Jumat, 24 Mei 2013

Sulaiman “ala” Jokowi



Sulaiman “ala” Jokowi
Nama Jokowi tentu saja bukan lagi nama yang asing di telinga sebagian besar atau bahkan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat penghuni Ibu Kota Jakarta. Betapa tidak, laki-laki dengan penampilan sederhana yang sebelumnya bukan siapa-siapa mendadak terkenal bahkan pepularitasnya melebihi sang Kepala Negara atau bahkan ketua umum partainya sendiri semenjak menjabat gubernur DKI Jakarta. Gaya kepemimpinannya yang lugas dan jauh dari kesan formalitas serta gaya “blusukannya” dari kampung ke kampung, dari kali ke kali, dari tumpukan sampah ke tumpukan sampah lain sangat memukau hati masyarakat Ibu Kota bahkan juga Indonesia. Sikapnya yang jarang di kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan “wara-wiri” berkeliling memantau situasi rakyatnya adalah sesuatu yang dianggap baru dan seakan belum pernah dilakukan pemimpin lainnya.
Mengatakan apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan gaya pemimpinannya seperti itu adalah sesuatu yang baru dan orisinal tentulah tidak sepenuhnya benar. Mari kita lihat sosok pemimpin di dalam al-Qur’an yang telah melakukan apa yang dilakukan sang gubernur, bahkan jauh lebih hebat dari apa yang telah dilakukan Jokowi. Sosok itu adalah nabi Sulaiman as. seperti dikisahkan dalam surat al-Naml [27]: 20-21.
وتفقد الطير فقال ما لي لا أرى الهدهد أم كان من الغائبين. لأعذبنه عذابا شديدا أو لأذبحنه أو ليأتيني بسلطان مبين
Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang". 
Ayat di atas menceritakan sikap nabi Sulaiman sebagai seorang raja atau pemimpin yang selalu suka melakukan “blusukan” (al-tafaqqud). Nabi Sulaiman as. dikenal sebagai seorang Nabi sekaligus juga seorang raja yang suka melakukan safari atau perjalanan memerikasa keadaan rakyat yang berada dalam wilayah kerajaannya. Sulaiman tidak hanya memerika wilayah yang dekat dari pusat kerajaan saja, tetapi juga wilayah terjauh bahkan hingga ujung perbatasan kerajaan yang dia pimpin. Oleh karena itulah, Allah swt. memberikan angin sebagai kendaraannya agar bisa menjangkau lokasi terjauh dan paling sulit sekalipun.
Di samping sikap wara-wiri dan “blusukannya” Nabi Sulaiman ke pelosok-pelosok negeri yang dia pimpin, dia juga tidak melupakan “blusukan” kepada seluruh staf dan pegawainya. Adalah kebiasaan Nabi Sulaiman as. begitu datang ke Istana, tidak langsung masuk menuju ruangannya dan duduk “sambil membaca koran” seperti layaknya penguasa atau pejabat sekarang. Dia langsung wara-wiri dan termasuk berkeliling memeriksa semua staf dan pegawainya, adakah di antra mereka yang terlambat datang, tidak hadir tanpa alasan yang jelas, atau tidak berada di ruangan kerja saat jam kerja.
Ternyata Sulaiman mendapatkan ada satu stafnya yang tidak terlihat yang bernama “Hud-Hud”. Sulaiman bertanya ke sana kemari,  “Kenapa ada satu pegawaiku bernama “Hud-Hud” yang tidak terlihat saat jam kantor sudah dimulai? Apakah dia sengaja tidak datang tanpa alasan yang jelas? Ataukah “dia sedang duduk di kedai sambil minum kopi dan menghisap rokok?” ataukah “dia sedang ngobrol bersama temannya di luar ruangannya?” dan seterusnya. Sulaiman kemudian memberikan ultimatum kepada pegawainya itu, “Jika pegawaiku itu sengaja tidak datang tanpa alasan yang jelas atau membolos dari pekerjaannya, saya akan menghukumnya dengan hukuman berat (azab syadid) atau saya akan menyembelihnya, kecuali dia datang kepadaku dengan alasan yang bisa diterima dan alasan itu haruslah terkait dengan kemashlahatan bangsa dan negara (sulthan mubin).
Coba kita lihat apa yang dilakukan Sulaiman sebagai pemimpin, dia tidak hanya sekedar wari-wiri, “blusukan”, lebih banyak di luar kantor daripada di kantor dan seterusnya. Tetapi, Sulaiman juga sangat tegas terhadap penyimpangan, penyelewengan atau tindak indisipliner yang dilakukan oleh pegawai dan stafnya. Jika dia menemukan ada pegawainya yang tidak berada di tempat saat jam kerja tanpa alasan yang tegas dan dibenarkan undang-undang maka dia tidak segan menghukum pegawainya itu dengan hukuman yang sangat berat. Tidak berhenti sampai di situ, Sulaiman berjanji dengan sungguh-sungguh demi kebaikan bangsa bahwa dia akan menyembelih pegawainya itu. Ucapan nabi Sulaiman as. itu bukanlah sekedar ancaman untuk menakuti atau yang biasa disebut dengan istilah “gertak sambal”. Nabi Sulaiman as. sangat serius dengan ucapannya hingga dia menggunakan tiga bentuk penegasan (taukid) dalam ucapannya; yaitu lam taukid (sungguh) dan dua buah nun taukid (sungguh benar-benar), seperti terlihat dalam kata la’u‘azzibannahu (saya sungguh benar-benar akan menghukumnya) dan kata la’azbahannnahu (saya sungguh benar-benar akan menyembelihnya).
Beruntung bahwa kemudian pegawainya yang bernama “Hud-Hud” tersebut datang dengan sikap kastria –tidak main kucing-kucingan- menghadap dengan wajah tegap sambil menyampaikan berita yang benar (naba’ yaqin) tanpa sedikitpun maksud “menjilat” dan sekedar menyenangkan hati “sang atasan”. Hud berkata bahwa apa yang dia dapatkan dengan ketidakhadiranya itu adalah untuk sesuatu yang sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Bahkan dia mendapatkan sesuatu dalam ketidakhadirannya itu apa yang “sang atasan” sendiri belum pernah mengetahuinya. Dengan rasa hormat dia berkata “Walaupun anda sering “blusukan” tetapi ternyata ada hal penting yang tidak anda ketahui atau luput dari pantauan anda” begitu tegas Hud-Hud. Bacalah lanjutan kisah ini pada ayat 22-24 surat al-Naml. Alasan yang tegas dan syar’i inilah yang kemudian membuat Nabi Sulaiman as. tidak mengeksekusi pegawainya itu.     
Coba kita lihat Jokowi, gaya wara-wiri dan “blusukannya” dan lebih banyak di lapangan daripada di kantor sudah sangat mirip dengan Sulaiman as. Tetapi, apakah Jokowi berani menghukum berat pegawai dan stafnya yang absen tanpa sebab yang dibenarkan negara? Apakah Jokowi berani “menghukum mati” pegawainya yang bolos kerja? Jika belum tentulah apa yang dicontohkan Sulaiman dalam memimpin negaranya belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Jokowi. Sulaiman as. sebagai pemimpin menyadari sepenuhnya bahwa pegawai yang bolos dari urusan kantor adalah sebuah kejahatan besar. Kejahatannya lebih berbahaya dari seorang perampok atau koruptor. Sebab, Koroptur hanya merugikan negara dalam waktu tertentu, sedangkan pegawai yang menerima gaji buta tanpa kerja atau membolos kerja akan merugikan negara setiap hari hingga waktu berpuluh tahun lamanya. Oleh karena itulah hukumannya juga harus lebih berat. Jika perampok dan koruptor hanya di potong tangan, maka pegawai yang membolos kerja dihukum nabi Sulaiman as. dengan hukuman sembelih -karena seekor burung- atau hukuman mati dengan cara ditembak atau dipancung lehernya. 
Demikian, semoga bermanfaat.  
Artikel ini ditulis awal tahun 2013 menanggapi gencarnya pemberitaan sejumlah media terkait gaya kepemimpinan Jokowi yang suku Blusukan dan dianggap “baru” oleh sebagain uamat Islam sendiri. Artinya tulisan ini sekedar mengingatkan Umat Islam, agar lebih rajin membaca dan memperhatikan al-Qur’an, karena tidak ada satupun model kebaikan kecuali telah disebutkan di dalam al-Qur'an .