Dialog Malaikat Jibril, Kerbau,
Kelelawar, Ulat dan Cacing
Suatu ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. Jibril pun bertanya kepadanya, “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?”. Kerbau menjawab, “Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini. Daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.”
Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelewar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. Kelelawarpun menjawab “Alhamdulillâh saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang singkat dan cepat. Daripada saya diciptakan sebagai seekor ulat yang ukuran tubuhnya kecil dan berjalan melata di atas bumi”.
Malaikat Jibrilpun berangkat menemui ulat dan bertanya kepadanya apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor ulat. Ulatpun menjawab, “Alhamdulillâh saya sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor ulat, walaupun berjalan melata di muka bumi namun masih dapat menyaksikan dan menatap cahaya matahari. Tidak seperti cacing yang hidup di dalam tanah, tidak berani menatap matahari dan berjalan menarik tubuhnya”.
Maka Jibril pun berangkat menemui cacing dan bertanya kepadanya apakah ia senang dan bahagia diciptakan menjadi seekor cacing. Cacingpun menjawab, “Alhamdulillâh saya senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing. Walaupun tubuh saya kecil dan berdiam di dalam tanah serta tidak bisa menatap matahari, namun kalau saya nanti mati saya tidak akan mempertanggungjawabkan apa yang telah aku lakukan kepada Tuhan. Dari pada saya diciptakan menjadi manusia yang sempurna, namun jika dia tidak mampu beramal kebajikan dan menggunakan kesempurnaannya itu untuk beribadah kepada Tuhan, maka selamanya dia akan menerima siksa dari Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran. Pertama, bahwa dalam hidup di dunia ini kita haruslah selalu memandang ke bawah. Jangan membiasakan diri memandang ke atas karena akan membuat kita “silau” karenanya. Orang yang selalu melihat ke bawah akan senantiasa bersyukur dengan kondisinya apapun bentuknya. Sebab, dia akan merasakan bahwa kondisinya jauh lebih baik dan lebih sempurna bila dibandingkan orang lain.
Kedua, manusia selaku makhluk sempurna akan diminta pertanggungjawaban atas kesempurnaannya itu. Allah telah memberikan akal dan rohani kepadanya yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dengan itu juga manusia dibebani dengan serangkaian tugas dan kewajiban yang mesti ditunaikannya. Jika dia tidak mampu maka kelak dia akan menerima siksa dari Allah. Berbeda halnya dengan binatang yang tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Oleh karena itu, manusia haruslah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertanyaan Tuhan nanti di akhirat dengan melakukan amal-amal shalih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar