterkaitan apa-apa.
Sekian banyak kita lihat dalam kehidupan ini, justru pelaku tindak kejahatan, kemungkaran adalah orang-orang yang rajin shalat. Pelaku korupsi misalnya, tenyata kebanyakan adalah oarng yang mengerjakan shalat, rajin ke masjid, bahkan sekolahnya di Timur Tengah, ada juga label “Haji” di depan namanya dan seterusnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa shalat yang secara teori Allah swt sebutkan bisa mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar ternyata tidak sesuai dengan faktanya? Apa yang salah dengan ibadah shalat mereka, sehingga tidak terjadi kesamaan antara teori dan fakta dalam shalat tersebut? Jawabannya salah satunya Allah sebutkan dalam surat al-Nisa’ [4]: 103
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوْا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْداً وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقْيْموُاْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Kenapa shalat tidak member pengaruh terhadap prilaku dan perbuatan pelakunya?
Pertama, Setelah mereka shalat tidak ada lagi zikir dalam diri mereka (فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوْا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْداً وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ). Padahal Allah menyuruh jika kamu telah selesai shalat, maka sebut dan ingatlah Allah dalam situasi dan kondisi apapun kamu berada. Ingatlah dan sebutlah Allah kapanpun, bagaimanapun dan  di manapun kamu berada. Namun, ironinya Allah hanya mereka sebut dan ingat dalam shalat saja atau hanya ketika berada di atas sajadah. Begitu mereka selesai dan meninggalkan tempat shalatnya, Allah pun ikut mereka tinggalkan.
Setidaknya ada 3 makna zikir; yaitu, menyebut, mengingat dan merasakan. Maka selama seseorang menyebut nama Allah dalam setiap perbuatannya pastilah dia akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Tidaklah mungkin rasanya seseorang akan meneruskan usaha keburukan seperti mengambil sesuatu yang bukan haknya, di mana saat hendak melakukannya dia menyebut nama Allah. Begitu juga, seorang yang selalu mengingat Allah dalam setiap gerakannya, pastilah akan terhindar dari perbutan keji dan mungkar. Terlebih lagi jika seseorang sampai pada tingkat selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya dalam setiap gerakan bahkan setiap tarikan nafasnya. Namun, selama zikir tidak terwujud kecuali hanya pada saat shalat saja, maka selama itu pula shalat tidak akan memberikan dampak dan pengaruh berarti dalam mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.
Kedua, Tidak adanya thama’ninah dengan shalat (فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقْيْموُاْ الصَّلاَةَ). Thama’ninah adalah keadaan di mana Allah membukakan hati seseorang untuk melihat indahnya kebaikan dan buruknya kejahatan. Oleh karena itulah, thama’ninah kemudian berarti tenang, karena hanya hati yang dipenuhi kebaikan dan dijauhkan dari keburukanlah yang bisa merasakan ketenangan. Kenapa seorang yang shalat masih korupsi, padahal dia sudah tahu kalau hal itu adalah kejahatan? Karena, hatinya belum terbuka untuk melihat buruknya kejahatan korupsi tersebut, sehingga dia tetap saja melanjutkannya, begitulah seterusnya. Sebaliknya, kenapa seorang yang baru saja shalat wajib tidak mau mengerjakan shalat sunat? Padahal dia tahu kalau shalat sunat adalah kebaikan? Karena, hatinya belum dibukan Allah untuk melihat indahnya kebaikan itu, sehingga dia tidak peduli dan terus mengabaikannya, begitu pula seterusnya. Itulah hakikat thama’ninah. Olah karena itu, selama orang yang shalat belum memperoleh thama’ninah, maka selama itu pula shalat tidak akan berpengaruh dalam kehidupannya.
Ketiga, Allah menutup ayat ini dengan menyebutkan bahwa shalat diwajibkan menurut waktunya yang telah ditentukan. Kenapa Allah menegaskan tentang waktu-waktu pelaksanaan shalat? Apa kaitanya penyebutan waktu shalat dengan terhindarnya orang yang shalat dari perbutan keji dan mungkar? Jawabanya tentu agar manusia melakukan shalat sesuai aturan. Manusia dalam shalat dituntut untuk taat pada aturan dan harus disiplin dalam pelaksaannya. Sebab, Jika shalat subuh dikerjakan pada waktu zuhur misalnya, maka pastilah shalatnya tidak sah, begitupun sebaliknya. Maka orang yang mengerjakan shalat barulah bisa terhindar dari yang perbuatan keji dan mungkar selama dia taat pada segala aturan yang berlaku. Disiplin tidak hanya di dalam shalat, tetapi juga di luar shalat karena memang hakikat dari ibadah shalat salah satunya adalah mendidik prilaku tatat, patuh dan disiplin. Bukankah shalat tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah rakaatnya kecuali ada uzur syar’i? Bukankah dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak boleh menyalahi atau mendahului gerakan imam? Bukankah orang yang shalat berjama’ah harus beridiri di barisan yang lurus, teratur dan rapi? Begitulah seterusnya yang menjadi bukti betapa shalat mengajarkan kedisiplinan dan ketaatan terhadap semua aturan yang berlaku dalam shalat tersebut. Tapi, sayang ketaatan dan kepatuhan itu hanya dijalankan di dalam shalat, tetapi tidak diaktualkan di luar shalat. Oleh karena itu, jika seseorang tetap patuh dan taat pada segala aturan, tidak hanya kepatuhan dan kedisiplinan di dalam shalat, namun juga diaplikasikannya di luar shalat bahkan dalam segala aktifitas hingga seluruh denyut nadi kehidupannya, maka pastilah dia akan selamat dan terhindar dari kesalahan, keburukan dan kejahatan.
Begitulah jawaban kenapa shalat sepertinya tidak memberi bekas dalam prilaku dan kehidupan keseharian para pelakunnya. Karena setelah shalat tidak ada lagi zikir kepada Allah, shalat tidak menghasilkan thama’ninah dalam dirinya, serta tidak adanya ketaatan, kepatuhan dan kedisiplinan dalam dirinya setelah shalat dikerjakan.  

Pesan Menyambut Tahun Baru Hijrah 1435 H.



Pesan Menyambut Tahun Baru Hijrah 1435 H.
Hari ini Jum’at 1 November 2013 bertepatan dengan 27 Zu al-Hijjah 1434 H. sekitar 4 hari lagi, tepatnya hari Selasa tgl 5 November 2013 besok kita akan memasuki pergantian tahun baru Hijriyah, 1 Muharram 1435 H. Mungkin sebagian dari kita umat Islam luput atau tidak menyadarinya sama sekali. Karena memang sikap kita sebagai umat Islam sangat jauh berbeda dalam menyambut dan merayakan pergantian tahun baru Hijriyah dan tahun baru Masehi.
Setiap kali pergantian tahun baru masehi datang, hampir semua orang melakukan persiapan yang maksimal. Mereka melaksanakan berbagai acara semalam suntuk, mulai dari pawai, karnaval, meniup terompet, pesta kembang api, sampai pesta pantai dengan menyalakan api unggun sambil berjoget diiringi berbagai jenis musik dan lagu. Itulah pemandangan atau bahkan bisa disebut rutinitas yang sudah menjadi budaya bagi sebagian besar manusia dan juga umat Islam tentunya dalam menyambut kemunculan tahun baru Masehi.  
Tidak begitu halnya dengan pergantian tahun baru Islam yang nyaris tanpa perayaan. Bahkan, tidak sedikit di antara umat Islam sendiri yang tidak sadar kalau dia telah melewati pergantian tahun baru dalam Islam. Tentu saja ini sebuah sikap yang sangat memprihatinkan dari umat Islam. Karena, peringatan tahun baru Hijrah merupakan salah satu tonggak sejarah penting dan besar dalam perjalanan masyarakat Islam bahkan dunia. Peristiwa hijrah boleh dikatakan salah satu syi’ar atau symbol agama Islam yang harusnya mendapat tempat tersendiri dalam hati dan fikiran umat Islam.  
Melalui khutbah yang pendek ini, khatib tidak akan membicarakan tentang sejarah hijrahnya nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Madinah serta kejadian-kejadian besar yang mereka alami dalam peristiwa tersebut. Uraian tentang peristiwa hijrah tersebut sudah sangat banyak ditulis dalam beragam buku dan ceritanya sudah sangat sering didengar dalam majelis-majelis ilmu. Dalam kesempatan ini, khatib ingin mengajak jama’ah untuk melihat pesan utama yang disampaikan Allah swt dari peristiwa hijrah atau berpindahnya nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah tersebut

.   Hijrahnya nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Madinah salah satunya Allah sebutkan dalam surat at-Taubah [9]: 20.
الذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا فى سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند الله وأولئك هم الفائزون.
Artinya: Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
Dalam ayat ini, Allah swt menutup cerita hijrah dengan kalimat (وأولئك هم الفائزون) atau itulah mereka yang memperoleh kemenangan dan kesuksesan. Maka, pesan utama dari peristiwa hijrah atau berpindahnya nabi Muhammad saw dan sahabatnya ini adalah dalam rangka mencapai kesuksesan dan kemenangan. Dan itu memang terbukti dalam sejarah, bahwa hanya dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun dari peristiwa hijrah tersebut, Islam sudah tersebar luas ke seluruh penjuru Jazirah Arab bahkan ke beberapa wilayah di luar Jazirah Arab sendiri.
Sukses, menang, atau berhasil adalah tujuan semua orang dalam setiap apapun yang dilakukanya. Jangankan dalam hal besar dan sangat serius, dalam hal kecil sepele pun manusia ingin menang dan merasa sakit jika kalah. Lihatlah pemain sepakbola, betapa mereka senang dan bahagianya jika bisa mencetak gold an meraih kemenangan. Dan betapa mereka sangat marah, kecewa bahkan menangis jika mengalami kekalahan. Tidak hanya para pemain, para suporterpun akan larut dalam pesta kemangan jika timnya menang dan akan berubah menjadi rusuh dan marah jika tim kesayangannya kalah. Begitulah berhargnya sebuah kemenangan dan kesuksesan dalam hidup manusia. Dan untuk bisa sukses, menang dan menjadi bahagia maka hijrah atau berpindah adalah jalan yang ditawarkan Allah.
Berpindah tempat (hijrah) seakan sudah menjadi sunnatullah sebagai jalan utama untuk bisa membuat sesuatu atau seseorang lebih baik dan lebih berharga. Lihatlah misalnya, air yang bersih dan bening jika dibiarkan di tempat tergenang, maka akan berubah menjadi keruh dan akhirnya berbau busuk. Tetapi, jika yang semula keruh dan kotor namun dibiarkan mengalir pada akhirnya akan terlihat bersih dan jernih. Kayu jati yang masih di hutan harganya tidak berbeda dengan kayu bakar lainnya. Namun, jika kayu jadi tersebut dipindahkan ke Jepara dan dibuat ukiran maka harganya akan sangat berbeda. Itulah yang dalam pepatah bijak kita disebutkan bahwa “benih tidak pernah menjadi besar di tempat persemaian”. Begitulah arti pentingnya hijrah bagai setiap manusia untuk menjadikan dirinya lebih berharga.
Dalam sejarahnya, ternyata hijrah atau berpindah tidak hanya dilakukan nabi Muhammad dan pengikutnya. Nabi-nabi terdahulu juga melakukan hijrah untuk untuk meraih sukses dalam perjuanagan mereka. Nabi Nuh hijrah melalui kapalnya dengan peristiwa banjir besar yang menghadang kaumnya. Nabi Ibrahim hijrah ke mesir dan palestina setelah tidak bisa menghadapi kaumnya di Babilonia.  Maryam [19]: 46
قال أراغب أنت عن آلهتي يا إبراهيم لئن لم تنته لأرجمنك واهجرني مليا
Nabi Musa juga hijrah dari mesir ke Madyan dan kemudian ke Palestina sebelum menghadap fir’aun dan sukses menghancurkannya. surat al-Qashash ayat 20.
وجاء رجل من أقصى المدينة يسعى قال يا موسى إن الملأ يأتمرون بك ليقتلوك فاخرج إني لك من الناصحين (20)

Mari kita kembali ke urat at-Taubah [9]: 20 di atas, tentang beberapa pelajaran dari peristiwa hijrah tersebut.
Pertama, Hijrah (هاجروا) dikaitkan dengan kata (آمنوا)  atau iman yang berarti bahwa hijrah harus dilakukan atas dasar iman. Keimanan adalah soal keyakinan, dan keyakinan itu ada di dalam hati. Maka, hijrah sesungguhnya menuntut keyakinan yang kokoh serta kebulatan hati bagi yang ingin menjalankannya. Sebab, hijrah bukanlah perkara mudah, banyak godaan, rintangan dan gangguan dalam mewujudkannya. Lihatlah nabi Muhammad dan para sahabatnya yang harus meninggalkan kampung halamannya, anak dan isterinya, rumah dan hartnya serta pekerjaannya yang tentu saja jika bukan karena keyakinan dan hati yang bulat maka itu tidak akan terlaksana. Begitu juga, hijrah secara personal yang menuntut keyakinan dan kekuatan hati yang penuh. Mislanya, seorang yang selama ini hidup dengan dosa, kemudian ingin berhijrah dari dosa itu dan menjadi orang salih. Maka, dia harus siap menghadapi cemoohan, ledekan temannya, kehilangan sahabat yang selama ini bersamanya atau bahkan juga akan kehilangan pekerjaannya. Jika dia tidak memiliki keyakinan yang kuat dan hati yang kokoh untuk berubah, maka hal itu tidak akan mungkin terlaksana.
Kedua,  hijrah dikaitkan dengan kata (وجاهدوا) atau berjuang yang berarti bahwa hijrah bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk hijrah adalah awal sebuah jihad atau perjuangan. Lihatlah apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya pada saat dan setalah hijrah ke Madinah. Mereka harus berhadapan dengan beragam intimidasi kaum Quraish, bahkan harus menghadapai beberapa peperangan besar setelah itu. Begitu juga, jika seseorang ingin hijrah atau merubah dirinya untuk mencapai sukses, maka perubahan itu akan menuntut perjuangan yang ektsra. Seseorang yang sebelumnya hidup malas, dan ingin merubah dirinya menjadi rajin, maka pastilah perubahan itu akan menuntut perjuangan yang keras.
Ketiga, jihad dikaitkan dengan (في سبيل الله) atau di jalan Allah yang menunjukan bahwa tidak semua hijrah dan jihad yang dilakukan manusia di jalan Allah. Seperti halnya sebagian sahabat nabi Muhammad yang hijrah karena ingin memperolah harta dan wanita di Madinah. Dalam kehidupan ini, juga banyak kita temui manusia yang berjuang dengan harta, jiwa dan bahkan nyawanya bukan untuk jalan Allah. Tetapi, untuk sesuatu yang bahkan boleh dikatakan sia-sia belaka. Lihat misalnya, sebagian anak muda yang rela mengucurkan uangnya jutaan rupiah dan menghabiskan tenaga untuk hanya berteriak dalam pertandingan sepak bola di sebuah stadion atau menonton konser seorang artis. Ada anak juga muda yang berjuang menghabiskan uang, waktu, dan tenaganya hanya untuk bermain game online dan seterusnya. Mereka semua berjuang, namun bukan di jalan Allah. Hanya perjuangan di jalan Allah saja yang akhirnya menjadikan seseorang atau sebuah masyarakat meraih kesuksesan
Keempat, Hijrah dan jihad dikaitkan dengan ( الاموال والأنفس) atau harta dan jiwa yang berarti bahwa hijrah dan jihad menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Lihatlah yang dilakukan Ali yang bersedia mengorbankan nyawanya saat menggantikan nabi Muhammad tidur di tempatnya pada malam hijrah tersebut. Begitu juga Abu Bakar yang menghabiskan harta dan kekayaannya untuk hijrah bersama Rasulullah. Begitul juga dengan hijrah seseorang yang ingin merubah dirinya dan mencapai kesuksesan. Bahwa kesuksesan memang menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, berupa harta, fikiran, perasaan bahkan juga pengorbanan secara fisik.
Demikian, semoga bermanfaat. Amin. 

Nikmat Kemerdekaan



Mensyukuri Ni’mat Kemerdekaan
Hari ini adalah Jum’at 16 Agustus 2013. Dan besok adalah tanggal 17 Agustus, di mana tanggal tersebut adalah tanggal atau hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia dan kedatangannya selalu disambut dengan penuh suka cita. Sebab, hari itu adalah saat di mana bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaanya. Tepatnya 68 tahun yang lalu, tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya yang dalam sejarah dicatat hari itu bertepatan dengan hari Jum’at dan bulan Ramadhan.
Setiap bulan Agustus datang, berbagai macam acara dan keramaian dilaksanakan masyarakat Indoneisa di seluruh pelosok negeri ini. Pemandangan seperti ini, sepertinya sudah menjadi rutinitas dan budaya bangsa ini. Karena memang pesta dan perayaan, merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan kemerdekaan adalah salah satu dari ni’mat Allah swt yang diberikan-Nya kepada manusia dan semestinya disyukuri. Seperti disebutkan Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7]: 141, dan surat Ibrahim [14]: 6.
Dalam ayat di atas, Allah swt. menyebutkan betapa nikmat kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada suatu individu, masyarakat atau suatau bangsa. Nikmat mardeka setara dengan nikmat diutusnya para nabi kepapada suatu kaum. (اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Begitu ungkap Allah swt.
Kenapa Nikmat mardeka disetarakan Allah swt dengan nikmat diutusnya seorang nabi? Sebab, keduanya sama-sama menjadikan manusia hidup dalam taraf terhormat dan penuh kemuliaan. Kemerdekaan akan menyelamatkan seseorang atau suatu bangsa dari kezaliman, penindasan, kebodohan, keterbelakangan, kegelapan dan seterusnya. Lihatlah alinea kedua dan empat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dengan tegas menyebutkan tujuan kemerdekaan adalah “menciptakan bangsa yang mardeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Begitu juga disebutkan pada alenia empat bahwa kemerdekaan bertujuan, “melindungi kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial”. 
Begitu juga tujuan diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum atau bangsa seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آياَتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنوْا تَعْلَمُوْنَ
Bahwa seorang rasul Allah utus kepada suatu kaum untuk menunjuki kaum itu ke jalan kebenaran dan menata kehidupan mereka, mensucikan mereka dari kubangan kezaliman, mengajarkan ilmu dan hikmah serta mengajarkan apa yang belum diketahui sehingga mereka selamat dari kebodohan.
Ada hal menarik untuk dicermati terkait nikmat kemerdekaan yang Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah ayat 20 di atas. Di mana nikmat mardeka tersebut Allah ungkapkan dalam bentuk kata kerja masa lalu (fi’il madhi) dalam ungkapan waja’alakum mulukan (وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Secara teori kebahasan bahwa kata kerja masa lalu adalah sesuatu yang pernah terjadi dan kondisinya tidak permanen. Pola kata ini berbeda dengan fi’il mudhari’ ”yaj’alu”  (يجعل) yang berarti selalu dan terus menerus (kontiniutas). Dengan menggunakan kata kerja masa lalu ja’ala (جعل), Allah ingin mengatakan bahwa nikmat mardeka itu tidak bersifat permanen dan abadi. Bisa saja dulu kamu mardeka, namun karena tidak bisa mensyukurinya akan kembali terjajah. Kondisi ini pernah dialami oleh kaum Bani Israel yang berkali-kali mardeka, namun berkali-kali pula dijajah karena tidak pandai bersyukur.
Begitu pula lah mungkin  dengan bangsa kita, Indonesia walaupun secara politik kita sudah mardeka dan menjadi bangsa berdaulat selama 68 tahun lamanya, namun rasanya kita masih terjajah dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya atau bahkan secara politik masih dijajah bangsa lain. Sepertinya bangsa kita masih belum berdaulat di banyak bidang kehidupan terutama ekonomi dan budaya. Hal itu salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya penduduk negeri ini yang belum pandai mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sikap kita terhadap nikmat kemerdekaan ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam surat al-Nashr [110]: 1-3.
إذا جاء نصر الله والفتح. ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا. فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.      
Seperti yang diketahui bahwa para pejuang dan pendiri bangsa ini sepakat mengakui bahwa kemenangan dan kemerdekaan yang diperoleh bukan semata karena perjuangan dan kehebatan serta kekuatan fisik. Namun, kemerdekaan itu semata diperoleh karena pertolongan Allah semata “nashrullah” (نصر الله). Itulah yang secara eksplisit diungkapkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Itulah wujud syukur dalam tahap awal, yaitu pengakuan dengan hati akan nikmat Allah swt. Setelah itu Allah menyuruh kita untuk mengucap syukur “fasabbih bihamdi rabbika (فسبح بحمد ربك) inilah bentuk syukur dengan lidah dengan ucapan Alhamdulillah. Dan paling terakhir Allah menyuruh istighfar “wa istaghfirhu” (واستغفره). Kenapa kita disuruh beristighfar dengan nikmat kemardekaan?
Inilah hal yang paling penting dimana istighfar adalah bentuk pengakuan akan kesalahan dan dosa. Dengan istighfar kita diminta untuk menyadari betapa belum maksimalnya kita bersyukur terhadap nikmat kemerdekaan dan pertolongan Allah tersebut. Kesadaran ini kemudian yang menuntun kita untuk segera melakukan yang terbaik sebagai wujud syukur terhadap nikmat kemerdekaan ini.
Kalaulah para pemimpin bangsa ini banyak beristghfar dalam pengertian menyadari betapa belum maksimalnya mereka berbuat untuk bangsa ini selama mengemban jabatan, tentulah tidak ada pemimpin yang akan berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan Negara untuk mereka. Andaikata pada pejabat dan penguasa di negeri ini banyak beristighfar dan menyadari betapa tidak bersyukurnya mereka terhadap nikmat mardeka yang telah mereka nikmati, niscaya mereka akan malu menikmati indahnya jabatan dengan segala kemewahannya itu. Sayang tidak banyak penguasa, pejabat dan pemimpin negeri yang pandai beristighfar. Jangankan beristighfar karena belum maksimal berbuat yang terbaik untuk bangsa dan Negara atas amanah jabatan yang mereka emban, yang tertangkap tangan korupsipun tidak pernah keluar ucapan maaf dan istighfar dari lidah mereka. Bahkan yang terlihat hanyalah senyum dan tawa serta lambaian tangan mereka bak selebriti saat wajah mereka dosort kamera televisi.
Begitu juga halnya dengan rakyat bangsa Indonesia, andai saja mereka banyak beristghfar dan menyadari betapa mereka belum mampu melakukan yang terbaik untuk bangsa ini, tentu mereka akan terpacu untuk sama-sama berbuat yang terbaik untuk kemajuan bangsa dan Negara ini. Pendek kata, andai semua penghuni bangsa ini yang telah dianugerahi nikmat kemerdekaan, sangat kurang istghfarnya, niscaya kemerdekaan hanya tetap akan menjadi sebatas cerita dan menjadi kenangan masa lalu. Bangsa ini selamanya benar-benar tidak akan pernah mardeka dalam kehidupan mereka.
Terakhir, lihatlah kata mardeka yang Allah pakai dalam ayat di atas yaitu (ملك) yang secara harfiyah berarti berkuasa. Hurufnya terdiri dari tiga (م, ل, ك). Ketiga huruf ini jika diacak akan melahirkan kata-kata lain yang maknanya berkisar pada mardeka dan berdaulat. Dari huruf ini bisa muncul kata (كلم) yang berarti bicara, ada kata (لكم) yang berarti memukul, dan ada kata (كمل)  yang berarti sempurna. Semua kata ini, baik berkuasa, bicara, memukul dan sempurna tentu saja hanya bisa dimiliki oleh orang atau masyarakat yang mardeka dan memiliki kedaulatan (malaka). Maka jika bangsa ini ingin benar-benar disebut bangsa mardeka dan berdaulat (malaka), maka ia harus punya suara dan didengar oleh dunia internasional (kalama). Bangsa ini juga harus bisa menghardik dan menunjukan tajinya bahkan memukul bangsa lain yang hendak menganggu dan mengobok-obok kedaulatannya (lakama). Dan bangsa ini juga harus berani menunjukan kesempurnaan dan kemuliaanya di hadapan bangsa lain (kamala). Bahwa bangsa ini bukan bangsa yang hina dan layak direndahkan, tetapi, bangsa ini adalah bangsa hebat dan memiliki segalanya untuk menjadi bangsa yang besar. Selama semua itu belum bisa diwujudkan maka bangsa yang mardeka (malaka) hanyalah sebuah impian karena sesungguhnya ia belum benar-benar terwujud.