Pengorbanan
Umat Islam di berbagai penjuru dunia, baru saja usai merayakan hari raya terbesar dalam ajaran agamanya, yaitu ’id al-adhha atau yang juga disebut hari raya qurban. Adalah beberapa hal yang menarik untuk di analisa melalui pertanyan berikut. Kenapa hari raya tersebut disebut adhha? Kenapa disebut juga dengan hari raya qurban? Dan apa hakikat dan tujuan qurban itu? Itulah di antara pertanyaan yang akan kita coba jelaskan dalam tulisan ini.
Kata adhha berasal darai kata dhaha yang secara harfiyah berarti lembut. Oleh karena itulah ada waktu yang disebut dhuha yang padanya adalah ibadah shalat yang disebut shalat dhuha. Dhuha disebut demikian karena pada waktu itu cahaya matahari dirasakan sangat lembut, karena matahari baru saja naik sedikit dari ufuq. Jika cahayanya sudah terik dan menyengat, maka tidak lagi disebut dhuha namun disebut zuhur. Hari raya ’id al-adhha disebut demikian karena pada hari itu semua orang harusnya berada dalam kelembutan hati.
Ibadah qurban juga disebut adhha dan hewan qurban disebut udhhiyah karena sesungguhnya qurban adalah ibadah yang harusnya lahir dari kelembutan hati. Qurban tidak lahir dari paksaan, ancaman, intimidasi dan seterusnya. Sebab, qurban sendiri berasal dari kata qaraba yang secara harfiyah berarti kedekatan yang sempurna. Makanya, tidak banyak manusia yang bisa berkorban, karena ibadah ini memang lahir dari suasana hati yang penuh kelembutan dan dari hati- hati manusia yang penuh sensitifitas.
Marilah kita lihat betapa ibadah qurban lahir dari hati manusia yang lembut dan santun, dengan berkaca pada Ibrahim as. Sebab, ibadah qurban biasanya selalu diidentikan dengan apa yang pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim as dan keluarganya. Lihatlah surat al-Taubah [9]: 114
إن إبراهيم لأواه حليم
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat Lembut hatinya lagi Penyantun.
Begitu juga surat Hud [11]: 75
إن إبراهيم لحليم أواه منيب
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah.
Nabi Ibrahim digambarkan dalam ayat di atas sebagai sosok manusia awwahun halim (lembut hati dan penyantun). Kata awwah secara harfiyah berasal dari awh atau ”aoh” dalam ungkapan masyarakat kita yang merupakan ungkapan simpati dan peduli. Jika kita melihat kejadian yang memilukan dan menggugah hati dan perasaan, maka hati orang yang lembut akan bertiak ”aoh”. Tapi yang hati orang yang tidak terketuk dia akan ”cuek” dan berlalu tanpa ada sedikitpun rasa di hatinya. Begitulah Ibrahim, sosok yang memiliki hati lembut, jiwa yang sensitif.
Sedangkan halim berarti secara harfiyah diartikan santun. Kata ini berasal dari kata halama yang pada prinsipnya tidak hanya melibatkan anggota tapi juga melibatkan hati dan jiwa yang terdalam. Karena itu, mimpi juga disebut hilmun karena mimpi pada hakikatnya adalah kerja hati dan jiwa. Maka hilmun adalah sikap santun yang lahir dari hati manusia yang terdalam, ia sangat tulus dan murni. Bukankah tidak sedikit manusia yang bisa santun, namun kesantunan tersebut lahir karena ada kepentingan dan keinginan dan tidak lahir dari hati dan perasaan yang tulus. Jika kita pergi bank atau pusat pertokoan dan perbelanjaan, maka dipastikan kita akan menemukan kesantunan para pegawai dan pelayan, namun belum tentu kesantunan itu disebut hilmun jika ia lahir dan keluar karena kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, ketika Ibrahim meminta kepada Allah untuk diberikan anak yang shalih, Allah tidak memberikan anak yang shalih seperti yang dimintanya, tetapi diberikan anak yang halim (penyantun). Lihatlah surat ash-Shafat [37]: 100-101
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
Kenapa Allah memberikan Ibrahim anak yang halim (penyantun) bukannya anak yang shlaih seperti permintaannya? Karena halim (penyantun) adalah lebih baik dari shalih. Orang yang shalih (baik) belum tentu halim, tetapi anak yang halim pasti shalih. Karena halim adalah sikap baik yang lahir dari hati, perasaan dan jiwa manusia yang terdalam. Jika ada seorang yang yang menolong orang lain, maka berarti dia telah berbuat shalih, tetapi belum tentu halim jika tolong tersebut lahir karena maksud dan tujuan tertentu.
Ibrahim as. adalah manusia yang sangat lembut hatinya dan sikapnya yang sangat penyantun. Ibadah korban dikaitkan dengannya karena korban haruslah lahir dari kelembutan hati dan kesantunan jiwa. Oleh karena itulah Ibrahim as. Menurut sebagian ulama disebut Ibrahim yang berasal dari kata ab dan rahim yang berarti “bapak penyantun”.
Kata qurban ini kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia menjadi korban. Sehingga ada istilah yang sering dan populer diucapkan masyarakat Indonesia ”pengorbanan”. Korban atau pengorbanan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai bentuk kerelaan seseorang untuk mengenyampingkan keinginannya dan kepentingannya, serta mendahulukan kepentingan dan keinginan orang lain. Memang berat dan butuh kelembutan hati serta kesantunan jiwa, sebab memang tidak banyak manusia di dunia ini yang mau mengalah dan mengeyampingkan kepentingannya demi kepentingan orang lain. Semua manusia tentu ingin kepentingan dan keinginananya lebih dahulu dari kepentingan dan keinginan orang lain. Manusia memiliki sikap egoisme, selalu mau menang sendiri dan berada di bagian terdepan. Pengorbanan menuntut manusia membunuh egisme tersebut. Lihatlah Ibrahim as ketika dia punya kepentingan pribadi, yaitu membesarkan dan melihat anakanya tumbuh dewasa hingga dia wafat, namun keinginannya itu harus dia korbankan demi keinginan Allah yang meminta anak tersebut disembelih. Ibrahimpun mengenyampingkan keinginan dan kepentingannya dan mendahulukan keinginan Allah. Dan itulah wujud pengorbanan.
Pertanyaan berikutnya adalah, apa pentingnya kita berkorban atau untuk apa kita melakukan pengorbanan? Ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan.
Pertama, seperti yang disebutkan Allah di dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah satu kesatuan (ummatan wahidatan). Manusia adalah satu umat yang harus selalu menjaga kesatuan dan kebersamaannya. Kesatuan dan kebersamaan ini akan tetap terwujud dan terjaga jika individu yang ada dalam kelompok dan kesatuan tersebut mau dan rela berkorban. Di dalam suatau musyawah misalnya, tentulah semua peserta punya keinginan dan kepentingan masing-masing yang hendak disampaikan dan diterima semua peserta. Bagaimanakah jadinya, jika semua maju dengan kepentingannya dan tidak ada yang mau mengalah dan berkorabn? Maka dipastikan akan terjadi kebuntuan atau bahkan pertengkaran dan perkelahian. Namun, musyawarah akan berjalan baik, menghasilkan keputusan bersama dan semua tetap dalam satu kesatuan jika ada sebagain peserta yang mau mengalah dan mengorbankan kepentingan dan keinginanan pribadinya.
Dua, dalam menjalani hidup di dunia ini, manusia akan selalu memiliki urusan dan keperluan. Urusan dan keperluan manusia akan berjalan lancar jika dia bersedia dan mau berkorban. Misalnya, di sebuah perempatan jalan raya, saat lampu merah mati dan kendaraan begitu ramai. Tentu saja semua orang ingin dahulu dan segera sampai di tujuan. Bagaimanakah kiranya jika semua pengguna jalan ingin maju dan dahulu serta tidak ada yang mau mengalah untuk mengorbankan kepentingan peribadinya? Pastilah akan terjadi kemacetan total dan tidak akan ada satu kendaraanpun akan bisa berjalan karena perempatan tersebut sudah tertutup akibat semua orang ingin lebih dulu. Maka yang terjadi adalah urusan semua menjadi terlambat dan bahkan gagal. Sehingga, pengorbanan yang kita lakukan pada hakikatnya bukan untuk orang lain, namun untuk kepnetingan kita sendiri, demi lancarnnya urusan dan keperluan kita.
Tiga, suatu bangsa akan tegak, jika bangsa itu memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang mulia itu pada puncaknya adalah kemauan untuk berkorban. Alangkah indah dan damainya kehidupan ini, jika semua orang tidak berfikir kepentingannya sendiri, tapi mendahulukan kepentingan orang lain. Kenapa seringa terjadi kecelakaan di jalan raya yang merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa setiap harinya? Karena, para pengguna jalan tidak lagi berakhlak di jalan raya. Para pengguna jalan tidak lagi punya semangat berkorban, mau mengalah untuk kepentingan orang lain. Mereka hanya memikirkan kepentingan dan keinginan sendiri, bahkan untuk menabrak dan membunuh orang lainpun dilakukan demi tujuan dan kepentingannya lebih cepat tercapai.
Empat, pengorbanan atau kemauan untuk berkoran akan menghindarkan manusia dari azab Tuhan. Lihatlah kisah-kisah manusia hebat di dalam al-Qur’an yang diazab Tuhan karena telah melampaui batas dan tidak mau berkorban. Firman Allah dalam surat al-Fajr [89]: 6-13
ألم تر كيف فعل ربك بعاد. إرم ذات العماد. التي لم يخلق مثلها في البلاد. وثمود الذين جابوا الصخر بالواد. وفرعون ذي الأوتاد. الذين طغوا في البلاد. فأكثروا فيها الفساد. فصب عليهم ربك سوط عذاب.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab.
Bangsa ’Ad, Tsamud dan Fir’aun adalah bangsa-bangsa atau orang-orang yang hebat dan besar pada masanya. Bangsa ’Ad memiliki keahlian membangun tiang-tiang tinggi dan kokoh, yang tidak ada bangsa manapun pada masanya yang bisa menandingi. Bangsa Tsamud ahli dalam membuat mengukir dan memahat gunung-gung jadi bangunan. Bangsa Mesir di bawah Fir’aun ahli dalam membuat bangunan tinggi, besar dan bertingkat yang dinamakan piramida. Namun, semua mereka dibinasakan azab Allah, sebab melampaui batas dan semena-mena. Bagaimana sikap melampaui batas dan semena-mena ini muncul? Penyebabnya adalah karena mereka tidak punya semangat berkorban. Jika saja semangat berkorban ada, pastilah tidak akan muncul sikap keserakahan dan kesewenangan tersebut. Karena kesewenangan dan keserakahan serta melampaui batas adalah akibat sikap egoisme manusia pada orang lain, dan sikap egoisme itulah yang disembelih dalam pengorbanan. Itulah bukti betapa semangat berkorban akan menghindarkan manusia dari Azab Tuhan.
Pertanyaan terakhir adalah, apa yang kita dapatkan dari berkorban? Menjawab pertanyaan ini tentu tidaklah mudah, karena jawabannya tidak bisa dengan logika tapi dengan rasa. Kita berikan contoh, jika ada seorang ayah yang baru pulang kerja, sampai di rumah dia merasakan haus dan dahaga yang sangat, dan isterinya pun membawakan air untuk diminumnya. Ketika hendak minum, datang anaknya berlari pulang bermain di luar rumah dan minta air karena dia pun haus. Apakah yang akan dilakukan bapak tersebut? Sebagai ayah tentulah dia akan memberikan minuman tersebut kepada anaknya dan menahan haus dan dahaganya sendiri. Ayah itu akan mengorbankan kepentingan dirinya, demi memenuhi kepentingan anaknya. Apakah yang dirasakan bapak tadi? Betul, bahwa haus dan dahaganya tidak terobati, karena belum sempat minum. Tetapi, melihat anaknya minum dengan lahap, dia mendatkan kepuasan batin dan kebahagian rohani yang tak terkira. Begitulah hasil pengorbanan yang dirasakan seseorang. Hasilnya memang tidak selalu berbentuk materi, tetapi bentuknya adalah kebahagiaan rohani dan kepuasan batin. Dan itulah sorga dalam kehidupan ini. Semoga bermanfaat
Selasa, 08 November 2011
Haji Mabrur?
Haji Mabrur?
Setiap kali kita hendak melepas calon jema’ah haji yang akan berangkat ke tanah suci, atau semua orang akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci, ataupun semua orang yang telah kembali dari tanah suci, harapanya selalau sama yaitu berharap agar mereka menjadi haji yang mabrur. Sehingga, kata mabrur adalah kata yang populer dan seringkali kita ucapkan. Namun demikian, tahukah kita apa sesungguhnya yang disebut mabrur itu? Kenapa ibdah haji selalu dikaitkan dengan kata mabrur?
Kata mambur (مبرور)berarasal dari birr (بر) yang secara harfiyah berarti puncak kebaikan. Sehingga, jika terdapat banyak kebaikan yang diperbuat manusia, maka puncak dari segala kebaikan tersebut adalah al-birr. Oleh karena itulah, untuk mencapai al-birr tersebut tidak perkara gampang dan mudah. Lihatlah firman Allah dalam surat Ali Imran [3]: 92
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Ayat ini berbicara tentang syarat seorang mendapatkan al-birr atau mabrur (kebajikan sempurna), yaitu kemampuan manusia untuk memberikan yang terbaik dan paling dicintainya dari apa yang dimilikinya. Memberikan apa yang tidak atau kurang kita sukai tentu saja perkaran mudah dan gampang, namun bagaimanakah kiranya jika yang diberikan sesuatu yang paling kita cintai? Tentu sangat sulit dan tidak banyak yang biasa melakukannya. Sehingga memang tidak banyak manusia yang akan bisa mencapai al-birr atau menjadi mabrur.
Jika anda memiliki dua buah durian, yang satu besar dan isinya sangat tebal dan yang kedua kecil, isinya tipis dan sudah dirusak tupai pula. Kemudian datang orang yang meminta salah satu durian itu kepada anda. Pertanyaannya adalah, durian yang manakah yang akan anda berikan? Durian yang kecil lagi tipis ataukah yang besar lagi tebal? Yang manapun yang anda berikan dari keduanya, anda sudah baik atau suadh berbuat baik. Tapi bedanya, jika anda berikan yang kecil dan tipis, maka anda baru berhak disebut orang baik. Namun, jika anda berikan durian yang besar dan tebal yang anda sukai itu, anda barulah berhak disebut mabrur.
Contoh lain, jika anda punya dua motor, satu motor yang baru saja anda beli dan sangat bagus, sementara yang satu lagi adalah motor tua yang sudah usang. Kemudian, datanglah tetangga anda meminjam salah satu motor tersebut. Motor yang manakah yang akan anda pinjamkan? Yang baru ataukah yang lama? Yang manapun dari keduanya yang anda pinjamkan, maka anda sudah berbuat baik dan mendapat pahala. Tetapi, jika yang anda pinjamkan adalah motor baru yang bagus dan lagi anda cintai itu, maka pada saat itu anda berhak disebut mabrur, dan seterusnya.
Pembicaraan Allah tentang syarat manusia memperoleh al-birr atau mabrur pada ayat ini, kemudian disusul oleh Allah oleh ayat yang berisi perintah ibadah haji, yaitu Ali Imran [3]: 97
فيه آيات بينات مقام إبراهيم ومن دخله كان آمنا ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kenapa Allah menyambung pembicaraan tentang al-birr dengan perintah haji. Agaknya hal ini memberikan isyarat bahwa menunaikan ibadah haji adalah jalan utama manusia bisa mencapai al-birr (puncak kebajikan). Sehingga tidaklah salah kalau kemudian haji dikaitkan dengan istilah mabrur. Bukankah haji menuntut kesediaan seseorang membelanjakan hartanya dalam jumlah besar untuk jalan Allah yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Harta adalah bagian yang paling dicintai manusia. Banyak orang yang hanya berusaha mencari, menumpuk dan menghitung hartanya, tanpa mau membelanjakannya. Karenanya, harta dinamakan mal yang secara bahasa berarti kecenderungan. Harta disebut mal karena tidak ada manusia yang tidak suka dan cenderung pada harta. Lihat beberepa firman Allah seperti surat al-fajar [89]: 20
وتحبون المال حبا جما
dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Begitu juga surat al-Humazah [104]: 2
الذي جمع مالا وعدده
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
Seperti kita sebutkan bahwa al- abirr atau mabrur adalah harapan yang pertama setiap manusia yang menunaikan ibadah haji. Lalu apa hakikat al-birr menurut al-Qur’an? Dalam surat al-Maidah [6]: 2, Allah berfirman
يا أيها الذين آمنوا لا تحلوا شعآئر الله ولا الشهر الحرام ولا الهدي ولا القلآئد ولا آمين البيت الحرام يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا وإذا حللتم فاصطادوا ولا يجرمنكم شنآن قوم أن صدوكم عن المسجد الحرام أن تعتدوا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالَّتقَوْىَ وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ واتقوا الله إن الله شديد العقاب
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kata al-birr dalam di atas dilawankan dengan al-ism (dosa) dan udwan (permusuhan). Al-ismu atau dosa adalah bentuk buruknya hubungan manusia dengan Allah karena dosa lahir dari pelanggarannya pada aturan Allah dan ketidaksediannya tunduk pada perintah Allah. Sedangkan al-udwan (permusuhan) adalah bentuk buruknya hubungan seseorang dengan manusia, karena permusuhan lahir dari kesalahan yang dilakukan pada seorang manusia yang menjadikannya tersakiti. Maka seorang yang disebut mendapatkan haji mabrur adalah orang yang dengan berahaji hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia semakin baik dan harmonis. Dirinya semakin tunduk pada perintah Allah, semakin takut melanggar aturan Allah dan semakin meningkat penghambaannya pada Allah. Dan salam saat yang bersamaan dia semakin dekat harmonis dengan manusia, semakin tawadhu’ dalam pergaulan, dan sangat takut menyakiti perasaan orang lain. Itulah hakikat al-birr (mabrur) yang terwujud dalam bentuk prilaku dan sikap hidup yang mulia.
Dalam al-Qur’an Allah mencontohkan salah satu manusia yang mencapai tinngkat al-birr/mabrur tersebut, yaitu Ibrahim a.s. lihatlah Ibrahim betapa dia bersedia mengorbankan apa yang paling dia cintai dalam hidupnya yaitu anaknya Isma’il demi mendapatkan ridah Allah. Dia dengan penuh kerelaan menyembelih Isma’il atas perintah Allah, dan mengorbankan rasa cintanya demi perintah Allah yang tentu tidak akan bisa diikuti oleh bapak manapun di dunia ini. Lihatlah surat al-Shafat [32]: 102
فلما بلغ معه السعي قال يا بني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال يا أبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من الصابرين
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Bahkan tergambar betapa patuhnya Ibrahim pada Allah, sehingga ayat diatas yang memerintahkan Ibarahim menyembelih anaknya Isma’il tidak diungkapkan Alllah dalam kalimat perintah. Tapi hanya mimpi bahwa dia menyembelih anaknya. Allah tidak berkata, ”Ibrahim, Sembelihlah anakmu”. Namun, perintah hanya lewat mimpi saja, dan karena Ibrahim meykini itu mimpi yang benar maka dia dengan penuh kerelaan mengorbankan miliknya yang paling dicintai, yaitu anaknya yang semata wayang, sehingga wajarlah jika Ibrahim disebut mabrur.
Hubungan Ibrahim yang harmonis dengan sesama makhluk juga digambarkan Allah dari kisah Ibrahim ketika menerima kedatangan tamunya, malaikat dalam wujud manusia. Pertama, Ibrahim menjawab salam tamunya dengan jawaban lebih baik, dan sesaat setelah tamunya duduk, Ibrahim langsung menghidangkan seekor kambing utuh yang sudah dimasak. Ibrahim tidak menghidangkan sepotong atau sebagain daging kambing pada tamunya, tapi Ibrahim menghidangkan seluruhnya, utuh tanpa disentuh sebelumnya. Tentu sebuah perlakuan yang istimewa untuk seorang tamu. Lihatlah surat Hud [11]: 69
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيْمَ بِالْبُشْرَى قَالُوْا سَلاَمًا قَالَ سَلاَمٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Salaman" (Selamat). Ibrahim menjawab: "Salamun" (Selamatlah), maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang yang utuh.
Di atas, kita sudah berbicara bahwa haji adalah sarana atau gerbang yang mengantarkan manusia mencapai kebaikan yang sempurna (mabrur) yang nanti sepulang dari tanah suci akan terlihat dalam sikap hidupnya sehari-hari. Dan memang jika kita simak dengan teliti dan hayati rangkaian ibadah haji yang dilakaukan manusia jelas akan mengantarakan manusia pada sikap hidup mabrur. Mari kita lihat di antaranya:
Pertama, ihram yang disimbolkan dengan bentuk kesederhanaan hidup dan persamaan derajat. Bukankah seorang yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang berjahit? Dengan ihram manusia harus menanggalkan segala atribut dan seragam kebesarannya. Tiadak ada lagi presiden dan rakyat jelata, kaya atau miskin semua tampil dalam pakaian yang sama. Bukankah sikap ini jiak dihayati manusia akan mengantarkan mansuai pada sikap hidup tawadhu’ dan rendah hati, karena ternyata dihadapan Allah semua manusia sama, hanya amal dan taqwanya yang membuat mereka berbeda dihadapan Allah.
Dua, thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali akan mengantrkan manusia pada sikap khusyu’ dan tunduk pada segala aturan Allah dan selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya kapanpun dan dimanapun. Sebab, thawaf secara harfiyah berarti larut, makanya disimbolkan dengan berputar berkeliling seperti pusaran air. Dengan tawaf manusia diajarkan akan makna dan hakikat ibadah dan penghambaan. Bahwa manusia dalam beribadah harus larut bersama Allah dan tidak lagi memikirkan dunia dengan segala gemerlapnya saat beribadah pada Allah.
Tiga, sa’i yang secara harfiyah berarti usaha yang disimbolkan dengan beralari antara shafa dan marwa. Setelah manusia tawaf dan larut bersama Allah, manusia tidak boleh lupa bahwa dia harus sa’i yaitu berusaha mencari dunia sebaik-baik dan sebanyaknya. Mencari dunia tentu tidak berarti menjadikankanya tujuan, namun menjadikannya jalan mencapai akhirat yang sempurna. Maka, haji tidak mengajarkan mansuai untuk menjadi malaikat yang hanya beribadah dan bertasbih, tapi haji mengajarkan manusia untuk menjadi manusia yang punya tugas ganda beribadah (liya’buduni) dan memakmurkan bumi (khalifah fi al-ardh). Dimulainya sa’i (usaha) dari shafa yang berarti bersih dan berakhri di marwa yang berarti puas juga mengandung ajaran, bahwa setiap usaha yang dimulai denga cara bersih dan baik (shafa) pastilah akan membawa kepuasan dan kebahagaian hidup (marwa).
Empat, wukuf yang disimbolkan dengan berkumpulnya semua jama’ah haji disuatu tempat yang beranama padang Arafah. Arafah secara harfiyah berarti mengenal, sehingga dengan wukuf dan merenung di padang arafah manusia diajak untuk selalu mengenal dirinya. Manusia harus tahu dan kenal sedang dimana dia hidup, untuk apa dia hidup dan kemana dia akan kembali setelah hidup ini. Manusia yang tahu akan hikat dan tujuan hidupnya di dunia pastilah akan mampu berbuat dan memberikan yang terbaik dalam hidupnya.
Lima, melontar jumrah yang merupakan simbol manusia melempar syaithan sebagai musuh abadi manusia dan akan selalu membawa manusia pada dosa dan pembangakangan terhadap aturan Allah. Melontar jumrah tidak hanya simbol permusuhan terhadap syaithan, namun melempar jumrah juga berarti melemparkan jauh-jauh dari diri sendiri sikap-sikap negatif yang selalu menggerogoti manusia, seperti takabbur, ujub, ria, kasar, pemarah, pendendam, munafiq dan seterusnya. Oleh keran itu, jika manusia mampu dalam setiap waktunya melempar syaitah dan segala gangguannnya sehingga syaithan jauh darinya, dan sekaligus mampu membuang sikap-sikap negatif dari dirinya, tentulah manusia akan mampu mencapai tingkat kehidupan yang terbaik, dan itulah yang disebut mabrur.
Jelaslah, betapa ibadah haji dan rangkaian ibadah yang ada padanya akan menjadikan manusia memperoleh kebaikan yang sempurna atau yang disebut al-birr atau mabrur. Semoga menjadi pelajaran, amin.
Setiap kali kita hendak melepas calon jema’ah haji yang akan berangkat ke tanah suci, atau semua orang akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci, ataupun semua orang yang telah kembali dari tanah suci, harapanya selalau sama yaitu berharap agar mereka menjadi haji yang mabrur. Sehingga, kata mabrur adalah kata yang populer dan seringkali kita ucapkan. Namun demikian, tahukah kita apa sesungguhnya yang disebut mabrur itu? Kenapa ibdah haji selalu dikaitkan dengan kata mabrur?
Kata mambur (مبرور)berarasal dari birr (بر) yang secara harfiyah berarti puncak kebaikan. Sehingga, jika terdapat banyak kebaikan yang diperbuat manusia, maka puncak dari segala kebaikan tersebut adalah al-birr. Oleh karena itulah, untuk mencapai al-birr tersebut tidak perkara gampang dan mudah. Lihatlah firman Allah dalam surat Ali Imran [3]: 92
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Ayat ini berbicara tentang syarat seorang mendapatkan al-birr atau mabrur (kebajikan sempurna), yaitu kemampuan manusia untuk memberikan yang terbaik dan paling dicintainya dari apa yang dimilikinya. Memberikan apa yang tidak atau kurang kita sukai tentu saja perkaran mudah dan gampang, namun bagaimanakah kiranya jika yang diberikan sesuatu yang paling kita cintai? Tentu sangat sulit dan tidak banyak yang biasa melakukannya. Sehingga memang tidak banyak manusia yang akan bisa mencapai al-birr atau menjadi mabrur.
Jika anda memiliki dua buah durian, yang satu besar dan isinya sangat tebal dan yang kedua kecil, isinya tipis dan sudah dirusak tupai pula. Kemudian datang orang yang meminta salah satu durian itu kepada anda. Pertanyaannya adalah, durian yang manakah yang akan anda berikan? Durian yang kecil lagi tipis ataukah yang besar lagi tebal? Yang manapun yang anda berikan dari keduanya, anda sudah baik atau suadh berbuat baik. Tapi bedanya, jika anda berikan yang kecil dan tipis, maka anda baru berhak disebut orang baik. Namun, jika anda berikan durian yang besar dan tebal yang anda sukai itu, anda barulah berhak disebut mabrur.
Contoh lain, jika anda punya dua motor, satu motor yang baru saja anda beli dan sangat bagus, sementara yang satu lagi adalah motor tua yang sudah usang. Kemudian, datanglah tetangga anda meminjam salah satu motor tersebut. Motor yang manakah yang akan anda pinjamkan? Yang baru ataukah yang lama? Yang manapun dari keduanya yang anda pinjamkan, maka anda sudah berbuat baik dan mendapat pahala. Tetapi, jika yang anda pinjamkan adalah motor baru yang bagus dan lagi anda cintai itu, maka pada saat itu anda berhak disebut mabrur, dan seterusnya.
Pembicaraan Allah tentang syarat manusia memperoleh al-birr atau mabrur pada ayat ini, kemudian disusul oleh Allah oleh ayat yang berisi perintah ibadah haji, yaitu Ali Imran [3]: 97
فيه آيات بينات مقام إبراهيم ومن دخله كان آمنا ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kenapa Allah menyambung pembicaraan tentang al-birr dengan perintah haji. Agaknya hal ini memberikan isyarat bahwa menunaikan ibadah haji adalah jalan utama manusia bisa mencapai al-birr (puncak kebajikan). Sehingga tidaklah salah kalau kemudian haji dikaitkan dengan istilah mabrur. Bukankah haji menuntut kesediaan seseorang membelanjakan hartanya dalam jumlah besar untuk jalan Allah yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Harta adalah bagian yang paling dicintai manusia. Banyak orang yang hanya berusaha mencari, menumpuk dan menghitung hartanya, tanpa mau membelanjakannya. Karenanya, harta dinamakan mal yang secara bahasa berarti kecenderungan. Harta disebut mal karena tidak ada manusia yang tidak suka dan cenderung pada harta. Lihat beberepa firman Allah seperti surat al-fajar [89]: 20
وتحبون المال حبا جما
dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Begitu juga surat al-Humazah [104]: 2
الذي جمع مالا وعدده
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
Seperti kita sebutkan bahwa al- abirr atau mabrur adalah harapan yang pertama setiap manusia yang menunaikan ibadah haji. Lalu apa hakikat al-birr menurut al-Qur’an? Dalam surat al-Maidah [6]: 2, Allah berfirman
يا أيها الذين آمنوا لا تحلوا شعآئر الله ولا الشهر الحرام ولا الهدي ولا القلآئد ولا آمين البيت الحرام يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا وإذا حللتم فاصطادوا ولا يجرمنكم شنآن قوم أن صدوكم عن المسجد الحرام أن تعتدوا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالَّتقَوْىَ وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ واتقوا الله إن الله شديد العقاب
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kata al-birr dalam di atas dilawankan dengan al-ism (dosa) dan udwan (permusuhan). Al-ismu atau dosa adalah bentuk buruknya hubungan manusia dengan Allah karena dosa lahir dari pelanggarannya pada aturan Allah dan ketidaksediannya tunduk pada perintah Allah. Sedangkan al-udwan (permusuhan) adalah bentuk buruknya hubungan seseorang dengan manusia, karena permusuhan lahir dari kesalahan yang dilakukan pada seorang manusia yang menjadikannya tersakiti. Maka seorang yang disebut mendapatkan haji mabrur adalah orang yang dengan berahaji hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia semakin baik dan harmonis. Dirinya semakin tunduk pada perintah Allah, semakin takut melanggar aturan Allah dan semakin meningkat penghambaannya pada Allah. Dan salam saat yang bersamaan dia semakin dekat harmonis dengan manusia, semakin tawadhu’ dalam pergaulan, dan sangat takut menyakiti perasaan orang lain. Itulah hakikat al-birr (mabrur) yang terwujud dalam bentuk prilaku dan sikap hidup yang mulia.
Dalam al-Qur’an Allah mencontohkan salah satu manusia yang mencapai tinngkat al-birr/mabrur tersebut, yaitu Ibrahim a.s. lihatlah Ibrahim betapa dia bersedia mengorbankan apa yang paling dia cintai dalam hidupnya yaitu anaknya Isma’il demi mendapatkan ridah Allah. Dia dengan penuh kerelaan menyembelih Isma’il atas perintah Allah, dan mengorbankan rasa cintanya demi perintah Allah yang tentu tidak akan bisa diikuti oleh bapak manapun di dunia ini. Lihatlah surat al-Shafat [32]: 102
فلما بلغ معه السعي قال يا بني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال يا أبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من الصابرين
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Bahkan tergambar betapa patuhnya Ibrahim pada Allah, sehingga ayat diatas yang memerintahkan Ibarahim menyembelih anaknya Isma’il tidak diungkapkan Alllah dalam kalimat perintah. Tapi hanya mimpi bahwa dia menyembelih anaknya. Allah tidak berkata, ”Ibrahim, Sembelihlah anakmu”. Namun, perintah hanya lewat mimpi saja, dan karena Ibrahim meykini itu mimpi yang benar maka dia dengan penuh kerelaan mengorbankan miliknya yang paling dicintai, yaitu anaknya yang semata wayang, sehingga wajarlah jika Ibrahim disebut mabrur.
Hubungan Ibrahim yang harmonis dengan sesama makhluk juga digambarkan Allah dari kisah Ibrahim ketika menerima kedatangan tamunya, malaikat dalam wujud manusia. Pertama, Ibrahim menjawab salam tamunya dengan jawaban lebih baik, dan sesaat setelah tamunya duduk, Ibrahim langsung menghidangkan seekor kambing utuh yang sudah dimasak. Ibrahim tidak menghidangkan sepotong atau sebagain daging kambing pada tamunya, tapi Ibrahim menghidangkan seluruhnya, utuh tanpa disentuh sebelumnya. Tentu sebuah perlakuan yang istimewa untuk seorang tamu. Lihatlah surat Hud [11]: 69
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيْمَ بِالْبُشْرَى قَالُوْا سَلاَمًا قَالَ سَلاَمٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Salaman" (Selamat). Ibrahim menjawab: "Salamun" (Selamatlah), maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang yang utuh.
Di atas, kita sudah berbicara bahwa haji adalah sarana atau gerbang yang mengantarkan manusia mencapai kebaikan yang sempurna (mabrur) yang nanti sepulang dari tanah suci akan terlihat dalam sikap hidupnya sehari-hari. Dan memang jika kita simak dengan teliti dan hayati rangkaian ibadah haji yang dilakaukan manusia jelas akan mengantarakan manusia pada sikap hidup mabrur. Mari kita lihat di antaranya:
Pertama, ihram yang disimbolkan dengan bentuk kesederhanaan hidup dan persamaan derajat. Bukankah seorang yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang berjahit? Dengan ihram manusia harus menanggalkan segala atribut dan seragam kebesarannya. Tiadak ada lagi presiden dan rakyat jelata, kaya atau miskin semua tampil dalam pakaian yang sama. Bukankah sikap ini jiak dihayati manusia akan mengantarkan mansuai pada sikap hidup tawadhu’ dan rendah hati, karena ternyata dihadapan Allah semua manusia sama, hanya amal dan taqwanya yang membuat mereka berbeda dihadapan Allah.
Dua, thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali akan mengantrkan manusia pada sikap khusyu’ dan tunduk pada segala aturan Allah dan selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya kapanpun dan dimanapun. Sebab, thawaf secara harfiyah berarti larut, makanya disimbolkan dengan berputar berkeliling seperti pusaran air. Dengan tawaf manusia diajarkan akan makna dan hakikat ibadah dan penghambaan. Bahwa manusia dalam beribadah harus larut bersama Allah dan tidak lagi memikirkan dunia dengan segala gemerlapnya saat beribadah pada Allah.
Tiga, sa’i yang secara harfiyah berarti usaha yang disimbolkan dengan beralari antara shafa dan marwa. Setelah manusia tawaf dan larut bersama Allah, manusia tidak boleh lupa bahwa dia harus sa’i yaitu berusaha mencari dunia sebaik-baik dan sebanyaknya. Mencari dunia tentu tidak berarti menjadikankanya tujuan, namun menjadikannya jalan mencapai akhirat yang sempurna. Maka, haji tidak mengajarkan mansuai untuk menjadi malaikat yang hanya beribadah dan bertasbih, tapi haji mengajarkan manusia untuk menjadi manusia yang punya tugas ganda beribadah (liya’buduni) dan memakmurkan bumi (khalifah fi al-ardh). Dimulainya sa’i (usaha) dari shafa yang berarti bersih dan berakhri di marwa yang berarti puas juga mengandung ajaran, bahwa setiap usaha yang dimulai denga cara bersih dan baik (shafa) pastilah akan membawa kepuasan dan kebahagaian hidup (marwa).
Empat, wukuf yang disimbolkan dengan berkumpulnya semua jama’ah haji disuatu tempat yang beranama padang Arafah. Arafah secara harfiyah berarti mengenal, sehingga dengan wukuf dan merenung di padang arafah manusia diajak untuk selalu mengenal dirinya. Manusia harus tahu dan kenal sedang dimana dia hidup, untuk apa dia hidup dan kemana dia akan kembali setelah hidup ini. Manusia yang tahu akan hikat dan tujuan hidupnya di dunia pastilah akan mampu berbuat dan memberikan yang terbaik dalam hidupnya.
Lima, melontar jumrah yang merupakan simbol manusia melempar syaithan sebagai musuh abadi manusia dan akan selalu membawa manusia pada dosa dan pembangakangan terhadap aturan Allah. Melontar jumrah tidak hanya simbol permusuhan terhadap syaithan, namun melempar jumrah juga berarti melemparkan jauh-jauh dari diri sendiri sikap-sikap negatif yang selalu menggerogoti manusia, seperti takabbur, ujub, ria, kasar, pemarah, pendendam, munafiq dan seterusnya. Oleh keran itu, jika manusia mampu dalam setiap waktunya melempar syaitah dan segala gangguannnya sehingga syaithan jauh darinya, dan sekaligus mampu membuang sikap-sikap negatif dari dirinya, tentulah manusia akan mampu mencapai tingkat kehidupan yang terbaik, dan itulah yang disebut mabrur.
Jelaslah, betapa ibadah haji dan rangkaian ibadah yang ada padanya akan menjadikan manusia memperoleh kebaikan yang sempurna atau yang disebut al-birr atau mabrur. Semoga menjadi pelajaran, amin.
Label:
ceramah dan khutbah
Langganan:
Postingan (Atom)