Selasa, 08 November 2011

Pengorbanan

Pengorbanan
Umat Islam di berbagai penjuru dunia, baru saja usai merayakan hari raya terbesar dalam ajaran agamanya, yaitu ’id al-adhha atau yang juga disebut hari raya qurban. Adalah beberapa hal yang menarik untuk di analisa melalui pertanyan berikut. Kenapa hari raya tersebut disebut adhha? Kenapa disebut juga dengan hari raya qurban? Dan apa hakikat dan tujuan qurban itu? Itulah di antara pertanyaan yang akan kita coba jelaskan dalam tulisan ini.
Kata adhha berasal darai kata dhaha yang secara harfiyah berarti lembut. Oleh karena itulah ada waktu yang disebut dhuha yang padanya adalah ibadah shalat yang disebut shalat dhuha. Dhuha disebut demikian karena pada waktu itu cahaya matahari dirasakan sangat lembut, karena matahari baru saja naik sedikit dari ufuq. Jika cahayanya sudah terik dan menyengat, maka tidak lagi disebut dhuha namun disebut zuhur. Hari raya ’id al-adhha disebut demikian karena pada hari itu semua orang harusnya berada dalam kelembutan hati.
Ibadah qurban juga disebut adhha dan hewan qurban disebut udhhiyah karena sesungguhnya qurban adalah ibadah yang harusnya lahir dari kelembutan hati. Qurban tidak lahir dari paksaan, ancaman, intimidasi dan seterusnya. Sebab, qurban sendiri berasal dari kata qaraba yang secara harfiyah berarti kedekatan yang sempurna. Makanya, tidak banyak manusia yang bisa berkorban, karena ibadah ini memang lahir dari suasana hati yang penuh kelembutan dan dari hati- hati manusia yang penuh sensitifitas.
Marilah kita lihat betapa ibadah qurban lahir dari hati manusia yang lembut dan santun, dengan berkaca pada Ibrahim as. Sebab, ibadah qurban biasanya selalu diidentikan dengan apa yang pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim as dan keluarganya. Lihatlah surat al-Taubah [9]: 114
إن إبراهيم لأواه حليم
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat Lembut hatinya lagi Penyantun.
Begitu juga surat Hud [11]: 75
إن إبراهيم لحليم أواه منيب
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah.
Nabi Ibrahim digambarkan dalam ayat di atas sebagai sosok manusia awwahun halim (lembut hati dan penyantun). Kata awwah secara harfiyah berasal dari awh atau ”aoh” dalam ungkapan masyarakat kita yang merupakan ungkapan simpati dan peduli. Jika kita melihat kejadian yang memilukan dan menggugah hati dan perasaan, maka hati orang yang lembut akan bertiak ”aoh”. Tapi yang hati orang yang tidak terketuk dia akan ”cuek” dan berlalu tanpa ada sedikitpun rasa di hatinya. Begitulah Ibrahim, sosok yang memiliki hati lembut, jiwa yang sensitif.
Sedangkan halim berarti secara harfiyah diartikan santun. Kata ini berasal dari kata halama yang pada prinsipnya tidak hanya melibatkan anggota tapi juga melibatkan hati dan jiwa yang terdalam. Karena itu, mimpi juga disebut hilmun karena mimpi pada hakikatnya adalah kerja hati dan jiwa. Maka hilmun adalah sikap santun yang lahir dari hati manusia yang terdalam, ia sangat tulus dan murni. Bukankah tidak sedikit manusia yang bisa santun, namun kesantunan tersebut lahir karena ada kepentingan dan keinginan dan tidak lahir dari hati dan perasaan yang tulus. Jika kita pergi bank atau pusat pertokoan dan perbelanjaan, maka dipastikan kita akan menemukan kesantunan para pegawai dan pelayan, namun belum tentu kesantunan itu disebut hilmun jika ia lahir dan keluar karena kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, ketika Ibrahim meminta kepada Allah untuk diberikan anak yang shalih, Allah tidak memberikan anak yang shalih seperti yang dimintanya, tetapi diberikan anak yang halim (penyantun). Lihatlah surat ash-Shafat [37]: 100-101
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
Kenapa Allah memberikan Ibrahim anak yang halim (penyantun) bukannya anak yang shlaih seperti permintaannya? Karena halim (penyantun) adalah lebih baik dari shalih. Orang yang shalih (baik) belum tentu halim, tetapi anak yang halim pasti shalih. Karena halim adalah sikap baik yang lahir dari hati, perasaan dan jiwa manusia yang terdalam. Jika ada seorang yang yang menolong orang lain, maka berarti dia telah berbuat shalih, tetapi belum tentu halim jika tolong tersebut lahir karena maksud dan tujuan tertentu.
Ibrahim as. adalah manusia yang sangat lembut hatinya dan sikapnya yang sangat penyantun. Ibadah korban dikaitkan dengannya karena korban haruslah lahir dari kelembutan hati dan kesantunan jiwa. Oleh karena itulah Ibrahim as. Menurut sebagian ulama disebut Ibrahim yang berasal dari kata ab dan rahim yang berarti “bapak penyantun”.
Kata qurban ini kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia menjadi korban. Sehingga ada istilah yang sering dan populer diucapkan masyarakat Indonesia ”pengorbanan”. Korban atau pengorbanan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai bentuk kerelaan seseorang untuk mengenyampingkan keinginannya dan kepentingannya, serta mendahulukan kepentingan dan keinginan orang lain. Memang berat dan butuh kelembutan hati serta kesantunan jiwa, sebab memang tidak banyak manusia di dunia ini yang mau mengalah dan mengeyampingkan kepentingannya demi kepentingan orang lain. Semua manusia tentu ingin kepentingan dan keinginananya lebih dahulu dari kepentingan dan keinginan orang lain. Manusia memiliki sikap egoisme, selalu mau menang sendiri dan berada di bagian terdepan. Pengorbanan menuntut manusia membunuh egisme tersebut. Lihatlah Ibrahim as ketika dia punya kepentingan pribadi, yaitu membesarkan dan melihat anakanya tumbuh dewasa hingga dia wafat, namun keinginannya itu harus dia korbankan demi keinginan Allah yang meminta anak tersebut disembelih. Ibrahimpun mengenyampingkan keinginan dan kepentingannya dan mendahulukan keinginan Allah. Dan itulah wujud pengorbanan.
Pertanyaan berikutnya adalah, apa pentingnya kita berkorban atau untuk apa kita melakukan pengorbanan? Ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan.
Pertama, seperti yang disebutkan Allah di dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah satu kesatuan (ummatan wahidatan). Manusia adalah satu umat yang harus selalu menjaga kesatuan dan kebersamaannya. Kesatuan dan kebersamaan ini akan tetap terwujud dan terjaga jika individu yang ada dalam kelompok dan kesatuan tersebut mau dan rela berkorban. Di dalam suatau musyawah misalnya, tentulah semua peserta punya keinginan dan kepentingan masing-masing yang hendak disampaikan dan diterima semua peserta. Bagaimanakah jadinya, jika semua maju dengan kepentingannya dan tidak ada yang mau mengalah dan berkorabn? Maka dipastikan akan terjadi kebuntuan atau bahkan pertengkaran dan perkelahian. Namun, musyawarah akan berjalan baik, menghasilkan keputusan bersama dan semua tetap dalam satu kesatuan jika ada sebagain peserta yang mau mengalah dan mengorbankan kepentingan dan keinginanan pribadinya.
Dua, dalam menjalani hidup di dunia ini, manusia akan selalu memiliki urusan dan keperluan. Urusan dan keperluan manusia akan berjalan lancar jika dia bersedia dan mau berkorban. Misalnya, di sebuah perempatan jalan raya, saat lampu merah mati dan kendaraan begitu ramai. Tentu saja semua orang ingin dahulu dan segera sampai di tujuan. Bagaimanakah kiranya jika semua pengguna jalan ingin maju dan dahulu serta tidak ada yang mau mengalah untuk mengorbankan kepentingan peribadinya? Pastilah akan terjadi kemacetan total dan tidak akan ada satu kendaraanpun akan bisa berjalan karena perempatan tersebut sudah tertutup akibat semua orang ingin lebih dulu. Maka yang terjadi adalah urusan semua menjadi terlambat dan bahkan gagal. Sehingga, pengorbanan yang kita lakukan pada hakikatnya bukan untuk orang lain, namun untuk kepnetingan kita sendiri, demi lancarnnya urusan dan keperluan kita.
Tiga, suatu bangsa akan tegak, jika bangsa itu memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang mulia itu pada puncaknya adalah kemauan untuk berkorban. Alangkah indah dan damainya kehidupan ini, jika semua orang tidak berfikir kepentingannya sendiri, tapi mendahulukan kepentingan orang lain. Kenapa seringa terjadi kecelakaan di jalan raya yang merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa setiap harinya? Karena, para pengguna jalan tidak lagi berakhlak di jalan raya. Para pengguna jalan tidak lagi punya semangat berkorban, mau mengalah untuk kepentingan orang lain. Mereka hanya memikirkan kepentingan dan keinginan sendiri, bahkan untuk menabrak dan membunuh orang lainpun dilakukan demi tujuan dan kepentingannya lebih cepat tercapai.
Empat, pengorbanan atau kemauan untuk berkoran akan menghindarkan manusia dari azab Tuhan. Lihatlah kisah-kisah manusia hebat di dalam al-Qur’an yang diazab Tuhan karena telah melampaui batas dan tidak mau berkorban. Firman Allah dalam surat al-Fajr [89]: 6-13
ألم تر كيف فعل ربك بعاد. إرم ذات العماد. التي لم يخلق مثلها في البلاد. وثمود الذين جابوا الصخر بالواد. وفرعون ذي الأوتاد. الذين طغوا في البلاد. فأكثروا فيها الفساد. فصب عليهم ربك سوط عذاب.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab.
Bangsa ’Ad, Tsamud dan Fir’aun adalah bangsa-bangsa atau orang-orang yang hebat dan besar pada masanya. Bangsa ’Ad memiliki keahlian membangun tiang-tiang tinggi dan kokoh, yang tidak ada bangsa manapun pada masanya yang bisa menandingi. Bangsa Tsamud ahli dalam membuat mengukir dan memahat gunung-gung jadi bangunan. Bangsa Mesir di bawah Fir’aun ahli dalam membuat bangunan tinggi, besar dan bertingkat yang dinamakan piramida. Namun, semua mereka dibinasakan azab Allah, sebab melampaui batas dan semena-mena. Bagaimana sikap melampaui batas dan semena-mena ini muncul? Penyebabnya adalah karena mereka tidak punya semangat berkorban. Jika saja semangat berkorban ada, pastilah tidak akan muncul sikap keserakahan dan kesewenangan tersebut. Karena kesewenangan dan keserakahan serta melampaui batas adalah akibat sikap egoisme manusia pada orang lain, dan sikap egoisme itulah yang disembelih dalam pengorbanan. Itulah bukti betapa semangat berkorban akan menghindarkan manusia dari Azab Tuhan.
Pertanyaan terakhir adalah, apa yang kita dapatkan dari berkorban? Menjawab pertanyaan ini tentu tidaklah mudah, karena jawabannya tidak bisa dengan logika tapi dengan rasa. Kita berikan contoh, jika ada seorang ayah yang baru pulang kerja, sampai di rumah dia merasakan haus dan dahaga yang sangat, dan isterinya pun membawakan air untuk diminumnya. Ketika hendak minum, datang anaknya berlari pulang bermain di luar rumah dan minta air karena dia pun haus. Apakah yang akan dilakukan bapak tersebut? Sebagai ayah tentulah dia akan memberikan minuman tersebut kepada anaknya dan menahan haus dan dahaganya sendiri. Ayah itu akan mengorbankan kepentingan dirinya, demi memenuhi kepentingan anaknya. Apakah yang dirasakan bapak tadi? Betul, bahwa haus dan dahaganya tidak terobati, karena belum sempat minum. Tetapi, melihat anaknya minum dengan lahap, dia mendatkan kepuasan batin dan kebahagian rohani yang tak terkira. Begitulah hasil pengorbanan yang dirasakan seseorang. Hasilnya memang tidak selalu berbentuk materi, tetapi bentuknya adalah kebahagiaan rohani dan kepuasan batin. Dan itulah sorga dalam kehidupan ini. Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar: