Manfaat Infak dan Shadaqah
Kata infak dan shadaqah merupakan kata yang seringkali kita dengar dan ucapkan. Secara sederhana kata ini dipahami sebagai suatu bentuk pemberian, apakah bentuknya materi ataupun immateri. Allah swt dalam beberapa ayat-Nya memerintahkan manusia untuk berinfak dan bersedekah. Sebab, ada banyak keutamaan atau manfaat infak dan shadaqah tersebut bagi manusia. Di antaranya;
1. Memperbaiki hubungan manusia dengan Allah swt
Infak atau shadaqah apakah sunat maupun wajib, yang pasti adalah perintah Allah swt. Banyak ayat maupun hadits yang memerintahkannya, misalnya surat al-Munafiqun [63]: 10, “Dan nafkahkanlah sebagian apa yang telah kami beri rezeki kepadamu…”. Selanjutnya dalam surat al-Baqarah [2]: 3, Allah swt menyebutkan bahwa salah satu ciri orang bertaqwa adalah “…menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Begitu juga dalam surat at-Taubah [9]: 103, Allah swt berfirman
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah dari harta mereka shadaqah yang akan membersihkan harta mereka dan mensucikan jiwa mereka.”
Dengan demikian, ketika seseorang memberi apakah bentuknya infak atau shadaqah, artinya dia sedang melaksanakan perintah Allah swt, dan ketika itu berarti dia sedang beribadah. Bukankah ibadah sarana untuk memperbaiki hubungan dengan Allah swt?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan
ان الله في عون العبد مادام العبد في عون اخيه
Artinya: “Sesungguhnya Allah selalu menolong hamba-Nya, selama hambanya itu selalu menolong saudaranya”.
Hal itu menunjukan bahwa infaq atau shadaqah akan menjadikan seseorang dekat dengan pertolongan Allah swt, yang tentu saja diperoleh karena hubungan yang baik dengan-Nya.
Selanjutnya, dengan berinfaq atau bersedakah seseorang akan terhindar dari murka, kecaman, dan amarah Allah swt. Sebab, dalam al-Qur’an kata mâl yang berarti harta, kadangkala digabungkan dengan dhamîr mufrad (kata ganti bentuk tunggal) seperti mâlahu yang berarti hartanya, dan kadangkala digabungkan dengan dhamîr jama’ (kata ganti bentuk banyak) seperti amwâlahum yang berarti harta mereka. Akan tetapi, semua kata mâl atau harta yang digabungkan dengan kata ganti tunggal, selalu dalam makna kecaman atau kemurkaan Allah swt. Lihat misalnya surat al-Baqarah [2]: 264, surat Nuh [71] : 21, Surat al-Lail [92] : 11, surat al-Humazah [104] : 3, al-Lahab [111] : 2. Dengan demikian, berarti bahwa harta yang befungsi individual dan tidak berfungsi sosial, maka Allah swt sangat memurkai dan mencelanya. Bukankah orang yang dimurka dan dicela Allah swt, berarti hubungannya tidak baik dengan-Nya. Begitulah, infak dan shadaqah bertujuan memperbaiki hubungan manusia dengan Allah swt.
2. Memperbaiki hubungan manusia dengan diri sendiri
Dengan berinfak atau bersedekah pada hakikatnya seseorang menyadari kalau dia bukanlah pemilik sesuatu, namun hanya penerima titipan Allah swt yang mesti dia bagikan kepada orang lain yang merupakan hak mereka. Dengan menyadari kalau harta bukanlah miliknya secara penuh, maka dia akan terhindar dari sikap tama’, rakus, sombong, kikir dan seterusnya. Bukankah semua hal itu merupakan penyakit yang selalu mengotori rohani manuisa?
Begitu juga dengan memberi, seseorang akan terhindar dari kendali perbudakan hawa nafssu. Sebab, ketika seseorang menyadari bahwa apa yang dimilikinya adalah titipan Allah swt, sudah pasti dia akan mencari dan mendapatkannya sesuai keinginan Allah swt dan membelanjakannya sesuai aturan Allah swt juga. Begitulah agaknya yang dimaksud Allah swt dalam surat at-Taubah [9]: 102 di atas, bahwa bersedakah tidak hanya bertujuan membersihkan harta dari kotorannya (thathhîr), tetapi juga bertujuan mensucikan jiwa manusia dari kotoran yang bisa mengotorinya (tadzkiyah).
3. Memperbaiki hubungan manusia dengan sesama
Dengan berinfak atau bersedekah, kemudian diberikan kepada orang lain yang membutuhkan, akan menimbulakan rasa persaudaraan dan kasih sayang di antara sesama manusia. Dengan memberi, juga bisa memperkecil jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Dengan memberi, juga bisa menimbulkan gairah dan semangat usaha bagi yang miskin.
Namun, ketika semangat berinfak dan bersedekah sudah tidak ada lagi di tengah masyrakat, maka dipastikan akan muncul berbagai macam permasalahan sosial. Itulah yang diingatkan Allah swt dalam surat Muhammad [47]: 37
إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ
Artinya: “Dan Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesakmu untuk memberikan harta seluruhnya pasti kamu kikir. Dan Dia akan menimpakan kedengkianmu.”
Ayat ini memperingatkan, bahwa kalau manusia kikir terhadap yang lain, maka akan muncullah kedengkian anatar sesama atau kecemburuan sosial. Kedengkian ini pada akhirnya berujung dalam bentuk kejahatan, seperti pencurian, perampokan, penjarahan dan sebagainya. Hal ini kemudian akan menimbulkan berbagai macam kejahatan dan persoalan sosial, yang mengakibatkan hilangannya rasa aman, saling percaya, dan keharmonisan masyarakat.
Agaknya itulah rahasia kenapa pemberian disebut shadaqah, karena dengan shadaqah akan muncul saling percaya (shadaqa) dan dengan memberi akan muncul pertemanan (shadîq).
4. Memperbaiki hubungan manusia dengan harta
Dengan berinfak dan bersedekah seseorang berarti telah menjadikan harta dan kekayaannya sebagai sarana hidup untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan abadi, bukan menjadikan hartanya tujuan akhir kehidupan. Sebaliknya, orang yang kikir berarti menjadikan hartanya sebagai tujuan hidup. Dengan memberi, seseorang terlepas dari perbudakan harta benda dan terbebas dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta dan kekayaan. Sebab, Allah swt mencela manusia yang menjadikan hartanya sebagai tujuan hidup, dan yang mencintai hartanya secara berlebihan. Firman Allah swt dalam surat al-Humazah [104]: 1-2
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ(1)الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ(2)
Artinya: “Kecelakaan besar bagi pengumpat dan pencela. Yang selalu mengumpulkan dan mengitung-hitung hartanya (kikir dan mencintainya secara berlebihan).”
Dalam ayat lain Allah swt sebutkan celaannya, seperti dalam surat al-Fajr [89]: 20
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Artinya: “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Senin, 30 Juni 2008
Kewajiban Menuntut Ilmu
Kewajiban Menuntut Ilmu
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin hidup bahagia di dunia maka hendaklah dia memiliki ilmu, dan barangsiapa yang ingin hidup bahagia di akhirat mestilah memiliki ilmu, dan barangsiapa yang ingin hidup bahagia pada keduanya maka mesti juga dengan ilmu”. Hadits ini mengisyaratkan kepada kita, betapa pentingnya penguasaan ilmu oleh manusia demi kebahagiaan mereka sendiri baik dunia maupun akhirat. Sebagai contoh, seorang buruh yang hanya bekerja mangandalkan ototnya, bekerja selama sehari penuh di bawah terik matahari dengan beban pekerjaan yang sangat berat menerima upah Rp. 40.000. Sementara seorang Profesor memberikan ceramah dalam waktu 30 menit dan berada dalam ruangan ber-AC dengan suguhan menu yang istimewa, lalu dijemput dan di antar ke bandara dengan mobil mewah, diberikan uang saku jutaan rupiah. Perbedaan penghargaan itu terjadi karena keduanya berbeda dalam penguasaan ilmu. Wajarlah kalau Allah swt berfirman dalam surat al-Mujadilah [58]: 11
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ......
Artinya:”…Allah pasti mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan…”
Oleh karena itu, Islam sangat mendorong umatnya untuk menjadi penguasa ilmu pengetahuan. Hal itu tersirat dalam banyak ayat Allah swt maupun hadits Rasulullah saw. Seperti yang terdapat dalam hadits berikut, “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Dalam riwayat lain disebutkan “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga hadits lain memerintahkan, “tuntutlah imlu itu walupun sampai ke negeri Cina”.
Menuntut dan memiliki ilmu menjadi penting bagi kehidupan manusia, karena orang yang berilmu akan mendapatkan beberapa keuntungan, di antaranya:
1. Terhindar dari penipuan dan kesesatan
Hal itu disebutkan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Biasanya orang yang mudah ditipu oleh manusia lain, adalah yang tidak berilmu. Seorang yang memiliki ilmu jangankan manusia biasa, jin dan iblispun tidak berani mengganggunya. Seperti kisah orang alim; pembesar Sulaiman as. yang memiliki ketinggian derajat, bahkan dari rajanya bangsa jin ‘Ifrit. Seperti yang disebutkan dalam surat an-Naml [27]: 40.
2. Terhindar dari pelecehan orang lain
Hal itu seperti terlihat dalam ungkapan Allah swt kepada nabi Nuh as dalam surat Hud [11]: 46
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (orang bodoh).”
Ayat tersebut, walaupun tidak ditujukan Allah swt untuk merendahkan dan melecehkan nabi Nuh as. namun jika manusia dengan sesamanya mengungkapan ungkapan seperti itu, biasanya bermakna merendahkan lawan bicara.
3. Terhindar dari kematian hati
Allah swt menyebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan hati manusia mati, adalah ketiadaan ilmu. Sebab, dalam surat an-Nahl [16]: 70, Allah swt memberikan hati kepada manusia agar hati itu digunakan untuk memperoleh ilmu dan mesti selalu diasah dan diasuh dengan ilmu pengetahuan. Jika tidak pernah diberikan haknya berupa ilmu, maka dia akan mati. seperti yang disebutkan Alah swt dalam surat al-An’am [6]: 122
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
4. Terhindar dari sikap ceroboh
Biasanya orang yang berilmu akan sangat hati-hati dalam berbuat, berkata, bersikap atau memutuskan sesuatu. Namun, orang yang tidak berilmu biasanya cendrung bersikap ceroboh dan gegabah, baik dalam ucapan, tindakan, maupun sikap. Sehingga kecerobohan ini, seringkali membuat dia menghadapi bahaya dan kesulitan. Hal itu disebutkan Allah dalam surat Thaha [20]: 114
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
5. Dapat melihat persolaan dengan baik dan memutuskan dengan tepat
Hal ini disebutkan Allah dalam surat ar-Ra’d [13]: 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
Ini adalah salah satu keutamaan orang yang berilmu, di mana dia akan sangat arif menyikapi suatu persoalan. Baik persoalan sendiri, maupun orang lain yang diserahkan penyelesaiannya kepadanya. Tidak seperti orang yang buta, sebagaimana yang disebutkan Allah swt. Buta di sini tentu saja bukan buta mata, tetapi buta hati karena tidak memiliki ilmu dan wawasan.
Sikap bijaksana ini tergambar dari sikap ratu Balqis seperti diceritakan Allah swt dalam surat an-Naml [27]: 20-40. Ratu Balqis sebagai seorang ratu yang berilmu dan bijaksana, membuat dia dihormati dan disegani seluruh rakyat Yaman. Dia juga membuat nabi Sulaiman as. manjadi kagum atas sikapnya yang sangat bijaksana dan ketika menjawab semua pertanyaan Sulaiman.
6. Bisa membedakan yang baik dan yang buruk
Hal ini terganbar dari firman Allah swt dalam surat Muhammad [47]: 3
ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ
Artinya: “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.”
Agaknya bisa dipastikan bagi yang tidak berilmu susah membedakan antara yang baik dan buruk, bahkan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang melakukan sesuatu kebaikan atau menghindari keburukan kalau keduanya tidak berbeda baginya. Oleh karena itulah, dianggap wajar kalau binatang selalu salah dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, yang boleh dan haram karena ia tidak mempunyai ilmu.
7. Terhindar dari gangguan jin, iblis dan makhluk halus lainnya
Hal ini seperti cerita seorang alim pada masa nabi Sulaiaman as. yang mengangkat istana Balqis dalam waktu kedipan mata, mengungguli jin ‘Ifrit yang mampu mengangkatnya dalam waktu yang lebih lama. Seperti dalam surat an-Namal [27]: 40. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu memiliki kedudukan lebih hebat dari bangsa Jin, dan karena itu tidak akan mungkin bisa diganggu oleh makhluk semacam itu.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin hidup bahagia di dunia maka hendaklah dia memiliki ilmu, dan barangsiapa yang ingin hidup bahagia di akhirat mestilah memiliki ilmu, dan barangsiapa yang ingin hidup bahagia pada keduanya maka mesti juga dengan ilmu”. Hadits ini mengisyaratkan kepada kita, betapa pentingnya penguasaan ilmu oleh manusia demi kebahagiaan mereka sendiri baik dunia maupun akhirat. Sebagai contoh, seorang buruh yang hanya bekerja mangandalkan ototnya, bekerja selama sehari penuh di bawah terik matahari dengan beban pekerjaan yang sangat berat menerima upah Rp. 40.000. Sementara seorang Profesor memberikan ceramah dalam waktu 30 menit dan berada dalam ruangan ber-AC dengan suguhan menu yang istimewa, lalu dijemput dan di antar ke bandara dengan mobil mewah, diberikan uang saku jutaan rupiah. Perbedaan penghargaan itu terjadi karena keduanya berbeda dalam penguasaan ilmu. Wajarlah kalau Allah swt berfirman dalam surat al-Mujadilah [58]: 11
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ......
Artinya:”…Allah pasti mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan…”
Oleh karena itu, Islam sangat mendorong umatnya untuk menjadi penguasa ilmu pengetahuan. Hal itu tersirat dalam banyak ayat Allah swt maupun hadits Rasulullah saw. Seperti yang terdapat dalam hadits berikut, “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Dalam riwayat lain disebutkan “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga hadits lain memerintahkan, “tuntutlah imlu itu walupun sampai ke negeri Cina”.
Menuntut dan memiliki ilmu menjadi penting bagi kehidupan manusia, karena orang yang berilmu akan mendapatkan beberapa keuntungan, di antaranya:
1. Terhindar dari penipuan dan kesesatan
Hal itu disebutkan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Biasanya orang yang mudah ditipu oleh manusia lain, adalah yang tidak berilmu. Seorang yang memiliki ilmu jangankan manusia biasa, jin dan iblispun tidak berani mengganggunya. Seperti kisah orang alim; pembesar Sulaiman as. yang memiliki ketinggian derajat, bahkan dari rajanya bangsa jin ‘Ifrit. Seperti yang disebutkan dalam surat an-Naml [27]: 40.
2. Terhindar dari pelecehan orang lain
Hal itu seperti terlihat dalam ungkapan Allah swt kepada nabi Nuh as dalam surat Hud [11]: 46
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (orang bodoh).”
Ayat tersebut, walaupun tidak ditujukan Allah swt untuk merendahkan dan melecehkan nabi Nuh as. namun jika manusia dengan sesamanya mengungkapan ungkapan seperti itu, biasanya bermakna merendahkan lawan bicara.
3. Terhindar dari kematian hati
Allah swt menyebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan hati manusia mati, adalah ketiadaan ilmu. Sebab, dalam surat an-Nahl [16]: 70, Allah swt memberikan hati kepada manusia agar hati itu digunakan untuk memperoleh ilmu dan mesti selalu diasah dan diasuh dengan ilmu pengetahuan. Jika tidak pernah diberikan haknya berupa ilmu, maka dia akan mati. seperti yang disebutkan Alah swt dalam surat al-An’am [6]: 122
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
4. Terhindar dari sikap ceroboh
Biasanya orang yang berilmu akan sangat hati-hati dalam berbuat, berkata, bersikap atau memutuskan sesuatu. Namun, orang yang tidak berilmu biasanya cendrung bersikap ceroboh dan gegabah, baik dalam ucapan, tindakan, maupun sikap. Sehingga kecerobohan ini, seringkali membuat dia menghadapi bahaya dan kesulitan. Hal itu disebutkan Allah dalam surat Thaha [20]: 114
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
5. Dapat melihat persolaan dengan baik dan memutuskan dengan tepat
Hal ini disebutkan Allah dalam surat ar-Ra’d [13]: 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
Ini adalah salah satu keutamaan orang yang berilmu, di mana dia akan sangat arif menyikapi suatu persoalan. Baik persoalan sendiri, maupun orang lain yang diserahkan penyelesaiannya kepadanya. Tidak seperti orang yang buta, sebagaimana yang disebutkan Allah swt. Buta di sini tentu saja bukan buta mata, tetapi buta hati karena tidak memiliki ilmu dan wawasan.
Sikap bijaksana ini tergambar dari sikap ratu Balqis seperti diceritakan Allah swt dalam surat an-Naml [27]: 20-40. Ratu Balqis sebagai seorang ratu yang berilmu dan bijaksana, membuat dia dihormati dan disegani seluruh rakyat Yaman. Dia juga membuat nabi Sulaiman as. manjadi kagum atas sikapnya yang sangat bijaksana dan ketika menjawab semua pertanyaan Sulaiman.
6. Bisa membedakan yang baik dan yang buruk
Hal ini terganbar dari firman Allah swt dalam surat Muhammad [47]: 3
ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ
Artinya: “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.”
Agaknya bisa dipastikan bagi yang tidak berilmu susah membedakan antara yang baik dan buruk, bahkan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang melakukan sesuatu kebaikan atau menghindari keburukan kalau keduanya tidak berbeda baginya. Oleh karena itulah, dianggap wajar kalau binatang selalu salah dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, yang boleh dan haram karena ia tidak mempunyai ilmu.
7. Terhindar dari gangguan jin, iblis dan makhluk halus lainnya
Hal ini seperti cerita seorang alim pada masa nabi Sulaiaman as. yang mengangkat istana Balqis dalam waktu kedipan mata, mengungguli jin ‘Ifrit yang mampu mengangkatnya dalam waktu yang lebih lama. Seperti dalam surat an-Namal [27]: 40. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu memiliki kedudukan lebih hebat dari bangsa Jin, dan karena itu tidak akan mungkin bisa diganggu oleh makhluk semacam itu.
Label:
ceramah dan khutbah
Istiqamah Dalam Beramal
Istiqamah Dalam Beramal
Istiqâmah secara harfiyah berarti kokoh, teguh, lurus, atau dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah konsisten. Menurut bentuknya istiqâmah terbagi tiga; pertama istiqâmah dalam keyakinan, kedua istiqâmah dalam ucapan dan ketiga istiqâmah dalam perbuatan atau amal.
Istiqâmah dalam beramal meliputi dua aspek; pertama istiqâmah dalam melaksanakannya. Dalam pengertian, bahwa suatu amal dikerjakan secara terus menerus atau secara konsisiten. Seseorang disebut istiqâmah dalam beramal jika amal atau ibadah selalu dikerjakan dalam kondisi dan situasi apapun, baik amal sunat apalagi yang wajib. Salah satu bentuk istiqâmah atau konsisten dalam melaksanakan amal seperti yang digambarkan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 101-104, tentang pelaksanaan shalat. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa shalat dalam kondisi apapun harus tetap dilaksanakan. Seorang yang sedang dalam perjalanan atau disebut musafir diberikan keringanan berupa pembolehan mengqashar (meringkas) shalatnya, atau menjama’ (menghimpun) dua shalat dalam waktu yang sama, atau menjama’ dan mengqashar dilakukan sekaligus dengan tujuan shalat tetap dilaksanakan.
Begitu juga jika dalam peperangan, Allah swt memberikan aturan agar shalat dilaksanakan dalam kondisi menghadap musuh, jika musuh berada di arah kiblat dalam kondisi tetap siaga dengan senjata. Jika musuh di belakang kiblat maka jama’ah dibuat dua gelombang, satu gelombang shalat dua rakaat bersama imam, kemudian menyelesaikan shalat mereka masing-masing. Kemudian gelombang kedua yang bertugas menjaga, ikut shalat pada dua raka’at terakhir bersama imam. Namun jika situasinya sangat genting dan peperangan sedang berkecamuk, maka shalat dilakukan sesuai kemampuan. Bagi yang sedang berlari, shalatlah dalam kondisinya, yang sedang di atas punggung kuda shalat dalam kondisi tersebut begitulah seterusnya, namun shalat tetap harus dikerjakan.
Selanjutnya jika seseorang sakit, maka dia tetap shalat sesuai kesanggupannya, kalau tidak mampu berdiri, duduk dan jika duduk tidak mampu, dibolehkan berbaring dengan menggunakan isyarat mata, hati dan sebagainya. Begitulah bentuk istiqâmah atau konsistensi dalam melaksanakn amal.
Dalam melaksanakan amalan sunat juga diperlukan istiqâmah dengan melaksanakannya secara rutin dan terus menerus. Oleh Karena itu, Rasulullah saw mengingatkan, bahwa amal yang paling disukai Allah swt adalah amalan yang dilakukan secara terus menerus sekalipun kecil. Bersedekah seribu rupiah setiap hari selama seratus hari, lebih baik dari bersedekah seratus ribu namun sekali saja.
Kedua, istiqâmah dalam pelaksanaan amal atau ibadah; yaitu melaksanaannya dengan kokoh dan sempurna sesuai aturan dan ketentuan yang telah digariskan. Misalnya dalam melaksanakan shalat, maka istiqâmah berupa pelaksaan semua rukun dan syaratnya dengan sempurna, mulai dari berwudhu’, pelaksanaan, bacaan dan sebagainya. Makanya, Allah swt menyuruh melaksanakan shalat dengan perintah “aqîmû al-shalah/ dirikanlah shalat dengan sempurna”.
Istiqâmah dalam pelaksanaan amal juga menuntut dilaksanakannya suatu amal dengan penuh keikhlasan karena Allah swt semata. Sebab, ibadah atau amal yang dilaksanakan tanpa keikhlasan sangat rapuh, bahkan tidak bernilai di hadapan Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah[2]: 264
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Suatu amal yang dikerjakan tanpa keikhlasan atau didorong motivasi lain selain Allah swt, bukan saja tidak kokoh namun tidak punya arti sama sekali. Ibarat debu yang berada di atas sebuah batu licin, lalu ditimpa hujan yang sangat lebat. Sedangkan amal yang dilakukan dengan keikhlasan, akan menjadi sangat kokoh dan kuat, bukan saja nilai pahalanya di sisi Allah swt, namun juga keteguhan pelakunya dalam melaksanakan suatu amal. Bahkan syaitahnpun tidak mampu menggoyahkannya. Seperti firman Allah dalam surat al-Hijr [15]:39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. (39) kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”.(40)
Hal itulah yang ditunjukan oleh para nabi dan rasul Allah swt dalam berda’wah mengajak manusia ke jalan yang benar. Di antaranya seperti yang diperlihatkan Rasululah saw ketika beliau ditawari oleh masyarakat Quraisy dengan jabatan tinggi, kekayaan yang melimpah atau wanita-wanita cantik. Namun, beliau dengan tegas dan kokoh menjawab “Jika saja kalian mampu meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan pekerjaanku ini, pastilah aku tidak akan meninggalkannya sampai aku menang atau mati karenanya”.
Manusia yang istiqâmah dalam beramal akan mendapat banyak keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Sesuai firman Allah swt dalam surat Fushshilat [41]: 30-32,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ(31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ(32)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu (30), Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta (31), Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (32).”
Allah swt menjelaskan, minimal ada tiga keuntungan orang yang istiqâmah; pertama, para malaikat akan turun kepada mereka dengan membawa ketenangan dan kebahagian, sehingga mereka senantiasa terdorong untuk melakukan kebaikan. Kedua, Allah swt telah menyediakan sorga-Nya dengan beraneka ragam bentuk kenikmatan yang tidak akan pernah bisa diungkapkan dengan bahasa manusia betapa indah dan nikmatnya. Ketiga, Allah swt menjamin akan menjadi Penolong mereka, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti, sehingga mereka akan selalu menghadapi hidup dengan penuh kemudahan.
Istiqâmah secara harfiyah berarti kokoh, teguh, lurus, atau dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah konsisten. Menurut bentuknya istiqâmah terbagi tiga; pertama istiqâmah dalam keyakinan, kedua istiqâmah dalam ucapan dan ketiga istiqâmah dalam perbuatan atau amal.
Istiqâmah dalam beramal meliputi dua aspek; pertama istiqâmah dalam melaksanakannya. Dalam pengertian, bahwa suatu amal dikerjakan secara terus menerus atau secara konsisiten. Seseorang disebut istiqâmah dalam beramal jika amal atau ibadah selalu dikerjakan dalam kondisi dan situasi apapun, baik amal sunat apalagi yang wajib. Salah satu bentuk istiqâmah atau konsisten dalam melaksanakan amal seperti yang digambarkan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 101-104, tentang pelaksanaan shalat. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa shalat dalam kondisi apapun harus tetap dilaksanakan. Seorang yang sedang dalam perjalanan atau disebut musafir diberikan keringanan berupa pembolehan mengqashar (meringkas) shalatnya, atau menjama’ (menghimpun) dua shalat dalam waktu yang sama, atau menjama’ dan mengqashar dilakukan sekaligus dengan tujuan shalat tetap dilaksanakan.
Begitu juga jika dalam peperangan, Allah swt memberikan aturan agar shalat dilaksanakan dalam kondisi menghadap musuh, jika musuh berada di arah kiblat dalam kondisi tetap siaga dengan senjata. Jika musuh di belakang kiblat maka jama’ah dibuat dua gelombang, satu gelombang shalat dua rakaat bersama imam, kemudian menyelesaikan shalat mereka masing-masing. Kemudian gelombang kedua yang bertugas menjaga, ikut shalat pada dua raka’at terakhir bersama imam. Namun jika situasinya sangat genting dan peperangan sedang berkecamuk, maka shalat dilakukan sesuai kemampuan. Bagi yang sedang berlari, shalatlah dalam kondisinya, yang sedang di atas punggung kuda shalat dalam kondisi tersebut begitulah seterusnya, namun shalat tetap harus dikerjakan.
Selanjutnya jika seseorang sakit, maka dia tetap shalat sesuai kesanggupannya, kalau tidak mampu berdiri, duduk dan jika duduk tidak mampu, dibolehkan berbaring dengan menggunakan isyarat mata, hati dan sebagainya. Begitulah bentuk istiqâmah atau konsistensi dalam melaksanakn amal.
Dalam melaksanakan amalan sunat juga diperlukan istiqâmah dengan melaksanakannya secara rutin dan terus menerus. Oleh Karena itu, Rasulullah saw mengingatkan, bahwa amal yang paling disukai Allah swt adalah amalan yang dilakukan secara terus menerus sekalipun kecil. Bersedekah seribu rupiah setiap hari selama seratus hari, lebih baik dari bersedekah seratus ribu namun sekali saja.
Kedua, istiqâmah dalam pelaksanaan amal atau ibadah; yaitu melaksanaannya dengan kokoh dan sempurna sesuai aturan dan ketentuan yang telah digariskan. Misalnya dalam melaksanakan shalat, maka istiqâmah berupa pelaksaan semua rukun dan syaratnya dengan sempurna, mulai dari berwudhu’, pelaksanaan, bacaan dan sebagainya. Makanya, Allah swt menyuruh melaksanakan shalat dengan perintah “aqîmû al-shalah/ dirikanlah shalat dengan sempurna”.
Istiqâmah dalam pelaksanaan amal juga menuntut dilaksanakannya suatu amal dengan penuh keikhlasan karena Allah swt semata. Sebab, ibadah atau amal yang dilaksanakan tanpa keikhlasan sangat rapuh, bahkan tidak bernilai di hadapan Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah[2]: 264
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Suatu amal yang dikerjakan tanpa keikhlasan atau didorong motivasi lain selain Allah swt, bukan saja tidak kokoh namun tidak punya arti sama sekali. Ibarat debu yang berada di atas sebuah batu licin, lalu ditimpa hujan yang sangat lebat. Sedangkan amal yang dilakukan dengan keikhlasan, akan menjadi sangat kokoh dan kuat, bukan saja nilai pahalanya di sisi Allah swt, namun juga keteguhan pelakunya dalam melaksanakan suatu amal. Bahkan syaitahnpun tidak mampu menggoyahkannya. Seperti firman Allah dalam surat al-Hijr [15]:39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. (39) kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”.(40)
Hal itulah yang ditunjukan oleh para nabi dan rasul Allah swt dalam berda’wah mengajak manusia ke jalan yang benar. Di antaranya seperti yang diperlihatkan Rasululah saw ketika beliau ditawari oleh masyarakat Quraisy dengan jabatan tinggi, kekayaan yang melimpah atau wanita-wanita cantik. Namun, beliau dengan tegas dan kokoh menjawab “Jika saja kalian mampu meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan pekerjaanku ini, pastilah aku tidak akan meninggalkannya sampai aku menang atau mati karenanya”.
Manusia yang istiqâmah dalam beramal akan mendapat banyak keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Sesuai firman Allah swt dalam surat Fushshilat [41]: 30-32,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ(31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ(32)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu (30), Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta (31), Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (32).”
Allah swt menjelaskan, minimal ada tiga keuntungan orang yang istiqâmah; pertama, para malaikat akan turun kepada mereka dengan membawa ketenangan dan kebahagian, sehingga mereka senantiasa terdorong untuk melakukan kebaikan. Kedua, Allah swt telah menyediakan sorga-Nya dengan beraneka ragam bentuk kenikmatan yang tidak akan pernah bisa diungkapkan dengan bahasa manusia betapa indah dan nikmatnya. Ketiga, Allah swt menjamin akan menjadi Penolong mereka, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti, sehingga mereka akan selalu menghadapi hidup dengan penuh kemudahan.
Label:
ceramah dan khutbah
‘Îd al-Adhha dan Qurbân
‘Îd al-Adhha dan Qurbân
‘Îd al-Adhha secara harfiyah berarti hari raya qurban. ‘Îd al-Adhha adalah hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-hajj [22]: 37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Posisi muhsinîn agaknya lebih sempurna dari posisi muttaqîn. Sebab, muttaqîn berarti kemampuan seseorang untuk memelihara diri agar selalu mengerjakan perintah Allah swt dan tidak melakukan larangan-Nya, sehingga dia terpelihara dari bencana, amarah, murka, dan siksa Allah swt. Sementara muhsinîn bukan hanya kemampuan seseorang untuk melakukan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, namun juga kemampuan dan kemauan serta kerelaan seseorang mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya untuk ketaatannya kepada Allah swt. Itulah kiranya, kenapa hewan yang dikorbankan tidak boleh ada cacat pada tubuhnya, dan harus hewan yang sehat, gemuk yang menunjukan bahwa ia adalah yang terbaik yang harus diberikan untuk Allah swt.
Kalau kita berbicara ibadah qurban, maka ritual tersebut sudah sangat tua dan lama sekali, bahkan sama masanya dengan kemunculan manusia di pentas bumi ini. Dalam surta al-ma’idah [5]: 27 Allah swt berfirman
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Itulah awal mulanya ibadah qurban, yang dimulai dari pengorbanan dua anak Adam as. Habil dan Qabil. Allah swt menerima qurban Habil karena dia memberi miliknya yang terbaik untuk Allah swt dengan penuh keikhlasan. Sementara Allah swt menolak qurban Qabil, karena dia memberikan sesuatu yang buruk dari apa yang dimilikinya, itupun dilakukan dengan perasaan terpaksa dan tanpa keikhlasan.
Kemudian sejarah qurban ini berlanjut dalam setiap genarasi manusia, dan dalam setiap peradaban yang diciptakan manusia. Sehingga, ada sebagain yang menyimpang dari ritual yang diajarkan oleh Allah swt. Berdasarkan catatan sejarah, bahwa sebagian peradaban manusia kemudian menjadikan manusia sebagai qurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa yang diyakini tuhan penguasa manusia. Di Mesir misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa sungai Nil. Sementara di Iraq (Babil), bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa Baal. Suku Astek di Meksiko, mempersembahkan jantung dan darah gadis perawan kepada Dewa Matahari. Di Eropa Utara atau daerah Skandinavia, orang-orang Viking mempersembahkan darah dan tubuh pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin” sebagai qurban. Begitulah bentuk penyimpangan ritual qurban yang dilakukan manusia sepanjang sejarah kehidupan mereka di pentas bumi ini. Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati, bahwa setiap peradaban manusia terlepas dari penyimpangan yang dilakukan, yang pasti mereka memberikan sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan sebagai qurban kepada tuhan mereka.
Kemudian datanglah nabi Ibrahim as. meluruskan penyimpangan terhadap ritual qurban tersebut. Allah swt juga menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya Isma’il as. namun kemudian menggantinya dengan sesembelihan yang besar berupa kibas, karena seorang manusia terlalu mahal harganya untuk dijadikan qurban –sekalipun tidak layak mengatakan ungkapan seperti itu untuk Allah- . Peristiwa tersebut direkam Allah swt dalam firman-Nya surat ash-Shafat [37]: 100-111.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(100)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(101)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(109)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(110)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ(111)
Artinya: “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100), Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101), Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105), Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106), Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107), Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108), (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim (109), Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (110), Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (111).”
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari cerita penyembelihan Isma’il as oleh Ibrahim as di atas. Pertama, betapa Ibrahim sebagai seorang hamba menunjukan kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah swt. Karena semenjak awal kelahirannya, Ibrahim as. telah diberikan begitu banyak ujian oleh Allah swt. Namun, semua ujian itu diselasaikannya dengan sempurna. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman; ”Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia”, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab “janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. mulai dari awal kelahirannya, di mana saat itu raja Namrudz mengeluarkan kebijakan bahwa setiap kelahiran anak-laki laki harus dibunuh. Sehingga Ibrahim as. dilahirkan ibunya ditempat yang jauh dari manusia. Setelah dewasa Ibrahim diperintahkan untuk menyeru ayahnya, kaumnya serta raja Namrudz untuk bertauhid kepada Allah swt dan menyembah-Nya, namun ajakan itu disambut kaumnya dengan membakarnya, bahkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Kemudian setelah menikah, Ibrahim as. harus menunggu waktu yang sangat lama untuk bisa memperoleh keturunan. Diriwayatkan bahwa beliau memperoleh keturunan setelah berumur lebih dari 80 tahun. Setelah isterinya hamil dan saat akan melahirkan, Ibrahim as. disuruh mengantarkan isterinya di tempat yang tidak berpenghuni di padang pasir, sehingga dia tidak sempat melihat dan menyambut kelahiran anak yang sudah lama ditunggunya. Setelah anaknya menganjak dewasa, Allah swt menyuruh mengorbankannya dengan menyembelih anak tersebut. Masih banyak lagi bentuk ujian yang deberikan kepada Ibrahim as. Akan tetapi, semua ujian itu diselesaikan oleh Ibrahim as. dengan sempurna sehingga Allah swt mengangkatnya menjadi imam (pemimpin), dan menjadi orang muhsinîn.
Itulah sebuah pengajaran yang bisa diambil dari Ibrahim as, bahwa kesuksesan menjalankan ujian akan membawa manusia menjadi orang yang terhormat, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia. Begitu juga kesediaan memberikan yang terbaik untuk Allah swt akan membuat manusia menjadi kekasih Allah swt. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ….
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Kedua, Ibrahim as. sebagai orang tua meminta pendapat anaknya sebelum melakukan keinginannya, sekalipun itu perintah Tuhan. sebab, seorang anak juga memiliki hak untuk ikut menentukan masa depannya. Hal itu tergambar dari ungkapan nabi Ibrahim as. "…Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.
Begitulah seharusnya orang tua yang bijaksana terhadap anak mereka. Sebab, Anak juga punya hak untuk didengarkan pendapatnya oleh orang tua mereka. Orang tua sekalipun memiliki wewenang penuh terhadapnya, namun dalam memutuskan sesuatu apalagi yang terkait dengan masa depan sang anak, orang tua harus tetap mendengarkan kinginan sang anak. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang tidak bersikap otoriter dan memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.
Ketiga, jawaban Isma’il as. yang begitu mantap sebagai cerminan seorang anak yang shalih. Ketika ayahnya meminta pendapatnya atas pengorbanan dirinya, dengan mantap Isma’il menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Begitulah gambaran seorang anak yang shalih dalam membuktikan bakti, kepatuhan, dan ketaannya kepada orang tuanya demi menunaikan perintah Allah swt. Tentu, semua orang tua mendambakan anak mereka menjadi anak yang shalih dan menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Namun, memperoleh anak yang shalih bukanlah sesuatu yang mudah, karena orang tua harus memulainya sejak dini. Mulai dari memilih jodoh, memberikan makan yang halal lagi baik, dan yang paling penting memberikan pendidikan agama kepada mereka. Tentunya, ini semua adalah tanggung jawab orang tua.
Apalagi dengan melihat kondisi kemajuan zaman dan segala bentuk hasil peradaban yang diciptakan manusia. Jikalau para orang tua tidak hati-hati dan berupaya dengan keras mengarahkan pendidikan anaknya, amat mustahil anak yang shalih bisa diperoleh. Janganlah kita seperti yang pernah diriwayatkan Rasullah saw, bahwa nanti di akhirat ada seorang yang hendak melangkahkan kakinya ke sorga. Sesaat sebelum memasukinya, datang seorang yang berteriak “Ya Rabbi anshifni min hâdza al-zhâlim” (Ya Tuhan cegah dulu langkah orang zalim itu!). Tuhan bertanya “Kenapa engkau panggil dia orang zalim, bukankah dia orang tuamu?”. Jawabnya “Betul, dia adalah orang tua saya, dulu ketika di dunia dia adalah orang shalih dan taat kepada-Mu, sehingga Engkau hadiahkan sorga-Mu untuknya hari ini. Namun, keshalihan dan ketaatan itu hanya untuk dirinya, dia tidak pernah memperhatikan dan menyuruhku menyembah-Mu, sehingga hari ini engkau hadiahkan neraka-Mu untukku. Aku minta keadilan kepada-Mu”. Tuhan pun memberikan keadilan dengan saling menukar posisi mereka. Anak menggantikan ayahnya masuk sorga, dan ayah menggantikan anaknya masuk neraka.
‘Îd al-Adhha secara harfiyah berarti hari raya qurban. ‘Îd al-Adhha adalah hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-hajj [22]: 37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Posisi muhsinîn agaknya lebih sempurna dari posisi muttaqîn. Sebab, muttaqîn berarti kemampuan seseorang untuk memelihara diri agar selalu mengerjakan perintah Allah swt dan tidak melakukan larangan-Nya, sehingga dia terpelihara dari bencana, amarah, murka, dan siksa Allah swt. Sementara muhsinîn bukan hanya kemampuan seseorang untuk melakukan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, namun juga kemampuan dan kemauan serta kerelaan seseorang mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya untuk ketaatannya kepada Allah swt. Itulah kiranya, kenapa hewan yang dikorbankan tidak boleh ada cacat pada tubuhnya, dan harus hewan yang sehat, gemuk yang menunjukan bahwa ia adalah yang terbaik yang harus diberikan untuk Allah swt.
Kalau kita berbicara ibadah qurban, maka ritual tersebut sudah sangat tua dan lama sekali, bahkan sama masanya dengan kemunculan manusia di pentas bumi ini. Dalam surta al-ma’idah [5]: 27 Allah swt berfirman
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Itulah awal mulanya ibadah qurban, yang dimulai dari pengorbanan dua anak Adam as. Habil dan Qabil. Allah swt menerima qurban Habil karena dia memberi miliknya yang terbaik untuk Allah swt dengan penuh keikhlasan. Sementara Allah swt menolak qurban Qabil, karena dia memberikan sesuatu yang buruk dari apa yang dimilikinya, itupun dilakukan dengan perasaan terpaksa dan tanpa keikhlasan.
Kemudian sejarah qurban ini berlanjut dalam setiap genarasi manusia, dan dalam setiap peradaban yang diciptakan manusia. Sehingga, ada sebagain yang menyimpang dari ritual yang diajarkan oleh Allah swt. Berdasarkan catatan sejarah, bahwa sebagian peradaban manusia kemudian menjadikan manusia sebagai qurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa yang diyakini tuhan penguasa manusia. Di Mesir misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa sungai Nil. Sementara di Iraq (Babil), bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa Baal. Suku Astek di Meksiko, mempersembahkan jantung dan darah gadis perawan kepada Dewa Matahari. Di Eropa Utara atau daerah Skandinavia, orang-orang Viking mempersembahkan darah dan tubuh pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin” sebagai qurban. Begitulah bentuk penyimpangan ritual qurban yang dilakukan manusia sepanjang sejarah kehidupan mereka di pentas bumi ini. Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati, bahwa setiap peradaban manusia terlepas dari penyimpangan yang dilakukan, yang pasti mereka memberikan sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan sebagai qurban kepada tuhan mereka.
Kemudian datanglah nabi Ibrahim as. meluruskan penyimpangan terhadap ritual qurban tersebut. Allah swt juga menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya Isma’il as. namun kemudian menggantinya dengan sesembelihan yang besar berupa kibas, karena seorang manusia terlalu mahal harganya untuk dijadikan qurban –sekalipun tidak layak mengatakan ungkapan seperti itu untuk Allah- . Peristiwa tersebut direkam Allah swt dalam firman-Nya surat ash-Shafat [37]: 100-111.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(100)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(101)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(109)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(110)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ(111)
Artinya: “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100), Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101), Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105), Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106), Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107), Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108), (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim (109), Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (110), Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (111).”
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari cerita penyembelihan Isma’il as oleh Ibrahim as di atas. Pertama, betapa Ibrahim sebagai seorang hamba menunjukan kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah swt. Karena semenjak awal kelahirannya, Ibrahim as. telah diberikan begitu banyak ujian oleh Allah swt. Namun, semua ujian itu diselasaikannya dengan sempurna. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman; ”Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia”, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab “janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. mulai dari awal kelahirannya, di mana saat itu raja Namrudz mengeluarkan kebijakan bahwa setiap kelahiran anak-laki laki harus dibunuh. Sehingga Ibrahim as. dilahirkan ibunya ditempat yang jauh dari manusia. Setelah dewasa Ibrahim diperintahkan untuk menyeru ayahnya, kaumnya serta raja Namrudz untuk bertauhid kepada Allah swt dan menyembah-Nya, namun ajakan itu disambut kaumnya dengan membakarnya, bahkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Kemudian setelah menikah, Ibrahim as. harus menunggu waktu yang sangat lama untuk bisa memperoleh keturunan. Diriwayatkan bahwa beliau memperoleh keturunan setelah berumur lebih dari 80 tahun. Setelah isterinya hamil dan saat akan melahirkan, Ibrahim as. disuruh mengantarkan isterinya di tempat yang tidak berpenghuni di padang pasir, sehingga dia tidak sempat melihat dan menyambut kelahiran anak yang sudah lama ditunggunya. Setelah anaknya menganjak dewasa, Allah swt menyuruh mengorbankannya dengan menyembelih anak tersebut. Masih banyak lagi bentuk ujian yang deberikan kepada Ibrahim as. Akan tetapi, semua ujian itu diselesaikan oleh Ibrahim as. dengan sempurna sehingga Allah swt mengangkatnya menjadi imam (pemimpin), dan menjadi orang muhsinîn.
Itulah sebuah pengajaran yang bisa diambil dari Ibrahim as, bahwa kesuksesan menjalankan ujian akan membawa manusia menjadi orang yang terhormat, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia. Begitu juga kesediaan memberikan yang terbaik untuk Allah swt akan membuat manusia menjadi kekasih Allah swt. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ….
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Kedua, Ibrahim as. sebagai orang tua meminta pendapat anaknya sebelum melakukan keinginannya, sekalipun itu perintah Tuhan. sebab, seorang anak juga memiliki hak untuk ikut menentukan masa depannya. Hal itu tergambar dari ungkapan nabi Ibrahim as. "…Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.
Begitulah seharusnya orang tua yang bijaksana terhadap anak mereka. Sebab, Anak juga punya hak untuk didengarkan pendapatnya oleh orang tua mereka. Orang tua sekalipun memiliki wewenang penuh terhadapnya, namun dalam memutuskan sesuatu apalagi yang terkait dengan masa depan sang anak, orang tua harus tetap mendengarkan kinginan sang anak. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang tidak bersikap otoriter dan memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.
Ketiga, jawaban Isma’il as. yang begitu mantap sebagai cerminan seorang anak yang shalih. Ketika ayahnya meminta pendapatnya atas pengorbanan dirinya, dengan mantap Isma’il menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Begitulah gambaran seorang anak yang shalih dalam membuktikan bakti, kepatuhan, dan ketaannya kepada orang tuanya demi menunaikan perintah Allah swt. Tentu, semua orang tua mendambakan anak mereka menjadi anak yang shalih dan menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Namun, memperoleh anak yang shalih bukanlah sesuatu yang mudah, karena orang tua harus memulainya sejak dini. Mulai dari memilih jodoh, memberikan makan yang halal lagi baik, dan yang paling penting memberikan pendidikan agama kepada mereka. Tentunya, ini semua adalah tanggung jawab orang tua.
Apalagi dengan melihat kondisi kemajuan zaman dan segala bentuk hasil peradaban yang diciptakan manusia. Jikalau para orang tua tidak hati-hati dan berupaya dengan keras mengarahkan pendidikan anaknya, amat mustahil anak yang shalih bisa diperoleh. Janganlah kita seperti yang pernah diriwayatkan Rasullah saw, bahwa nanti di akhirat ada seorang yang hendak melangkahkan kakinya ke sorga. Sesaat sebelum memasukinya, datang seorang yang berteriak “Ya Rabbi anshifni min hâdza al-zhâlim” (Ya Tuhan cegah dulu langkah orang zalim itu!). Tuhan bertanya “Kenapa engkau panggil dia orang zalim, bukankah dia orang tuamu?”. Jawabnya “Betul, dia adalah orang tua saya, dulu ketika di dunia dia adalah orang shalih dan taat kepada-Mu, sehingga Engkau hadiahkan sorga-Mu untuknya hari ini. Namun, keshalihan dan ketaatan itu hanya untuk dirinya, dia tidak pernah memperhatikan dan menyuruhku menyembah-Mu, sehingga hari ini engkau hadiahkan neraka-Mu untukku. Aku minta keadilan kepada-Mu”. Tuhan pun memberikan keadilan dengan saling menukar posisi mereka. Anak menggantikan ayahnya masuk sorga, dan ayah menggantikan anaknya masuk neraka.
Label:
ceramah dan khutbah
Hikmah Puasa dan Bulan Ramadhan
Hikmah Puasa dan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan di mana umat Islam diperintahkan melaksanakan suatu ibadah khusus, yaitu puasa di siang hari dan serangkaian ibadah lainnya pada malam hari. Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan memerintahkan melaksanakan sesuatu, melainkan punya maksud, tujuan dan hikmah yang berada di balik perintah tersebut. Sebab, tidak ada satupun ciptaan dan perbuatan Allah swt yang lepas dari maksud dan tujuan serta hikmah. Ada hikmahnya yang diketahui manusia, namun kebanyakan tidak atau belum diketahui manusia.
Akan tetapi, semua hikmah tersebut adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allah Yang Maha Kaya tidak berhajat kepada apapun dan siapapun. Bahkan, sekiranya seluruh makhluk membangkang serta durhaka kepada-Nya, kebesaran dan keagungan Tuhan tidak akan pernah berkurang. Dalam ibadah puasa terdapat sejumlah hikmah dan mashlahat, di antaranya adalah:
1. Tadzkiyat al-Nafsi( Penyucian jiwa)
Manusia, sebagaimana yang dijelaskan Allah swt dalam surat Shad [38]: 71-72 dan surat as-Sajadah [32]: 15-17, diciptakan dari dua unsur yang berbeda. Pertama, Allah sebuat unsur thîn (tanah) yang merupakan unsur pembentuk jasmani manusia. Kedua, Allah sebut ruhî (Roh Saya) yang merupakan unsur yang kudus dan suci dalam diri manusia. Dengan Roh Tuhan ini pula manusia menjadi objek sujud kedua bagi makhluk selain Allah swt.
Ketika Allah swt selesai menciptakan jasmani manusia dari tanah, lalu Allah hembuskan roh-Nya ke dalam jasad tersebut, jadilah manusia makhluk paling sempurna dan paling tinggi kedudukan dari semua makhluk Allah swt (dalam bahasa al-Qur’an disebut khlaqan âkhar/makhluk yang unik). Namun, di saat manusia memenuhi kebutuhan jasmaninya, terkadang manusia melakukan dosa dan kesalahan yang berakibat rohani yang semula suciv - karena berasal dari Yang Maha Suci - sedikit demi sedikit mulai kotor. Karena rohani yang sudah kotor itu, secara perlahan-lahan manusia yang pada mulanya dekat dengan Allah swt mulai menjauh. Sebab, Allah swt adalah Dzat Yang Maha Suci, tidak akan mendekati dan bisa didekati kecuali yang suci pula.
Kalau jasmani disucikan dari kotoran dengan berwudhu’, mandi atau tayammum, maka rohani yang kotor dibersihkan dengan cara ibadah. Dengan melaksanakan puasa sebagai salah satu ibadah, berarti seseorang berupaya mensucikan rohaninya dari kotoran yang berupa dosa. Rasulullah saw bersabda “Siapa yang melaksanakan puasa dan ibadah Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan, Allah akan mengampuni segala dosanya yang telah berlalu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Tarbiyat al-Irâdah ( Mendidik kemauan dan keinginan)
Manusia sebagai makhluk hidup, tentu memiliki banyak kebutuhan dan keinginan yang mesti dipenuhi. Bahkan keinginan manusia tidak akan pernah habis dan tidak akan ada batasnya, sampai dia berpisah dengan kehidupan dunia ini. Akan tetapi, tidak semua keinginan itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Ketika itu terjadi, maka seseorang diharapkan menerima dan menghadapinya dengan kesabaran. Itulah salah satu didikan yang didapatkan dari ibadah puasa. Artinya, jangankan sesuatu yang kita tidak berkesempatan memperolehnya, sesuatu yang sudah didepan matapun, jika belum saatnya diperoleh maka dia harus bersabar. Bukankah seorang yang berpuasa ketika menemukan makanan dan dalam kondisi lapar harus menahan dulu sebelum datang waktu berbuka?.
Begitulah keagungan puasa yang menuntut kesabaran dari para pelakunya. Sangat tapat kiranya Rasulullah saw mengatakan “Ramadhan syahru al-shabr/ Ramadhan adalah bulan kesabaran”(H.R Ibn Majah dari Abu Hurairah).
3. Menjinakan Nafsu Seksual
Nafsu seksual seringkali menjadi hal yang paling banyak dan paling efektif menjerumuskan manusia ke lembah dosa. Lihat saja misalnya nenek moyang manusia Adam dan Hawa, yang sudah diperbolehkan Allah swt menikmati dan menggunakan seluruh kenikmatan dan fasilitas sorga, dan hanya satu larangan Allah swt yang mesti mereka tinggalkan “la taqrabâ hâdzihi al-Syajarah” (jangan kamu berdua dekati pohon ini Q.S. al-Baqarah [2]: 35). “Pohon ini” menurut sebagian mufassir adalah berarti jima’ (berhubungan seksual). Adam as. ternyata tidak mampu menahannya dan atas desakan iblis mereka terjerumus melanggar larangan Allah swt.
Dengan berpuasa berarti seseorang berupaya menjinakan seksualnya. Betapa tidak, bagi yang berpuasa jangankan melakukan zina, memperkosa dan sebagainya, melakukan hubungan dengan istrinya yang sudah halalpun harus diatur, agar dia tidak melakukannya ketika berpuasa. Rasulullah saw bersabda “wahai para pemuda jika kalian sudah mampu lahir dan batin maka menikahlah, sedangkan bagi yang belum mampu perbanyaklah berpuasa” (H.R. Bukhari dari Ibn Mas’ud).
4. Lebih menajamkan perasaan akan ni’mat Allah swt.
Manusia biasanya baru bisa menghargai dan merasakan sesuatu sebagai nikmat, kalau sesuatu itu didapatkan dengan susah payah dan usaha yang berat. Seorang yang kaya tidak tidak akan merasakan nikmatnya kaya, kalau tidak pernah merasakan miskin. Seorang yang sehat tidak akan merasakan nikmatnya sehat, kalau belum pernah sakit. Begitu juga seorang yang kenyang tidak akan merasakan kenyang sebagai nikmat, kalau belum merasakan lapar dan seterusnya.
Jadi puasa adalah sebagai salah satu hal yang membuat manusia menghargai dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ketika dia merasakan lapar dan haus, barulah dia sadar betapa berat rasanya menjadi orang yang susah dan setiap hari hidup dengan perut kosong. Sehingga diharapkan dia menjadi orang yang bersyukur atas kelebihan yang dimilikinya, bila dibandingkan saudara-sudaranya yang kurang beruntung lainnya.
5. Menyadarkan manusia akan kehidupan akhirat
Dengan melaksankan puasa, menahan makan dan minum manusia disadarkan akan kehidupan akhirat. Betapa tidak, dengan merasakan haus dan lapar yang hanya beberapa jam saja manusia sudah sangat kepayahan, apalagi kalau itu dilakukan dalam waktu yang panjang dan tak terbatas. Di tambah lagi di bawah terik matahari yang sangat kuat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di padang mahsyar nanti, matahari didekatklan ke ubun-ubun manusia dalam jarak yang sangat dekat sekali. Kita bisa bayangkan jika matahari yang kita saksikan di dunia ini saja sudah begitu panasnya dalam jarak lebih dari 15 juta km dari bumi, apalagi dalam jarak yang begitu dekatnya.
6. Memupuk rasa solidaritas sosial
Dengan berpuasa diharapkan akan muncul rasa solidaritas di antara sesama manusia khususnya sesama umat Islam. Setelah manusia merasakan rasa haus dan lapar, maka diharapkan pengalaman itu membawa manusia yang berpuasa memiliki perasaan simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain, dan bersedia berbagi bersama orang-orang yang selama ini hidup dalam kekurangan, yang setiap hari merasakan haus dan lapar. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda:
من فطر صائما فله مثل أجره ولا ينقص من أجر الصائم شيئا
Artinya: Siapa yang memberi perbukaan kepada orang yang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa kurang sedikitpun.” (H.R. Ahmad, Tarmizi dan Ibn Majah).
Dalam hadits lain disebutkan: “Berilah orang yang berpuasa perbukaan sekalipun sebuah korma”. Agaknya bukan sebuah korma itu yang dimaksud Nabi saw, akan tetapi yang lebih ditujukan beliau adalah rasa peduli kepada orang lain. Kepedulian inilah yang kemudia ditunjukan oleh orang yang berpuasa pada akhir bulan Ramadahn dengan membayar zakat fitrah.
7. Menjadikan manusia orang yang bertaqwa
Ini adalah tujuan dan hikmah seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 183. Taqwa secara harfiyah berarti terpelihara, yang berarti dengan berpuasa diharapkan manusia dapat terpelihara dari dosa, syaithan, dan dari azab neraka Allah swt. Bukankah dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda “ Apabila telah datang Ramadhan dibuka seluruh pintu sorga, ditutup seluruh pintu neraka dan dibelenggu seluruh syaithan” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Huarairah). Hadits lain juga menyebutkan “Ash shaumu junnah min al-nâr kajunnatikum min al-qitâl / Puasa adalah perisai dari neraka, seperti perisai yang kamu pakai dalam berperang untuk memelihara tubuhmu” (H.R Ahmad, Nasa’i, dan Ibn majah).
Bulan Ramadhan adalah bulan di mana umat Islam diperintahkan melaksanakan suatu ibadah khusus, yaitu puasa di siang hari dan serangkaian ibadah lainnya pada malam hari. Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan memerintahkan melaksanakan sesuatu, melainkan punya maksud, tujuan dan hikmah yang berada di balik perintah tersebut. Sebab, tidak ada satupun ciptaan dan perbuatan Allah swt yang lepas dari maksud dan tujuan serta hikmah. Ada hikmahnya yang diketahui manusia, namun kebanyakan tidak atau belum diketahui manusia.
Akan tetapi, semua hikmah tersebut adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allah Yang Maha Kaya tidak berhajat kepada apapun dan siapapun. Bahkan, sekiranya seluruh makhluk membangkang serta durhaka kepada-Nya, kebesaran dan keagungan Tuhan tidak akan pernah berkurang. Dalam ibadah puasa terdapat sejumlah hikmah dan mashlahat, di antaranya adalah:
1. Tadzkiyat al-Nafsi( Penyucian jiwa)
Manusia, sebagaimana yang dijelaskan Allah swt dalam surat Shad [38]: 71-72 dan surat as-Sajadah [32]: 15-17, diciptakan dari dua unsur yang berbeda. Pertama, Allah sebuat unsur thîn (tanah) yang merupakan unsur pembentuk jasmani manusia. Kedua, Allah sebut ruhî (Roh Saya) yang merupakan unsur yang kudus dan suci dalam diri manusia. Dengan Roh Tuhan ini pula manusia menjadi objek sujud kedua bagi makhluk selain Allah swt.
Ketika Allah swt selesai menciptakan jasmani manusia dari tanah, lalu Allah hembuskan roh-Nya ke dalam jasad tersebut, jadilah manusia makhluk paling sempurna dan paling tinggi kedudukan dari semua makhluk Allah swt (dalam bahasa al-Qur’an disebut khlaqan âkhar/makhluk yang unik). Namun, di saat manusia memenuhi kebutuhan jasmaninya, terkadang manusia melakukan dosa dan kesalahan yang berakibat rohani yang semula suciv - karena berasal dari Yang Maha Suci - sedikit demi sedikit mulai kotor. Karena rohani yang sudah kotor itu, secara perlahan-lahan manusia yang pada mulanya dekat dengan Allah swt mulai menjauh. Sebab, Allah swt adalah Dzat Yang Maha Suci, tidak akan mendekati dan bisa didekati kecuali yang suci pula.
Kalau jasmani disucikan dari kotoran dengan berwudhu’, mandi atau tayammum, maka rohani yang kotor dibersihkan dengan cara ibadah. Dengan melaksanakan puasa sebagai salah satu ibadah, berarti seseorang berupaya mensucikan rohaninya dari kotoran yang berupa dosa. Rasulullah saw bersabda “Siapa yang melaksanakan puasa dan ibadah Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan, Allah akan mengampuni segala dosanya yang telah berlalu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Tarbiyat al-Irâdah ( Mendidik kemauan dan keinginan)
Manusia sebagai makhluk hidup, tentu memiliki banyak kebutuhan dan keinginan yang mesti dipenuhi. Bahkan keinginan manusia tidak akan pernah habis dan tidak akan ada batasnya, sampai dia berpisah dengan kehidupan dunia ini. Akan tetapi, tidak semua keinginan itu bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Ketika itu terjadi, maka seseorang diharapkan menerima dan menghadapinya dengan kesabaran. Itulah salah satu didikan yang didapatkan dari ibadah puasa. Artinya, jangankan sesuatu yang kita tidak berkesempatan memperolehnya, sesuatu yang sudah didepan matapun, jika belum saatnya diperoleh maka dia harus bersabar. Bukankah seorang yang berpuasa ketika menemukan makanan dan dalam kondisi lapar harus menahan dulu sebelum datang waktu berbuka?.
Begitulah keagungan puasa yang menuntut kesabaran dari para pelakunya. Sangat tapat kiranya Rasulullah saw mengatakan “Ramadhan syahru al-shabr/ Ramadhan adalah bulan kesabaran”(H.R Ibn Majah dari Abu Hurairah).
3. Menjinakan Nafsu Seksual
Nafsu seksual seringkali menjadi hal yang paling banyak dan paling efektif menjerumuskan manusia ke lembah dosa. Lihat saja misalnya nenek moyang manusia Adam dan Hawa, yang sudah diperbolehkan Allah swt menikmati dan menggunakan seluruh kenikmatan dan fasilitas sorga, dan hanya satu larangan Allah swt yang mesti mereka tinggalkan “la taqrabâ hâdzihi al-Syajarah” (jangan kamu berdua dekati pohon ini Q.S. al-Baqarah [2]: 35). “Pohon ini” menurut sebagian mufassir adalah berarti jima’ (berhubungan seksual). Adam as. ternyata tidak mampu menahannya dan atas desakan iblis mereka terjerumus melanggar larangan Allah swt.
Dengan berpuasa berarti seseorang berupaya menjinakan seksualnya. Betapa tidak, bagi yang berpuasa jangankan melakukan zina, memperkosa dan sebagainya, melakukan hubungan dengan istrinya yang sudah halalpun harus diatur, agar dia tidak melakukannya ketika berpuasa. Rasulullah saw bersabda “wahai para pemuda jika kalian sudah mampu lahir dan batin maka menikahlah, sedangkan bagi yang belum mampu perbanyaklah berpuasa” (H.R. Bukhari dari Ibn Mas’ud).
4. Lebih menajamkan perasaan akan ni’mat Allah swt.
Manusia biasanya baru bisa menghargai dan merasakan sesuatu sebagai nikmat, kalau sesuatu itu didapatkan dengan susah payah dan usaha yang berat. Seorang yang kaya tidak tidak akan merasakan nikmatnya kaya, kalau tidak pernah merasakan miskin. Seorang yang sehat tidak akan merasakan nikmatnya sehat, kalau belum pernah sakit. Begitu juga seorang yang kenyang tidak akan merasakan kenyang sebagai nikmat, kalau belum merasakan lapar dan seterusnya.
Jadi puasa adalah sebagai salah satu hal yang membuat manusia menghargai dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ketika dia merasakan lapar dan haus, barulah dia sadar betapa berat rasanya menjadi orang yang susah dan setiap hari hidup dengan perut kosong. Sehingga diharapkan dia menjadi orang yang bersyukur atas kelebihan yang dimilikinya, bila dibandingkan saudara-sudaranya yang kurang beruntung lainnya.
5. Menyadarkan manusia akan kehidupan akhirat
Dengan melaksankan puasa, menahan makan dan minum manusia disadarkan akan kehidupan akhirat. Betapa tidak, dengan merasakan haus dan lapar yang hanya beberapa jam saja manusia sudah sangat kepayahan, apalagi kalau itu dilakukan dalam waktu yang panjang dan tak terbatas. Di tambah lagi di bawah terik matahari yang sangat kuat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di padang mahsyar nanti, matahari didekatklan ke ubun-ubun manusia dalam jarak yang sangat dekat sekali. Kita bisa bayangkan jika matahari yang kita saksikan di dunia ini saja sudah begitu panasnya dalam jarak lebih dari 15 juta km dari bumi, apalagi dalam jarak yang begitu dekatnya.
6. Memupuk rasa solidaritas sosial
Dengan berpuasa diharapkan akan muncul rasa solidaritas di antara sesama manusia khususnya sesama umat Islam. Setelah manusia merasakan rasa haus dan lapar, maka diharapkan pengalaman itu membawa manusia yang berpuasa memiliki perasaan simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain, dan bersedia berbagi bersama orang-orang yang selama ini hidup dalam kekurangan, yang setiap hari merasakan haus dan lapar. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda:
من فطر صائما فله مثل أجره ولا ينقص من أجر الصائم شيئا
Artinya: Siapa yang memberi perbukaan kepada orang yang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa kurang sedikitpun.” (H.R. Ahmad, Tarmizi dan Ibn Majah).
Dalam hadits lain disebutkan: “Berilah orang yang berpuasa perbukaan sekalipun sebuah korma”. Agaknya bukan sebuah korma itu yang dimaksud Nabi saw, akan tetapi yang lebih ditujukan beliau adalah rasa peduli kepada orang lain. Kepedulian inilah yang kemudia ditunjukan oleh orang yang berpuasa pada akhir bulan Ramadahn dengan membayar zakat fitrah.
7. Menjadikan manusia orang yang bertaqwa
Ini adalah tujuan dan hikmah seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 183. Taqwa secara harfiyah berarti terpelihara, yang berarti dengan berpuasa diharapkan manusia dapat terpelihara dari dosa, syaithan, dan dari azab neraka Allah swt. Bukankah dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda “ Apabila telah datang Ramadhan dibuka seluruh pintu sorga, ditutup seluruh pintu neraka dan dibelenggu seluruh syaithan” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Huarairah). Hadits lain juga menyebutkan “Ash shaumu junnah min al-nâr kajunnatikum min al-qitâl / Puasa adalah perisai dari neraka, seperti perisai yang kamu pakai dalam berperang untuk memelihara tubuhmu” (H.R Ahmad, Nasa’i, dan Ibn majah).
Label:
ceramah dan khutbah
Doa Yang Dikabulkan Allah
Doa Yang Dikabulkan Allah
Secara harfiyah do’a berarti seruan, ajakan, permohonan dan permintaan. Akan tetapi, kata do’a kemudian mengalami penyempitan arti, sehingga akhirnya dipahami dalam bentuk permohonan atau permintaan. Permohonan atau permintaan tersebut, tentu saja ditujukan kepada Allah swt, karena berdo’a kepada yang selain-Nya adalah kemusyrikan.
Ada beberapa alasan kenapa seseorang mesti berdo’a kepada Allah swt. Pertama, manusia berdo’a sebagai wujud nyata dari bukti kelemahan manusia itu sendiri, seperti yang disebutkan Allah swt dalam firman-Nya surat an-Nisa’ [4]: 28
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”
Diantara kelemahan manusia terlihat dari aspek fisik. Di mana secara penciptaan, jika dibandingkan dengan makhluk lain, manusia sangatlah lemah. Seekor anak sapi misalnya, hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk bisa berdiri dan kemudian berjalan setelah dilahirkan induknya. Sementara manusia baru bisa berdiri dan berjalan setelah berumur lebih dari satu tahun. Begitu juga, seekor induk kelelawar melahirkan anaknya dalam kondisi bergantung, kaki ke atas dan kepala ke bawah. Akan tetapi, tidak pernah sekalipun anaknya jatuh ke tanah saat kelahirannya tersebut. Anak kelelawar begitu keluar dari perut induknya, segera mencari susu induknya untuk kemudian bergantung padanya. Sementara seorang anak manusia begitu lahir, tidak bisa mencari susu ibunya dengan sendiri, dia baru akan menyusu bila ibunya meletakan susunya pada mulut sang manusia tersebut. Begitulah kelemahan manusia dari segi penciptaan jika dibandingkan dengan makhluk Allah swt yang lain.
Kelemahan manusia yang lain adalah bahwa dia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Sehingga Allah swt perlu memberikan penjaga-pejaga yang akan menjaganya. Ketidakmampuan manusia memelihara dirinya terbukti dengan tidak mampunya manusia mengetahui mana yang baik dan buruk untuknya. Hal itu, seperti yang ditegaskan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 216
…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Begitu juga kelemahan manusia adalah bahwa tidak semua yang dinginkan dan diharapkannya bisa diwujudkan dengan usahanya sendiri. Di sinilah pentingnya manusia bero’a kepada Allah swt.
Kedua, manusia perlu berdo’a karena do’a adalah perintah Allah swt. Seperti firman-Nya dalam surat Ghafir [40]: 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
Dengan demikian, do’a merupakan bagian dari ibadah yang diperintahkan Allah swt, kalau tidak akan mengatakannya sebagai sebuah kewajiban. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengatakan “Do’a itu adalah intinya ibadah”. Bukankah shalat yang merupakan tiang agama, secara bahasa berarti do’a?
Namun demikian, tidaklah semua do’a bisa terkabulkan atau diperkenankan oleh Allah swt, sebelum yang berdo’a mengikuti prosedur berupa aturan yang ditetapkan Allah swt. Berikut beberapa aturan dalam berdo’a, sehingga do’a yang bersangkutan didengar dan dikabulkan Allah swt.
1. Do’a mesti ditujukan hanya kepada Allah semata.
Oleh karena itu, tidak boleh berdo’a kepada selain Allah swt. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya surat Yunus [10]: 106
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menyembah (berdo’a/meminta) apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.”
Begitu juga firman Allah dalam surat ar-Ra’du [13]: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”
2. Berdo’a harus tulus ikhlas karena Allah swt.
Artinya, doa mestilah lahir dari keinginan yang bersangkutan untuk mengharap rahmat Allah swt, bukan karena malu, segan, takut, atau terpaksa oleh pihak lain. Do’a haruslah muncul dari hati sang pemohon, yang didasari dorongan akan kebutuhannya terhadap rahmat dan pertolongan Allah swt. Seperti yang dijelaskan Allah swt dalam surat al-Mu’min [40]: 14
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Maka sembahlah (berdo’alah kepada) Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).”
3. Do’a adalah ungkapan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan.
Oleh karena itu, semestinya do’a diungkapkan dengan bahasa yang tepat, penuh ketundukan dan kehinaan, bukan bahasa yang mengandung arogansi atau kesombongan. Sama halnya, dengan ketika kita meminta kepada manusia yang kedudukannya lebih tinggi, tentulah bahasa yang dipakai adalah bahasa yang penuh kerendahan dan harapan, bukan bahasa yang keras, penuh keangkuhan atau kesombongan. Jika meminta dengan ungkapan kasar, sombong, tanpa merendahkan diri maka sulit bagi seseorang untuk memperkenankan permintaan kita, kalau tidak akan dimarahi, diusir atau di perlakukan dengan kasar pula. Seperti yang diljelaskan Allah swt dalam surat al-A’raf [7]: 55
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat di atas, menyuruh manusia agar berdo’a kepada Allah swt dengan rasa hina dan suara yang lembut. Akan tetapi, Allah swt juga melarang melampaui batas kewajaran, seperti terlalu menghinakan diri, menangis secara berlebihan sehingga mengganggu orang lain.
4. Do’a tidak boleh untuk kejahatan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Do’a, yang disamping sebagai permohonan seseorang akan sesuatu yang diinginkan, juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Oleh karena itu, semestinya do’a juga dalam bentuk kebaikan dan bertujuan baik pula. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Isra’ [17]: 11
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Biasanya seseorang berdo’a untuk kejahatan orang lain, jika dia disakiti atau dizalimi. Namun demikian, berdo’a untuk maksud dan tujuan seperti itu tetap tidak dibenarkan. Do’a seperti itu bukan hanya tidak akan dikabulkan Allah swt, akan tetapi yang berdo’apun akan mendapat dosa. Sebab, orang yang mendo’akan kejahatan orang lain, berarti dia tidak yakin akan adanya keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.
5. Do’a adalah permohonan seorang hamba kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, selayaknya bagi setiap yang berdo’a melakukan ibadah sebelum mengajukan permohonan. Sama halnya dengan ketika seseorang mau mengajukan permintaan kepada seorang pejabat, tentulah dia terlebih dahulu membuat sang pejabat menjadi senang kepadanya. Bisa dengan cara mematuhi perintahnya terlebih dahulu, atau dengan berbincang sambil memujinya. Setelah hatinya menjadi senang dan respek dengan yang meminta, tentu keinginan sang pemohon akan cepat dikabulkan. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda;
قدمت العبادة على الاستعانة اقرب الى الإجابة
Artinya: “Mendahulukan ibadah dari mengajukan permohonan adalah lebih dekat utnuk dikabulkan”
Itulah agaknya, kenapa sebelum berdo’a kita disuruh minimal memuji Allah swt. Dan begitu juga, kenapa salah satu tempat do’a yang paling mustajab adalah setelah selesai shalat fardhu.
6. Memilih waktu yang tepat untuk berdo’a.
Memang do’a bisa dimohonkan setiap saat tanpa memandang waktu dan tempat, karena Allah akan selalu mendengar. Akan tetapi, dalam mengajukan permohonan kiranya perlu memperhitungkan dan mencari waktu yang paling tepat. Ibarat ingin menemui seorang, tentulah tidak pada semua waktu dan kesempatan. Jika ingin bertemu, tentu kita harus mencari waktu di mana dia sedang tidak sibuk, atau sedang sendirian dan butuh teman untuk berbicara. Agaknya waktu seperti itu, akan sangat tepat jika mengajukan suatu permohonan. Begitu juga kalau mengajukan permohonan kepada Allah swt, carilah waktu yang paling tepat. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw
اقرب ما يكون الرب من عبده فى جوف الليل الآخر
Artinya: “Saat yang paling dekat antara Tuhan dengan hamba-Nya adalah pada pertengahan malam.”
Pada pertengahan malam, Tuhan berada sangat dekat dengan hamba-Nya, dikarenakan pada saat itu semua makhluk sedang asyik dan larut dengan tidur mereka. Sehingga, jika seseorang bangun beribadah dan mengajukan permohonan kepada Allah swt akan cepat dikabulkan dan diterima. Jika boleh disamakan dengan manusia, ketika itu ibaratnya seseorang sedang sendiri dan butuh teman untuk berbicara, tentu kedatangan kita kepadanya akan membuat dia menjadi gembira dan senang, sehingga permintaan akan cepat dikabulkan. Begitu juga, jika diibaratkan dengan kehidupan nyata di dunia, seperti layaknya sistem komunikasi. Saat tengah malam adalah waktu di mana jaringan tidak sibuk. Sehingga kalau melakukan sambungan komunikasi akan cepat tersambung atau sampai ke tujuan yang hendak di tuju.
7. Do’a harus ditujukan langsung kepada Allah swt tanpa melalui perantara. Sebab, Allah swt adalah sangat dekat dengn hamba-Nya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
8. Jangan putus asa dalam berdo’a.
Ketika, suatu permohonan belum dikabulkan Allah swt, maka mintalah selalu sampai bisa terwujud. Dalam surat Yunus [10]: 89 Allah swt menceritakan bahwa nabi Musa as dan Harun as berdo’a kepada Allah swt untuk kehancuran Fir’aun. Allah swt kemudian menjawab doa mereka dengan firman-Nya “ Sungguh telah Ku perkenankan do’a kamu berdua”. Menurut riwayat bahwa jarak antara jawaban Tuhan dengan terbunuhnya Fir’aun adalah setelah berlalu 40 tahun.
Begitulah cara berdo’a kepada Allah swt, di mana seseorang tidak boleh putus asa karena do’anya belum terkabulkan. Rasa putus asa juga membuat manusia jauh dari rahmat Allah swt, seperti firman-Nya dalam surat Yusuf [12]: 87
...وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
Akan tetapi, ada hal yang mesti diyakini oleh setiap yang berdo’a kepada Allah swt, bahwa memang tidak semua do’a akan dikabulkan-Nya. Jika sudah beberapa kali berdo’a, namun belum terkabulkan, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin ada tata caranya yang kurang sempurna. Kedua, mungkin karena hati seseorang penuh dosa, sehingga menghambat hubungannya dengan Allah swt. Ketiga, mungkin seseorang belum siap menerima apa yang diminta, sehingga Allah swt belum mengabulkannya sambil menunggu waktu yang tepat utnuk memberikannya. Dan keempat, mungkin sesuatu yang diminta itu bukanlah yang baik baginya, akan tetapi justru buruk untuknya. Allah swt tidak mengabulkan permohonannya karena ingin mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang di mintanya. Sebab, Allah swt adalah Dzat yang Maha Tahu dan Bijaksana.
Terkait dengan hal ini, menarik untuk memperbandingkan firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 129 dengan ayat 151. Dalam ayat 129 Allah berfirman
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Sementara dalam ayat 151 Allah berfirman
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Ayat 129 di atas berbicara tentang do’a nabi Ibrahim as. bersama Isma’il as. Allah menyebutkan empat permintaan yang diajukan mereka kepada-Nya. Pertama, agar diutus seorang rasul dari kalangan mereka. Kedua, seorang rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka. Ketiga, seorang rasul yang akan mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada mereka. Dan keempat, seorang rasul yang akan mensucikan mereka.
Namun dalam ayat 151 Allah swt memberikan lima hal sebagai jawaban atas do’a mereka. Pertama, diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka. Kedua, seorang rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka. Ketiga, seorang rasul yang akan mensucikan mereka. Keempat, seorang rasul yang akan mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada mereka. Dan kelima, seorang rasul yang mengajarkan sesuatu yang belum mereka ketahui.
Dengan mencermati kedua redaksi ayat di atas dapat diambil pelajaran; pertama, bahwa sekiranya seseorang berdo’a dengan tulus dan ikhlas kepada Allah seperti yang dilakukan oleh Ibrahim as. dan isma’il as. maka Allah swt akan memberi lebih banyak dari yang mereka minta dan inginkan.
Pelajaran kedua yang bisa diambil dari kedua ayat di atas adalah dengan mencermati perbedaan redaksinya. Do’a Ibrahim as. dan Isma’il as. menyebutkan “…yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka…”. Sementara jawaban Allah atas do’a mereka dalam redaksi “…yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah…”. Terdapat perbedaan redaksi antara permohonan dan jawaban atas do’a yang diajukan. Hal itu mengandung hikmah bahwa tidak selalu apa yang diminta seseorang diberikan Allah swt sesuai dengan harapan atau keinginannya. Namun hal yang pasti, bahwa apapun yang diberikan Allah, maka itu adalah yang terbaik bagi pemohon. Sebab, manusia dengan segala keterbatasannya tidak bisa mengetahui dengan pasti mana yang terbaik untuk dirinya. Itulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 216 seperti yang disebutkan sebelumnya.
Pelajaran ketiga yang bisa diambil dari kedua ayat di atas adalah, bahwa Ibrahim dan Isma’il berdo’ a kepada Allah swt sewaktu mereka hidup tepatnya setelah selesai membangun ka’bah. Sementara, nabi Muhammad saw lahir sebagai jawaban atas do’a mereka setelah ribuan tahun kemudian. Sungguh suatu jarak waktu yang sangat panjang antara permohonan dengan dikabulkannya do’a tersebut. Itulah yang mesti diyakini oleh seorang yang berdo’a bahwa tidak selalu apa yang diminta dikabulkan dalam waktu yang dekat. Allah swt mungkin akan mengundur waktu dikabulkannya suatu do’a dalam waktu yang sangat panjang seperti do’a nabi Ibrahim dan Isma’il di atas. Akan tetapi, tentu dengan maksud dan tujuan yang besar sesuai dengan kebijaksanaan Allah swt.
Secara harfiyah do’a berarti seruan, ajakan, permohonan dan permintaan. Akan tetapi, kata do’a kemudian mengalami penyempitan arti, sehingga akhirnya dipahami dalam bentuk permohonan atau permintaan. Permohonan atau permintaan tersebut, tentu saja ditujukan kepada Allah swt, karena berdo’a kepada yang selain-Nya adalah kemusyrikan.
Ada beberapa alasan kenapa seseorang mesti berdo’a kepada Allah swt. Pertama, manusia berdo’a sebagai wujud nyata dari bukti kelemahan manusia itu sendiri, seperti yang disebutkan Allah swt dalam firman-Nya surat an-Nisa’ [4]: 28
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”
Diantara kelemahan manusia terlihat dari aspek fisik. Di mana secara penciptaan, jika dibandingkan dengan makhluk lain, manusia sangatlah lemah. Seekor anak sapi misalnya, hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk bisa berdiri dan kemudian berjalan setelah dilahirkan induknya. Sementara manusia baru bisa berdiri dan berjalan setelah berumur lebih dari satu tahun. Begitu juga, seekor induk kelelawar melahirkan anaknya dalam kondisi bergantung, kaki ke atas dan kepala ke bawah. Akan tetapi, tidak pernah sekalipun anaknya jatuh ke tanah saat kelahirannya tersebut. Anak kelelawar begitu keluar dari perut induknya, segera mencari susu induknya untuk kemudian bergantung padanya. Sementara seorang anak manusia begitu lahir, tidak bisa mencari susu ibunya dengan sendiri, dia baru akan menyusu bila ibunya meletakan susunya pada mulut sang manusia tersebut. Begitulah kelemahan manusia dari segi penciptaan jika dibandingkan dengan makhluk Allah swt yang lain.
Kelemahan manusia yang lain adalah bahwa dia tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Sehingga Allah swt perlu memberikan penjaga-pejaga yang akan menjaganya. Ketidakmampuan manusia memelihara dirinya terbukti dengan tidak mampunya manusia mengetahui mana yang baik dan buruk untuknya. Hal itu, seperti yang ditegaskan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 216
…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Begitu juga kelemahan manusia adalah bahwa tidak semua yang dinginkan dan diharapkannya bisa diwujudkan dengan usahanya sendiri. Di sinilah pentingnya manusia bero’a kepada Allah swt.
Kedua, manusia perlu berdo’a karena do’a adalah perintah Allah swt. Seperti firman-Nya dalam surat Ghafir [40]: 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
Dengan demikian, do’a merupakan bagian dari ibadah yang diperintahkan Allah swt, kalau tidak akan mengatakannya sebagai sebuah kewajiban. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengatakan “Do’a itu adalah intinya ibadah”. Bukankah shalat yang merupakan tiang agama, secara bahasa berarti do’a?
Namun demikian, tidaklah semua do’a bisa terkabulkan atau diperkenankan oleh Allah swt, sebelum yang berdo’a mengikuti prosedur berupa aturan yang ditetapkan Allah swt. Berikut beberapa aturan dalam berdo’a, sehingga do’a yang bersangkutan didengar dan dikabulkan Allah swt.
1. Do’a mesti ditujukan hanya kepada Allah semata.
Oleh karena itu, tidak boleh berdo’a kepada selain Allah swt. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya surat Yunus [10]: 106
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menyembah (berdo’a/meminta) apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.”
Begitu juga firman Allah dalam surat ar-Ra’du [13]: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”
2. Berdo’a harus tulus ikhlas karena Allah swt.
Artinya, doa mestilah lahir dari keinginan yang bersangkutan untuk mengharap rahmat Allah swt, bukan karena malu, segan, takut, atau terpaksa oleh pihak lain. Do’a haruslah muncul dari hati sang pemohon, yang didasari dorongan akan kebutuhannya terhadap rahmat dan pertolongan Allah swt. Seperti yang dijelaskan Allah swt dalam surat al-Mu’min [40]: 14
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Maka sembahlah (berdo’alah kepada) Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).”
3. Do’a adalah ungkapan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan.
Oleh karena itu, semestinya do’a diungkapkan dengan bahasa yang tepat, penuh ketundukan dan kehinaan, bukan bahasa yang mengandung arogansi atau kesombongan. Sama halnya, dengan ketika kita meminta kepada manusia yang kedudukannya lebih tinggi, tentulah bahasa yang dipakai adalah bahasa yang penuh kerendahan dan harapan, bukan bahasa yang keras, penuh keangkuhan atau kesombongan. Jika meminta dengan ungkapan kasar, sombong, tanpa merendahkan diri maka sulit bagi seseorang untuk memperkenankan permintaan kita, kalau tidak akan dimarahi, diusir atau di perlakukan dengan kasar pula. Seperti yang diljelaskan Allah swt dalam surat al-A’raf [7]: 55
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat di atas, menyuruh manusia agar berdo’a kepada Allah swt dengan rasa hina dan suara yang lembut. Akan tetapi, Allah swt juga melarang melampaui batas kewajaran, seperti terlalu menghinakan diri, menangis secara berlebihan sehingga mengganggu orang lain.
4. Do’a tidak boleh untuk kejahatan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Do’a, yang disamping sebagai permohonan seseorang akan sesuatu yang diinginkan, juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Oleh karena itu, semestinya do’a juga dalam bentuk kebaikan dan bertujuan baik pula. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Isra’ [17]: 11
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Biasanya seseorang berdo’a untuk kejahatan orang lain, jika dia disakiti atau dizalimi. Namun demikian, berdo’a untuk maksud dan tujuan seperti itu tetap tidak dibenarkan. Do’a seperti itu bukan hanya tidak akan dikabulkan Allah swt, akan tetapi yang berdo’apun akan mendapat dosa. Sebab, orang yang mendo’akan kejahatan orang lain, berarti dia tidak yakin akan adanya keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.
5. Do’a adalah permohonan seorang hamba kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, selayaknya bagi setiap yang berdo’a melakukan ibadah sebelum mengajukan permohonan. Sama halnya dengan ketika seseorang mau mengajukan permintaan kepada seorang pejabat, tentulah dia terlebih dahulu membuat sang pejabat menjadi senang kepadanya. Bisa dengan cara mematuhi perintahnya terlebih dahulu, atau dengan berbincang sambil memujinya. Setelah hatinya menjadi senang dan respek dengan yang meminta, tentu keinginan sang pemohon akan cepat dikabulkan. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda;
قدمت العبادة على الاستعانة اقرب الى الإجابة
Artinya: “Mendahulukan ibadah dari mengajukan permohonan adalah lebih dekat utnuk dikabulkan”
Itulah agaknya, kenapa sebelum berdo’a kita disuruh minimal memuji Allah swt. Dan begitu juga, kenapa salah satu tempat do’a yang paling mustajab adalah setelah selesai shalat fardhu.
6. Memilih waktu yang tepat untuk berdo’a.
Memang do’a bisa dimohonkan setiap saat tanpa memandang waktu dan tempat, karena Allah akan selalu mendengar. Akan tetapi, dalam mengajukan permohonan kiranya perlu memperhitungkan dan mencari waktu yang paling tepat. Ibarat ingin menemui seorang, tentulah tidak pada semua waktu dan kesempatan. Jika ingin bertemu, tentu kita harus mencari waktu di mana dia sedang tidak sibuk, atau sedang sendirian dan butuh teman untuk berbicara. Agaknya waktu seperti itu, akan sangat tepat jika mengajukan suatu permohonan. Begitu juga kalau mengajukan permohonan kepada Allah swt, carilah waktu yang paling tepat. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw
اقرب ما يكون الرب من عبده فى جوف الليل الآخر
Artinya: “Saat yang paling dekat antara Tuhan dengan hamba-Nya adalah pada pertengahan malam.”
Pada pertengahan malam, Tuhan berada sangat dekat dengan hamba-Nya, dikarenakan pada saat itu semua makhluk sedang asyik dan larut dengan tidur mereka. Sehingga, jika seseorang bangun beribadah dan mengajukan permohonan kepada Allah swt akan cepat dikabulkan dan diterima. Jika boleh disamakan dengan manusia, ketika itu ibaratnya seseorang sedang sendiri dan butuh teman untuk berbicara, tentu kedatangan kita kepadanya akan membuat dia menjadi gembira dan senang, sehingga permintaan akan cepat dikabulkan. Begitu juga, jika diibaratkan dengan kehidupan nyata di dunia, seperti layaknya sistem komunikasi. Saat tengah malam adalah waktu di mana jaringan tidak sibuk. Sehingga kalau melakukan sambungan komunikasi akan cepat tersambung atau sampai ke tujuan yang hendak di tuju.
7. Do’a harus ditujukan langsung kepada Allah swt tanpa melalui perantara. Sebab, Allah swt adalah sangat dekat dengn hamba-Nya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
8. Jangan putus asa dalam berdo’a.
Ketika, suatu permohonan belum dikabulkan Allah swt, maka mintalah selalu sampai bisa terwujud. Dalam surat Yunus [10]: 89 Allah swt menceritakan bahwa nabi Musa as dan Harun as berdo’a kepada Allah swt untuk kehancuran Fir’aun. Allah swt kemudian menjawab doa mereka dengan firman-Nya “ Sungguh telah Ku perkenankan do’a kamu berdua”. Menurut riwayat bahwa jarak antara jawaban Tuhan dengan terbunuhnya Fir’aun adalah setelah berlalu 40 tahun.
Begitulah cara berdo’a kepada Allah swt, di mana seseorang tidak boleh putus asa karena do’anya belum terkabulkan. Rasa putus asa juga membuat manusia jauh dari rahmat Allah swt, seperti firman-Nya dalam surat Yusuf [12]: 87
...وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
Akan tetapi, ada hal yang mesti diyakini oleh setiap yang berdo’a kepada Allah swt, bahwa memang tidak semua do’a akan dikabulkan-Nya. Jika sudah beberapa kali berdo’a, namun belum terkabulkan, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin ada tata caranya yang kurang sempurna. Kedua, mungkin karena hati seseorang penuh dosa, sehingga menghambat hubungannya dengan Allah swt. Ketiga, mungkin seseorang belum siap menerima apa yang diminta, sehingga Allah swt belum mengabulkannya sambil menunggu waktu yang tepat utnuk memberikannya. Dan keempat, mungkin sesuatu yang diminta itu bukanlah yang baik baginya, akan tetapi justru buruk untuknya. Allah swt tidak mengabulkan permohonannya karena ingin mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang di mintanya. Sebab, Allah swt adalah Dzat yang Maha Tahu dan Bijaksana.
Terkait dengan hal ini, menarik untuk memperbandingkan firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 129 dengan ayat 151. Dalam ayat 129 Allah berfirman
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Sementara dalam ayat 151 Allah berfirman
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Ayat 129 di atas berbicara tentang do’a nabi Ibrahim as. bersama Isma’il as. Allah menyebutkan empat permintaan yang diajukan mereka kepada-Nya. Pertama, agar diutus seorang rasul dari kalangan mereka. Kedua, seorang rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka. Ketiga, seorang rasul yang akan mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada mereka. Dan keempat, seorang rasul yang akan mensucikan mereka.
Namun dalam ayat 151 Allah swt memberikan lima hal sebagai jawaban atas do’a mereka. Pertama, diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka. Kedua, seorang rasul yang akan membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka. Ketiga, seorang rasul yang akan mensucikan mereka. Keempat, seorang rasul yang akan mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah kepada mereka. Dan kelima, seorang rasul yang mengajarkan sesuatu yang belum mereka ketahui.
Dengan mencermati kedua redaksi ayat di atas dapat diambil pelajaran; pertama, bahwa sekiranya seseorang berdo’a dengan tulus dan ikhlas kepada Allah seperti yang dilakukan oleh Ibrahim as. dan isma’il as. maka Allah swt akan memberi lebih banyak dari yang mereka minta dan inginkan.
Pelajaran kedua yang bisa diambil dari kedua ayat di atas adalah dengan mencermati perbedaan redaksinya. Do’a Ibrahim as. dan Isma’il as. menyebutkan “…yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka…”. Sementara jawaban Allah atas do’a mereka dalam redaksi “…yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah…”. Terdapat perbedaan redaksi antara permohonan dan jawaban atas do’a yang diajukan. Hal itu mengandung hikmah bahwa tidak selalu apa yang diminta seseorang diberikan Allah swt sesuai dengan harapan atau keinginannya. Namun hal yang pasti, bahwa apapun yang diberikan Allah, maka itu adalah yang terbaik bagi pemohon. Sebab, manusia dengan segala keterbatasannya tidak bisa mengetahui dengan pasti mana yang terbaik untuk dirinya. Itulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 216 seperti yang disebutkan sebelumnya.
Pelajaran ketiga yang bisa diambil dari kedua ayat di atas adalah, bahwa Ibrahim dan Isma’il berdo’ a kepada Allah swt sewaktu mereka hidup tepatnya setelah selesai membangun ka’bah. Sementara, nabi Muhammad saw lahir sebagai jawaban atas do’a mereka setelah ribuan tahun kemudian. Sungguh suatu jarak waktu yang sangat panjang antara permohonan dengan dikabulkannya do’a tersebut. Itulah yang mesti diyakini oleh seorang yang berdo’a bahwa tidak selalu apa yang diminta dikabulkan dalam waktu yang dekat. Allah swt mungkin akan mengundur waktu dikabulkannya suatu do’a dalam waktu yang sangat panjang seperti do’a nabi Ibrahim dan Isma’il di atas. Akan tetapi, tentu dengan maksud dan tujuan yang besar sesuai dengan kebijaksanaan Allah swt.
Disiplin Kunci Keberhasilan
Disiplin Kunci Keberhasilan
Kata disiplin seringkali dipahami sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dan memanfaatkan waktunya seefektif dan sebaik mungkin. Sehingga, tidak satu detikpun dari waktu yang dimilikinya terbuang percuma tanpa ada hasil yang bisa diambilnya. Pemahaman terhadap kata disiplin seperti demikian tidaklah keliru, karena memang salah satu bentuk disiplin adalah memang terkait dengan pemanfaatan waktu. Begitu pentingnya penghargaan dan pemanfaatan waktu sehingga Rasulullah saw mengingatkan umatnya dalam sebuah haditsnya
اغتنم خمسا قبل خمس حياتك قبل موتك صحتك قبل سقمك فراغك قبل شغلك شبابك قبل هرمك غناك قبل فقرك
Artinya: “Pergunakanlah lima waktu sebelum datang waktu yang lima; waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu lapangmu sebelum datang waktu sempitmu, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu.” (H.R Baihaqi).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa setiap kemunculan fajar, ia selalu berseru kepada manusia, dengan ungkapan:
ما من يوم ينشق فجره إلا وينادى ياابن آدام أنا خلق جديد وعلى عملك شهيد فاغتنم مني فإني لا أعود إلى يوم القيامة
Artinya: “Tidak ada satu haripun yang ketika fajarnya datang kecuali ia berseru” wahai semua anak Adam, saya adalah ciptaan Allah yang baru dan menjadi saksi atas semua amalmu, maka pergunakanlah saya sebaik mungkin karena aku yang datang hari ini tidak akan pernah kembali lagi sampai hari kiamat.”
Oleh karena itulah, Ali bin Abi Thalib kw. mengingatkan bahwa rezeki yang tidak didapatkan hari ini mungkin bisa didapatkan besok, namun waktu yang berlalu hari ini tidak akan pernah didapati lagi sampai hari kiamat. Karena, waktu yang telah berlalau walaupun satu detik tidak mungkin lagi diputar untuk kembali (mâ fâtaka al-yauma min ar-rizq yurja ghadan ‘audatuhu, wa mâ fâtaka min al-‘umr lâ yurja raj’atuhu).
Begitu pentingnya pemanfaatan waktu sehingga dalam banyak ayat-Nya, Allah swt juga mengingatkan manusia agar menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Firman Allah swt dalam surat al-Jumu’ah [62] : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berusaha mencari kebaikan dunia sebanyak banyaknya, dan pada saat yang bersamaan juga mencari kebaikan akhirat. Karena keberuntungan dan kesuksesan manusia terletak pada pemanfaatan waktu yang diberikan kepada mereka. Tuhan menyebut mereka dengan kelompok manusia sukses, berhasil atau beruntung (muflihûn). Begitu juga Allah swt berfirman dalam surat Alam Nasyrah [94]: 7, Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Dengan demikian, tidak ada istilah waktu kosong atau waktu “nganggur” dalam kehidupan setiap manusia.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin juga menjadi bagian dari ciri manusia yang sempurna. Sebab, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berakhlak dengan akhlak dan sifat Allah swt walaupun tidak akan bisa sampai ke tingkat sempurna. Salah satu sifat Allah swt yang mesti diikuti dan diteladani manusia adalah selalu sibuk dengan urusan, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 29
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Sehingga manusia yang sibuk termasuk manusia yang meneladani sifat Allah swt dan berpeluang bukan hanya menjadi manusia yang sukses, namun juga menjadi manusia yang sempurna. Sementara manusia yang tidak mampu mempergunakan waktunya dengan baik akan menjadi manusia yang merugi. Namun, tentu kerugian itu diketahuinya setelah berlalunya waktu tersebut atau nanti di akhirat. Itulah yang dimaksud Allah swt dalam surat al-‘Ashr [103] : 1-3.
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
Artinya: “ Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati dengan kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran.”.
Dalam ayat tersebut, Allah swt sengaja memakai kata ‘Ashr untuk menyebutkan manusia merugi, dan kerugian itu sendiri sangat banyak dan bermacam-macam sesuai kondisi dan profesi manusia itu sendiri. Kesan pemahaman tersebut diperoleh dari penggunaan kata khusr (merugi) dalam bentuk nakirah (indifinit). Lalu apa hubungan al-‘ashr dengan kerugian?
Kata ‘ashr berasal dari kata ‘ashara yang berarti memeras, sehingga juice (minuman hasil perasan) disebut dengan ‘ashîr. Kemudian áshr diartikan masa sesaat sebelum mata hari terbenam, dan akhirnya dipakai untuk arti masa secara umum. Dengan demikian, Allah swt ingin mengatakan bahwa kerugian atau keberuntungan manusia baru diketahui dan disadarinya setelah mereka memeras keringat dan berusaha sekuat tenaga. Dengan kata lain, keberuntungan dan kerugian baru diketahui ketika hari sudah sore atau matahari di ambang terbenam, dengan bahasa lain sesaat sebelum kematian menjemputnya. Bukankah dalam surat al-Munafiqun [63]: 10, Allah swt menyebutkan, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?". Begitulah penyesalan yang dialami manusia saat kematian datang terhadap kelalaian mereka akan waktu dan kesempatan semasa hidup di dunia.
Adapun manusia yang tidak merugi adalah orang yang mengisi waktunya sebaik mungkin dengan ilmu, iman, dan amal shalih. Sepanjang waktu mereka selalu mengisinya dengan aktifitas yang berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Itulah yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya
خياركم أطولكم اعمارا وأحسنكم اعمالا
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling panjang umurnya, namun paling baik amalnya”. (H.R. Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal [2]: 235)
Kata disiplin seringkali dipahami sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dan memanfaatkan waktunya seefektif dan sebaik mungkin. Sehingga, tidak satu detikpun dari waktu yang dimilikinya terbuang percuma tanpa ada hasil yang bisa diambilnya. Pemahaman terhadap kata disiplin seperti demikian tidaklah keliru, karena memang salah satu bentuk disiplin adalah memang terkait dengan pemanfaatan waktu. Begitu pentingnya penghargaan dan pemanfaatan waktu sehingga Rasulullah saw mengingatkan umatnya dalam sebuah haditsnya
اغتنم خمسا قبل خمس حياتك قبل موتك صحتك قبل سقمك فراغك قبل شغلك شبابك قبل هرمك غناك قبل فقرك
Artinya: “Pergunakanlah lima waktu sebelum datang waktu yang lima; waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu lapangmu sebelum datang waktu sempitmu, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu.” (H.R Baihaqi).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa setiap kemunculan fajar, ia selalu berseru kepada manusia, dengan ungkapan:
ما من يوم ينشق فجره إلا وينادى ياابن آدام أنا خلق جديد وعلى عملك شهيد فاغتنم مني فإني لا أعود إلى يوم القيامة
Artinya: “Tidak ada satu haripun yang ketika fajarnya datang kecuali ia berseru” wahai semua anak Adam, saya adalah ciptaan Allah yang baru dan menjadi saksi atas semua amalmu, maka pergunakanlah saya sebaik mungkin karena aku yang datang hari ini tidak akan pernah kembali lagi sampai hari kiamat.”
Oleh karena itulah, Ali bin Abi Thalib kw. mengingatkan bahwa rezeki yang tidak didapatkan hari ini mungkin bisa didapatkan besok, namun waktu yang berlalu hari ini tidak akan pernah didapati lagi sampai hari kiamat. Karena, waktu yang telah berlalau walaupun satu detik tidak mungkin lagi diputar untuk kembali (mâ fâtaka al-yauma min ar-rizq yurja ghadan ‘audatuhu, wa mâ fâtaka min al-‘umr lâ yurja raj’atuhu).
Begitu pentingnya pemanfaatan waktu sehingga dalam banyak ayat-Nya, Allah swt juga mengingatkan manusia agar menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Firman Allah swt dalam surat al-Jumu’ah [62] : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berusaha mencari kebaikan dunia sebanyak banyaknya, dan pada saat yang bersamaan juga mencari kebaikan akhirat. Karena keberuntungan dan kesuksesan manusia terletak pada pemanfaatan waktu yang diberikan kepada mereka. Tuhan menyebut mereka dengan kelompok manusia sukses, berhasil atau beruntung (muflihûn). Begitu juga Allah swt berfirman dalam surat Alam Nasyrah [94]: 7, Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Dengan demikian, tidak ada istilah waktu kosong atau waktu “nganggur” dalam kehidupan setiap manusia.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin juga menjadi bagian dari ciri manusia yang sempurna. Sebab, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berakhlak dengan akhlak dan sifat Allah swt walaupun tidak akan bisa sampai ke tingkat sempurna. Salah satu sifat Allah swt yang mesti diikuti dan diteladani manusia adalah selalu sibuk dengan urusan, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 29
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Sehingga manusia yang sibuk termasuk manusia yang meneladani sifat Allah swt dan berpeluang bukan hanya menjadi manusia yang sukses, namun juga menjadi manusia yang sempurna. Sementara manusia yang tidak mampu mempergunakan waktunya dengan baik akan menjadi manusia yang merugi. Namun, tentu kerugian itu diketahuinya setelah berlalunya waktu tersebut atau nanti di akhirat. Itulah yang dimaksud Allah swt dalam surat al-‘Ashr [103] : 1-3.
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
Artinya: “ Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati dengan kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran.”.
Dalam ayat tersebut, Allah swt sengaja memakai kata ‘Ashr untuk menyebutkan manusia merugi, dan kerugian itu sendiri sangat banyak dan bermacam-macam sesuai kondisi dan profesi manusia itu sendiri. Kesan pemahaman tersebut diperoleh dari penggunaan kata khusr (merugi) dalam bentuk nakirah (indifinit). Lalu apa hubungan al-‘ashr dengan kerugian?
Kata ‘ashr berasal dari kata ‘ashara yang berarti memeras, sehingga juice (minuman hasil perasan) disebut dengan ‘ashîr. Kemudian áshr diartikan masa sesaat sebelum mata hari terbenam, dan akhirnya dipakai untuk arti masa secara umum. Dengan demikian, Allah swt ingin mengatakan bahwa kerugian atau keberuntungan manusia baru diketahui dan disadarinya setelah mereka memeras keringat dan berusaha sekuat tenaga. Dengan kata lain, keberuntungan dan kerugian baru diketahui ketika hari sudah sore atau matahari di ambang terbenam, dengan bahasa lain sesaat sebelum kematian menjemputnya. Bukankah dalam surat al-Munafiqun [63]: 10, Allah swt menyebutkan, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?". Begitulah penyesalan yang dialami manusia saat kematian datang terhadap kelalaian mereka akan waktu dan kesempatan semasa hidup di dunia.
Adapun manusia yang tidak merugi adalah orang yang mengisi waktunya sebaik mungkin dengan ilmu, iman, dan amal shalih. Sepanjang waktu mereka selalu mengisinya dengan aktifitas yang berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Itulah yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya
خياركم أطولكم اعمارا وأحسنكم اعمالا
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling panjang umurnya, namun paling baik amalnya”. (H.R. Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal [2]: 235)
Label:
ceramah dan khutbah
Berikanlah Yang Terbaik!
Berikanlah Yang Terbaik!
Dalam surat Ali Imran [3]: 92 Allah swt berfirman
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya; “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Dalam ayat di atas Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebaikan yang sempurna (al-birr), sebelum mempersembahkan apa yang paling dia cintai atau sesuatu yang terbaik dari apa yang dia miliki. Allah swt memang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud kebaikan yang sempurna itu (al-birr). Namun, untuk mengetahui bentuk kebaikan yang sempurna atau dalam bahasa al-Qur’an disebut al-birr, maka perlu kiranya merujuk kepada lawan dari kata al-birr itu sendiri.
Dalam surat al-Ma’idah [5]: 2 Allah swt berfirman
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin serta rahmat dan kasih sayang Tuhan, sebelum mempersembahkan yang terbaik atau sesuatu yang paling dicintainya.
Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidaklah akan pernah memperoleh perhargaan, dan kasih sayang orang lain sebelum memberikan yang terbaik untuk mereka.
Oleh karena itu, al-birr dalam konteks ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. Hal inilah yang digambarkan Allah swt terhadap nabi Ibrahim as. di mana ketika dia mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, yaitu anak yang paling dicintainya untuk dikorbankan, Allah swt menjadikannya sebagai orang muhsinîn. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 110
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik(muhsinin).”
Muhsinîn adalah prestasi tertinggi yang dicapai makhluk di hadapan Tuhan. Sebab, kesediaan seseorang memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, Allah akan menjadikannya sebagai orang yang paling dicintai dan dikasihi-Nya. Tentu, tiadalah kebahagiaan tertinggi selain menjadi orang yang paling dicintai Allah swt. firman-Nya dalam surat al-Ma’idah [7]: 13
....فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Sedangakan di hadapan manusia, Allah swt akan menjadikannya ikutan, patron, teladan, contoh, serta buah bibir bagi manusia lain. Seperti yang diperoleh Ibrahim as. ketika mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ibrahaim as. adalah manusia yang selalu menjadi ikutan, panutan, bahkan akan selalu menjadi buah bibir manusia sepanjang masa. Semua agama besar (agama langit/samawi) saling “menklaim” bahwa Ibrahim as adalah golongan mereka. Bahkan beliau digelari “Bapak Monoteis” atau tokoh sentralnya agama tauhid. Itulah jaminan Allah swt kepada Ibrahim as. setelah beliau mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan selalu menjadi teladan dan imam bagi semua manusia khususnya penganut agama tauhid.
Begitulah penghargaan Allah swt terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Sepanjang masa, dia akan menjadi ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Agaknya itulah yang dimaksud oleh Allah dengan al-birr atau kebaikan yang sempurna. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain.
Ibn al-Jad’an seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia mepersembahkan sesuatu yang terbaik. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.
Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.
Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.
Dari kisah tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah sudah menjamin bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya. Begitu juga, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri.
Dalam surat Ali Imran [3]: 92 Allah swt berfirman
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya; “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Dalam ayat di atas Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebaikan yang sempurna (al-birr), sebelum mempersembahkan apa yang paling dia cintai atau sesuatu yang terbaik dari apa yang dia miliki. Allah swt memang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud kebaikan yang sempurna itu (al-birr). Namun, untuk mengetahui bentuk kebaikan yang sempurna atau dalam bahasa al-Qur’an disebut al-birr, maka perlu kiranya merujuk kepada lawan dari kata al-birr itu sendiri.
Dalam surat al-Ma’idah [5]: 2 Allah swt berfirman
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin serta rahmat dan kasih sayang Tuhan, sebelum mempersembahkan yang terbaik atau sesuatu yang paling dicintainya.
Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidaklah akan pernah memperoleh perhargaan, dan kasih sayang orang lain sebelum memberikan yang terbaik untuk mereka.
Oleh karena itu, al-birr dalam konteks ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. Hal inilah yang digambarkan Allah swt terhadap nabi Ibrahim as. di mana ketika dia mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, yaitu anak yang paling dicintainya untuk dikorbankan, Allah swt menjadikannya sebagai orang muhsinîn. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 110
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik(muhsinin).”
Muhsinîn adalah prestasi tertinggi yang dicapai makhluk di hadapan Tuhan. Sebab, kesediaan seseorang memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, Allah akan menjadikannya sebagai orang yang paling dicintai dan dikasihi-Nya. Tentu, tiadalah kebahagiaan tertinggi selain menjadi orang yang paling dicintai Allah swt. firman-Nya dalam surat al-Ma’idah [7]: 13
....فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Sedangakan di hadapan manusia, Allah swt akan menjadikannya ikutan, patron, teladan, contoh, serta buah bibir bagi manusia lain. Seperti yang diperoleh Ibrahim as. ketika mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ibrahaim as. adalah manusia yang selalu menjadi ikutan, panutan, bahkan akan selalu menjadi buah bibir manusia sepanjang masa. Semua agama besar (agama langit/samawi) saling “menklaim” bahwa Ibrahim as adalah golongan mereka. Bahkan beliau digelari “Bapak Monoteis” atau tokoh sentralnya agama tauhid. Itulah jaminan Allah swt kepada Ibrahim as. setelah beliau mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan selalu menjadi teladan dan imam bagi semua manusia khususnya penganut agama tauhid.
Begitulah penghargaan Allah swt terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Sepanjang masa, dia akan menjadi ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Agaknya itulah yang dimaksud oleh Allah dengan al-birr atau kebaikan yang sempurna. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain.
Ibn al-Jad’an seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia mepersembahkan sesuatu yang terbaik. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.
Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.
Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.
Dari kisah tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah sudah menjamin bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya. Begitu juga, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri.
Label:
ceramah dan khutbah
BAGIAN KEDUA IBADAH DAN BERBAGAI ASPEKNYA Apa Saja Amal Shalih Itu?
BAGIAN KEDUA
IBADAH DAN BERBAGAI ASPEKNYA
Apa Saja Amal Shalih Itu?
Dalam al-Qur’an banyak sekali dijumpai kata amal shalih dengan berbagai bentuknya. Seperti dalam surat al-‘Ashr [103]: 3, disebutkan Allah swt bahwa salah satu manusia yang terhindar dari kerugian adalah orang-orang yang beramal shalih. Dalam surat at-Tin [95]: 6, Allah swt menyebutkan salah satu manusia yang tidak akan dilemparkan ke tempat yang paling rendah adalah orang-orang yang beramal shalih. Dalam surat an-Nahl [16]: 97, Allah swt menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan akan diberi balasan yang besar dan kehidupan yang baik di akhirat nanti. Masih banyak lagi ayat-ayat yang menyebutkan keutamaan amal shalih serta balasan yang akan diperoleh pelakunya.
Namun demikian, Allah swt tidak menyebutkan secara pasti apa saja jenis amal shalih tersebut. Namun, bukan berarti tidak bisa diketahui bentuk-bentuk amal shalih itu sendiri. Untuk mengetahui apa saja jenis amal shalih tersebut, perlu dilihat apa kata yang menjadi lawan amal shalih itu.
Dalam al-Qur’an kata amal shalih dilawankan Allah swt dengan kata fasâd (kerusakan). Hal itu terdapat dalam surat Shad [38]: 28
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
Artinya: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih sama seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?.”
Ayat ini memberikan isyarat bahwa rincian amal shalih itu dapat diketahui dengan merujuk semua bentuk perbuatan fasâd (berbuat kerusakan) yang ada dalam al-Qur’an. Di antara perbuatan fasâd yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Perusakan Alam, hewan dan tumbuhan, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 205
وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya : “Dan apabila ia berpaling dari mukamu ia berjalan di bumi untuk berbuat kerusakan padanya, terhadap tumbuhan dan binatang, dan Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan demikian, amal shalih adalah perbuatan yang bermaksud memelihara alam dan kesimbangan lingkungan. Seperti tidak menebang pohon, tidak membunuh binatang secara liar, tidak mencemari air, udara, memelihara kebersihan lingkungan dan seterusnya. Bahkan, memilih sampah atau membuang sampah pada tempatnya pun termasuk bagian dari amal shalih.
2. Keengganan menerima kebenaran, seperti yang terdapat dalam surat Ali-Imran [3]: 62-63
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(62)فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِالْمُفْسِدِينَ(63)
Artinya : “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan selain Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling (dari menerima kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.
Oleh karena itu, menerima nasehat atau kebenaran dari seseorang merupakan bagian dari amal shlaih. Sebaliknya, orang yang tidak mau mendengarkan kebanaran orang lain, adalah bagian dari orang yang berbuat kerusakan.
Seringkali dalam kehidupan ini, kita melakukan sesuatu yang salah namun seringkali pula kita tidak pernah mendengarkan atau bahkan marah kalau dinasehati orang lain, apalagi jika yang menasehati kedudukannya lebih rendah dari kita.
3. Melakukan perampokan, pembunuhan, ataupun gangguan kepada orang lain. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Mai’dah [5]: 32
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا…
Artinya: “Oleh karena itu, Kami tetapkan kepada Bani Israel (suatu hukum) bahwa siapa yang membunuh mansuia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka dia seperti membunuh manusia semuanya…”
Melakukan perbuatan yang tidak menggangu orang lain, menciptakan ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat, berarti seseorang telah melakukan amal shalih. Sebaliknya orang yang selalu mengganggu ketenangan orang lain, apalagi membunuh dan mengambil hak orang lain berarti dia melakukan suatau kerusakan.
4. Pengurangan takaran, timbangan, seperti yang diungkapkan Allah swt dalam surat al-A’raf [7] : 85
…َأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا…
Artinya: “…maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu berbuat keruskan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya…”
Dengan demikian, jujur dalam menakar dan menimbang adalah salah satu bentuk amal shalih. Kegiatan ini biasanya dekat dengan dunia perdagangan. Oleh karena itu, para pedagang dapat melakukan amal shalih dengan cara tidak melakukan kecurangan ketika menimbang dan menakar sesuatu.
5. Memecah belah persatuan, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Anfal [8]: 73
….إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “…jika kamu (hai umat Islam) tidak melakukan apa yang telah diperintahkan niscaya akan terjadi kekacaun di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan, memelihara keutuhan bangsa, negara dan masyarakat adalah bagian dari amal shalih. Itulah sebabnya kenapa orang yang memecah persatuan atau gerakan separatis diwajibakan secara syari’at untuk ditumpas dan diperangi. Darah para pemberontak halal untuk ditumpahkan, karena dianggap pelaku perusakan di bumi.
6. Berfoya-foya dan bergaya hidup mewah, seperti yang disebutkan dalam surat Hud [11]: 116
فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّنْ أَنْجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ
Artinya: “Maka kenapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang memiliki keutamaan yang melarang dari pada berbuat kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zhalim hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”
Hidup sederhana dan bersahaja adalah bagian dari amal shalih. sederhana bukan berarti kikir, karena Allah swt juga mencela orang yang kikir. Akan tetapi, hidup sederhana berarti memenuhi segala sesutau yang memang manjadi kebutuhan dan tidak berlebihan, sekalipun punya kemampuan untuk melakukan itu. Serta tidak memenuhi semua keinginan, karena keinginan manusia tiada batasnya.
7. Pemborosan, seperti yang disebutkan dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 151-152
وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ(151)الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ(152)
Artinya: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas. Mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak berbuat amal shalih.”
Sikap hidup boros dan berfoya-foya walaupun secara prinsip sama, akan tetapi memiliki perbedaan. Kalau berfoya-foya atau bermewah biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki materi yang berlebih dari orang lain. Sementara boros bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk orang miskin. Karena salah satu bentuk boros adalah menghabiskan semua yang ada hari ini tanpa berfikir untuk hari esok. Oleh karena itu, orang yang suka berhemat adalah termasuk pelaku amal shalih.
8. Melakukan makar (rencana jahat dan penipuan), seperti yang disebutkan dalam surat an-Naml [27]: 49
قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya: “Mereka berkata, bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita pasti akan menyerang mereka dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.”
Merencanakan sesuatu kebaikan, baik untuk diri sendiri atau orang banyak adalah suatu amal shalih, sekalipun belum sempat terwujud dalam bentuk perbuatan. Sebab, niat yang tergores di hati mansuia sudah dicatat sebagai amal shalih di sisi Allah swt walaupun belum terwujud dalam bentuk aksi dan akan diperlihatkan kepadanya di akhirat nanti.
9. Pengorbanan nilai-nilai agama, seperti yang disebutkan dalam surat Ghafir [40]: 26
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ
Artinya:“Dan berkata Fir’aun kepada pembesar-pembesarnya, biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia bermohon kepada Tuhannya, kerena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau berbuat kerusakan di muka bumi.”
Ayat di atas menjelaskan ketakutan Fir’aun kepada Musa yang akan menukar agama dan keyikinan mereka. Dengan demikian, penggantian nilai agama tersebut dianggap Fir’aun sebagai perbuatan fasad (bukan berarti Fir’aun benar dan musa salah, namun maksudnya adalah menukar agama adalah bentuk perbuatan yang disebut fasâd). Oleh karena itu, segala perbuatan yang bertujuan membela, mempertahankan atau mempejuangkan nilai-nilai akidah dan agama termasuk amal shlaih.
10. Kesewenangan, seperti dalam surat al-Fajr [89]: 11-12
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ(12)
Artinya: “Yang berbuat kesewenang-wenangan dalam negeri. Dan mereka berbuat banyak keruskan.”
Dengan demikian, perbuatan yang bertujuan menjaga dan menghormati hak dan kebebasan orang lain adalah amal shalih. Sesorang pemimpin yang berlaku adil kepada rakyatnya dan kekuasaannya adalah seorang yang beramal shlaih.
IBADAH DAN BERBAGAI ASPEKNYA
Apa Saja Amal Shalih Itu?
Dalam al-Qur’an banyak sekali dijumpai kata amal shalih dengan berbagai bentuknya. Seperti dalam surat al-‘Ashr [103]: 3, disebutkan Allah swt bahwa salah satu manusia yang terhindar dari kerugian adalah orang-orang yang beramal shalih. Dalam surat at-Tin [95]: 6, Allah swt menyebutkan salah satu manusia yang tidak akan dilemparkan ke tempat yang paling rendah adalah orang-orang yang beramal shalih. Dalam surat an-Nahl [16]: 97, Allah swt menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan akan diberi balasan yang besar dan kehidupan yang baik di akhirat nanti. Masih banyak lagi ayat-ayat yang menyebutkan keutamaan amal shalih serta balasan yang akan diperoleh pelakunya.
Namun demikian, Allah swt tidak menyebutkan secara pasti apa saja jenis amal shalih tersebut. Namun, bukan berarti tidak bisa diketahui bentuk-bentuk amal shalih itu sendiri. Untuk mengetahui apa saja jenis amal shalih tersebut, perlu dilihat apa kata yang menjadi lawan amal shalih itu.
Dalam al-Qur’an kata amal shalih dilawankan Allah swt dengan kata fasâd (kerusakan). Hal itu terdapat dalam surat Shad [38]: 28
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
Artinya: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih sama seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?.”
Ayat ini memberikan isyarat bahwa rincian amal shalih itu dapat diketahui dengan merujuk semua bentuk perbuatan fasâd (berbuat kerusakan) yang ada dalam al-Qur’an. Di antara perbuatan fasâd yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Perusakan Alam, hewan dan tumbuhan, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 205
وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya : “Dan apabila ia berpaling dari mukamu ia berjalan di bumi untuk berbuat kerusakan padanya, terhadap tumbuhan dan binatang, dan Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan demikian, amal shalih adalah perbuatan yang bermaksud memelihara alam dan kesimbangan lingkungan. Seperti tidak menebang pohon, tidak membunuh binatang secara liar, tidak mencemari air, udara, memelihara kebersihan lingkungan dan seterusnya. Bahkan, memilih sampah atau membuang sampah pada tempatnya pun termasuk bagian dari amal shalih.
2. Keengganan menerima kebenaran, seperti yang terdapat dalam surat Ali-Imran [3]: 62-63
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(62)فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِالْمُفْسِدِينَ(63)
Artinya : “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan selain Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling (dari menerima kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.
Oleh karena itu, menerima nasehat atau kebenaran dari seseorang merupakan bagian dari amal shlaih. Sebaliknya, orang yang tidak mau mendengarkan kebanaran orang lain, adalah bagian dari orang yang berbuat kerusakan.
Seringkali dalam kehidupan ini, kita melakukan sesuatu yang salah namun seringkali pula kita tidak pernah mendengarkan atau bahkan marah kalau dinasehati orang lain, apalagi jika yang menasehati kedudukannya lebih rendah dari kita.
