Sulaiman
“ala” Jokowi
Nama Jokowi
tentu saja bukan lagi nama yang asing di telinga sebagian besar atau bahkan
seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat penghuni Ibu Kota Jakarta.
Betapa tidak, laki-laki dengan penampilan sederhana yang sebelumnya bukan
siapa-siapa mendadak terkenal bahkan pepularitasnya melebihi sang Kepala Negara
atau bahkan ketua umum partainya sendiri semenjak menjabat gubernur DKI
Jakarta. Gaya kepemimpinannya yang lugas dan jauh dari kesan formalitas serta gaya
“blusukannya” dari kampung ke kampung, dari kali ke kali, dari tumpukan sampah
ke tumpukan sampah lain sangat memukau hati masyarakat Ibu Kota bahkan juga Indonesia.
Sikapnya yang jarang di kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan “wara-wiri”
berkeliling memantau situasi rakyatnya adalah sesuatu yang dianggap baru dan
seakan belum pernah dilakukan pemimpin lainnya.
Mengatakan apa
yang dilakukan oleh Jokowi dengan gaya pemimpinannya seperti itu adalah sesuatu
yang baru dan orisinal tentulah tidak sepenuhnya benar. Mari kita lihat sosok
pemimpin di dalam al-Qur’an yang telah melakukan apa yang dilakukan sang
gubernur, bahkan jauh lebih hebat dari apa yang telah dilakukan Jokowi. Sosok
itu adalah nabi Sulaiman as. seperti dikisahkan dalam surat al-Naml [27]:
20-21.
وتفقد الطير فقال ما لي لا
أرى الهدهد أم كان من الغائبين. لأعذبنه عذابا شديدا أو لأذبحنه أو ليأتيني بسلطان
مبين
Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata:
"Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh
aku benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang keras, atau benar-benar
menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang
terang".
Ayat
di atas menceritakan sikap nabi Sulaiman sebagai seorang raja atau pemimpin
yang selalu suka melakukan “blusukan” (al-tafaqqud). Nabi Sulaiman as. dikenal
sebagai seorang Nabi sekaligus juga seorang raja yang suka melakukan safari
atau perjalanan memerikasa keadaan rakyat yang berada dalam wilayah
kerajaannya. Sulaiman tidak hanya memerika wilayah yang dekat dari pusat
kerajaan saja, tetapi juga wilayah terjauh bahkan hingga ujung perbatasan
kerajaan yang dia pimpin. Oleh karena itulah, Allah swt. memberikan angin
sebagai kendaraannya agar bisa menjangkau lokasi terjauh dan paling sulit
sekalipun.
Di
samping sikap wara-wiri dan “blusukannya” Nabi Sulaiman ke pelosok-pelosok
negeri yang dia pimpin, dia juga tidak melupakan “blusukan” kepada seluruh staf
dan pegawainya. Adalah kebiasaan Nabi Sulaiman as. begitu datang ke Istana,
tidak langsung masuk menuju ruangannya dan duduk “sambil membaca koran” seperti
layaknya penguasa atau pejabat sekarang. Dia langsung wara-wiri dan termasuk berkeliling
memeriksa semua staf dan pegawainya, adakah di antra mereka yang terlambat
datang, tidak hadir tanpa alasan yang jelas, atau tidak berada di ruangan kerja
saat jam kerja.
Ternyata
Sulaiman mendapatkan ada satu stafnya yang tidak terlihat yang bernama
“Hud-Hud”. Sulaiman bertanya ke sana kemari,
“Kenapa ada satu pegawaiku bernama “Hud-Hud” yang tidak terlihat saat
jam kantor sudah dimulai? Apakah dia sengaja tidak datang tanpa alasan yang
jelas? Ataukah “dia sedang duduk di kedai sambil minum kopi dan menghisap
rokok?” ataukah “dia sedang ngobrol bersama temannya di luar ruangannya?” dan
seterusnya. Sulaiman kemudian memberikan ultimatum kepada pegawainya itu, “Jika
pegawaiku itu sengaja tidak datang tanpa alasan yang jelas atau membolos dari
pekerjaannya, saya akan menghukumnya dengan hukuman berat (azab syadid)
atau saya akan menyembelihnya, kecuali dia datang kepadaku dengan alasan yang
bisa diterima dan alasan itu haruslah terkait dengan kemashlahatan bangsa dan
negara (sulthan mubin).
Coba
kita lihat apa yang dilakukan Sulaiman sebagai pemimpin, dia tidak hanya
sekedar wari-wiri, “blusukan”, lebih banyak di luar kantor daripada di kantor
dan seterusnya. Tetapi, Sulaiman juga sangat tegas terhadap penyimpangan,
penyelewengan atau tindak indisipliner yang dilakukan oleh pegawai dan stafnya.
Jika dia menemukan ada pegawainya yang tidak berada di tempat saat jam kerja
tanpa alasan yang tegas dan dibenarkan undang-undang maka dia tidak segan
menghukum pegawainya itu dengan hukuman yang sangat berat. Tidak berhenti
sampai di situ, Sulaiman berjanji dengan sungguh-sungguh demi kebaikan bangsa
bahwa dia akan menyembelih pegawainya itu. Ucapan nabi Sulaiman as. itu
bukanlah sekedar ancaman untuk menakuti atau yang biasa disebut dengan istilah “gertak
sambal”. Nabi Sulaiman as. sangat serius dengan ucapannya hingga dia
menggunakan tiga bentuk penegasan (taukid) dalam ucapannya; yaitu lam
taukid (sungguh) dan dua buah nun taukid (sungguh benar-benar),
seperti terlihat dalam kata la’u‘azzibannahu (saya sungguh benar-benar
akan menghukumnya) dan kata la’azbahannnahu (saya sungguh benar-benar
akan menyembelihnya).
Beruntung
bahwa kemudian pegawainya yang bernama “Hud-Hud” tersebut datang dengan sikap
kastria –tidak main kucing-kucingan- menghadap dengan wajah tegap sambil
menyampaikan berita yang benar (naba’ yaqin) tanpa sedikitpun maksud “menjilat”
dan sekedar menyenangkan hati “sang atasan”. Hud berkata bahwa apa yang dia
dapatkan dengan ketidakhadiranya itu adalah untuk sesuatu yang sangat bermanfaat
bagi bangsa dan negara. Bahkan dia mendapatkan sesuatu dalam ketidakhadirannya
itu apa yang “sang atasan” sendiri belum pernah mengetahuinya. Dengan rasa
hormat dia berkata “Walaupun anda sering “blusukan” tetapi ternyata ada hal
penting yang tidak anda ketahui atau luput dari pantauan anda” begitu tegas
Hud-Hud. Bacalah lanjutan kisah ini pada ayat 22-24 surat al-Naml. Alasan yang
tegas dan syar’i inilah yang kemudian membuat Nabi Sulaiman as. tidak
mengeksekusi pegawainya itu.
Coba
kita lihat Jokowi, gaya wara-wiri dan “blusukannya” dan lebih banyak di
lapangan daripada di kantor sudah sangat mirip dengan Sulaiman as. Tetapi,
apakah Jokowi berani menghukum berat pegawai dan stafnya yang absen tanpa sebab
yang dibenarkan negara? Apakah Jokowi berani “menghukum mati” pegawainya yang
bolos kerja? Jika belum tentulah apa yang dicontohkan Sulaiman dalam memimpin
negaranya belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh
Jokowi. Sulaiman as. sebagai pemimpin menyadari sepenuhnya bahwa pegawai yang
bolos dari urusan kantor adalah sebuah kejahatan besar. Kejahatannya lebih
berbahaya dari seorang perampok atau koruptor. Sebab, Koroptur hanya merugikan
negara dalam waktu tertentu, sedangkan pegawai yang menerima gaji buta tanpa
kerja atau membolos kerja akan merugikan negara setiap hari hingga waktu
berpuluh tahun lamanya. Oleh karena itulah hukumannya juga harus lebih berat.
Jika perampok dan koruptor hanya di potong tangan, maka pegawai yang membolos
kerja dihukum nabi Sulaiman as. dengan hukuman sembelih -karena seekor burung-
atau hukuman mati dengan cara ditembak atau dipancung lehernya.
Demikian, semoga bermanfaat.
Demikian, semoga bermanfaat.
Artikel ini ditulis awal tahun 2013 menanggapi
gencarnya pemberitaan sejumlah media terkait gaya kepemimpinan Jokowi yang suku
Blusukan dan dianggap “baru” oleh sebagain uamat Islam sendiri. Artinya tulisan
ini sekedar mengingatkan Umat Islam, agar lebih rajin membaca dan memperhatikan
al-Qur’an, karena tidak ada satupun model kebaikan kecuali telah disebutkan di dalam al-Qur'an .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar