Ghazwul Fikri wal Hadahari
Ghazwul Fikri wal Hadahari artinya adalah perang pemikiran dan peradaban. Sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan Barat khususnya umat Kristen dalam upaya merusak gaya berfikir dan budaya umat Islam. Barat menyadari bahwa merusak umat Islam dengan kekuatan senjata dan ekspansi bukanlah cara yang efektif. Mereka kemudian menemukan cara perang yang dianggap paling efektif untuk menghancurkan umat Islam, yaitu dengan merusak pemikiran dan budaya mereka. Bagi mereka, tidak perlu umat Islam pindah agama, tetapi cukup mengikuti gaya hidup mereka; pergaulan, gaya pakaian, gaya hidup, gaya bicara dst. Hal ini sesuai dengan yang digambarkan dalam surat al-Baqarah [2]: 120
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ…
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…
Salah satu contoh Negara yang berhasil takluk terhadap serangan perang pemikiran dan peradaban ini adalah Turki di bawah pimpinan Mushtafa Kemal at-Taturk. Turki di samping menghapus system kekhalifahan dari dunia Islam, juga telah menghilangkan bahasa Arab dari kehidupan masyarakat Turki, bahkan muncul keinginan untuk merobah beberapa bentuk ibadah yang tentunya berbahasa Arab menjadi berbahasa Turki seperti Azdan dan Shalat.
Segela yang berbau Arab atas pertimbangan nasionalisme dibuang dari peradaban Turki. Tidak cukup sampai di situ, Turki kemudian juga merobah negaranya dari Negara Islam menjadi Sekuler, bahwa urusan agama dianggap persolan individu dan Negara tidak boleh mencampuri apalagi mengurusunya. Bahkan, para wanitapun dilarang memakai Jilbab. Tidak akan dibenarkan seorang menjadi pejabat Negara di Turki, jika isterinya tidak mau melepaskan Jilbab.
Di Indonesia, Barat berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyebarkan ide-ide, pemikiran baru dengan dalih pembaharuan dan kebebasan berfikir. Untuk menyebarkan ide-ide mereka, Barat merekrut para cenkiawan muslim sendiri yang sudah mereka didik selama bertahun-tahun di berbagai Negara Barat memalui bermacam-macam program beasiswa.
Sebagai buah dari usaha mereka, maka bermunculanlah di tengah komunitas Muslim Indonesia berbagai macam gerakan pemikiran, seperti munculnya gerakan yang disebut Jaringan Islam Lebiral (JIL). Komunitas ini sangat gencar melontarkan ides-ide “pembaharuan” yang sulit di terima di tengah masyarkat Islam Indonesia. Di antaranya;
Mereka mengatakan bahwa jilbab bukanlah ajaran Islam, tetapi produk Budaya. Berbagai macam argumentasi mereka kemukakan yang lebih banyak menggunakan analisis atau kekuatan logika dan akal. Kalaupun mereka mengutip ayat al-Qur’an, mereka kemudian menafsirkannya sesuai selera dan keinginan mereka.
Jika kita mau membantah pemahaman mereka, maka dengan mudah kita akan menemukan dalil naqlinya. Coba lihat surat al-Ahzab [33]: 59
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ…
Artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"…
Begitu juga surat an-Nur [24]: 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ…
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,…
Apakah kedua ayat di atas kurang jelas maksudnya? Masih perlukah logika untuk memahaminya? Masih perlukah takwil atau konteks social budaya dalam memhami ayat di atas? Hanya hati yang cendrung kepada kesesatanlah yang selalu mencari takwil, makna lain, penalaran akal, aspek sisio-kultural untuk memahami kedua ayat di atas.
Isu lain yang dilontarkan adalah bolehnya kawin beda agama dengan dalih bahwa kaum Kristiani dan sebagainya itu adalah ahlul kitab. Jika kita ingin membantah alasan mereka, agaknya cukup kita kemukan surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ…
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu….
Masih kurang tegaskah kata-kata ayat di atas? Masih perlukah kita mendefinisikan kata musyrik dan mukmin? Masih layakkah umat yang tidak membenarkan dan menerima kerasualan nabi Muhammad saw disebut ahlul kitab? Tidakkah mereka mengetahui pengertian dan batasan ahlul kitab? Sedangkal itukah pemahaman mereka tentang ahlul kitab? Maka hati yang bersih dari penyakitlah yang bisa menerima kejelasan ayat di atas.
Selanjutnya mereka melontarkan ide Sekulersime atau pemisahan agama dengan Negara. Mereka berpendapat bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan Negara, karena keduanya adalah hal yang tidak bisa disatukan.
Tentu orang yang tidak mengerti atau “pura-pura” tidak mengerti sejarahlah yang akan berkata demikian. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi saw ketika Hijrah ke Madinah. Bahwa hal pertama yang dilakukan beliau di samping membangun masjid adalah membentuk Negara Madinah yang berdaulat. Perjanjian damaipun diadakan dengan komuniatas Yahudi dan suku-suku lain sebagai bentuk pengakuan terhadap kedaulatan Negara Madinah. Bukankah Rasulullah di Madinah tidak hanya sebagai Nabi, tetapi juga sebagai kepala Negara. Rasulullah saw sadar bahwa aktifitas agama dan kegiatan dakwah tidak akan bisa berjalan dengan baik, jika tidak didukung kekuatan secara politis. Apakah yang dicontohkan Rasulullah saw di Madinah bentuk sekularsime? Apakah hal itu menunjukan bahwa Rasulullah saw memisahkan urusan agama dan Negara? Tentu hati yang bersih dan cerdaslah yang bisa melihat realitas sejarah dengan objektif.
Kaum liberal juga mengemukakan ide kesamaan semua agama. Mereka mengatakan bahwa semua agama adalah benar dan sama-sama menuju Tuhan.
Pendapat ini jelas keliru, karena jika semua agama benar maka untuk apa diutus Allah para nabi? Kalau semua agama mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya jelas kita sepakat. Akan tetapi, bukankah ada aturan syari’at sebagai bentuk ubudiyah (penyembahan) kepada Tuhan yang mesti dilaksanakan oleh manusia sebagai bagian yang inti dari agama? Aturan syari’at tersebut diajarkan Allah melalui para nabi dan rasul yang pernah di utus-Nya. Bagaimana mungkin kita bisa menyamakan ajaran yang diajarkan oleh Allah melalui utusan-Nya dengan ajaran yang merupakan hasil akal dan budaya manusia semata. Oleh karena itulah para ulama membagi tauhid ke dalam dua bentuk: tauhid rububiyah dan uluhiyah.
Tauhid rububiyah berarti manusia mengesakan Tuhan dalam kapasitas-Nya sebagai Pencipta, Penguasa dan Pengatur Yang Tunggal. Sementara tauhid uluhiyah berarti manusia mengesakan penyembahan dan peribadatan kepada Tuhan, dan ini harus sesuai dengan yang di ajarkan Allah melalui utusan-Nya. Andaikata umat non muslim bertauhid secara Rububiyah, apakah mereka bertauhid secara uluhiyah? Tentu saja jawabannya tidak, sebab jika saja mereka beribadah dengan cara yang sama dengan kita, maka tentu mereka tidak akan disebut non Muslim. Oleh karena itu, benarkah anggapan bahwa semua agama benar?
Berikutnya, kaum liberal melontarkan pemikiran tentang besarnya peran akal. Di mana akal tanpa wahyu bisa menemukan Tuhan dan kebenaran. Oleh karena itu, wahyu bukanlah sesuatu yang menentukan dalam perjalanan keagamaan manusia, namun hanya berfiat konfirmatif dari apa yang sudah dicapai dan diperoleh oleh akal mansuia.
Kelompok Liberal agaknya luput memahami surat al-Maidah [5]; 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Mengapa Allah swt mengatakan pada ayat di atas, bahwa tidak sama antara yang buruk dengan yang baik. Bukankah tanpa dikatakan Tuhan pun manusia dengan akalnya mampu mengetahui bahwa yang buruk dan baik itu tidak pernah sama?
Allah swt ingin menegaskan kepada manusia bahwa sekalipun manusia mampu dengan akalnya mengetahui yang baik dan buruk dan membedakan keduanya, akan tetapi Allah swt ingin agar untuk mengukur baik dan buruk sesuatu bukanlah akal semata. Sebab, akal manusia tidak konsisten dalam menentukan ukuran buruk dan baiknya sesuatu. Baik dan buruk menurut akal manusia bisa berobah sesuai perubahan waktu, perbedaan tempat, dan sesuai kebiasaan. Berbeda dengan al-Qur’an yang tidak pernah berubah dalam memberikan ukuran tentang baik dan buruknya sesuatu. Bukankah sampah yang busuk, menjijikan, tidak akan dirasakan busuk dan menjijikan bagi pemungut sampah karena sudah setiap hari hidup dengan sampah? Bukankah wc umum dirasakan busuk ketika pertama membuka pintunya, namun akan terasa menyenangkan jika seseorang sudah berada di dalamnya? Bukankah itu membuktikan bahwa akal tidak tetap menentukan ukuran baik dan buruk?
Agaknya itulah rahasianya kenapa di akhir ayat tersebut Allah menegaskan “…sekalipun banyaknya yang buruk itu mencengangkanmu…”. Sesuatu yang haram akan tetap haram sekalipun telah dilakukan semua orang. Sebab, seringkali manusia membenarkan sesuatu sekalipun sudah jelas kesalahannya dengan berdalih kepada banyaknya orang telah melakukannya. Banyaknya orang melakukan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa sesuatu itu adalah baik, jika al-Qur’an telah mengatakan itu buruk.
Ide lain yang dikemukakan oleh kelompok Islam Liberal adalah kritikan terhadap beberapa bentuk ajaran Islam yang sudah terakomulasi dalam pembahasan para ulama fiqih masa lalu, terutama masalah hudud (hukum criminal). Sebagian dari ajaran Islam dianggap tidak adil dan tidak manusiawi, seperti hukum dera dan rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pelaku pembunuhan atau penganiayaan terhadap orang lain.
Adalah hal yang mesti dipahami dari bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku tindak criminal tersebut bahwa ketetapannya adalah berdasarkan wahyu Allah di dalam al-Qur’an. Tentang hukuman dera bagi pezina Allah tetapkan dalam surat an-Nur [24]: 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Sementara hukumana potong tangan bagi pencuri Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah [5]: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sedangkan hukum Qishash bagi pelaku pembunuhan dan penganiayaan disebutkan dalam banayak ayat, di anataranya surat al-Baqarah [2]: 178
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita…
Selanjutnya surat al_maidah [5]: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Apakah semua ayat di atas maksudnya masih samar dan tidak jelas maknanya, sehingga perlu interpretasi dan penakwilan kepada makna lain? Layakkah kita mengatakan ketetapan Allah itu adalah hal yang tidak manusiawi? Hanya hati yang berkaratlah yang berani berkata demikian. Justru jika kita mau melihatnya dengan jujur, andai hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut diikuti dan dijalankan dipastikan kehidupan manusia akan berjalan baik dan seimbang. Akan tetapi, jika manusia berpaling dari hukum Allah, maka dipastikan manusia akan hidup dalam kekacauan dan ketakakutan. Bukankah tujuan Allah menetapkan hukum qishash agar terjaminnya hak hidup orang lain? Lihatlah surat al-Baqarah [2]: 179.
Tidak cukup sampai di situ, Perang pemikiran yang dilakukan kelompok Barat terhadap umat Islam juga berupaya meracuni sejarah umat Islam dengan berlindung di balik “kedok” ilmiah. Seperti, dijadikannya kajian utama dalam sejarah Islam beberapa peperangan yang pernah dilakukan para sahabat; yaitu perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, Perang Jamal antara Aisyah dan Thalhah dengan Ali bin Ali Thalib, Para pemberontak Abdullah bin Zubair yang selalu berperang dengan tentara Yazid bin Muawiyah, kesadisan al-Hajjaj, Sahabat yang memenggal kepala Husein bin Ali bin Abi Thalib dst.
Benarkah para sahabat yang mulia dan telah dididik dengan tangan Rasulullah saw. sendiri sebegitu ambisi, angkuh, rakus, dan haus darah? Gagalkah Rasulullah saw. mendidik para sahabatnya, sehingga mereka harus saling membunuh setelah beliau wafat? Andaikata inipun benar, lalu kenapa harus bagian ini yang harus ditonjolkan dalam kajian sejarah Islam? Terlalu sedikitkah kehebatan sejarah umat Islam untuk diuraikan, sehingga porsi sejarah harus lebih banyak soal politik dan perpecahannya. Bukankah ini membuktikan kebencian Barat terhadap Islam, dan upaya terselubung untuk menjelekan agama Islam. Namun, tidak banyak umat Islam yang menyadarinya, bahkan sebagain besar dari merekapun ikut menyebarkan pendapat yang keliru tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
memang perlu waspada dari Ghazwul Fikr ini, gak main main dampaknya... Banyak manusia yang terjebak dengan asas Nasionalisme, padahal hal iu hanya membuat umat Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara, miris...
Posting Komentar