Abid Penghuni Neraka
Disebutkan dalam sebuah kisah, bahwa nabi Musa as. suatu ketika ingin menemui Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Di tengah perjalanan, nabi Musa as. dicegat oleh seorang abid. Sang abid berkata kepada Musa as. “Hai Musa mau kemana engkau?”. Nabi Musa menjawab, “Saya ingin menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya”. Sang abid berkata, “Hai Musa! tolong nanti engkau katakan kepada Tuhan, bahwa di sana terdapat hamba-Nya yang sudah puluhan tahun menghabiskan umurnya beribadah kepada-Nya. Dia mengasingkan dirinya di sebuah goa dan menghindarkan manusia banyak demi hanya untuk beribadah kepada Tuhannya. Tanyakan kepada Tuhan, sorga yang mana yang pantas untuknya.”
Setelah nabi Musa as. menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya, maka Musa menyampaikan pesan sang abid tersebut. Setelah mendengarkan uraian Musa tentang abid itu, maka Allah swt mengatakan bahwa tempatnya adalah neraka.
Nabi Musa as. kemudian pulang dan ditengah perjalannya, kembali bertemu dengan sang abid. Nabi Musa as memberitahukan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya, bahwa dia akan masuk neraka. Sang abid kemudian, berfikir bagaimana mungkin dia bisa masuk neraka dengan kesalehan yang dinilainya sangat tinggi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib orang-orang yang tidak pernah beribadah kepada Tuhan.
Sang abid kemudian berkata kepada Musa, “Hai Musa! besok jika engkau kembali menemui Tuhan, tolong katakan kepada-Nya; jika saya mesti masuk neraka, maka tolong jadikan tubuhku ini sebesar-besarnya hingga menutupi pintu neraka sehingga tidak ada manusia lain yang bisa memasukinya. Jika saya harus masuk neraka, biarlah saya sendiri saja yang menjadi wakil semua manusia yang akan masuk neraka. “Nabi Musa as kemudian datang lagi menemui Tuhan dan menanyakan kembali tentang abid tersebut. Allah swt menjawab “Dia adalah penghuni sorga”.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa betapa kesalehan seseorang kepada Allah tidak menjadi jaminan dia menjadi penghuni sorga, jika dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama. Sebab, dalam menjalankan kehidupan di dunia ini ada dua hal yang mesti dijaga oleh manusia; hubungan baik dengan Allah (habulum minallâh), dan hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannâs). Jika salah satunya tidak dijalankan manusia, maka tentu tujuan dan maksud penciptaanya tidak tercapai.
Bahkan jika dihayati semua ritual ibadah yang dilaksankan umat Islam, maka kedua hal di atas adalah bagian yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Setiap ibadah ritual (mahdhah) yang diperintahkan Allah kepada manusia selalu memiliki dua dimensi; dimensi vertikal (hablum minallâh), dan dimensi horizontal (hablum minanâs). Misalnya, shalat yang dimulai dengan takbir; mengagungkan Allah swt dan diakhiri dengan salam; mendo’akan orang-orang yang di sekeliling. Begitu juga puasa, walaupun wujudnya menahan haus dan lapar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, namun pada hakikatnya Allah mengajak manusia untuk ikut merasakan apa yang sering dirasakan oleh manusia lain yang hidup dalam kekurangan, sehingga orang yang berpuasa memiliki simpati dan empati kepada penderitaan sesama dan perasaan mau berbagi yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk zakat fitrah. Zakat juga begitu yang walaupun tujuannya mensucikan harta dan jiwa karena Allah, akan tetapi pelaksanaanya adalah bahwa harta itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan begitulah seterusnya. Bahkan pelanggaran terhadap aturan agama yang mengharuskan seseorang membayar denda (dam), bentuknya tetap dalam kerangka kepedulian sosial; yaitu memberi makan orang miskin.
Begitu pentingnya menyatukan kesalehan dalam ibadah ritual dengan kesalehan sosial. Al-Qur’an dalam banyak ayatnya mengecam manusia yang rajin beribadah, namun ibadahnya tidak memberi bekas pada kesalehan sosilnya. Seperti dalam surat al-Ma’un [107]: 4-5
فويل للمصلين (4) الذين هم عن صلاتهم ساهون (5)
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya(5).”
Lalai yang dimaksud di sini adalah tidak mengayati shalat yang dilakukannya. Sebab, dalam ayat di atas Allah swt menggunakan kata (عن) yang berarti dari atau tentang. Oleh karena itu, yang dimaksud orang shalat yang celaka oleh Allah dalam ayat ini bukannya lalai dalam pelaksanaan shalat, namun tidak menghayati makna shalatnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang yang mengerjakan shalat, namun tidak punya rasa simpati kepada penderitaan orang lain atau tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama juga dikategorikan celaka, karena shalat mengajarkan kepedulian melalui salam sebagai salah satu rukunnya,begitulah seterusnya.
Rabu, 11 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar