Musibah dan Kebersamaan
Ketika ditimpa mushibah, Allah mengajarkan umat Muhammad untuk berucap. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya akan kembali). Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 155-157
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين. الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون. أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون.
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ucapan innalillahi wa inna ialihi raji’un adalah ucapan yang hanya diajarkan Allah kepada umat nabi Muhammad saw. tidak umat-umat sebelumnya. Ucapan ini misalnya, berbeda dengan ucapan nabi Ya’qub ketika menerima kabar anaknya, Yusuf dimakan srigala. Bisa dibayangkan betapa beratnya musibah yang diterima nabi Ya’qub as. Mendengar anak kesayanganya mati mengenaskan di makan srigala, yang dia sendiri tidak sempat melihat jasadnya, karena habis di makan srigala, begitulah pengakuan saudar-saudara Yusuf kepada ayah mereka. Nabi Ya’qub hanya bisa mencium pakaian Yusuf yang berlumuran darah. Di saat musibah itu datang, nabi Ya’qub tidak menucapakan innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami hanya pada-Nya kembali) seperti yang diucapkan oleh umat nabi Muhammad. Tetapi nabi Ya’qub berkata, “aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. Seperti disebutkan Allah dalam surat Yusuf [12]: 84
وتولى عنهم وقال يا أسفى على يوسف وابيضت عيناه من الحزن فهو كظيم
Artinya: Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Kedua ucapan di atas sangat berbeda bentuk, makna dan pengaruhnya. Di mana umat Muhammad saw. Menggunakan kata ”kami” dalam ucapannya ketika ditimpa musibah yang mengandung makna banyak dan kebersamaan. Sedangkan uamat lalu seperti nabi Ya’qub as. menggunakan kata ”aku” ketika ditimpa musibah yang menunjukan makna satu dan kesendirian.
Lalu, kenapa Allah mengajarkan kalimat innalillah (Kami milik Allah) bukan Inni lillah (sesungguhnya aku milik Allah)? Ternyata ungkapan itu memiliki maksud, tujuan, dampak dan pengaruh yang besar bagi yang ditimpa musibah dan orang lain disekitarnya.
Pertama, penggunaan kata ”kami” dalam ungkapan innalillahi wa inna ilaihi raji’un menunjukan makna ”saya” dan ”orang lain” atau menunjukan arti ”banyak dan kebersamaan”. Dengan menggunakan kata ”kami” ketika ditimpa musibah maka itu berarti orang yang ditimpa musibah meyakini bahwa dia tidak sendiri menanggug beban berat ini, ada banyak orang yang akan ikut memikulnya bersama dia. Ada teman dan sahabat, ada karib dan kerabat ada tetangga jauh dan dekat, dan seterusnya. Sehingga dengan meyakini kalau dia tidak sendirian dengan musibah, maka beban derita akan terasa lebih ringan. Sebab, sebuah beban akan terasa lebih berat dan semakin berat dirasakan seseorang jika dia merasa sendirian memikulnya. Lihatlah apa yang terjadi pada nabi Ya’qub, yang sendirian memikul derita, tidak ada teman dan sahabat yang datang, tidak ada karib kerabat yang mau berbagi, bahkan anak-anak sendiri mengambil keuntungan dari duka citanya, sehingga nabi Ya’qub bertahun-tahun lamanya menderita dan meratapi dukanya sendirian.
Kedua, kata ”kami” pada inanalillah menunjukan arti banyak orang, yang berarti bahwa bahwa musibah ini bukan anda yang pertama mengalaminya dan juga bukan yang terakhir. Telah banyak orang-orang sebelum anda mengalami dan akan terus berlanjut kepada generasi sesudah anda. Jika anda ditinggal mati anak, ibu, ayah atau orang-oarang tercinta lainnya, sesungguhnya jutaan orang sebelum anda telah mengalami dan menerima hal yang serupa dan berikutnya jutaan orang setelah anda juga akan menerima dan mengalami hal yang sama. Jika anda kehilangan harta benda dan kekayaan secara tiba-tiba, maka yakinlah banyak orang yang sebelum anda mengalaminya dan juga akan dialami oleh banyak generasi setelah anda. Sehingga, kata innalillahi akan memberikan dampak optimisme bagi yang sedang ditimpa musibah, karena apa yang sedang dia terima dan hadapi adalah bagian dari sunnatullah dan aturan Allah yang berlaku untuk banyak makhlu-Nya.
Tiga, kata ”kami” pada innalillahi yang menunjukan arti banyak dan kebersamaan maknya bahwa mushibah biasanya selalu memunculkan kebersamaan dan persatuan. Sebuah keluarga yang sebelumnya bertikai, berpecah, bermusuhan, dan seterusnya, jika salah satu dari keluarga itu ditimpa musibah, maka otomatis semua anggota keluarga tersebut akan bersatu kembali. Sutau kampung atau negeri yang penduduknya berseteru dan berkelahi, tiba-tiba musibah datang pada penduduk negeri itu, maka mereka akan segera melupakan permusuhan dan pertikaian, guna bahu-membahu menghadapi musibah yang datang. Begitulah sisi baik musibah, bahwa ia biasanya akan memunculkan rasa kebersamaan dan persatuan.
Di situlah salah satu bentuk nikmatnya musibah. Sehingga wajarlah kalau dalam al-Qur’an kata musibah Allah sebutkan sama jumlahnya dengan kata syukur. Artinya, bahwa musibah dan ni’mat itu pada hakikatnya satu. Suatu musibah yang datang pada seseorang, sesungguhnya pada saat yang bersamaan adalah nikmat dan kebaikan baginya. Sebaliknya, nikmat yang diterima seseorang dan menjadikannya suka cita, sesungguhnya pada saat yang bersamaan merupakan ujian dan musibah baginya. Sebuah ungkapan bijak mengatakan, ”betapa banyak hal yang membuat seseorang tertawa, justru hal itulah yang kemudian menjadikannya menangis. Sebaliknya, betapa banyaknya hal yang awalnya menjadikan seseorang menangis dan bersedih, justru kemudian hal itulah yang membuat dia tertawa”.
Kematian, sebagai salah satu bentuk musibah yang sanagat tidak diharapkan manusia datangnya adalah nikmat di sisi yang lainnya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Kematian disebut musibah karena kematian adalah sesuatu yang menjadikan manusia sedih, takut, dan kehilangan anggota keluarganya sehingga menjadikan seseorang merasa lemah atau bahkan kesendirian. Namun kematian dikatan nikmat dan kebaikan karena kematian sesungguhnya adalah gerbang menuju kesempurnaan hidup bagi orang yang menghadapinya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Kata al-Hayawân yang berarti kehidupan yang sempurna berasal dari kata al-hayat. Kata ini kemudian mendapat tambahan alif dan nun di akhirnya. Kata ini satu pola dengan kata al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna, berasal darai kata qara’a (membaca). Begitu juga kata qurbân yang berarti kedekatan yang sempurna kepada Allah swt, berasal dari kata qaraba (dekat), kata furqân (pembeda yang sempurna), thaufân (perputaran yang sempurna), dan seterusnya.
Dunia; alam yang ditempati manusia sebelum kematian datang, adalah tempat berkumpulnya berbagai bentuk kesengsaraan dan penderitaan yang tidak akan pernah putus dan berhenti. Begitulah yang pernah dikatakan Allah kepada nabi Adam as. dalam suarat Thaha [20]: 117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (selalu menanggung kesusuhan).”
Penderitaan dan kesusuhan hidup di dunia baru berakhir bila kematian datang kepada manusia. Oleh karena itulah, Allah swt menyebutkan bahwa sebagian manusia yang mengetahui akhirat adalah kehidupan yang sempurna dan lebih baik, mereka pasti akan mencintai datangnya kematian secepatnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94-96
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(94)وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(95)وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ(96)
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar (94). Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya (95). Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (96)”.
Akan tetapi, kebanyakan manusia sangat takut dengan kematian, bahkan kalau bisa tidak pernah berjumpa dengan sesuatu yang bernama kematian. Hal itu disebabkan karena minimnya persiapan dan kondisi mansuia itu sendiri yang hidup dengan gelimang dosa dan maksiat kepada Allah swt. Bukankah seseorang yang merantau akan sangat takut pulang kampung jika dia pulang tidak membawa apa-apa dari negeri rantu, apalagi jika dia tahu kalau kepulangannya dinanti dengan cacian, hinaan, atau bahkan pukulan. Tentu berbeda dengan perantau yang sukses di rantau dan mengumpulkan uang yang banyak serta mendengar kabar bahwa dia akan disambut oleh penduduk kampung dengan pesta meriah dan sambutan hangat, alangkah inginnya seseorang itu untuk secepatnya pulang ke kampung halamannya.
Karena kematian adalah kebaikan yang akan mengantar manusia menuju kesempurnaan hidup, sehingga Allah swt, juga menyebutkan kematian dengn kata “wafat” yangh secara harfiyah berarti sempurna. Lihtlah surat al-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.
Kematian menjadi sarana penyempurnaan hidup bagi manusia, karena memang perpindahan dari satu alam ke alam berikutnya adalah bentuk proses penyempurnaan jiwa manusia. Dari alam arwah, pindah ke alam rahim, pindah ke alam dunia, dan terakhir pindah ke alam akhirat melalui sebuah proses yang namanya kematian. Dan kematian sendiri adalah sesuatu yang nikmat, bukankah setiap kali bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kamai dan kepada-Nya tempat kembali.
Kenapa tidur dinamakan kematian, padahal ia hanyalah bagian kecil dari kematian. Bisa kita bayangkan, sedangkan bagian dari kematian saja sudah begitu nikmatnya, apalagi kematian yang susungguhnya, tentulah lebih nikmat lagi. Bukankah dalam kehidupan ini, tidur adalah sesuatu yang sangat enak bahkan lebih nikmat dari makan. Seseorang jika kurang makan masih bisa tampil baik, stabil dan hebat, namun jika seseorang yang kurang tidur dia akan lemas dan tidak stabil baik fisik maupun psikis. Begitulah bukti bahwa mati sesungguhnya adalah kenikmatan tertinggi bagi manusia.
Semoga ada manfaatnya! Amin.
Minggu, 26 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar