Sahabat Sejati
Jika sebelumnya kita sudah bicarakan kriteria orang yang tidak boleh dijadikan teman dan sahabat, seperti tertera dalam surat al-Qalam [68]: 8-13, maka dalam tulisan ini akan kita lihat pula penjelasan Allah dalam al-Qur’an tentang siapa yang semestinya dan layak kita jadikan teman dan sahabat. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa keberadaan teman dan sahabat adalah sangat penting dalam kehidupan seseorang, bukan hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya, meringankan beban dan masalah, namun juga dalam membentuk sikap, watak dan prilaku.
Petunjuk tentang orang yang boleh dan layak kita jadikan teman dan sahabat itu terdapat dalam surat an-Nisa’ [4]: 69-70, seperti berikut;
ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا. ذلك الفضل من الله وكفى بالله عليما.
Artinya: “dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (69). yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.(70).
Berdasarkan ayat di atas, terdapat beberapa kelompok manusia yang dikategorikan teman terbaik, mereka adalah;
Pertama, para nabi dan rasul Allah. Adalah hal yang tidak akan diragukan lagi bahwa nabi dan rasul Allah adalah manusia terbaik karena mereka adalah makhluk pilihan Allah. Tidaklah heran, misalnya jika kita baca riwayat hidup para sahabat, di mana mereka berlomba-lomba untuk bisa sedekat dan sesering mungkin bersama Rasulullah saw. Bahkan ada sahabat yang akhirnya disebut ”Abu Hurairah/ Bapak kucing kecil”. Abu Hurairah dinamakan demikian, karena sikapnya kepada Rasulullah yang mirip dengan sikap anak kucing dengan tuannya. Lihatlah sifat anak kucin, yang bila tuannya pulang ia yang pertama menyambut dengan mengeluskan tubuhnya di kaki tuannya itu. Bila tuannya duduk, anak kucing biasanya juga ikut duduk atau berputar-putar di sekitar tuannya. Begitulah Abu Hurairah dengan Rasulullah saw. Yakni di mana ada Rasulullah disitulah terlihat Abu Hurairah. Hal itu juga dilakukan oleh para sahabat lain, karena mereka tahu bahwa Rasulullah adalah teman dan sahabat terbaik. Semakain dekat dan sering bersama Rasulullah, maka semakin banyak pula pelajaran dan kebaikan yang akan diperoleh.
Untuk saat sekarang, tentu para nabi dan rasul tidak akan kita temui lagi karena memang masa kenabian dan karusulan sudah berakhir. namun ingat, bahwa nabi dan rasul memiliki pewaris, mereka adalah para ulama. Maka ayat ini memberikan petunjuk, bahwa jika ingin mencari teman maka manusia terbaik untuk dijadikan teman adalah para ulama sebagai penerus para nabi dan rasul. Kenapa para ulama disebut teman terbaik? Mereka disebut orang terbaik bukan hanya kerena ilmunya yang luas, namun juga dipandang sebagai manusia yang paling bertaqwa kepada Allah. Lihat firman Allah dalam surat Fathir [35]: 28
ومن الناس والدواب والأنعام مختلف ألوانه كذلك إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
Dengan menjadikan teman orang yang memiliki ilmu yang luas serta memiliki sifat taqwa kepada Allah swt. diharapkan ilmu dan ketaqwaannya juga menular kepada kita. Karena seperti yang dijelaskan bahwa teman akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan prilkau kita. Paling tidak dengan berteman dengan para ulama akan bisa mengobati penyakit hati kita, begitulah lebih kurang sabda Rasulullah.
Kedua, Para shiddiiqiin yaitu mereka yang terkenal sebagai orang benar lagi membenarkan. Para shiddiqin bukan hanya benar dalam setiap perkataan, sikap dan perbuatannya, namun juga mudah menerima kebenaran. Seorang yang benar tentu saja jauh dari sikap dusta dan bohong, dan sikap ini jelas akan menjadikan kita merasa nyaman berteman dengan seseorang. Karena teman yang pendusta dan pembohong, pada saat tidak menguntungkan dia tidak akan segan berbohong untuk menjadikan kita celaka dan demi keselamatan dirinya sendiri. Bukankah bohong adalah ciri orang munafik, yang dalam istilah modern juga disebut manusia opurtunis? Bukankah opurtunis berarti orang yang lebih mengutamakan peluang dan keuntungan, walaupun harus mengorbankan pihak lain? Maka carilah teman yang memiliki sikap benar!
Sikap benar belum cukup untuk menjadikan seorang teman, namun juga harus punya sikap membenarkan. Sikap membenarkan berarti sikap di mana seseorang gampang dan mudah menerima kebenaran pihak lain. Sering ditemukan banyak orang yang mamapu bicara benar, tapi sangat sulit menerima kebenaran orang lain. Dia hanya merasa bahwa kebenaran itu hanya milik dirinya sendiri. Manusia seperti ini adalah tipikal manusia egois dan sombong. Sikap ini sangat tidak disukai Allah, namun disenangi iblis dan syaithan karena memang syaithan diusir dari sorga karena sikap egois dan sombong tersebut. maka berteman dengan shiddiqin sangatlah indah, karena bukan hanya kita yang akan mendapatkan kebenaran, namun kita juga bisa menyampaikan kebanaran kepadanya. Dengan demikian, pastilah cara pertemanan seperti itu akan memudahkan komunikasi serta terjaminnya kelanggengan dan keharomonisan hubungan.
Tiga, para syuhada’ yang dalam pengertian sederhana selalu diartikan sebagai orang-orang yang mati syahid. Tentu saja tidak mungkin kita di dunia ini akan berteman dengan syuhada’, jika mereka adalah orang-orang yang telah terbunuh di jalan Allah. Namun demikian, kita bisa mengambil makna hakiki dari syuhada’ dalam bentuk sikap yang dimilikinya. Yaitu para syuhada’ adalah orang-orang yang tidak pernah takut membela dan menegakkan kebenaran. Maka berteman dengan para syuhda’ bisa diartikan berteman dengan orang-orang yang memiliki sikap hidup selalu menegakkan kebenaran dan tidak pernah merasa takut selama dalam kebenaran itu sekalipun nyawa mereka menjadi taruhannya.
Di sisi lain, harus juga diingat bahwa kata al-syuhada’ tidak selalu berarti orang yang mati di jalan Allah, karena dalam beberapa ayat lainnya kata ini juga berarti penolong (Q.S. al-Baqarah [2]: 23, orang yang hadir (al-Baqarah [2]: 113), saksi (al-Baqarah [2]: 282, dan bahkan juga berati patokan, ukuran, patron dan seterusnya. Lihatlah misalnya firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 143.
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا....
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (ukuran) atas (perbuatan) kamu..”.
Patron berati seseorang adalah ukuran bagi kebanyakan orang. Tolak ukur biasanya selalu bermakna posistif, di mana seorang yang dianggap terbaik, lalu dijadikan timbangan bagi kebaikan orang lain. Ibarat timbangan, patron berarti sesuatu yang dipakai dan diletakkan di satu anak timbangan untuk mengukur berat benda lain yang diletakkan di mata timbangan yang lain. Maka jika seseorang disebut ukuran bagi orang lain, pastilah dia manusia terbaik dan memiliki sikap-sikap terbaik sehingga layak menjadi ukuran bagi orang lain.
Berteman dengan orang yang demikian, tentu akan sangat menguntungkan. Karena, seperti yang sudah populer diungkapkan bahwa teman seseorang adalah gambaran utuh tentang dirinya. Seorang yang terhormat, tentulah akan menjikan orang terhormat pula menjadi temannya. Maka bertemanlah dengan manusia terbaik, karena andaikata anda belum bisa menjadi terbaik dan menjadi patokan orang lain seperti teman anda, minimal anda akan terhidar dari pandangan dan anggapan negatif disebabkan kemuliaan teman yang anda miliki.
Empat, orang-orang saleh yaitu mereka yang selalu berbuat baik dan mendatang mashalahat baik untuk dirinya maupun orang lain. Seorang yang shalih tidak akan berbuat rusak (fasad) baik terhadap dirinya juga orang lain. Jika seseorang tidak segan membuat keruskan dan kebinasaan untuk dirinya sendiri, maka tentulah dia tidak akan segan dan malu pula untuk merusak orang lain, termasuk orang yang dianggapnya sebagai teman atau sahabat.
Oleh karena itu, bertemanlah dengan orang shalih, sehingga anda selamat dari kerusakan dan kebinasaan. Ingatlah bahwa nanti di akhirat sebagian manusia yang divonis sebagai penghuni neraka, ternyata menyesal karena telah salah dalam memilih teman sehingga dia menjadi penghuni neraka. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Furqan [25]: 28
يا ويلتى ليتني لم أتخذ فلانا خليلا
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab (ku).”
Semoga bermanfaat, wallahu a’lam.
Minggu, 26 Februari 2012
Cara memilih teman
Cara memilih teman
Manusia adalah makhluk sosial dan suka hidup bersama, begitulah ungkapan populer tentang manusia. Memang tidak ada satupun manusia yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Karena tidak ada satupun pekerjaan yang bisa dilakukan seseorang, kecuali di sana ada bantuan dan andil pihak lain. Jangankan pekerjaan besar dan sulit, untuk tertawapun yang dianggap pekerjaan gampang dan mudah pastilah butuh orang lain. Bukankah tertawa sendiri tanpa ada orang lain akan mendatangkan masalah bagi yang bersangkutan?
Itulah sebabnya pesan pertama yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. di Gua Hira’ adalah penegasan akan fitrah membangun kebersamaan ini. Di mana wahyu yang pertama kali diturunkan, salah satunya menyebutkan bahwa ”manusia diciptakan dari segumpal darah (’alaq). Kata ’alaq secara harfiyah berarti ”tergantung”. Karenanya, ”lintah” dalam kosa kata bahasa Arab juga disebut ’alaq karena sifatnya yang tergantung saat menghisap darah mangsanya. Gumpalan darah yang merupakan cikal bakal manusia tersebut disebut ’alaq karena sifatnya yang tergantung pada rahim seperti layaknya lintah. Dengan menyebutkan manusia diciptakan dari ’alaq, Allah swt. menegaskan bahwa begitulah sifat dasar manusia yang semenjak awal penciptaannya dia sudah memiliki ketergantungan pada pihak lain.
Sifat ketergantungan yang dimiliki manusia ini kemudian diwujudkan dalam bentuk membangun kerjasama dengan orang lain, dan kerjasama ini berawal dari hubungan persahabatan dan pertemanan. Oleh karenanya, mencari teman dan sahabat adalah fitrah setiap manusia. Namun demikian, agar manusia tidak salah dan keliru dalam memilih teman dan sahabat, maka Allah memberikan tuntunan tentangnya. Tuntunan tersebut menjadi penting, kesalahan dalam memilih teman dan sahabat justru bukannya akan memudahkan hidup manusia, justru malah bisa mendatangkan kesulitan dan petaka.
Adapun tuntuan tersebut seperti disebutkan dalam surat al-Qalam [68]: 8-13
فلا تطع المكذبين. ودوا لو تدهن فيدهنون. ولا تطع كل حلاف مهين. هماز مشاء بنميم. مناع للخير معتد أثيم. عتل بعد ذلك زنيم
Artinya: “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya,
Ayat di atas memberikan beberapa kriteria orang tidak boleh kita jadikan teman dan sahabat yang akan kita terima dan ikuti segala saran dan nasehatnya atau bahkan sikap dan prilakunya. Mereka yang tidak boleh dijadikan teman adalah;
Pertama, Orang yang selalu mendustakan ayat-ayat Allah, yaitu mereka yang tidak mau percaya dan menerima kebenaran sekalipun sudah banyak bukti dan argumentasi diberikan pada mereka. Orang yang tidak mau menerima kebenaran biasanya adalah manusia yang egois dan sombong. Kesombongan adalah musuh kebaikan dan menjadikan seseorang jauh dari rahmat Allah serta dekat dengan syaithan. Bagaimanakah jadinya jika kita mengambil sahabat seorang yang jauh dari Allah dan dekat dengan syaithan? Di sisi lain, bahwa orang yang tidak mau menerima kebenaran dan mendustakan ayat-ayat Allah, tentu saja akan jauh dari amal kebajikan. Sebab, amal kebajikan biasanya selalu lahir dari kepercayaan dan keyakinan akan Allah dan kebesaran-Nya.
Kedua, jangan menjadikan teman dan mengikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina. Kehinaan yang dimaksud adalah sesuatu yang lahir dari sifat-sifat buruk yang dimilikinya, salah satunya adalah banyak bersumpah.
Kenapa seseorang sering, banyak atau gampang bersumpah? Sumpah adalah bentuk penguat (ta’kid) yang paling tinggi dari sebuah ucapan. Biasanya sumpah digunakan ketika lawan bicara tidak mempercayai ucapannya. Sehingga, jika seseorang mudah bersumpah itu berarti bahwa dia yakin kalau ucapannya tidak dipercayai orang lain. Perasaan tidak akan dipercayai orang lain, biasanya memang karena ucapan itu mengandung unsur bohong atau mengada-ada. Maka orang yang sering dan banyak bersumpah biasanya adalah pembohong dan suka mengada-ada. Maka ayat ini melarang seseorang untuk menjadikan teman orang yang suka berbohong dan mengada-ada bicarannya. Berteman dengan pembohong hanya akan mendatangkan masalah dan kesulitan bagi yang bersangkutan. Karena seorang pembohong tiadak akan segan berbohong dan mencelakan temananya sendiri demi kesalamatan dan kemashlahatan dirinya.
Ketiga, jangan menjadikan teman orang yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Sikap mencela adalah sikap dimana seseorang tidak pernah bisa melihat kebaikan dalam diri orang lain. Setiap saat dia hanya sibuk mencari keburukan orang lain, bahkan kebaikan yang dimiliki orang lain yang semestinya dihargai justru dianggapnya kejahatan dan disebarkan pada manusia lain. Sikap suka mencela pada akhirnya akan menjadikan manusia dijauhi orang lain dan bahkan cenderung memiliki banyak musuh. Bagaimanakah jadinya, jika kita mengambil orang yang demikian menjadi teman? Tentulah kerugian yang akan kita derita dan alami.
Empat, jangan jadikan teman orang yang suka menghalangi perbuatan baik. Alangkah buruknya sahabat yang demikian, sudahlah tidak mau berbuat baik, diapun tidak senang melihat orang lain berbuat baik dan terus berusaha menghalangi orang tersebut sehingga jauh dari kebaikan. Alangkah celakanya kita jika menjadikan orang yang demikian menjadi sahabat dan teman karib. Ketika kita bermakasud shalat berjama’ah ke masjid, dia malah membujuk untuk pergi berjudi. Ketika kita bermaksud pergi sekolah dan belajar, dia malah mengajak untuk cabut dan bolos. Ketika kita hendak pergi mendengarkan ceramah di masjid atau mushalla, dia malah mengajak pergi ke bisokop nonton film. Adakah yang akan kita terima selain kerugian dan penyesalan dari sahabat yang demikian? Yang pasti tidak ada.
Lima, jangan jadikan teman orang yang melampaui batas lagi banyak dosa. Melampaui batas adalah sebuah perbuatan yang disukai oleh syaithan, karena kata syaithan itu sendiri memang berarti melewati batas. Bukankah perbuatan mubazzir adalah saudara syaithan? Karena mubazzir pada prinsipnya adalah perbuatan melampui batas. Makanan yang seharusnya diambil satu porsi yang memang demikianlah kapasitas perutnya, lalu di ambil dua porsi sehingga bersisa dan tidak habis, maka itu adalah bentuk mubazzir. Pakaian yang harusnya cukup 2 pasang, lalu dibeli 10 pasang sehingga menumpuk di lemari dan menjadi lapuk dan lusuh tanpa dimanfaatkan adalah perbuatan mubazzir dan melampaui batas. Handphone yang harusnya cukup 1 buah, lalu dipakai 3 sampai 4 dengan harga jutaan adalah perbuatan melampui batas dan mubazzir, dan seterusnya.
Suatu perbuatan yang melampui batas tentu saja akan selalu mendatangkan dampak buruk bagi yang bersangkutan. Jangankan perbutan yang sudah pasti buruknya, perbuatan yang mubahpun jika melampui batas akan berakibat buruk. Tertawa yang melampui batas akan berujung pada tangisan, begitu juga tangisan yang melampaui batas akan berakhir dengan tertawa sendiri alias ”gila”. Begitulah perbuatan melampui batas. Oleh karenanya, jangan pernah berteman dengan orang yang suka melampaui batas, karena hanya akan mendatangkan masalah dan kesulitan.
Enam, jangan jadikan tenam dan sahabat orang yang kasar. Sikap kasar jelas tidak akan mendatangkan rasa nyaman, karena hal itu adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Oleh karena itulah manusia disebut Allah swt dengan sebutan al-ins yang secara harfiyah artinya jinak dan lembut. Manusia dinamakan demikian karena fitrahnya adalah lembut dan santun. Namun demikian, fitrah atau potensi lembut dan santun ini bisa berubah menjadi kasar karena faktor eksternal yang salah satunya adalah pengaruh orang dekat dan lingkungan sekitar. Seorang anak yang dididik di lingkungan yang identik dengan kekerasan dan prilaku kasar, maka secara perlahan namun pasti potensi lembutnya akan berubah menjadi kasar dan bengis pula. Bukankah seekor singa atau harimau, jika semenjak lahir dibesarkan di lingkungan manusia yang ramah dan penuh kelembutan akan kehilangan potensi buas dan liarnya serta akan berubah menjadi binatang jinak seperti layaknya seekor kucing. Begitulah besarnya peran orang dekat dalam membentuk karakter dan watak seseorang. Oleh karena itu, jangan pernah berteman dengan orang yang keras, bengis dan kasar karena sikap buruk itu banyak sedikit secara perlahan namun pasti akan menjalar dan menular pada kita sahabatnya.
Tujuh, jangan jadikan teman orang dan yang terkenal kejahatannya. Sebuah ungkapan bijak mengatakan, ”jika engakau ingin tahu dengan seseorang, maka tidak perlu engkau mengenalnya lebih dekat, namun cukup engkau mengetahui siapa teman dan sahabatnya. Sebab, teman dan sahabatnya itu adalah gambaran siapa sesungguhnya dia”.
Adalah fitrah manusia kalau dia akan mencari teman dan gampang bersahabat dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya, apakah persamaan umur, ras, bahasa, profesi, pendidikan dan sebagainya. Maka wajar jika dikatakan bahwa teman seseorang adalah gambaran siapa dirinya. Maka jika kita berteman dengan seorang ustadz misalnya, maka tentulah orang lain akan mengaggap diri kita sebagai orang baik. Jika berteman dengan pemabuk dan pejudi, mungkinkah orang lain menganggap kita seorang ustadz? Tentu tidak. Maka, jika anda berteman dan bersahabat dengan pendosa dan memang sudah terkenal dengan kejahatannya, maka tentulah anggapan manusia lain adalah bahwa anda juga seorang penjahat seperti sahabat anda tersebut. Pepatah bijak lain mengatakan, ”jika anda berteman dengan penjual minyak wangi, maka minimal anda akan mencium aroma wanginya. Namun, jika anda berteman dengan ”tukang apa” atau pandai besi, minimal anda akan terkena bunga api, asap atau minimal panasnya api”.
Semoga bermanfaan. Wallahu a’lam.
Manusia adalah makhluk sosial dan suka hidup bersama, begitulah ungkapan populer tentang manusia. Memang tidak ada satupun manusia yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Karena tidak ada satupun pekerjaan yang bisa dilakukan seseorang, kecuali di sana ada bantuan dan andil pihak lain. Jangankan pekerjaan besar dan sulit, untuk tertawapun yang dianggap pekerjaan gampang dan mudah pastilah butuh orang lain. Bukankah tertawa sendiri tanpa ada orang lain akan mendatangkan masalah bagi yang bersangkutan?
Itulah sebabnya pesan pertama yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. di Gua Hira’ adalah penegasan akan fitrah membangun kebersamaan ini. Di mana wahyu yang pertama kali diturunkan, salah satunya menyebutkan bahwa ”manusia diciptakan dari segumpal darah (’alaq). Kata ’alaq secara harfiyah berarti ”tergantung”. Karenanya, ”lintah” dalam kosa kata bahasa Arab juga disebut ’alaq karena sifatnya yang tergantung saat menghisap darah mangsanya. Gumpalan darah yang merupakan cikal bakal manusia tersebut disebut ’alaq karena sifatnya yang tergantung pada rahim seperti layaknya lintah. Dengan menyebutkan manusia diciptakan dari ’alaq, Allah swt. menegaskan bahwa begitulah sifat dasar manusia yang semenjak awal penciptaannya dia sudah memiliki ketergantungan pada pihak lain.
Sifat ketergantungan yang dimiliki manusia ini kemudian diwujudkan dalam bentuk membangun kerjasama dengan orang lain, dan kerjasama ini berawal dari hubungan persahabatan dan pertemanan. Oleh karenanya, mencari teman dan sahabat adalah fitrah setiap manusia. Namun demikian, agar manusia tidak salah dan keliru dalam memilih teman dan sahabat, maka Allah memberikan tuntunan tentangnya. Tuntunan tersebut menjadi penting, kesalahan dalam memilih teman dan sahabat justru bukannya akan memudahkan hidup manusia, justru malah bisa mendatangkan kesulitan dan petaka.
Adapun tuntuan tersebut seperti disebutkan dalam surat al-Qalam [68]: 8-13
فلا تطع المكذبين. ودوا لو تدهن فيدهنون. ولا تطع كل حلاف مهين. هماز مشاء بنميم. مناع للخير معتد أثيم. عتل بعد ذلك زنيم
Artinya: “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya,
Ayat di atas memberikan beberapa kriteria orang tidak boleh kita jadikan teman dan sahabat yang akan kita terima dan ikuti segala saran dan nasehatnya atau bahkan sikap dan prilakunya. Mereka yang tidak boleh dijadikan teman adalah;
Pertama, Orang yang selalu mendustakan ayat-ayat Allah, yaitu mereka yang tidak mau percaya dan menerima kebenaran sekalipun sudah banyak bukti dan argumentasi diberikan pada mereka. Orang yang tidak mau menerima kebenaran biasanya adalah manusia yang egois dan sombong. Kesombongan adalah musuh kebaikan dan menjadikan seseorang jauh dari rahmat Allah serta dekat dengan syaithan. Bagaimanakah jadinya jika kita mengambil sahabat seorang yang jauh dari Allah dan dekat dengan syaithan? Di sisi lain, bahwa orang yang tidak mau menerima kebenaran dan mendustakan ayat-ayat Allah, tentu saja akan jauh dari amal kebajikan. Sebab, amal kebajikan biasanya selalu lahir dari kepercayaan dan keyakinan akan Allah dan kebesaran-Nya.
Kedua, jangan menjadikan teman dan mengikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina. Kehinaan yang dimaksud adalah sesuatu yang lahir dari sifat-sifat buruk yang dimilikinya, salah satunya adalah banyak bersumpah.
Kenapa seseorang sering, banyak atau gampang bersumpah? Sumpah adalah bentuk penguat (ta’kid) yang paling tinggi dari sebuah ucapan. Biasanya sumpah digunakan ketika lawan bicara tidak mempercayai ucapannya. Sehingga, jika seseorang mudah bersumpah itu berarti bahwa dia yakin kalau ucapannya tidak dipercayai orang lain. Perasaan tidak akan dipercayai orang lain, biasanya memang karena ucapan itu mengandung unsur bohong atau mengada-ada. Maka orang yang sering dan banyak bersumpah biasanya adalah pembohong dan suka mengada-ada. Maka ayat ini melarang seseorang untuk menjadikan teman orang yang suka berbohong dan mengada-ada bicarannya. Berteman dengan pembohong hanya akan mendatangkan masalah dan kesulitan bagi yang bersangkutan. Karena seorang pembohong tiadak akan segan berbohong dan mencelakan temananya sendiri demi kesalamatan dan kemashlahatan dirinya.
Ketiga, jangan menjadikan teman orang yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Sikap mencela adalah sikap dimana seseorang tidak pernah bisa melihat kebaikan dalam diri orang lain. Setiap saat dia hanya sibuk mencari keburukan orang lain, bahkan kebaikan yang dimiliki orang lain yang semestinya dihargai justru dianggapnya kejahatan dan disebarkan pada manusia lain. Sikap suka mencela pada akhirnya akan menjadikan manusia dijauhi orang lain dan bahkan cenderung memiliki banyak musuh. Bagaimanakah jadinya, jika kita mengambil orang yang demikian menjadi teman? Tentulah kerugian yang akan kita derita dan alami.
Empat, jangan jadikan teman orang yang suka menghalangi perbuatan baik. Alangkah buruknya sahabat yang demikian, sudahlah tidak mau berbuat baik, diapun tidak senang melihat orang lain berbuat baik dan terus berusaha menghalangi orang tersebut sehingga jauh dari kebaikan. Alangkah celakanya kita jika menjadikan orang yang demikian menjadi sahabat dan teman karib. Ketika kita bermakasud shalat berjama’ah ke masjid, dia malah membujuk untuk pergi berjudi. Ketika kita bermaksud pergi sekolah dan belajar, dia malah mengajak untuk cabut dan bolos. Ketika kita hendak pergi mendengarkan ceramah di masjid atau mushalla, dia malah mengajak pergi ke bisokop nonton film. Adakah yang akan kita terima selain kerugian dan penyesalan dari sahabat yang demikian? Yang pasti tidak ada.
Lima, jangan jadikan teman orang yang melampaui batas lagi banyak dosa. Melampaui batas adalah sebuah perbuatan yang disukai oleh syaithan, karena kata syaithan itu sendiri memang berarti melewati batas. Bukankah perbuatan mubazzir adalah saudara syaithan? Karena mubazzir pada prinsipnya adalah perbuatan melampui batas. Makanan yang seharusnya diambil satu porsi yang memang demikianlah kapasitas perutnya, lalu di ambil dua porsi sehingga bersisa dan tidak habis, maka itu adalah bentuk mubazzir. Pakaian yang harusnya cukup 2 pasang, lalu dibeli 10 pasang sehingga menumpuk di lemari dan menjadi lapuk dan lusuh tanpa dimanfaatkan adalah perbuatan mubazzir dan melampaui batas. Handphone yang harusnya cukup 1 buah, lalu dipakai 3 sampai 4 dengan harga jutaan adalah perbuatan melampui batas dan mubazzir, dan seterusnya.
Suatu perbuatan yang melampui batas tentu saja akan selalu mendatangkan dampak buruk bagi yang bersangkutan. Jangankan perbutan yang sudah pasti buruknya, perbuatan yang mubahpun jika melampui batas akan berakibat buruk. Tertawa yang melampui batas akan berujung pada tangisan, begitu juga tangisan yang melampaui batas akan berakhir dengan tertawa sendiri alias ”gila”. Begitulah perbuatan melampui batas. Oleh karenanya, jangan pernah berteman dengan orang yang suka melampaui batas, karena hanya akan mendatangkan masalah dan kesulitan.
Enam, jangan jadikan tenam dan sahabat orang yang kasar. Sikap kasar jelas tidak akan mendatangkan rasa nyaman, karena hal itu adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Oleh karena itulah manusia disebut Allah swt dengan sebutan al-ins yang secara harfiyah artinya jinak dan lembut. Manusia dinamakan demikian karena fitrahnya adalah lembut dan santun. Namun demikian, fitrah atau potensi lembut dan santun ini bisa berubah menjadi kasar karena faktor eksternal yang salah satunya adalah pengaruh orang dekat dan lingkungan sekitar. Seorang anak yang dididik di lingkungan yang identik dengan kekerasan dan prilaku kasar, maka secara perlahan namun pasti potensi lembutnya akan berubah menjadi kasar dan bengis pula. Bukankah seekor singa atau harimau, jika semenjak lahir dibesarkan di lingkungan manusia yang ramah dan penuh kelembutan akan kehilangan potensi buas dan liarnya serta akan berubah menjadi binatang jinak seperti layaknya seekor kucing. Begitulah besarnya peran orang dekat dalam membentuk karakter dan watak seseorang. Oleh karena itu, jangan pernah berteman dengan orang yang keras, bengis dan kasar karena sikap buruk itu banyak sedikit secara perlahan namun pasti akan menjalar dan menular pada kita sahabatnya.
Tujuh, jangan jadikan teman orang dan yang terkenal kejahatannya. Sebuah ungkapan bijak mengatakan, ”jika engakau ingin tahu dengan seseorang, maka tidak perlu engkau mengenalnya lebih dekat, namun cukup engkau mengetahui siapa teman dan sahabatnya. Sebab, teman dan sahabatnya itu adalah gambaran siapa sesungguhnya dia”.
Adalah fitrah manusia kalau dia akan mencari teman dan gampang bersahabat dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya, apakah persamaan umur, ras, bahasa, profesi, pendidikan dan sebagainya. Maka wajar jika dikatakan bahwa teman seseorang adalah gambaran siapa dirinya. Maka jika kita berteman dengan seorang ustadz misalnya, maka tentulah orang lain akan mengaggap diri kita sebagai orang baik. Jika berteman dengan pemabuk dan pejudi, mungkinkah orang lain menganggap kita seorang ustadz? Tentu tidak. Maka, jika anda berteman dan bersahabat dengan pendosa dan memang sudah terkenal dengan kejahatannya, maka tentulah anggapan manusia lain adalah bahwa anda juga seorang penjahat seperti sahabat anda tersebut. Pepatah bijak lain mengatakan, ”jika anda berteman dengan penjual minyak wangi, maka minimal anda akan mencium aroma wanginya. Namun, jika anda berteman dengan ”tukang apa” atau pandai besi, minimal anda akan terkena bunga api, asap atau minimal panasnya api”.
Semoga bermanfaan. Wallahu a’lam.
Dunia Permainan?
Dunia Permainan?
“Dunia adalah panggung sandiwara” begitulah salah satu bunyi bait lagu yang pernah dipopulerkan oleh Ahmad Albar. Panggung sandiwara menunjukan bahwa dunia adalah sebuah pertunjukan di mana para tokoh dan pemain memerankan peran yang bukan sesungguhnya. Sandiwara adalah sebuah hiburan belaka karenanya sandiwara disebut karya fiktif dan khayalan. Benarkah dunia ini panggung tempat berakting, bertujuan hiburan semata dan bersifat kesenangan sesaat? Untuk menjawabnya, marilah kita lihat firman Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: ” Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
Betul, ternyata dalam ayat di atas Allah menyebut dunia sebagai sebuah senda gurau (lahwuni) dan permaian (la’ibun). Namun penyebutan dunia sebagai bentuk permainan bukan berarti melecehkan dan meremehkan dunia ini, namun penyebutan tersebut memiliki tujuan, maksud serta pesan mulia untuk kebaikan hidup manusia itu sendiri.
Pertama, dengan menyebut bahwa dunia adalah permainan tersirat pesan bahwa betapa terbatas dan singkatnya masa hidup di dunia ini, jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang akan dijalani manusia. Sebuah permainan apapun bentuknya pastilah memiliki limit dan batas waktu. Sepak bola misalnya, hanya dimainkan dalam waktu 2x45 menit, setelah itu pluit panjang akan dibunyikan pertanda berakhirnya pertandingan. Bola basket, bola voli, bulu tangkis dan sejenisnya adalah permainan yang dibatasi oleh hitungan, yakni jika sudah mencapai hitungan tertentu, maka otomatis permainan berakhir. Begitulah juga kehidupan di dunia, bahwa masanya sangat terbatas dan sedikit. Bukankah limit dan batas waktu yang kita lalui dalam sebuah pertandingan jika dibandingkan dengan masa keseluruhan hidup yang kita lalui, adalah sangat sedikit?
Dengan menyebutkan bahwa dunia adalah permainan, Allah swt mengingatkan manusia agar tidak terlena dengan dunia yang sesaat dan sebentar itu, karena ada kehidupan yang tidak terbatas waktu yang akan ditempuh yaitu akhirat. Maka persiapkanlah diri dengan sebaiknya menempuh kehidupan yang panjang tak berbats itu. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Dhuha [93]: 4
وللآخرة خير لك من الأولى
Artinya: “dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).”
Kedua, dengan menyebut dunia adalah permainan ada pesan bahwa betapa sedikitnya kegembiraan dan kebahagiaan dunia. Karema permaian sesungguhnya adalah hiburan sesaat. Jika permaian usai, maka kegembiraan juga selesai. Bukankah seorang anak tidak jarang menangis ketika waktu bermainnya habis? Begitulah dunia, bahwa kemegahan, kegembiraan, kesenangannya akan ikut berakhir dengan berakhir kehidupan dunia ini. Kita yang dulu berpangkat tinggi, hidup dimuliakan, kemana datang disambut seperti raja, jika bicara di ikuti tepuk tangan manusia, jika hendak pergi kendaraan siap antar-jemput dengan sopir yang setia membuka dan menutup pintu dan seterusnya. Akan tetapi, ketika sudah habis masanya, kematian datang mengakhiri kehidupan maka semua kemegahan hilang dan lenyap sudah. Betapa banyak orang yang dulu menyayangi, menghormati, mengagumi, serta mengelu-elukan kita ternyata secara bersama-sama pula mereka membenamkan jasad dan tubuh kita ke dalam lobang tanah. Tidak ada lagi teman, sahabat, isteri anak, pembantu dan sebagainya, semua pergi dan meninggalkan kita sendirian di tempat sempit, gelap dan pengap. Mana kegembiraan dan kesenanagan dulu? Mana kemulian dan kehormatan dulu? Semua berakhir karena waktu beramain juga berakhir, begitulah dunia.
Ingatlah, bahwa hanya kebahagian dan kegembiraan akhiratlah yang tidak akan berakhir. lihatlah firman Allah dalam surat al-Insan [76]: 11
فوقاهم الله شر ذلك اليوم ولقاهم نضرة وسرورا
Artinya: Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
Ketiga, dengan menyebutkan bahwa dunia adalah permainan sesungguhnya ada pesan agar manusia tidak boleh lengah, lalai dan gagal dalam kehidupan dunia itu sendiri. Manusia harus serius hdiup didunia ini, mencari dan mengumpulkan dunia sebanyak-banyaknya, menjadi pemenang dalam segala hal, namun tentu kebrhasilan mengumpulkan dunia adalah digunakan sebagai bekal meraih kesenangan dan kebahagian hakiki di akhirat. Allah menginginkan manusia agar serius menjalankan hidup di dunia, karena apapun bentuk permaiannya sudah pasti tujuan para pemaian adalah meraih kemenangan. Adalah sangat menyakitkan bagi para pemain, bahkan juga penonton dan supporter jika timnya bermaian buruk sehingga menelan kekalahan. Bukankah sering kita saksikan terjadi keributan antar pemain bahkan antar supporter karena timnya menderita kekalahan. Andaipun dunia adalah panggung sandiwara, maka tentu saja kesungguhan dan keseriusan menjadi tuntutannya. Bukankah seorang aktor dinilai sukses, jika dia berakting dengan baik sehingga membuat penonton larut dalam cerita yang dibawakannya.
Begitulah kehidupan dunia, biarpun disebut permainan tetapi tuntutannya adalah bahwa para pemainnya meraih kemenangan dan kesuksesan hidup padanya. Karena kesuksesan dunia akan menjadi sarana dan jembatan meraih kesuksesan akhirat yang merupakan puncak segala kemenangan.
Empat, dengan menyebut hidup di dunia adalah permainan memberikan tuntunan kepada manusia agar tidak boleh menyerah dan putus dalam kehidupan ini sebelum permainan benar-benar dinyatakan berakhir. lihatlah permainan sepak bola, seringkali kemenangan ditentukan oleh menit-menit akhir sebelum pluit panjang dibunyikan. Sehingga, saat-saat sebelum pluit panjang dibunyikan merupakan waktu yang paling krusial dalam sebuah permainan untuk meraih sukses dan kemenangan.
Oleh karena itu, dalam menjalani hidup di dunia ini tidak boleh ada kata pasrah, menyerah apalagi kalah sebelum bertanding. Teruslah berjuang tanpa henti sebelum ajal benar-benar datang mengakhiri hidup ini. Tidak boleh ada istilah terlambat, sudah tua, cukuplah sampai di sini, dan sebagainya untuk berbuat amal kebajikan dan memperbaiki diri guna meraih sukses dunia dan akhirat. Ingatlah pesan Nabi saw! Bahwa taubat seseorang masih diterima Allah sebelum nywanya sampai ditenggorokannya.
Semoga ada manfaatnya, wallahu a’lam.
“Dunia adalah panggung sandiwara” begitulah salah satu bunyi bait lagu yang pernah dipopulerkan oleh Ahmad Albar. Panggung sandiwara menunjukan bahwa dunia adalah sebuah pertunjukan di mana para tokoh dan pemain memerankan peran yang bukan sesungguhnya. Sandiwara adalah sebuah hiburan belaka karenanya sandiwara disebut karya fiktif dan khayalan. Benarkah dunia ini panggung tempat berakting, bertujuan hiburan semata dan bersifat kesenangan sesaat? Untuk menjawabnya, marilah kita lihat firman Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: ” Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
Betul, ternyata dalam ayat di atas Allah menyebut dunia sebagai sebuah senda gurau (lahwuni) dan permaian (la’ibun). Namun penyebutan dunia sebagai bentuk permainan bukan berarti melecehkan dan meremehkan dunia ini, namun penyebutan tersebut memiliki tujuan, maksud serta pesan mulia untuk kebaikan hidup manusia itu sendiri.
Pertama, dengan menyebut bahwa dunia adalah permainan tersirat pesan bahwa betapa terbatas dan singkatnya masa hidup di dunia ini, jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang akan dijalani manusia. Sebuah permainan apapun bentuknya pastilah memiliki limit dan batas waktu. Sepak bola misalnya, hanya dimainkan dalam waktu 2x45 menit, setelah itu pluit panjang akan dibunyikan pertanda berakhirnya pertandingan. Bola basket, bola voli, bulu tangkis dan sejenisnya adalah permainan yang dibatasi oleh hitungan, yakni jika sudah mencapai hitungan tertentu, maka otomatis permainan berakhir. Begitulah juga kehidupan di dunia, bahwa masanya sangat terbatas dan sedikit. Bukankah limit dan batas waktu yang kita lalui dalam sebuah pertandingan jika dibandingkan dengan masa keseluruhan hidup yang kita lalui, adalah sangat sedikit?
Dengan menyebutkan bahwa dunia adalah permainan, Allah swt mengingatkan manusia agar tidak terlena dengan dunia yang sesaat dan sebentar itu, karena ada kehidupan yang tidak terbatas waktu yang akan ditempuh yaitu akhirat. Maka persiapkanlah diri dengan sebaiknya menempuh kehidupan yang panjang tak berbats itu. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Dhuha [93]: 4
وللآخرة خير لك من الأولى
Artinya: “dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).”
Kedua, dengan menyebut dunia adalah permainan ada pesan bahwa betapa sedikitnya kegembiraan dan kebahagiaan dunia. Karema permaian sesungguhnya adalah hiburan sesaat. Jika permaian usai, maka kegembiraan juga selesai. Bukankah seorang anak tidak jarang menangis ketika waktu bermainnya habis? Begitulah dunia, bahwa kemegahan, kegembiraan, kesenangannya akan ikut berakhir dengan berakhir kehidupan dunia ini. Kita yang dulu berpangkat tinggi, hidup dimuliakan, kemana datang disambut seperti raja, jika bicara di ikuti tepuk tangan manusia, jika hendak pergi kendaraan siap antar-jemput dengan sopir yang setia membuka dan menutup pintu dan seterusnya. Akan tetapi, ketika sudah habis masanya, kematian datang mengakhiri kehidupan maka semua kemegahan hilang dan lenyap sudah. Betapa banyak orang yang dulu menyayangi, menghormati, mengagumi, serta mengelu-elukan kita ternyata secara bersama-sama pula mereka membenamkan jasad dan tubuh kita ke dalam lobang tanah. Tidak ada lagi teman, sahabat, isteri anak, pembantu dan sebagainya, semua pergi dan meninggalkan kita sendirian di tempat sempit, gelap dan pengap. Mana kegembiraan dan kesenanagan dulu? Mana kemulian dan kehormatan dulu? Semua berakhir karena waktu beramain juga berakhir, begitulah dunia.
Ingatlah, bahwa hanya kebahagian dan kegembiraan akhiratlah yang tidak akan berakhir. lihatlah firman Allah dalam surat al-Insan [76]: 11
فوقاهم الله شر ذلك اليوم ولقاهم نضرة وسرورا
Artinya: Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
Ketiga, dengan menyebutkan bahwa dunia adalah permainan sesungguhnya ada pesan agar manusia tidak boleh lengah, lalai dan gagal dalam kehidupan dunia itu sendiri. Manusia harus serius hdiup didunia ini, mencari dan mengumpulkan dunia sebanyak-banyaknya, menjadi pemenang dalam segala hal, namun tentu kebrhasilan mengumpulkan dunia adalah digunakan sebagai bekal meraih kesenangan dan kebahagian hakiki di akhirat. Allah menginginkan manusia agar serius menjalankan hidup di dunia, karena apapun bentuk permaiannya sudah pasti tujuan para pemaian adalah meraih kemenangan. Adalah sangat menyakitkan bagi para pemain, bahkan juga penonton dan supporter jika timnya bermaian buruk sehingga menelan kekalahan. Bukankah sering kita saksikan terjadi keributan antar pemain bahkan antar supporter karena timnya menderita kekalahan. Andaipun dunia adalah panggung sandiwara, maka tentu saja kesungguhan dan keseriusan menjadi tuntutannya. Bukankah seorang aktor dinilai sukses, jika dia berakting dengan baik sehingga membuat penonton larut dalam cerita yang dibawakannya.
Begitulah kehidupan dunia, biarpun disebut permainan tetapi tuntutannya adalah bahwa para pemainnya meraih kemenangan dan kesuksesan hidup padanya. Karena kesuksesan dunia akan menjadi sarana dan jembatan meraih kesuksesan akhirat yang merupakan puncak segala kemenangan.
Empat, dengan menyebut hidup di dunia adalah permainan memberikan tuntunan kepada manusia agar tidak boleh menyerah dan putus dalam kehidupan ini sebelum permainan benar-benar dinyatakan berakhir. lihatlah permainan sepak bola, seringkali kemenangan ditentukan oleh menit-menit akhir sebelum pluit panjang dibunyikan. Sehingga, saat-saat sebelum pluit panjang dibunyikan merupakan waktu yang paling krusial dalam sebuah permainan untuk meraih sukses dan kemenangan.
Oleh karena itu, dalam menjalani hidup di dunia ini tidak boleh ada kata pasrah, menyerah apalagi kalah sebelum bertanding. Teruslah berjuang tanpa henti sebelum ajal benar-benar datang mengakhiri hidup ini. Tidak boleh ada istilah terlambat, sudah tua, cukuplah sampai di sini, dan sebagainya untuk berbuat amal kebajikan dan memperbaiki diri guna meraih sukses dunia dan akhirat. Ingatlah pesan Nabi saw! Bahwa taubat seseorang masih diterima Allah sebelum nywanya sampai ditenggorokannya.
Semoga ada manfaatnya, wallahu a’lam.
Musibah dan Kebersamaan
Musibah dan Kebersamaan
Ketika ditimpa mushibah, Allah mengajarkan umat Muhammad untuk berucap. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya akan kembali). Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 155-157
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين. الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون. أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون.
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ucapan innalillahi wa inna ialihi raji’un adalah ucapan yang hanya diajarkan Allah kepada umat nabi Muhammad saw. tidak umat-umat sebelumnya. Ucapan ini misalnya, berbeda dengan ucapan nabi Ya’qub ketika menerima kabar anaknya, Yusuf dimakan srigala. Bisa dibayangkan betapa beratnya musibah yang diterima nabi Ya’qub as. Mendengar anak kesayanganya mati mengenaskan di makan srigala, yang dia sendiri tidak sempat melihat jasadnya, karena habis di makan srigala, begitulah pengakuan saudar-saudara Yusuf kepada ayah mereka. Nabi Ya’qub hanya bisa mencium pakaian Yusuf yang berlumuran darah. Di saat musibah itu datang, nabi Ya’qub tidak menucapakan innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami hanya pada-Nya kembali) seperti yang diucapkan oleh umat nabi Muhammad. Tetapi nabi Ya’qub berkata, “aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. Seperti disebutkan Allah dalam surat Yusuf [12]: 84
وتولى عنهم وقال يا أسفى على يوسف وابيضت عيناه من الحزن فهو كظيم
Artinya: Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Kedua ucapan di atas sangat berbeda bentuk, makna dan pengaruhnya. Di mana umat Muhammad saw. Menggunakan kata ”kami” dalam ucapannya ketika ditimpa musibah yang mengandung makna banyak dan kebersamaan. Sedangkan uamat lalu seperti nabi Ya’qub as. menggunakan kata ”aku” ketika ditimpa musibah yang menunjukan makna satu dan kesendirian.
Lalu, kenapa Allah mengajarkan kalimat innalillah (Kami milik Allah) bukan Inni lillah (sesungguhnya aku milik Allah)? Ternyata ungkapan itu memiliki maksud, tujuan, dampak dan pengaruh yang besar bagi yang ditimpa musibah dan orang lain disekitarnya.
Pertama, penggunaan kata ”kami” dalam ungkapan innalillahi wa inna ilaihi raji’un menunjukan makna ”saya” dan ”orang lain” atau menunjukan arti ”banyak dan kebersamaan”. Dengan menggunakan kata ”kami” ketika ditimpa musibah maka itu berarti orang yang ditimpa musibah meyakini bahwa dia tidak sendiri menanggug beban berat ini, ada banyak orang yang akan ikut memikulnya bersama dia. Ada teman dan sahabat, ada karib dan kerabat ada tetangga jauh dan dekat, dan seterusnya. Sehingga dengan meyakini kalau dia tidak sendirian dengan musibah, maka beban derita akan terasa lebih ringan. Sebab, sebuah beban akan terasa lebih berat dan semakin berat dirasakan seseorang jika dia merasa sendirian memikulnya. Lihatlah apa yang terjadi pada nabi Ya’qub, yang sendirian memikul derita, tidak ada teman dan sahabat yang datang, tidak ada karib kerabat yang mau berbagi, bahkan anak-anak sendiri mengambil keuntungan dari duka citanya, sehingga nabi Ya’qub bertahun-tahun lamanya menderita dan meratapi dukanya sendirian.
Kedua, kata ”kami” pada inanalillah menunjukan arti banyak orang, yang berarti bahwa bahwa musibah ini bukan anda yang pertama mengalaminya dan juga bukan yang terakhir. Telah banyak orang-orang sebelum anda mengalami dan akan terus berlanjut kepada generasi sesudah anda. Jika anda ditinggal mati anak, ibu, ayah atau orang-oarang tercinta lainnya, sesungguhnya jutaan orang sebelum anda telah mengalami dan menerima hal yang serupa dan berikutnya jutaan orang setelah anda juga akan menerima dan mengalami hal yang sama. Jika anda kehilangan harta benda dan kekayaan secara tiba-tiba, maka yakinlah banyak orang yang sebelum anda mengalaminya dan juga akan dialami oleh banyak generasi setelah anda. Sehingga, kata innalillahi akan memberikan dampak optimisme bagi yang sedang ditimpa musibah, karena apa yang sedang dia terima dan hadapi adalah bagian dari sunnatullah dan aturan Allah yang berlaku untuk banyak makhlu-Nya.
Tiga, kata ”kami” pada innalillahi yang menunjukan arti banyak dan kebersamaan maknya bahwa mushibah biasanya selalu memunculkan kebersamaan dan persatuan. Sebuah keluarga yang sebelumnya bertikai, berpecah, bermusuhan, dan seterusnya, jika salah satu dari keluarga itu ditimpa musibah, maka otomatis semua anggota keluarga tersebut akan bersatu kembali. Sutau kampung atau negeri yang penduduknya berseteru dan berkelahi, tiba-tiba musibah datang pada penduduk negeri itu, maka mereka akan segera melupakan permusuhan dan pertikaian, guna bahu-membahu menghadapi musibah yang datang. Begitulah sisi baik musibah, bahwa ia biasanya akan memunculkan rasa kebersamaan dan persatuan.
Di situlah salah satu bentuk nikmatnya musibah. Sehingga wajarlah kalau dalam al-Qur’an kata musibah Allah sebutkan sama jumlahnya dengan kata syukur. Artinya, bahwa musibah dan ni’mat itu pada hakikatnya satu. Suatu musibah yang datang pada seseorang, sesungguhnya pada saat yang bersamaan adalah nikmat dan kebaikan baginya. Sebaliknya, nikmat yang diterima seseorang dan menjadikannya suka cita, sesungguhnya pada saat yang bersamaan merupakan ujian dan musibah baginya. Sebuah ungkapan bijak mengatakan, ”betapa banyak hal yang membuat seseorang tertawa, justru hal itulah yang kemudian menjadikannya menangis. Sebaliknya, betapa banyaknya hal yang awalnya menjadikan seseorang menangis dan bersedih, justru kemudian hal itulah yang membuat dia tertawa”.
Kematian, sebagai salah satu bentuk musibah yang sanagat tidak diharapkan manusia datangnya adalah nikmat di sisi yang lainnya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Kematian disebut musibah karena kematian adalah sesuatu yang menjadikan manusia sedih, takut, dan kehilangan anggota keluarganya sehingga menjadikan seseorang merasa lemah atau bahkan kesendirian. Namun kematian dikatan nikmat dan kebaikan karena kematian sesungguhnya adalah gerbang menuju kesempurnaan hidup bagi orang yang menghadapinya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Kata al-Hayawân yang berarti kehidupan yang sempurna berasal dari kata al-hayat. Kata ini kemudian mendapat tambahan alif dan nun di akhirnya. Kata ini satu pola dengan kata al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna, berasal darai kata qara’a (membaca). Begitu juga kata qurbân yang berarti kedekatan yang sempurna kepada Allah swt, berasal dari kata qaraba (dekat), kata furqân (pembeda yang sempurna), thaufân (perputaran yang sempurna), dan seterusnya.
Dunia; alam yang ditempati manusia sebelum kematian datang, adalah tempat berkumpulnya berbagai bentuk kesengsaraan dan penderitaan yang tidak akan pernah putus dan berhenti. Begitulah yang pernah dikatakan Allah kepada nabi Adam as. dalam suarat Thaha [20]: 117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (selalu menanggung kesusuhan).”
Penderitaan dan kesusuhan hidup di dunia baru berakhir bila kematian datang kepada manusia. Oleh karena itulah, Allah swt menyebutkan bahwa sebagian manusia yang mengetahui akhirat adalah kehidupan yang sempurna dan lebih baik, mereka pasti akan mencintai datangnya kematian secepatnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94-96
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(94)وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(95)وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ(96)
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar (94). Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya (95). Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (96)”.
Akan tetapi, kebanyakan manusia sangat takut dengan kematian, bahkan kalau bisa tidak pernah berjumpa dengan sesuatu yang bernama kematian. Hal itu disebabkan karena minimnya persiapan dan kondisi mansuia itu sendiri yang hidup dengan gelimang dosa dan maksiat kepada Allah swt. Bukankah seseorang yang merantau akan sangat takut pulang kampung jika dia pulang tidak membawa apa-apa dari negeri rantu, apalagi jika dia tahu kalau kepulangannya dinanti dengan cacian, hinaan, atau bahkan pukulan. Tentu berbeda dengan perantau yang sukses di rantau dan mengumpulkan uang yang banyak serta mendengar kabar bahwa dia akan disambut oleh penduduk kampung dengan pesta meriah dan sambutan hangat, alangkah inginnya seseorang itu untuk secepatnya pulang ke kampung halamannya.
Karena kematian adalah kebaikan yang akan mengantar manusia menuju kesempurnaan hidup, sehingga Allah swt, juga menyebutkan kematian dengn kata “wafat” yangh secara harfiyah berarti sempurna. Lihtlah surat al-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.
Kematian menjadi sarana penyempurnaan hidup bagi manusia, karena memang perpindahan dari satu alam ke alam berikutnya adalah bentuk proses penyempurnaan jiwa manusia. Dari alam arwah, pindah ke alam rahim, pindah ke alam dunia, dan terakhir pindah ke alam akhirat melalui sebuah proses yang namanya kematian. Dan kematian sendiri adalah sesuatu yang nikmat, bukankah setiap kali bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kamai dan kepada-Nya tempat kembali.
Kenapa tidur dinamakan kematian, padahal ia hanyalah bagian kecil dari kematian. Bisa kita bayangkan, sedangkan bagian dari kematian saja sudah begitu nikmatnya, apalagi kematian yang susungguhnya, tentulah lebih nikmat lagi. Bukankah dalam kehidupan ini, tidur adalah sesuatu yang sangat enak bahkan lebih nikmat dari makan. Seseorang jika kurang makan masih bisa tampil baik, stabil dan hebat, namun jika seseorang yang kurang tidur dia akan lemas dan tidak stabil baik fisik maupun psikis. Begitulah bukti bahwa mati sesungguhnya adalah kenikmatan tertinggi bagi manusia.
Semoga ada manfaatnya! Amin.
Ketika ditimpa mushibah, Allah mengajarkan umat Muhammad untuk berucap. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya akan kembali). Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 155-157
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين. الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون. أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون.
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ucapan innalillahi wa inna ialihi raji’un adalah ucapan yang hanya diajarkan Allah kepada umat nabi Muhammad saw. tidak umat-umat sebelumnya. Ucapan ini misalnya, berbeda dengan ucapan nabi Ya’qub ketika menerima kabar anaknya, Yusuf dimakan srigala. Bisa dibayangkan betapa beratnya musibah yang diterima nabi Ya’qub as. Mendengar anak kesayanganya mati mengenaskan di makan srigala, yang dia sendiri tidak sempat melihat jasadnya, karena habis di makan srigala, begitulah pengakuan saudar-saudara Yusuf kepada ayah mereka. Nabi Ya’qub hanya bisa mencium pakaian Yusuf yang berlumuran darah. Di saat musibah itu datang, nabi Ya’qub tidak menucapakan innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami hanya pada-Nya kembali) seperti yang diucapkan oleh umat nabi Muhammad. Tetapi nabi Ya’qub berkata, “aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. Seperti disebutkan Allah dalam surat Yusuf [12]: 84
وتولى عنهم وقال يا أسفى على يوسف وابيضت عيناه من الحزن فهو كظيم
Artinya: Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Kedua ucapan di atas sangat berbeda bentuk, makna dan pengaruhnya. Di mana umat Muhammad saw. Menggunakan kata ”kami” dalam ucapannya ketika ditimpa musibah yang mengandung makna banyak dan kebersamaan. Sedangkan uamat lalu seperti nabi Ya’qub as. menggunakan kata ”aku” ketika ditimpa musibah yang menunjukan makna satu dan kesendirian.
Lalu, kenapa Allah mengajarkan kalimat innalillah (Kami milik Allah) bukan Inni lillah (sesungguhnya aku milik Allah)? Ternyata ungkapan itu memiliki maksud, tujuan, dampak dan pengaruh yang besar bagi yang ditimpa musibah dan orang lain disekitarnya.
Pertama, penggunaan kata ”kami” dalam ungkapan innalillahi wa inna ilaihi raji’un menunjukan makna ”saya” dan ”orang lain” atau menunjukan arti ”banyak dan kebersamaan”. Dengan menggunakan kata ”kami” ketika ditimpa musibah maka itu berarti orang yang ditimpa musibah meyakini bahwa dia tidak sendiri menanggug beban berat ini, ada banyak orang yang akan ikut memikulnya bersama dia. Ada teman dan sahabat, ada karib dan kerabat ada tetangga jauh dan dekat, dan seterusnya. Sehingga dengan meyakini kalau dia tidak sendirian dengan musibah, maka beban derita akan terasa lebih ringan. Sebab, sebuah beban akan terasa lebih berat dan semakin berat dirasakan seseorang jika dia merasa sendirian memikulnya. Lihatlah apa yang terjadi pada nabi Ya’qub, yang sendirian memikul derita, tidak ada teman dan sahabat yang datang, tidak ada karib kerabat yang mau berbagi, bahkan anak-anak sendiri mengambil keuntungan dari duka citanya, sehingga nabi Ya’qub bertahun-tahun lamanya menderita dan meratapi dukanya sendirian.
Kedua, kata ”kami” pada inanalillah menunjukan arti banyak orang, yang berarti bahwa bahwa musibah ini bukan anda yang pertama mengalaminya dan juga bukan yang terakhir. Telah banyak orang-orang sebelum anda mengalami dan akan terus berlanjut kepada generasi sesudah anda. Jika anda ditinggal mati anak, ibu, ayah atau orang-oarang tercinta lainnya, sesungguhnya jutaan orang sebelum anda telah mengalami dan menerima hal yang serupa dan berikutnya jutaan orang setelah anda juga akan menerima dan mengalami hal yang sama. Jika anda kehilangan harta benda dan kekayaan secara tiba-tiba, maka yakinlah banyak orang yang sebelum anda mengalaminya dan juga akan dialami oleh banyak generasi setelah anda. Sehingga, kata innalillahi akan memberikan dampak optimisme bagi yang sedang ditimpa musibah, karena apa yang sedang dia terima dan hadapi adalah bagian dari sunnatullah dan aturan Allah yang berlaku untuk banyak makhlu-Nya.
Tiga, kata ”kami” pada innalillahi yang menunjukan arti banyak dan kebersamaan maknya bahwa mushibah biasanya selalu memunculkan kebersamaan dan persatuan. Sebuah keluarga yang sebelumnya bertikai, berpecah, bermusuhan, dan seterusnya, jika salah satu dari keluarga itu ditimpa musibah, maka otomatis semua anggota keluarga tersebut akan bersatu kembali. Sutau kampung atau negeri yang penduduknya berseteru dan berkelahi, tiba-tiba musibah datang pada penduduk negeri itu, maka mereka akan segera melupakan permusuhan dan pertikaian, guna bahu-membahu menghadapi musibah yang datang. Begitulah sisi baik musibah, bahwa ia biasanya akan memunculkan rasa kebersamaan dan persatuan.
Di situlah salah satu bentuk nikmatnya musibah. Sehingga wajarlah kalau dalam al-Qur’an kata musibah Allah sebutkan sama jumlahnya dengan kata syukur. Artinya, bahwa musibah dan ni’mat itu pada hakikatnya satu. Suatu musibah yang datang pada seseorang, sesungguhnya pada saat yang bersamaan adalah nikmat dan kebaikan baginya. Sebaliknya, nikmat yang diterima seseorang dan menjadikannya suka cita, sesungguhnya pada saat yang bersamaan merupakan ujian dan musibah baginya. Sebuah ungkapan bijak mengatakan, ”betapa banyak hal yang membuat seseorang tertawa, justru hal itulah yang kemudian menjadikannya menangis. Sebaliknya, betapa banyaknya hal yang awalnya menjadikan seseorang menangis dan bersedih, justru kemudian hal itulah yang membuat dia tertawa”.
Kematian, sebagai salah satu bentuk musibah yang sanagat tidak diharapkan manusia datangnya adalah nikmat di sisi yang lainnya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Kematian disebut musibah karena kematian adalah sesuatu yang menjadikan manusia sedih, takut, dan kehilangan anggota keluarganya sehingga menjadikan seseorang merasa lemah atau bahkan kesendirian. Namun kematian dikatan nikmat dan kebaikan karena kematian sesungguhnya adalah gerbang menuju kesempurnaan hidup bagi orang yang menghadapinya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Kata al-Hayawân yang berarti kehidupan yang sempurna berasal dari kata al-hayat. Kata ini kemudian mendapat tambahan alif dan nun di akhirnya. Kata ini satu pola dengan kata al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna, berasal darai kata qara’a (membaca). Begitu juga kata qurbân yang berarti kedekatan yang sempurna kepada Allah swt, berasal dari kata qaraba (dekat), kata furqân (pembeda yang sempurna), thaufân (perputaran yang sempurna), dan seterusnya.
Dunia; alam yang ditempati manusia sebelum kematian datang, adalah tempat berkumpulnya berbagai bentuk kesengsaraan dan penderitaan yang tidak akan pernah putus dan berhenti. Begitulah yang pernah dikatakan Allah kepada nabi Adam as. dalam suarat Thaha [20]: 117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (selalu menanggung kesusuhan).”
Penderitaan dan kesusuhan hidup di dunia baru berakhir bila kematian datang kepada manusia. Oleh karena itulah, Allah swt menyebutkan bahwa sebagian manusia yang mengetahui akhirat adalah kehidupan yang sempurna dan lebih baik, mereka pasti akan mencintai datangnya kematian secepatnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94-96
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(94)وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(95)وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ(96)
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar (94). Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya (95). Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (96)”.
Akan tetapi, kebanyakan manusia sangat takut dengan kematian, bahkan kalau bisa tidak pernah berjumpa dengan sesuatu yang bernama kematian. Hal itu disebabkan karena minimnya persiapan dan kondisi mansuia itu sendiri yang hidup dengan gelimang dosa dan maksiat kepada Allah swt. Bukankah seseorang yang merantau akan sangat takut pulang kampung jika dia pulang tidak membawa apa-apa dari negeri rantu, apalagi jika dia tahu kalau kepulangannya dinanti dengan cacian, hinaan, atau bahkan pukulan. Tentu berbeda dengan perantau yang sukses di rantau dan mengumpulkan uang yang banyak serta mendengar kabar bahwa dia akan disambut oleh penduduk kampung dengan pesta meriah dan sambutan hangat, alangkah inginnya seseorang itu untuk secepatnya pulang ke kampung halamannya.
Karena kematian adalah kebaikan yang akan mengantar manusia menuju kesempurnaan hidup, sehingga Allah swt, juga menyebutkan kematian dengn kata “wafat” yangh secara harfiyah berarti sempurna. Lihtlah surat al-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.
Kematian menjadi sarana penyempurnaan hidup bagi manusia, karena memang perpindahan dari satu alam ke alam berikutnya adalah bentuk proses penyempurnaan jiwa manusia. Dari alam arwah, pindah ke alam rahim, pindah ke alam dunia, dan terakhir pindah ke alam akhirat melalui sebuah proses yang namanya kematian. Dan kematian sendiri adalah sesuatu yang nikmat, bukankah setiap kali bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kamai dan kepada-Nya tempat kembali.
Kenapa tidur dinamakan kematian, padahal ia hanyalah bagian kecil dari kematian. Bisa kita bayangkan, sedangkan bagian dari kematian saja sudah begitu nikmatnya, apalagi kematian yang susungguhnya, tentulah lebih nikmat lagi. Bukankah dalam kehidupan ini, tidur adalah sesuatu yang sangat enak bahkan lebih nikmat dari makan. Seseorang jika kurang makan masih bisa tampil baik, stabil dan hebat, namun jika seseorang yang kurang tidur dia akan lemas dan tidak stabil baik fisik maupun psikis. Begitulah bukti bahwa mati sesungguhnya adalah kenikmatan tertinggi bagi manusia.
Semoga ada manfaatnya! Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)