Kamis, 19 Desember 2013

Apa yang Salah Dalam Shalat Kita?



Apa yang Salah Dalam Shalat Kita?
Dalam surat al-Ankabut [29]: 45, Allah berfirman.
اتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menegaskan bahwa secara teoritik seorang yang melaksanakan shalat akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Idealnya adalah bahwa setiap orang yang mengerjakan shalat akan terhindar dari perbuatan yang buruk, baik keburukan terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.
Akan tetapi, fakta ternyata tidak seperti teorinya dan kenyataan terbukti tidak sama dengan idealnya. Buktinya bahwa shalat ternyata tidak memberikan pengaruh dan dampak positif apa-apa pada pelakunya. Sepertinya antara shalat yang dikerjakan seseorang dengan prilaku dan tindakan keseharianya adalah dua hal yang tidak punya keterkaitan sama sekali. Shalat adalah hal yang lain, sedangkan tindakan atau prilaku adalah hal lain lagi, dan antara keduanya tidak memiliki keterkaitan apa-apa.
Sekian banyak kita lihat dalam kehidupan ini, justru pelaku tindak kejahatan, kemungkaran adalah orang-orang yang rajin shalat. Pelaku korupsi misalnya, tenyata kebanyakan adalah oarng yang mengerjakan shalat, rajin ke masjid, bahkan sekolahnya di Timur Tengah, ada juga label “Haji” di depan namanya dan seterusnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa shalat yang secara teori Allah swt sebutkan bisa mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar ternyata tidak sesuai dengan faktanya? Apa yang salah dengan ibadah shalat mereka, sehingga tidak terjadi kesamaan antara teori dan fakta dalam shalat tersebut? Jawabannya salah satunya Allah sebutkan dalam surat al-Nisa’ [4]: 103
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوْا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْداً وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقْيْموُاْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Kenapa shalat tidak member pengaruh terhadap prilaku dan perbuatan pelakunya?
Pertama, Setelah mereka shalat tidak ada lagi zikir dalam diri mereka (فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوْا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْداً وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ). Padahal Allah menyuruh jika kamu telah selesai shalat, maka sebut dan ingatlah Allah dalam situasi dan kondisi apapun kamu berada. Ingatlah dan sebutlah Allah kapanpun, bagaimanapun dan  di manapun kamu berada. Namun, ironinya Allah hanya mereka sebut dan ingat dalam shalat saja atau hanya ketika berada di atas sajadah. Begitu mereka selesai dan meninggalkan tempat shalatnya, Allah pun ikut mereka tinggalkan.
Setidaknya ada 3 makna zikir; yaitu, menyebut, mengingat dan merasakan. Maka selama seseorang menyebut nama Allah dalam setiap perbuatannya pastilah dia akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Tidaklah mungkin rasanya seseorang akan meneruskan usaha keburukan seperti mengambil sesuatu yang bukan haknya, di mana saat hendak melakukannya dia menyebut nama Allah. Begitu juga, seorang yang selalu mengingat Allah dalam setiap gerakannya, pastilah akan terhindar dari perbutan keji dan mungkar. Terlebih lagi jika seseorang sampai pada tingkat selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya dalam setiap gerakan bahkan setiap tarikan nafasnya. Namun, selama zikir tidak terwujud kecuali hanya pada saat shalat saja, maka selama itu pula shalat tidak akan memberikan dampak dan pengaruh berarti dalam mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar.
Kedua, Tidak adanya thama’ninah dengan shalat (فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقْيْموُاْ الصَّلاَةَ). Thama’ninah adalah keadaan di mana Allah membukakan hati seseorang untuk melihat indahnya kebaikan dan buruknya kejahatan. Oleh karena itulah, thama’ninah kemudian berarti tenang, karena hanya hati yang dipenuhi kebaikan dan dijauhkan dari keburukanlah yang bisa merasakan ketenangan. Kenapa seorang yang shalat masih korupsi, padahal dia sudah tahu kalau hal itu adalah kejahatan? Karena, hatinya belum terbuka untuk melihat buruknya kejahatan korupsi tersebut, sehingga dia tetap saja melanjutkannya, begitulah seterusnya. Sebaliknya, kenapa seorang yang baru saja shalat wajib tidak mau mengerjakan shalat sunat? Padahal dia tahu kalau shalat sunat adalah kebaikan? Karena, hatinya belum dibukan Allah untuk melihat indahnya kebaikan itu, sehingga dia tidak peduli dan terus mengabaikannya, begitu pula seterusnya. Itulah hakikat thama’ninah. Olah karena itu, selama orang yang shalat belum memperoleh thama’ninah, maka selama itu pula shalat tidak akan berpengaruh dalam kehidupannya.
Ketiga, Allah menutup ayat ini dengan menyebutkan bahwa shalat diwajibkan menurut waktunya yang telah ditentukan. Kenapa Allah menegaskan tentang waktu-waktu pelaksanaan shalat? Apa kaitanya penyebutan waktu shalat dengan terhindarnya orang yang shalat dari perbutan keji dan mungkar? Jawabanya tentu agar manusia melakukan shalat sesuai aturan. Manusia dalam shalat dituntut untuk taat pada aturan dan harus disiplin dalam pelaksaannya. Sebab, Jika shalat subuh dikerjakan pada waktu zuhur misalnya, maka pastilah shalatnya tidak sah, begitupun sebaliknya. Maka orang yang mengerjakan shalat barulah bisa terhindar dari yang perbuatan keji dan mungkar selama dia taat pada segala aturan yang berlaku. Disiplin tidak hanya di dalam shalat, tetapi juga di luar shalat karena memang hakikat dari ibadah shalat salah satunya adalah mendidik prilaku tatat, patuh dan disiplin. Bukankah shalat tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah rakaatnya kecuali ada uzur syar’i? Bukankah dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak boleh menyalahi atau mendahului gerakan imam? Bukankah orang yang shalat berjama’ah harus beridiri di barisan yang lurus, teratur dan rapi? Begitulah seterusnya yang menjadi bukti betapa shalat mengajarkan kedisiplinan dan ketaatan terhadap semua aturan yang berlaku dalam shalat tersebut. Tapi, sayang ketaatan dan kepatuhan itu hanya dijalankan di dalam shalat, tetapi tidak diaktualkan di luar shalat. Oleh karena itu, jika seseorang tetap patuh dan taat pada segala aturan, tidak hanya kepatuhan dan kedisiplinan di dalam shalat, namun juga diaplikasikannya di luar shalat bahkan dalam segala aktifitas hingga seluruh denyut nadi kehidupannya, maka pastilah dia akan selamat dan terhindar dari kesalahan, keburukan dan kejahatan.
Begitulah jawaban kenapa shalat sepertinya tidak memberi bekas dalam prilaku dan kehidupan keseharian para pelakunnya. Karena setelah shalat tidak ada lagi zikir kepada Allah, shalat tidak menghasilkan thama’ninah dalam dirinya, serta tidak adanya ketaatan, kepatuhan dan kedisiplinan dalam dirinya setelah shalat dikerjakan.  

1 komentar:

AriefTewe mengatakan...

Karena jarang mengagungkan Kalimat Thoyibah