Selasa, 03 Februari 2009

Ghazwul Fikri wal Hadahari

Ghazwul Fikri wal Hadahari
Ghazwul Fikri wal Hadahari artinya adalah perang pemikiran dan peradaban. Sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan Barat khususnya umat Kristen dalam upaya merusak gaya berfikir dan budaya umat Islam. Barat menyadari bahwa merusak umat Islam dengan kekuatan senjata dan ekspansi bukanlah cara yang efektif. Mereka kemudian menemukan cara perang yang dianggap paling efektif untuk menghancurkan umat Islam, yaitu dengan merusak pemikiran dan budaya mereka. Bagi mereka, tidak perlu umat Islam pindah agama, tetapi cukup mengikuti gaya hidup mereka; pergaulan, gaya pakaian, gaya hidup, gaya bicara dst. Hal ini sesuai dengan yang digambarkan dalam surat al-Baqarah [2]: 120
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ…
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…
Salah satu contoh Negara yang berhasil takluk terhadap serangan perang pemikiran dan peradaban ini adalah Turki di bawah pimpinan Mushtafa Kemal at-Taturk. Turki di samping menghapus system kekhalifahan dari dunia Islam, juga telah menghilangkan bahasa Arab dari kehidupan masyarakat Turki, bahkan muncul keinginan untuk merobah beberapa bentuk ibadah yang tentunya berbahasa Arab menjadi berbahasa Turki seperti Azdan dan Shalat.
Segela yang berbau Arab atas pertimbangan nasionalisme dibuang dari peradaban Turki. Tidak cukup sampai di situ, Turki kemudian juga merobah negaranya dari Negara Islam menjadi Sekuler, bahwa urusan agama dianggap persolan individu dan Negara tidak boleh mencampuri apalagi mengurusunya. Bahkan, para wanitapun dilarang memakai Jilbab. Tidak akan dibenarkan seorang menjadi pejabat Negara di Turki, jika isterinya tidak mau melepaskan Jilbab.
Di Indonesia, Barat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyebarkan ide-ide, pemikiran baru dengan dalih pembaharuan dan kebebasan berfikir. Untuk menyebarkan ide-ide mereka, Barat merekrut para cenkiawan muslim sendiri yang sudah mereka didik selama bertahun-tahun di berbagai Negara Barat memalui bermacam-macam program beasiswa.
Sebagai buah dari usaha mereka, maka bermunculanlah di tengah komunitas Muslim Indonesia berbagai macam gerakan pemikiran, seperti munculnya gerakan yang disebut Jaringan Islam Lebiral (JIL). Komunitas ini sangat gencar melontarkan ides-ide “pembaharuan” yang sulit di terima di tengah masyarkat Islam Indonesia. Di antaranya;
Mereka mengatakan bahwa jilbab bukanlah ajaran Islam, tetapi produk Budaya. Berbagai macam argumentasi mereka kemukakan yang lebih banyak menggunakan analisis atau kekuatan logika dan akal. Kalaupun mereka mengutip ayat al-Qur’an, mereka kemudian menafsirkannya sesuai selera dan keinginan mereka.
Jika kita mau membantah pemahaman mereka, maka dengan mudah kita akan menemukan dalil naqlinya. Coba lihat surat al-Ahzab [33]: 59
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ…
Artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"…
Begitu juga surat an-Nur [24]: 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ…
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,…
Apakah kedua ayat di atas kurang jelas maksudnya? Masih perlukah logika untuk memahaminya? Masih perlukah takwil atau konteks social budaya dalam memhami ayat di atas? Hanya hati yang cendrung kepada kesesatanlah yang selalu mencari takwil, makna lain, penalaran akal, aspek sisio-kultural untuk memahami kedua ayat di atas.
Isu lain yang dilontarkan adalah bolehnya kawin beda agama dengan dalih bahwa kaum Kristiani dan sebagainya itu adalah ahlul kitab. Jika kita ingin membantah alasan mereka, agaknya cukup kita kemukan surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ…
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu….
Masih kurang tegaskah kata-kata ayat di atas? Masih perlukah kita mendefinisikan kata musyrik dan mukmin? Masih layakkah umat yang tidak membenarkan dan menerima kerasualan nabi Muhammad saw disebut ahlul kitab? Tidakkah mereka mengetahui pengertian dan batasan ahlul kitab? Sedangkal itukah pemahaman mereka tentang ahlul kitab? Maka hati yang bersih dari penyakitlah yang bisa menerima kejelasan ayat di atas.
Selanjutnya mereka melontarkan ide Sekulersime atau pemisahan agama dengan Negara. Mereka berpendapat bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan Negara, karena keduanya adalah hal yang tidak bisa disatukan.
Tentu orang yang tidak mengerti atau “pura-pura” tidak mengerti sejarahlah yang akan berkata demikian. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi saw ketika Hijrah ke Madinah. Bahwa hal pertama yang dilakukan beliau di samping membangun masjid adalah membentuk Negara Madinah yang berdaulat. Perjanjian damaipun diadakan dengan komuniatas Yahudi dan suku-suku lain sebagai bentuk pengakuan terhadap kedaulatan Negara Madinah. Bukankah Rasulullah di Madinah tidak hanya sebagai Nabi, tetapi juga sebagai kepala Negara. Rasulullah saw sadar bahwa aktifitas agama dan kegiatan dakwah tidak akan bisa berjalan dengan baik, jika tidak didukung kekuatan secara politis. Apakah yang dicontohkan Rasulullah saw di Madinah bentuk sekularsime? Apakah hal itu menunjukan bahwa Rasulullah saw memisahkan urusan agama dan Negara? Tentu hati yang bersih dan cerdaslah yang bisa melihat realitas sejarah dengan objektif.
Kaum liberal juga mengemukakan ide kesamaan semua agama. Mereka mengatakan bahwa semua agama adalah benar dan sama-sama menuju Tuhan.
Pendapat ini jelas keliru, karena jika semua agama benar maka untuk apa diutus Allah para nabi? Kalau semua agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya jelas kita sepakat. Akan tetapi, bukankah ada aturan syari’at sebagai bentuk ubudiyah (penyembahan) kepada Tuhan yang mesti dilaksanakan oleh manusia sebagai bagian yang inti dari agama? Aturan syari’at tersebut diajarkan Allah melalui para nabi dan rasul yang pernah di utus-Nya. Bagaimana mungkin kita bisa menyamakan ajaran yang diajarkan oleh Allah melalui utusan-Nya dengan ajaran yang merupakan hasil akal dan budaya manusia semata. Oleh karena itulah para ulama membagi tauhid ke dalam dua bentuk: tauhid rububiyah dan uluhiyah.
Tauhid rububiyah berarti manusia mengesakan Tuhan dalam kapasitas-Nya sebagai Pencipta, Penguasa dan Pengatur Yang Tunggal. Sementara tauhid uluhiyah berarti manusia mengesakan penyembahan dan peribadatan kepada Tuhan, dan ini harus sesuai dengan yang di ajarkan Allah melalui utusan-Nya. Andaikata umat non muslim bertauhid secara Rububiyah, apakah mereka bertauhid secara uluhiyah? Tentu saja jawabannya tidak, sebab jika saja mereka beribadah dengan cara yang sama dengan kita, maka tentu mereka tidak akan disebut non Muslim. Oleh karena itu, benarkah anggapan bahwa semua agama benar?
Berikutnya, kaum liberal melontarkan pemikiran tentang besarnya peran akal. Di mana akal tanpa wahyu bisa menemukan Tuhan dan kebenaran. Oleh karena itu, wahyu bukanlah sesuatu yang menentukan dalam perjalanan keagamaan manusia, namun hanya berfiat konfirmatif dari apa yang sudah dicapai dan diperoleh oleh akal mansuia.
Kelompok Liberal agaknya luput memahami surat al-Maidah [5]; 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Mengapa Allah swt mengatakan pada ayat di atas, bahwa tidak sama antara yang buruk dengan yang baik. Bukankah tanpa dikatakan Tuhan pun manusia dengan akalnya mampu mengetahui bahwa yang buruk dan baik itu tidak pernah sama?
Allah swt ingin menegaskan kepada manusia bahwa sekalipun manusia mampu dengan akalnya mengetahui yang baik dan buruk dan membedakan keduanya, akan tetapi Allah swt ingin agar untuk mengukur baik dan buruk sesuatu bukanlah akal semata. Sebab, akal manusia tidak konsisten dalam menentukan ukuran buruk dan baiknya sesuatu. Baik dan buruk menurut akal manusia bisa berobah sesuai perubahan waktu, perbedaan tempat, dan sesuai kebiasaan. Berbeda dengan al-Qur’an yang tidak pernah berubah dalam memberikan ukuran tentang baik dan buruknya sesuatu. Bukankah sampah yang busuk, menjijikan, tidak akan dirasakan busuk dan menjijikan bagi pemungut sampah karena sudah setiap hari hidup dengan sampah? Bukankah wc umum dirasakan busuk ketika pertama membuka pintunya, namun akan terasa menyenangkan jika seseorang sudah berada di dalamnya? Bukankah itu membuktikan bahwa akal tidak tetap menentukan ukuran baik dan buruk?
Agaknya itulah rahasianya kenapa di akhir ayat tersebut Allah menegaskan “…sekalipun banyaknya yang buruk itu mencengangkanmu…”. Sesuatu yang haram akan tetap haram sekalipun telah dilakukan semua orang. Sebab, seringkali manusia membenarkan sesuatu sekalipun sudah jelas kesalahannya dengan berdalih kepada banyaknya orang telah melakukannya. Banyaknya orang melakukan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa sesuatu itu adalah baik, jika al-Qur’an telah mengatakan itu buruk.
Ide lain yang dikemukakan oleh kelompok Islam Liberal adalah kritikan terhadap beberapa bentuk ajaran Islam yang sudah terakomulasi dalam pembahasan para ulama fiqih masa lalu, terutama masalah hudud (hukum criminal). Sebagian dari ajaran Islam dianggap tidak adil dan tidak manusiawi, seperti hukum dera dan rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pelaku pembunuhan atau penganiayaan terhadap orang lain.
Adalah hal yang mesti dipahami dari bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku tindak criminal tersebut bahwa ketetapannya adalah berdasarkan wahyu Allah di dalam al-Qur’an. Tentang hukuman dera bagi pezina Allah tetapkan dalam surat an-Nur [24]: 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Sementara hukumana potong tangan bagi pencuri Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah [5]: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sedangkan hukum Qishash bagi pelaku pembunuhan dan penganiayaan disebutkan dalam banayak ayat, di anataranya surat al-Baqarah [2]: 178
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita…
Selanjutnya surat al_maidah [5]: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Apakah semua ayat di atas maksudnya masih samar dan tidak jelas maknanya, sehingga perlu interpretasi dan penakwilan kepada makna lain? Layakkah kita mengatakan ketetapan Allah itu adalah hal yang tidak manusiawi? Hanya hati yang berkaratlah yang berani berkata demikian. Justru jika kita mau melihatnya dengan jujur, andai hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut diikuti dan dijalankan dipastikan kehidupan manusia akan berjalan baik dan seimbang. Akan tetapi, jika manusia berpaling dari hukum Allah, maka dipastikan manusia akan hidup dalam kekacauan dan ketakakutan. Bukankah tujuan Allah menetapkan hukum qishash agar terjaminnya hak hidup orang lain? Lihatlah surat al-Baqarah [2]: 179.
Tidak cukup sampai di situ, Perang pemikiran yang dilakukan kelompok Barat terhadap umat Islam juga berupaya meracuni sejarah umat Islam dengan berlindung di balik “kedok” ilmiah. Seperti, dijadikannya kajian utama dalam sejarah Islam beberapa peperangan yang pernah dilakukan para sahabat; yaitu perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, Perang Jamal antara Aisyah dan Thalhah dengan Ali bin Ali Thalib, Para pemberontak Abdullah bin Zubair yang selalu berperang dengan tentara Yazid bin Muawiyah, kesadisan al-Hajjaj, Sahabat yang memenggal kepala Husein bin Ali bin Abi Thalib dst.
Benarkah para sahabat yang mulia dan telah dididik dengan tangan Rasulullah saw. sendiri sebegitu ambisi, angkuh, rakus, dan haus darah? Gagalkah Rasulullah saw. mendidik para sahabatnya, sehingga mereka harus saling membunuh setelah beliau wafat? Andaikata inipun benar, lalu kenapa harus bagian ini yang harus ditonjolkan dalam kajian sejarah Islam? Terlalu sedikitkah kehebatan sejarah umat Islam untuk diuraikan, sehingga porsi sejarah harus lebih banyak soal politik dan perpecahannya. Bukankah ini membuktikan kebencian Barat terhadap Islam, dan upaya terselubung untuk menjelekan agama Islam. Namun, tidak banyak umat Islam yang menyadarinya, bahkan sebagain besar dari merekapun ikut menyebarkan pendapat yang keliru tersebut.

Sejarah Puasa Umat-Umat terdahulu

Sejarah Puasa Umat-Umat terdahulu
Puasa adalah salah satu dari tiga ibadah yang sama tuanya dengan umur manusia di muka bumi ini. Dua ibadah lainya adalah shalat, seperti disebutkan dalam surat al-Mudatstsir [74]: 40-43, dan Qurban seperrti disebutlan dalam surat al-Ma’idah [5]: 27. Sementara ibadah puasa terdapat dalam surat al-Baqarah; 184
…كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “…Sebagaimana telah diwajibkan juga kepada orang-orang yang sebelum kamu mudah-mudahan kamu bertaqwa”.
Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa nabi Adam as. sesampainya di bumi setelah diturunkan dari sorga akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan, dia bertaubat kepada Allah swt dan berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Itulah yang kemudian dikenal dengan puasa hari putih yang juga sunah untuk dikerjakan pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan.
Nabi Daud as juga melaksanakan puasa, bahkan dalam waktu yang cukup lama yaitu setengah tahun, di mana nabi Daud berpuasa satu hari dan berbuka satu hari begitulah selama satu tahun. Al-Qurthubi, dalam kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, menyebutkan bahwa Allah telah mewajibkan, puasa kepada Yahudi selama 40 hari, kemudian umat nabi Isa selama 50 hari. Tetapi kemudian mereka merubah waktunya sesuai keinginan mereka. Jika bertepatan dengan musim panas mereka menundanya hingga datang musim bunga. Hal itu mereka lakukan demi mencari kemudahan dalam beribadah. Itulah yang disebut nasi’ seperti disebutkan dalam surat at taubah: 37
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ…
Artinya: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah…”
Hal itu menggambarkan betapa umat Yahudi selalu menghindarkan diri untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna sesuai aturan Tuhan. mereka menginginkan puasa dilaksanakan selalu pada musim dingin atau musim bunga yang siangnya lebih pendek dari malam, berbeda dengan puasa pada musim panas, disamping suhu yang panas siang juga lebih panjang dari malam hari. Sehingga, puasa akan terasa sangat sulit dan melelahkan.
Namun, begitulah hikmahnya Allah memerintahkan puasa berdasarakan perjalan bulan bukan matahari agar puasa dirasakan pada semua musim dan semua kondisi. Sebab, jika puasa berdasarkan perjalan matahari, maka ibadah puasa akan selau berada dalam satu keadaan. Jika tahun ini puasa di mulai pada musim panas, maka selamanya puasa akan berada pada musim panas. Berbeda dengan perjalanan bulan yang selalu berubah, di mana jika tahun ini puasa dilaksanakan pada musim panas, maka tahun depan atau beberapa tahun kemudian puasa akan dilaksanakan pada musim dingin atau semi dan seterusnya. Begitulah yang disebutkan Allah swt, dalam surat al-Baqarah: 186
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: …Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,…
Dalam sebuah riwayat juga ditemukan bahwa umat Yahudi berpuasa pada setiap tanggal 10 Muharram, sebagai syukur atas keselamatan Musa dari kejaran Fir’aun. Maka Nabi SAW juga memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram yang dikenal dengan puasa hari Asyura.
Umat Yahudi juga diperintahkan berpuasa 1 hari pada hari ke 10 bulan ke 7 dalam hitungan bulan mereka selama sehari semalam. Sementara masyarakat Mesir kuno, Yunani, Hindu, Budha, juga melaksanakan puasa berdasarkan perintah tokoh agama mereka. Umat Nashrani juga berpuasa dalam hal-hal tertentu, seperti puasa daging, susu, telur, ikan, bahkan berbicara. Seperti yang pernah dilakukan Maryam ibu Nabi Isa sebagaimana dalam surat Maryam [19]: 26
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya: “…Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Mengetahui sejarah puasa umat terdahulu penting untuk diketahui agar kita jangan mencontoh puasa umat lalu, seperti umat Yahudi yang memilih waktu puasa seenaknya bukan menurut aturan Allah. sebab, ibadah yang lakukan dengan “kelicikan” kerugiannya akan diderita oleh manusia itu sendiri. Kita juga harus menyadari bahwa puasa adalah ibadah yang pelaksanaannya menuntut keimanan dan kesadaran. Ibadah puasa adalah untuk manusia itu sendiri. Bukankah Allah menegaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Puasa akan menjadikan manusia berubah dari tingkat mukmin menjadi muttaqin.
Untuk bisa berubah ke arah dan bentuk yang lebih baik, bukan hanya manusia yang berpuasa, akan tetapi sebagian binatangpun ketika bermetamorfosa (merobah wujud) juga berpuasa, seperti halnya kupu-kupu yang berubah dari ulat yang bentuk dan rupanya jelek dan berjalan melata, menjadi seekor kupu-kupu yang bersayap dan berawarn indah serta bisa terbang karena berpuasa.

Bertemu Dengan Tuhan

Bertemu Dengan Tuhan

Sudah menjadi ketetapan Allah swt, bahwa yang selain Diri-Ny akan mengalami kerusakan, kebinasaan dan kehancuran. Hanya Allah sajalah Dzat yang tidak akan pernah rusak, binasa ataupun hancur. Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan, tentu juga tidak bisa luput dari hukum kebinasaan dan kehancuran yang telah ditetapkan Allah tersebut. Kematian adalah cara Allah membinasakan dan mengahancurkan manusia, ini juga berlaku bagi makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan. Akan tetapi, Allah membinasakan dan menghancurkan manusia dengan kematian memiliki tujuan dan maksud yang berbeda dengan yang dialami makhluk yang lain seperti binatang dan tumbuhan. Jika binatang dan tumbuhan mengalami kebinasaan dan kehancuran melalui kematian, akan hilang dan lenyap begitu saja. Sementara manusia, mengalami kebinasaan dan kehancuran, akan datang menemui Allah dan memberikan pertangungjawaban atas segala aktifitasnya selama hidup di dunia untuk kemudian memperoleh kehidupan berikutnya yang jauh lebih baik dan lebih sempurna, jika pertanggungjawaban diterima oleh Allah. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Insyiqaq [84]: 6-15

يَاأَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ(6)فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ(7)فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا(8)وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا(9)وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ(10)فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا(11) وَيَصْلَى سَعِيرًا(12)إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا(13)إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ(14)بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا(15)
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (6). Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, (7) maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,(8) dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.(9) Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,(10) maka dia akan berteriak: "Celakalah aku".(11) Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(12) Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).(13) Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (14) (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.(15).

Kata kadihan berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu hingga letih dan akhirnya berhenti. Begitulah kehidupan yang dijalankan manusia di dunia ini, bahwa manusia dituntut bekerja dan beramal dengan tekun dan sungguh-sungguh, hingga tubuhnya lelah dan letih. Kepayahan dan keletihan akan menjadikan manusia menikmati akhir hidupnya. Bukankah tidur yang nikmat akan dirasakan bagi yang badannya lelah dan letih bekerja di siang hari. Namun, bagi yang tidak bekerja tentulah matanya akan sangat tersiksa dikarenakan susah tidur.
Akhir dari keletihan manusia adalah bahwa ia menemui kematian. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap yang pasti akhir kehidupan akan ditutup dengan kematian. Kematian akan mengantarkan manusia untuk bertemu dengan Tuhan. Ibarat kehidupan nyata di bumi ini, jika kita hendak menemui atasan, pimpinan atau seorang yang memiliki kedudukan tinggi, tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Maka manusia datang menemui Allah setelah kematian juga memiliki maksud dan tujuan. Tujuannya adalah untuk memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Begitulah yang tergambar dalam ayat di atas, bahwa ada manusia yang menerima catatan amalnya ketika hidup di dunia dengan tangan kanan yang berarti pertangungjawabannya akan diterima oleh Allah. Sebagai penghargaan atas kinerjanya yang baik selama hidup di dunia, maka dia akan berkumpul bersama keluarganya dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Pengertian berkumpul bersama keluarga bisa dua bentuk; pertama, bentuk majazi, di mana itu sebuah gambaran tentang betapa bahagianya manusia dengan kematian datang menuju Tuhan dan kampung akhirat setelah berhasil mengumpulkan berbekalan yang banyak melalui kegigihannya berusaha dan beramal kebajikan selama hidup di dunia. Ibarat seorang yang pergi merantau, tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada saat pulang ke kampung dan berkumpul bersama keluarga, setelah berhasil membawa pulang harta yang berlimpah melalui kerja keras selama di perantauan. Tentu berbeda dengan orang yang pergi merantau dan tidak berhasil mengumpulkan harta walau satu rupiahpun, tentu pulang ke kampung dan berklumpul dengan keluarga adalah hal yang sangat menakutkan dan memalukan.
Kedua makna hakiki, di mana orang yang memiliki kebajikan yang banyak selama hidup di dunia dan mampu memberikan pertanggungjwaban atas apa yang telah dilakukanya selama di dunia, dia akan dikumpulkan bersama keluarganya yang beriman dan shalih dalam satu tempat di sorga. Seperti disebutkan Allah dalam surat Ya Sin [36]: 55-58
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ(55)هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ(56)لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُمْ مَا يَدَّعُونَ(57)سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ(58)
Artinya: “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).(55) Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.(56) Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.(57) (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.(58)

Begitu juga dalam surat At-Thur [52]: 21
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Sementara kelompok manusia yang lain, adalah orang yang diberikan buku catatan amalnya dari tangan kiri atau dari belakang. Maka mereka adalah manusia yang dulu di dunia tidak mau bersusah payah berbuat kebajikan, bahkan hidup bergelinag dosa dan pelanggaran, hidup selalu dengan kegembiraan bersama orang-orang yang dicintainya ketika di dunia. Bagi mereka tiada lain pertemuan dengan Allah adalah sesuatu yang paling menakutkan dan memalukan. Di hadapan Allah mereka tidak mampu memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Saat itulah waktu mereka menyesali diri dan berteriak histeris, “Celakalah aku, Kenapa dulu saya tidak mau bersusah untuk berbuat baik, kenapa dulu saya hidup selalu gembira dan tertawa, kenapa saya tidak pernah memikirkan kehidupan sekarang ini?,” Dan seterusnya. Akan tetapi, sesal ketika itu tiadalah guna dan manfaatnya, mereka akan dihalau ke dalam neraka dengan siksa yang tidak akan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Oleh karena itu bagi kita yang masih hidup, marilah kita berupaya berbuat yang terbaik guna mempersiapkan diri menghadapi hari yang sangat sulit dan secara pasti akan kita temui. Menarik kita cermati pesan Allah dalam lanjutan ayat di atas, yaitu ayat 16-19;

فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ(16)وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ(17)وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ(18)لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ(19)
Artinya: “Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,(16) dan dengan malam dan apa yang diselubunginya,(17) dan dengan bulan apabila jadi purnama,18sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).(19).”

Dalam ayat di atas Allah swt, bersumpah demi syafaq yang secara harfiyah berarti cahaya matahari yang berwarna merah di saat akan tenggelam. Syafaq adalah pertemuan atau percampuran antara akhir siang dan awal malam. Bercampurnya perasaan gembira dan sedih, harap dan cemas, suka dan duka juga disebut syafaq. Kemudian Allah melanjutkan sumpahnya dengan bintang dan rembulan yang muncul setelah syafaq menghilang dan malam sudah gelap. Sumpah tersebut kemudian dijawab dengan kalimat bahwa semua kamu akan melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan ini.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas:
Pertama, bahwa sudah menjadi ketetapan Allah bahwa setiap kehidupan akan berakhir dan berganti dengan kehidupan baru. Begitulah bahwa siang akan hilang dan akan digantikan era malam hari. Begitu juga hidup di dunia ini, bahwa ia juga akan berakhir dengan kematian. Tidak akan pernah ada satu era, masa atau periode kehidupan berjalan terus tanpa batas akhir dan kemunculan masa, era dan periode yang lain. Sehinga, kesadaran akan akan itu akan menjadikan manusia menyiapkan diri menghadapi pergantian kehidupan tersebut yang mungkin jauh lebih sulit darai sebelumnya. Bukankah malam jauh lebih sulit dari siang? Di mana suasana yang gelap, tidak ada manusia berkeliaran, banyak binatang buas dan sebagainya. Begitu juga alam kubur dan akhirat yang akan kita hadapi setelah kematian, penuh kegelapan, kesendirian dan banyak binatang berbisa. Oleh karena itu, persiapkan segala sesuatunya sebelum malam itu datang, seperti senter dan lentera, maupun senjata untuk mengusir binatang berbisa tersebut.
Dua, bahwa pertukaran alam dan kehidupan selalu akan memunculkan syafaq; percampuran dua hal, ada terang ada gelap kemudian terang lagi dan gelap kembali begitu seterusnya. Kematian juga akan melahirkan dua hal tersebut, harap dan cemas, gembira dan sedih. Kematian tentu akan menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi yang meninggal, jika saja dia memiliki banyak amalan dan kebaikan. Akan tetapi, bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan dan bahkan menakutkan jika tidak memiliki cukup amal untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Kematian akan menjadi kesedihan dan duka bagi keluarga yang ditinggalkan, karena akan berpisah dengan orang yang paling dicintainya untuk selamanya. Namun, di sisi lain bisa menjadi hal yang membahagiakan dan menggembirakan, karena mereka akan mendapatkan tiga janji Allah sebagai karunia-Nya yang paling besar; berupa Shalawat dari Tuhan, rahmat dan petunjuk, jika saja mereka sanggup bersabar dan menerima dengan ungkapan Ina lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tiga, Hilangnya siang dan datangnya malam ditandai dengan munculnya bintang gemintang yang akan menjadi petunjuk jalan bagi manusia lain seperti nelayan dan musafir atau munculnya rembulan yang menerangi kegelapan malam. Begitulah hendaknya akhir kehidupan kita, bahwa ketika kita meninggalkan kehidupan dunia dan menuju kehidupan lain, jadilah kita bintang yang menunjuki orang yang hidup setelah kita atau menjadi rembulan yang menerangi makhluk di tengah kegelapan malam. Lihatlah para ulama kita, bahwa setelah kematian mereka, betapa banyak orang yang menerima petunjuk atau cahaya karya mereka. Lihatlah imam syafi’I, imam Ahmad bin Hambal dan sebagainya, mereka meninggalkan cahaya terang bagi generasi yang hidup setelah mereka. Jadilah kita seperti mereka, yang meninggalkan cahaya petunjuk bagai orang lain setelah kita tiada. Atau setidaknya, jadilah nama kita seperti kita bintang tau rembulan setelah kita meninggal. Jadikan nama kita setingga bintang dan rembulan yang dihormati dan dimuliakan orang yang masih hidup, bukan nama yang jelek, cacat dan akan menjadi makian dan cemoohan mansuia lain.
empat, penggunaan kata tarkabunna yang secara herfiyah berarti naik. Adalah isyarat Allah kepada manusia agar selalu beranjak naik dalam setiap fase kehidupan yang dilalui. Dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pintar, dari pemalas menjadi rajin, dari sedikit menjadi banyak dan seterusnya. Begitu juga kematian yang akan datang hendaknya menjadikan kita naik dari manusia yang belum sempurna menjadi sempurna. Bukankah salah satu tujuan kematian didatangkan kepada manusia untuk menjadikan manusia makhluk yang sempurna?
Begitu juga bahwa kemajuan yang kita capai haruslah dilakukan selalu dan terus menerus, begitulah maksud Allah menggunakan kata kerja Tarkabunna yang berbentuk mudhari’ (masa sekarang dan akan datang serta terus menerus). Selalulah bergerak maju dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hendaklah setiap amal dan kebjikan yang dilakukan selalu meningkat dan mengalami kemajuan waktu demi waktu. Dan kata tarkabunna yang berarti naik juga memberikan isyarat kepada kita, bahwa bukanlah Allah yang menaikan derajat dan kedudukan seseorang, namun manusia itu sendirilah yang akan menaikan dan mengangkat derajatnya sendiri. Bukan Allah yang menempatkannya di sorga yang paling tonggi, namun mereka sendirilah yang menempatkan dirinya di dalam sorga yang paling tinggi. Begitu juga, bukan Allah yang menempatkan seseorang di dalam nereka Jahannam, namun dia sendiri yang memilih kedudukan yang rendah dan hina tersebut.
Semoga menjadi renungkan kita, amin.

Mencontoh Akhlak Allah

Mencontoh Akhlak Allah

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw. bersabda;
تخلقوا بأخلاق الله
Artinya: “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.
Dalam bahasa lain bisa diartikan, “contohlah dan teladanilah sifat-sifat Allah”. Di dalam al-Qur’an, setidaknya Allah swt memperkenalkan 99 akhlak atau sifat-Nya, yang disebut dengan istilah al-Asma’ al-Husna. Nama, sifat, atau akhlak yang diperkenalkan Allah swt, di dalam al-Qur’an tersebut tentu bukan hanya untuk tujuan dibaca, dihafal atau didendangkan. Akan tetapi, lebih jauh dari itu bagaimana semua sifat dan akhlak yng telah diperkenalkan Allah kepada manusia, dicontoh dan diteladani dalam kapasitasnya sebagai makhluk.
Salah satu ayat yang membicarakan tentang akhlak dan sifat Allah swt, adalah surat al-Hasyar [59]: 23
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Dalam ayat di atas, Allah swt memperkenalkan delapan akhlak atau sifat-Nya yang mesti dicontoh dan diteladani oleh makhluk-Nya. Sifat pertama yang diperkenalkan Allah swt, bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai al-Malik yang secara harfiyah berarti Raja atau Pemilik. Setidaknya ada dua hal yang menjadi ciri al-Malik atau Raja. Pertama, bahwa raja adalah yang memberikan perintah atau larangan, menetapkan sesuatu atau mencabut sesuatu. Kedua, raja adalah tempat mengadu bagi semua orang. Begitulah Allah swt sebagi Raja. Bahwa Diri-Nya adalah Dzat Yang memerintah, melarang, menetapkan sesuatu serta mencabut sesuatu dari Makhluk-Nya. Allah memiliki kekuasaan yang mutlak. Begitu juga Allah swt adalah tempat bermuaranya semua pengaduan Makhluk. Dan semua yang datang mengadu kepada-Nya secara pasti akan diberikan jalan keluar dari masalahnya.
Begitulah yang mesti kita contoh dari sifat Allah, bahwa setiap kita juga harus menjadi al-Malik atau raja. Raja bagi dunia, bagi bangsa, bagi masyarakat, bagi keluarga atau setidaknya menjadi raja bagi diri kita sendiri. Menjadi raja dalam diri kita berarti kitalah yang memerintah, melarang, menetapkan atau mencabut sesuatu dari diri kita. Diri kita tidak diperintah oleh hawa nafsu, keinginan-keinginan yang rendah, iblis ataupun syitan.
Begitu juga, bahwa kita juga harus menjadikan diri kita tempat meminta dan mengadu bagi orang lain, disebabkan apa yang kita miliki, seperti harta, ilmu, keahlian dan sebagainya. Tidak salah memang kalau manusia meminta kepada orang lain. Akan tetapi, yang terbaik adalah menjadi tempat meminta seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, begitulah sifat raja atau al-malik.
Kedua, Allah swt. Menyebut diri-Nya sebagai raja yang al-Quddus. al-Quddus secara harfiyah berati suci. Allah sebagai Raja adalah raja yang suci, jauh dari aib, cacat, hal-hal yang kotor, kekejian dan sebagainya. Betapa banyak manusia, yang jikalau menjadi raja adalah raja yang kotor dan keji, seperti disebutkan dalam surat An-Naml [27]: 34
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Artinya: “Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka merusak dan membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.

Secara kebahasaan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan sesuatu itu quddus (suci). Pertama, kebenaran, kedua, keindahan, dan ketiga kebaikan. Allah sebagai Raja, jika memerintahkan sesuatu kepada makhluk-Nya pastilah perintah Allah itu selalu benar, indah dan kebaikan bagi makhluk tersebut. Jika Allah menetapkan dan memutuskan sesuatu untuk hamba-Nya, pastilah ketetapan dan keputusan Allah itu benar, indah dan berguna atau mengandung kebaikan. Begitulah quddus-Nya Allah.
Inilah sifat yang juga mesti kita ikuti sebagai makhluk, bahwa apapun yang akan kita katakan ataupun yang akan dilakukan mestilah memiliki sifat quddus, bahwa sesuatu itu harus benar, indah dan mengandung kebaikan. Oleh karena itu, jika kita hendak mengatakan sesuatu fikirkanlah apakah sudah benar yang dikatakan itu, atau apakah sudah indah cara kita menyampaikannya, atau seberapa besar manfaat dan kebaikan dari apa dikatakan itu. Begitu juga, jika kita hendak memperbuat sesuatu, maka fikirkanlah apakah perbutan itu sudah benar, sudah indah dan berguna baik bagi diri kita maupun bagi orang lain. Alangkah indahnya kehidupan manusia, jika semua orang selalu mencontoh sifat quddusnya Tuhan dalam setiap perkataan maupun perbuatan mereka. Tidak akan ada pertentangan, permusuhan, percekcokan, perkelahian apalagi pembunuhan jika manusia mencontoh sifat Quddus yang diperkenalkan Allah kepada Makhluk-Nya.
Ketiga, Allah swt. Memperkenalkan dirinya sebagai as-Salam yang secara harfiyah berati selamat, jauh dari cacat, aib dan kekurangan. Begitulah Allah, bahwa apapun yang didatangkan Allah kepada Makhluk-Nya pastilah berupa keselamatan. Andaikata itu berupa musibah, tetap saja itu merupakan kebaikan dan keselamatan. Sesuatu dipandang musibah hanyalah dikarenakan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia dalam memahami Allah yang Maha Besar. Sebab, betapa banyaknya hal-hal yang datang kepada manusia menjadikan manusia menangis dan meratap di kala itu, namun setelah waktu berlalu barulah dia menyadari bahwa yang dulu ditangisi adalah kabaikan yang sekarang justru membuat dia menjadi tertawa.
Begitu juga Allah adalah Dzat yang jauh dari aib, cacat dan kekurangan. Dalam diri Tuhan tidak ada sifat, kikir, marah, dendam, malas dan sebagainya. Sebab, itu semua adalah aib dan kekuarangan. Dalam surat ar-Rahman [55]: 29, Allah swt berfirman
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.

Begitulah Allah swt sebagai Dzat yang selalu punya kesibukan dan tidak pernah mengenal waktu kosong dan luang. Sebagai salah satu bentuk sifat as-Salam, jauh dari aib dan cacat serta kekurangan. Kita mencontoh as-salam Tuhan, bahwa kita berupaya sekuat tenaga membuang segala sifat-sifat negatif dalam diri kita, seperti sifat kikir, marah, dendam, pemalas dan sebagainya.
Keempat, Allah swt, memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Mu’min yang berarti pemberi rasa aman. Allah bukan hanya selamat diri-Nya dari segala aiab dan kekuarangan, tetapi lebih jauh Allah adalah pemberi rasa aman bagai semua makhluk-Nya. Begitulah yang ditegaskan-Nya dalam surat al-Quraisy [106]: 4
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Artinya: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Begitulah sifat Allah yang semestinya kita contoh, bagaimana kita menjadi makhluk yang mampu memberikan rasa aman kepada siapapun. Seorang yang mukmin tidak hanya sekedar amanah dan bisa dipercaya, tetapi lebih jauh mampu menjamin keamanan kepada siapapun yang meminta rasa aman. Seorang pegawai yang mukmin adalah pegawai yang tidak hanya bisa jujur dalam bekerja ketika diawasi, tetapi dia juga bisa bekerja dengan penuh kejujuran sekalipun tanpa pengawasan. Sebab, dia selalu yakin kalau Allah selalu menyertainya dalam setiap apapun yang dilakukan.
Kelima, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Muhaimin yang berarti Pengawas dan Pemelihara. Allah bukan hanya pemberi keselamatan dan rasa aman, tetapi Allah juga mengawasi dan memelihara makhluk-Nya. Oleh karena itulah, di alam ini dikenal istilah sunnatullah dan inayatullah. Jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, maka sunnatullahnya semua penumpang mati. Akan tetapi, jika ada penumpang yang selamat bahkan tidak terluka sedikitpun, maka ketika itu dia mendapat inayatullah atau pertolongan Allah melalui pengawasan dan pemeliharaannya. Bukankah Allah mengatakan, Bahwa tidak ada satupun jiwa kecuali telah disediakan untuknya malaikat yang akan menjaga dan memeliharanya. Lihat surat at-Thariq [86]: 4
إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
Artinya: “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.

Begitulah sifat Allah yang mesti kita contoh, kita tidak hanya mampu memberikan rasa aman, tetapi juga bisa mengawasi dan menjaga apa yang diamanahkan kepada kita. Jika seseorang tidak membuang sampah di sembarang tempat atau dia bersedia memungut sampah di tempat umum, maka dia berhak disebut mukmin. Akan tetapi, jika ada orang lain yang membuang sampah di tempat umum di hadapan matanya dan dia membiarkan saja, maka ketika itu dia tidaklah bisa disebut muhaimin. Sebab dia tidak bisa menjadi pengawas atau pemelihara agar sampah tidak bertebaran di tempat umum. Begitulah bentuk muhaimin yang semestinya kita contoh dari Allah.
Keenam, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Aziz yang Maha Perkasa dalam artian bahwa Allah adalah Dzat yang tidak pernah bisa dikalahkan. Allah swt, tidak akan pernah dikalahkan oleh siapun dan sampai kapanpun. Begitulah sefat yang juga semestinya kita miliki dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang sudah ditakdirkan sebagai kehidupan yang penuh kompetisi dan persaingan. Bagaimana kita dalam persaingan hidup berupaya untuk tidak pernah dikalahkan oleh siapaun, sekalipun dalam setiap persaingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Namun, sebagai makhluk yang mencontoh al-aziz nya Allah, berupayalah menjadi makhluk yang tidak pernah dikalahkan oleh siapapun dan kapanpun.
Ketujuh, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Jabbar yang berarti maha Berkuasa. Al-Jabbar secara harfiyah berarti Yang Kuat dan Memaksa, sehingga kata ini kemudian diartikan sebagai Dzat yang mampu mengalahkan siapapun. Allah bukan hanya tidak terkalahkan, namun juga mampu mengalahkan siapapun. Begitulah sifat yang semestinya kita ikuti sebagai makhluk, bahwa kita bukan hanya makhluk yang tidak terkalahkan, namun mampu mengalahkan siapun yang menjadi pesaing kita. Seseorang yang memiliki sifat al-Jabbar dalam kapasitasnya sebagi makhluk, tidak akan pernah kembali membawa kekalahan. Dia harus pulang dengan membawa kemenangan yang gemilang.
Setelah menyebutkan tujuh sifat yang penuh kemuliaan, Allah menutup sifat-Nya dalam ayat di atas dengan menyebut diri-Nya sebagai al-Mutakabbir yaitu Dzat yang Maha Besar dan Agung. Hal itu berarti, jika semua hal yang disebutkan telah dimiliki seseorang; mampu menjadi raja, suci, selamat, memberi rasa aman, menjaga dan mengawasi, tidak pernah terkalahkan, mampu mengalahkan siapapun, pastilah seseorang akan menjadi orang besar (al-Mutakabbir) dan pastilah semua orang akan mengagumi dan mnghormatinya. Begitulah kenapa ayat ini diakhiri dengan ungkapan ta’ajjub (kagum) kepada Allah dengan ungkapan Subhanallah/ Maha Suci Allh.
Semoga bermanfaat.

Khutbah ‘Îd al-Adhha

Khutbah ‘Îd al-Adhha

‘Îd al-Adhha juga disebut dengan nama hari raya Qurban. ‘Adhha secara harfiyah berarti menyembelih hewan tertentu. Sementara qurban berarti pendekatan yang sempurna kepada Allah. Makna sempurna dipahami dari bentuk kata qurban قربان) ) yang merupakan bentuk kata benda (mashdar) kata qaraba yang berarti dekat. Kata ini satu pola dengan kata Qur’an (قرآن ) yang berarti bacaan yang paling sempurna, berasal dari kata qara’ a (membaca). Sehingga, ‘Id al-Adhha yang padanya ada ibadah haji dan qurban pada hakikatnya adalah sarana bagi setiap muslim untuk mencapai kedekatan yang paling sempurna kepada Allah.
Pada prinsipnya, semua ibadah yang dilakukan manusia, apapun bentuknya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, belum dinamai Qurban (pendekatan yang sempurna). Pendekatan kepada Allah swt. barulah sampai ke tingkat yang paling sempurna (Qurban), jika sudah melaksanakan ritual tertentu pada hari raya al-Adhha yang salah satu bentuknya menyembelih hewan tertentu seperti kambing, sapi dan unta.
Oleh karena itulah, ‘id al-Adhha merupakan hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “sesungguhnya kamu Ibrahim telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Hajj [22]: 37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Posisi muhsinîn agaknya lebih sempurna dari posisi muttaqîn. Sebab, muttaqîn berarti kemampuan seseorang untuk memelihara diri agar selalu mengerjakan perintah Allah swt dan tidak melakukan larangan-Nya, sehingga dia terpelihara dari bencana, amarah, murka, dan siksa Allah swt. Sementara muhsinîn bukan hanya kemampuan seseorang untuk melakukan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, namun juga kemampuan dan kemauan serta kerelaan seseorang mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya untuk ketaatannya kepada Allah swt. Itulah kiranya, kenapa hewan yang dikorbankan tidak boleh ada cacat pada tubuhnya, dan harus hewan yang sehat, gemuk yang menunjukan bahwa ia adalah yang terbaik yang harus diberikan untuk Allah swt.
Kalau kita berbicara ibadah qurban, maka ritual tersebut sudah sangat tua dan lama sekali, bahkan sama masanya dengan kemunculan manusia di pentas bumi ini. Dalam surta al-ma’idah [5]: 27 Allah swt berfirman
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Itulah awal mulanya ibadah qurban, yang dimulai dari pengorbanan dua anak Adam as. Habil dan Qabil. Allah swt menerima qurban Habil karena dia memberi miliknya yang terbaik untuk Allah swt dengan penuh keikhlasan. Sementara Allah swt menolak qurban Qabil, karena dia memberikan sesuatu yang buruk dari apa yang dimilikinya, itupun dilakukan dengan perasaan terpaksa dan tanpa keikhlasan.
Kemudian sejarah qurban ini berlanjut dalam setiap genarasi manusia, dan dalam setiap peradaban yang diciptakan manusia. Sehingga, ada sebagain yang menyimpang dari ritual yang diajarkan oleh Allah swt. Berdasarkan catatan sejarah, bahwa sebagian peradaban manusia kemudian menjadikan manusia sebagai qurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa yang diyakini tuhan penguasa manusia. Di Mesir misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa sungai Nil. Sementara di Iraq (Babil), bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa Baal. Suku Astek di Meksiko, mempersembahkan jantung dan darah gadis perawan kepada Dewa Matahari. Di Eropa Utara atau daerah Skandinavia, orang-orang Viking mempersembahkan darah dan tubuh pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin” sebagai qurban. Begitulah bentuk penyimpangan ritual qurban yang dilakukan manusia sepanjang sejarah kehidupan mereka di pentas bumi ini. Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati, bahwa setiap peradaban manusia terlepas dari penyimpangan yang dilakukan, yang pasti mereka memberikan sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan sebagai qurban kepada tuhan mereka.
Kemudian datanglah nabi Ibrahim as. meluruskan penyimpangan terhadap ritual qurban tersebut. Allah swt juga menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya Isma’il as. namun kemudian menggantinya dengan sesembelihan yang besar berupa kibas, karena seorang manusia terlalu mahal harganya untuk dijadikan qurban –sekalipun tidak layak mengatakan ungkapan seperti itu untuk Allah- . Peristiwa tersebut direkam Allah swt dalam firman-Nya surat ash-Shafat [37]: 100-111.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(100)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(101)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(109)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(110)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ(111)
Artinya: “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100), Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101), Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105), Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106), Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107), Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108), (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim (109), Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (110), Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (111).”
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita penyembelihan Isma’il as oleh Ibrahim as di atas. Pertama, betapa Ibrahim sebagai seorang hamba menunjukan kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah swt. Karena semenjak awal kelahirannya, Ibrahim as. telah diberikan begitu banyak ujian oleh Allah swt. Namun, semua ujian itu diselasaikannya dengan sempurna. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman; ”Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia”, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab “janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. mulai dari awal kelahirannya, di mana saat itu raja Namrudz mengeluarkan kebijakan bahwa setiap kelahiran anak-laki laki harus dibunuh. Sehingga Ibrahim as. dilahirkan ibunya ditempat yang jauh dari manusia. Setelah dewasa Ibrahim diperintahkan untuk menyeru ayahnya, kaumnya serta raja Namrudz untuk bertauhid kepada Allah swt dan menyembah-Nya, namun ajakan itu disambut kaumnya dengan membakarnya, bahkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Kemudian setelah menikah, Ibrahim as. harus menunggu waktu yang sangat lama untuk bisa memperoleh keturunan. Diriwayatkan bahwa beliau memperoleh keturunan setelah berumur lebih dari 80 tahun. Setelah isterinya hamil dan saat akan melahirkan, Ibrahim as. disuruh mengantarkan isterinya di tempat yang tidak berpenghuni di padang pasir, sehingga dia tidak sempat melihat dan menyambut kelahiran anak yang sudah lama ditunggunya. Setelah anaknya menganjak dewasa, Allah swt menyuruh mengorbankannya dengan menyembelih anak tersebut.
Hal yang sangat menarik untuk direnungkan dari kisah penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim seperti diceritakan dalam surat ash-Shafat di atas. Di mana Ibrahim berkata kepada anaknya Isma’il “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”. Ibrahim as. tidak berkata “Hai anakku! sesungguhnya aku bermimpi diperintah Allah untuk menyembelihmu”. Hal itu menunjukan bahwa Qurban bukanlah sebuah paksaan dan kewajiban. Qurban adalah ibadah yang menuntut kesadaran dan kerelaan seorang hamba untuk mencapai tingkat tertinggi. Lihatlah panggilan Allah kepada Ibrahim, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya…”. Allah swt. tidak menyeru Ibrahim dengan kalimat, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan perintah-Ku…”. Sehingga, wajarlah kalau ibadah tersebut disebut Qurban (pendekatan paling sempurna). Karena, seorang hamba bersedia memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya dengan kesadaran dan penuh kerelaan, tanpa ada paksaan apalagi ancaman dosa dan sanksi.
Masih banyak lagi bentuk ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. Akan tetapi, semua ujian itu diselesaikan oleh Ibrahim as. dengan sempurna sehingga Allah swt mengangkatnya menjadi imam (pemimpin), dan menjadi orang muhsinîn.
Itulah pelajaran berharga yang bisa diambil dari Ibrahim as, bahwa kesuksesan menjalankan ujian akan membawa manusia menjadi orang yang terhormat, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia. Begitu juga kesediaan memberikan yang terbaik untuk Allah swt akan membuat manusia menjadi kekasih Allah swt. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ….
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Kedua, Ibrahim as. sebagai orang tua meminta pendapat anaknya sebelum melakukan keinginannya, sekalipun itu perintah Tuhan. sebab, seorang anak juga memiliki hak untuk ikut menentukan masa depannya. Hal itu tergambar dari ungkapan nabi Ibrahim as. "…Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.
Begitulah seharusnya orang tua yang bijaksana terhadap anak mereka. Sebab, Anak juga punya hak untuk didengarkan pendapatnya oleh orang tua mereka. Orang tua sekalipun memiliki wewenang penuh terhadapnya, namun dalam memutuskan sesuatu apalagi yang terkait dengan masa depan sang anak, orang tua harus tetap mendengarkan kinginan sang anak. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang tidak bersikap otoriter dan memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.
Ketiga, jawaban Isma’il as. yang begitu mantap sebagai cerminan seorang anak yang shalih. Ketika ayahnya meminta pendapatnya atas pengorbanan dirinya, dengan mantap Isma’il menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Begitulah gambaran seorang anak yang shalih dalam membuktikan bakti, kepatuhan, dan ketaannya kepada orang tuanya demi menunaikan perintah Allah swt. Tentu, semua orang tua mendambakan anak mereka menjadi anak yang shalih dan menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Namun, memperoleh anak yang shalih bukanlah sesuatu yang mudah, karena orang tua harus memulainya sejak dini. Mulai dari memilih jodoh, memberikan makan yang halal lagi baik, dan yang paling penting memberikan pendidikan agama kepada mereka. Tentunya, ini semua adalah tanggung jawab orang tua.
Apalagi dengan melihat kondisi kemajuan zaman dan segala bentuk hasil peradaban yang diciptakan manusia. Jikalau para orang tua tidak hati-hati dan berupaya dengan keras mengarahkan pendidikan anaknya, amat mustahil anak yang shalih bisa diperoleh. Janganlah kita seperti yang pernah diriwayatkan Rasullah saw, bahwa nanti di akhirat ada seorang yang hendak melangkahkan kakinya ke sorga. Sesaat sebelum memasukinya, datang seorang yang berteriak “Ya Rabbi anshifni min hâdza al-zhâlim” (Ya Tuhan cegah dulu langkah orang zalim itu!). Tuhan bertanya “Kenapa engkau panggil dia orang zalim, bukankah dia orang tuamu?”. Jawabnya “Betul, dia adalah orang tua saya, dulu ketika di dunia dia adalah orang shalih dan taat kepada-Mu, sehingga Engkau hadiahkan sorga-Mu untuknya hari ini. Namun, keshalihan dan ketaatan itu hanya untuk dirinya, dia tidak pernah memperhatikan dan menyuruhku menyembah-Mu, sehingga hari ini engkau hadiahkan neraka-Mu untukku. Aku minta keadilan kepada-Mu”. Tuhan pun memberikan keadilan dengan saling menukar posisi mereka. Anak menggantikan ayahnya masuk sorga, dan ayah menggantikan anaknya masuk neraka.
Renungkanlah! Semoga bermanfaat. Amin.

Makna Salam Dalam Konsepsi Al-Qur’an

Makna Salam Dalam Konsepsi Al-Qur’an

Salam secara harfiyah berarti selamat, damai dan sejahtera. Selamat berarti luput dari aib, cacat, kekurangan atau kebinasaan. Oleh karena itulah, jika terjadi kecelakaan, kemudian ada yang luput dari bencana itu maka dia disebut orang yang selamat. Seperti halnya uamt nabi Nuh yang disebut Allah sebagai uamt yang selamat, karena luput dari kehancuran dan kebinasaan banjir bah yang menimpa kaumnya. Seperti disebutkan dalam surat Hud [11]: 48
قِيلَ يَانُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Difirmankan: "Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami."
Keselamatan ada yang berbentuk apsif dan ada yang berbentuk aktif. Jika kita memberikan ucapan selamat kepada teman yang meraih kesuksesan dalam sebuh tugas atau pekerjaan, maka itu berarti dia bukan hanya terlepas dari bahaya, kerugian atau keburukan, namun lebih jauh dia meraih kebajikan berupa keberhasilan.
Keselamatan atau kedamaian adalah tujuan hakiki dari kehidupan setiap muslim. Oleh karena itulah, sorga juga disebut sebagai rumah kedamaian (dar as-salam). Seperti disebutkan dalam surat Yunus [10]: 25
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).”
Begitu juga, Allah swt. menamakan Dzat-Nya dengan al-Salam atau sumber keselamatan. Seperti disebutkan dalam surat al-Hasyar [59]: 23
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Salam merupakan kedamaian yang dirasakan dalam hati seseorang. Lawannya adalah keresahan atau kegundahan hati. Keresahan hati tersebut bentuknya ada dua. Jika keresahan tersebut menyangkut apa yang akan terjadi maka hal itu disebut takut. Sementara, jika keresahan tersebut lahir terhadap apa yang sudah terjadi maka ia disebut sedih. Oleh karena itulah, muncul ungkapan “Dia takut akan kehilangan hartanya atau dia bersedih telah kehilangan hartanya”.
Kepatuhan akan aturan dan perintah Allah akan mendatangkan kedamaian hati pada seseorang. Sementara itu, pelanggaran terhadap aturan dan perintah Allah akan mendatangkan kersehan hati. Itulah sebabnya, kenapa nabi Adam dan hawa diperintahkan keluar dari sorga dengan bibit permusuhan. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 36
… وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ…
Artinya: “…"Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain,…”.

Adam dan Hawa ketika melakukan larang Allah dilanda keresahan jiwa. Keresahan itu adalah rasa takut akan mendapatkan hukuman Allah, serta sedih karena telah kehilangan nikmat sorga.
Kondisi jiwa seperti ini membuat mereka tidak harmonis, sehingga lahir sikap saling menyalahkan. Akibat dari sikap saling menyalahkan, timbullah permusuhan. Sementara itu, keresahan, ketidakharomisan serta permusuhan tidak boleh ada di dalam sorga. Karena sorga adalah rumah kedamaian (dar as-salam). Seperti disebutkan dalam ayat di atas.
Begitu juga ketidakharmonisan tidak boleh ada di dalam sorga karena sorga adalah tempat yang tidak pernah ada kecekcokan di dalamnya, seperti disebutkan dalam surat surat Yunus [10]: 10. Di dalam sorga juga tidak boleh ada permusuhan, sebab rasa permusuahn juga dicabut dari penghuninya, seperti disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 43.
Oleh sebab itu pula, dalam riwayat disebutkan bahwa nabi Adam as. dan Hawa dibuang ke bumi dalam keadaan terpisah dalam waktu yang cukup lama, demi menghapus rasa ketidakharmonisan. Begitu pula, sebabnya generasi manusia yang pertama langsung melakukan pembunuhan, sebagai wujud dari cikal-bakal ketidakharmonisan dan permsuhan tersebut.
Untuk memperoleh kedamaian dan menghilangkan keresahan jiwa tersebut berupa ketakutan dan kecemasan hendaklah manusia mengikuti petunjuk dan tuntunan Tuhan. Itulah sebabnya, kenapa nabi Adam dan Hawa diperintahkan untuk mengikuti pentujuk Tuhan ketika sampai di bumi, agar rasa takut dan cemas hilang dari mereka. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 38
…. فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: “….Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada ketakutan atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
Itulah sebabnya, kenapa nabi Nuh dan umatnya seperti diceritakan dalam surat Hud ayat 48 di atas, diperintahkan mendarat dan turun dengan kedamaian (salam). Karena, mereka adalah kelompok yang mengikuti petunjuk dan tuntunan Tuhan. Berbeda dengan kelompok yang lain yang dihancurkan dan dibinasakan karena enggan dan tidak mau mengikuti petunjuk Tuhan.
Ada hal yang sangat menarik untuk kita cermati, bahwa agama kita dinamakan Islam dan pengikutnya disebut muslim. Kata Islam berasal kata salam yang ditambah satu huruf menjadi aslama (mazid bi harfin), yang dalam kaidah bahasa Arab Arab berarti aktif. Ia bukan hanya selamat dan damai, namun lebih jauh mendatangkan keselamatan dan membawa kedamian. Begitulah seharusnya seorang yang disebut muslim, hendaklah dia menyelamatkan orang lain serta membawa kedamaian pada siapupun dan di manapun. Semoga menjadi renungan!