3. Melakukan perampokan, pembunuhan, ataupun gangguan kepada orang lain. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Mai’dah [5]: 32
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا…
Artinya: “Oleh karena itu, Kami tetapkan kepada Bani Israel (suatu hukum) bahwa siapa yang membunuh mansuia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka dia seperti membunuh manusia semuanya…”
Melakukan perbuatan yang tidak menggangu orang lain, menciptakan ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat, berarti seseorang telah melakukan amal shalih. Sebaliknya orang yang selalu mengganggu ketenangan orang lain, apalagi membunuh dan mengambil hak orang lain berarti dia melakukan suatau kerusakan.
4. Pengurangan takaran, timbangan, seperti yang diungkapkan Allah swt dalam surat al-A’raf [7] : 85
…َأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا…
Artinya: “…maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu berbuat keruskan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya…”
Dengan demikian, jujur dalam menakar dan menimbang adalah salah satu bentuk amal shalih. Kegiatan ini biasanya dekat dengan dunia perdagangan. Oleh karena itu, para pedagang dapat melakukan amal shalih dengan cara tidak melakukan kecurangan ketika menimbang dan menakar sesuatu.
5. Memecah belah persatuan, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Anfal [8]: 73
….إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “…jika kamu (hai umat Islam) tidak melakukan apa yang telah diperintahkan niscaya akan terjadi kekacaun di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan, memelihara keutuhan bangsa, negara dan masyarakat adalah bagian dari amal shalih. Itulah sebabnya kenapa orang yang memecah persatuan atau gerakan separatis diwajibakan secara syari’at untuk ditumpas dan diperangi. Darah para pemberontak halal untuk ditumpahkan, karena dianggap pelaku perusakan di bumi.
6. Berfoya-foya dan bergaya hidup mewah, seperti yang disebutkan dalam surat Hud [11]: 116
فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّنْ أَنْجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ
Artinya: “Maka kenapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang memiliki keutamaan yang melarang dari pada berbuat kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zhalim hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”
Hidup sederhana dan bersahaja adalah bagian dari amal shalih. sederhana bukan berarti kikir, karena Allah swt juga mencela orang yang kikir. Akan tetapi, hidup sederhana berarti memenuhi segala sesutau yang memang manjadi kebutuhan dan tidak berlebihan, sekalipun punya kemampuan untuk melakukan itu. Serta tidak memenuhi semua keinginan, karena keinginan manusia tiada batasnya.
7. Pemborosan, seperti yang disebutkan dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 151-152
وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ(151)الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ(152)
Artinya: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas. Mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak berbuat amal shalih.”
Sikap hidup boros dan berfoya-foya walaupun secara prinsip sama, akan tetapi memiliki perbedaan. Kalau berfoya-foya atau bermewah biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki materi yang berlebih dari orang lain. Sementara boros bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk orang miskin. Karena salah satu bentuk boros adalah menghabiskan semua yang ada hari ini tanpa berfikir untuk hari esok. Oleh karena itu, orang yang suka berhemat adalah termasuk pelaku amal shalih.
8. Melakukan makar (rencana jahat dan penipuan), seperti yang disebutkan dalam surat an-Naml [27]: 49
قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya: “Mereka berkata, bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita pasti akan menyerang mereka dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.”
Merencanakan sesuatu kebaikan, baik untuk diri sendiri atau orang banyak adalah suatu amal shalih, sekalipun belum sempat terwujud dalam bentuk perbuatan. Sebab, niat yang tergores di hati mansuia sudah dicatat sebagai amal shalih di sisi Allah swt walaupun belum terwujud dalam bentuk aksi dan akan diperlihatkan kepadanya di akhirat nanti.
9. Pengorbanan nilai-nilai agama, seperti yang disebutkan dalam surat Ghafir [40]: 26
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ
Artinya:“Dan berkata Fir’aun kepada pembesar-pembesarnya, biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia bermohon kepada Tuhannya, kerena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau berbuat kerusakan di muka bumi.”
Ayat di atas menjelaskan ketakutan Fir’aun kepada Musa yang akan menukar agama dan keyikinan mereka. Dengan demikian, penggantian nilai agama tersebut dianggap Fir’aun sebagai perbuatan fasad (bukan berarti Fir’aun benar dan musa salah, namun maksudnya adalah menukar agama adalah bentuk perbuatan yang disebut fasâd). Oleh karena itu, segala perbuatan yang bertujuan membela, mempertahankan atau mempejuangkan nilai-nilai akidah dan agama termasuk amal shlaih.
10. Kesewenangan, seperti dalam surat al-Fajr [89]: 11-12
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ(12)
Artinya: “Yang berbuat kesewenang-wenangan dalam negeri. Dan mereka berbuat banyak keruskan.”
Dengan demikian, perbuatan yang bertujuan menjaga dan menghormati hak dan kebebasan orang lain adalah amal shalih. Sesorang pemimpin yang berlaku adil kepada rakyatnya dan kekuasaannya adalah seorang yang beramal shlaih.
Label:
ceramah dan khutbah
Takabbur, Bahaya dan Terapinya
Takabbur, Bahaya dan Terapinya
Salah satu dari tujuan diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi ini, adalah untuk menciptakan manusia yang berakhlak sempurna. Hal itu, ditegaskan dalam sebuah haditsnya
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Di antara bentuk kesempurnaan akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw, dan dituntut untuk juga dimiliki oleh umatnya, bahwa Rasululllah memiliki sikap tawâdhu’ . Dalam kitab al-Barzanji ditemukan sebuah ungkapan
وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم شديد الحياء و التواضع
Artinya: “ Adalah Rasulullah saw sangat pemalu dan sangat tawadhu”
Tawâdhu’ secara harfiyah berarti rendah hati. Seorang yang tawadhu’ tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain, sekalipun semua orang mengakuinya memiliki banyak kelebihan dari yang lain. Lawan dari sikap tawâdhu’ adalah takabbur yang berarti seseorang merasa lebih baik dan lebih besar dari orang lain, sekalipun orang lain tidak pernah mengakuinya atau bahkan tidak melihat kelebihan dalam dirinya.
Secara defenitif, Rasulullah saw telah memberikan batasan tentang sikap dan orang yang takabbur tersebut. Sebagaimana terdapat dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Muslim
الكبر بطر الحق وغمط الناس
Artinya: “Takabbur itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R Muslim)
Berdasarkan hadits Rasulullah saw di atas, minimal terdapat dua hal yang menyebabkan seseorang termasuk orang yang takabbur.
1. Menolak kebenaran/ bathar al-haq.
Setidaknya ada tiga alasan, kenapa seseorang menolak kebenaran. Pertama, karena seseorang sedang “asyik” berada dalam kesesatan atau sebuah dosa. Setiap muslim pasti mengetahui bahwa berjudi, berzina, meminum minuman keras dan sebagainya, adalah perbuatan haram yang dilarang Tuhan. Akan tetapi, kenapa masih banyak di antara umat Islam yang melakukannya? Bahkan ketika diingatkan, mereka cendrung menolak nasehat yang datang kepada mereka. Penyebabnya adalah, karena mereka sedang asyik dalam hal-hal yang seperti itu. Begitu juga, seorang petani misalnya yang sedang asyik bekerja di sawah atau di kebun, kemudian suara azan datang memanggil untuk shalat. Kenapa mereka seperti acuh dan tidak mendengarkannya? Karena, mereka sedang asyik dalam pekerjaannya, dan bahkan cendrung keluar alasan popular “tanggung, sedikit lagi selesai”.
Kedua, karena seseorang merasa dirugikan jika menerima kebenaran tersebut. Qarun misalnya, yang menyadari dan mengetahui bahwa apa yang disampaikan Musa as. kepadanya adalah sebuah kebenaran. Akan tetapi, kebenaran itu ditolaknya. Sebab, jika diterima dia harus mengeluarkan sejumlah hartanya untuk dizakatkan, dan hal itu diangganya sesuatu yang merugikan. Begitu juga, Abu Sufyan yang mengetahui bahwa apa yang disampaikan nabi Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, dia menolaknya karena jika diterima dia takut kehilangan pengaruh dan pengikut. Penolakan kebenaran oleh Abu sufyan, karena mengganggap kebenaran itu merugikan jika di terima. Begitu juga misalnya, kenapa ada sebagian orang Islam yang tidak shalat jum’at sekalipun mereka mengetahui kewajibannya, seperti pedagang. Hal itu disebabkan ketakutan akan kerugian, karena jika dia shalat jum’at tokonya ditutup selala beberap jam, dan ini dianggap sesuatu yang merugikan.
Ketiga, seseorang menolak kebenaran karena merasa kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pembawa kebenaran itu sendiri. Raja Namrudz, pasti tahu bahwa yang disampaikan Ibrahim as kepadanya adalah suatu kebenaran. Namun, kebenaran itu ditolaknya karena merasa kedudukannya lebih terhormat sebagai raja besar, dibandingkan Ibrahim sebagai anak tukang kayu. Begitu juga, Fir’aun menyadari apa yang disampaikan Musa as adalah suatu yang benar, akan tetapi, ditolaknya karena merasa bahwa kedudukannya sebagai raja yang agung tidak sepadan dengan Musa yang lahir dari bangsa budak, bani Israel. Begitu juga, Abu Jahal dan Abu Lahab yang mengetahui bahwa yang disampaikan Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, mereka menolaknya karena merasa kedudukan mereka sebagai paman lebih mulia dari Muhammad sebagai keponakan. Begitu juga, dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai orang tua yang memaksa anaknya untuk shalat, sementara dia sendiri tidak shalat. Ketika sang anak menegurnya dan bertanya kenapa mereka tidak shalat, orang tua sering menjawabnya dengan marah dan menolak kebenaran dari sang anak. Hal itu disebabkan, karena orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi dari anak, sehingga anak tidak berhak menasehati mereka, sekalipun yang disampaikannya adalah kebenaran.
2. Menganggap remeh dan merendahkan orang lain/ ghamth al-nâs
Sikap takabbur yang kedua ini adalah sikap sejatinya iblis, yang menyebabkan mereka harus terusir dari rahmat Tuhan. Ketika Allah swt menyuruh para malaikat sujud kepada adam, iblis menolak untuk melaksanakannya. Allah Yang Maha Tahu, mengetahui dengan pasti sebabnya iblis tidak mau sujud kepada Adam as. Akan tetapi, Allah swt ingin mendengar langsung dari mulut iblis sendiri. Allah swt kemudian bertanya seperti yang terdapat dalam surat al-A’raf [7]: 12
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Artinya:” Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 75-76
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ(75)قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(76)
Artinya: “Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"(75). “Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Sekalipun Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa api lebih baik dari tanah karena keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, namun iblis merasa bahwa asal penciptaaanya lebih baik dan lebih mulia dari Adam. Perasaan inilah yang membuat iblis enggan dan menolak untuk sujud kepada Adam. Sikap takbbur inilah, yang akhirnya membuat iblis di usir dari rahmat dan sorga Tuhan, di mana sebelumnya adalah makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.
Begitulah, takabbur juga membawa manusia jauh dari rahmat Tuhan dan tentu saja menjadi dekat dengan iblis karena memiliki kesamaan sikap. Dan untuk terhindar dari sikap takabbur, setidaknya ada dua hal yang harus disadari dan diyakini manusia. Pertama, dia harus menyadari bahwa apapun yang dimilikinya adalah nikmat dan pemberian Tuhan. Nikmat secara harfiyah berarti kelebihan, dan seseorang biasanya untuk mengetahui kelebahan tentulah mengetahui dulu yang menjadi modalnya. Ternyata manusia tidak memiliki modal apapun, karena kehidupan yang dirasakan manusia itu sendiri juga nikmat. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Insan [76]: 1
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
Artinya: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
Kedua, menyadari bahwa apapun yang diberikan Tuhan berupa nikmat duniawi, tidak kekal dan bersifat sementara, suatu saat ia akan hilang dan lenyap. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita akan sombong dengan sesuatu yang bukan milik kita, apalagi sifatnya hanya sementara dan suatu saat pasti diambil kembali oleh pemiliknya. Seperti firman Allah swt dalam surat ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26), Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”
Salah satu dari tujuan diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi ini, adalah untuk menciptakan manusia yang berakhlak sempurna. Hal itu, ditegaskan dalam sebuah haditsnya
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Di antara bentuk kesempurnaan akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw, dan dituntut untuk juga dimiliki oleh umatnya, bahwa Rasululllah memiliki sikap tawâdhu’ . Dalam kitab al-Barzanji ditemukan sebuah ungkapan
وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم شديد الحياء و التواضع
Artinya: “ Adalah Rasulullah saw sangat pemalu dan sangat tawadhu”
Tawâdhu’ secara harfiyah berarti rendah hati. Seorang yang tawadhu’ tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain, sekalipun semua orang mengakuinya memiliki banyak kelebihan dari yang lain. Lawan dari sikap tawâdhu’ adalah takabbur yang berarti seseorang merasa lebih baik dan lebih besar dari orang lain, sekalipun orang lain tidak pernah mengakuinya atau bahkan tidak melihat kelebihan dalam dirinya.
Secara defenitif, Rasulullah saw telah memberikan batasan tentang sikap dan orang yang takabbur tersebut. Sebagaimana terdapat dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Muslim
الكبر بطر الحق وغمط الناس
Artinya: “Takabbur itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R Muslim)
Berdasarkan hadits Rasulullah saw di atas, minimal terdapat dua hal yang menyebabkan seseorang termasuk orang yang takabbur.
1. Menolak kebenaran/ bathar al-haq.
Setidaknya ada tiga alasan, kenapa seseorang menolak kebenaran. Pertama, karena seseorang sedang “asyik” berada dalam kesesatan atau sebuah dosa. Setiap muslim pasti mengetahui bahwa berjudi, berzina, meminum minuman keras dan sebagainya, adalah perbuatan haram yang dilarang Tuhan. Akan tetapi, kenapa masih banyak di antara umat Islam yang melakukannya? Bahkan ketika diingatkan, mereka cendrung menolak nasehat yang datang kepada mereka. Penyebabnya adalah, karena mereka sedang asyik dalam hal-hal yang seperti itu. Begitu juga, seorang petani misalnya yang sedang asyik bekerja di sawah atau di kebun, kemudian suara azan datang memanggil untuk shalat. Kenapa mereka seperti acuh dan tidak mendengarkannya? Karena, mereka sedang asyik dalam pekerjaannya, dan bahkan cendrung keluar alasan popular “tanggung, sedikit lagi selesai”.
Kedua, karena seseorang merasa dirugikan jika menerima kebenaran tersebut. Qarun misalnya, yang menyadari dan mengetahui bahwa apa yang disampaikan Musa as. kepadanya adalah sebuah kebenaran. Akan tetapi, kebenaran itu ditolaknya. Sebab, jika diterima dia harus mengeluarkan sejumlah hartanya untuk dizakatkan, dan hal itu diangganya sesuatu yang merugikan. Begitu juga, Abu Sufyan yang mengetahui bahwa apa yang disampaikan nabi Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, dia menolaknya karena jika diterima dia takut kehilangan pengaruh dan pengikut. Penolakan kebenaran oleh Abu sufyan, karena mengganggap kebenaran itu merugikan jika di terima. Begitu juga misalnya, kenapa ada sebagian orang Islam yang tidak shalat jum’at sekalipun mereka mengetahui kewajibannya, seperti pedagang. Hal itu disebabkan ketakutan akan kerugian, karena jika dia shalat jum’at tokonya ditutup selala beberap jam, dan ini dianggap sesuatu yang merugikan.
Ketiga, seseorang menolak kebenaran karena merasa kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pembawa kebenaran itu sendiri. Raja Namrudz, pasti tahu bahwa yang disampaikan Ibrahim as kepadanya adalah suatu kebenaran. Namun, kebenaran itu ditolaknya karena merasa kedudukannya lebih terhormat sebagai raja besar, dibandingkan Ibrahim sebagai anak tukang kayu. Begitu juga, Fir’aun menyadari apa yang disampaikan Musa as adalah suatu yang benar, akan tetapi, ditolaknya karena merasa bahwa kedudukannya sebagai raja yang agung tidak sepadan dengan Musa yang lahir dari bangsa budak, bani Israel. Begitu juga, Abu Jahal dan Abu Lahab yang mengetahui bahwa yang disampaikan Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, mereka menolaknya karena merasa kedudukan mereka sebagai paman lebih mulia dari Muhammad sebagai keponakan. Begitu juga, dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai orang tua yang memaksa anaknya untuk shalat, sementara dia sendiri tidak shalat. Ketika sang anak menegurnya dan bertanya kenapa mereka tidak shalat, orang tua sering menjawabnya dengan marah dan menolak kebenaran dari sang anak. Hal itu disebabkan, karena orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi dari anak, sehingga anak tidak berhak menasehati mereka, sekalipun yang disampaikannya adalah kebenaran.
2. Menganggap remeh dan merendahkan orang lain/ ghamth al-nâs
Sikap takabbur yang kedua ini adalah sikap sejatinya iblis, yang menyebabkan mereka harus terusir dari rahmat Tuhan. Ketika Allah swt menyuruh para malaikat sujud kepada adam, iblis menolak untuk melaksanakannya. Allah Yang Maha Tahu, mengetahui dengan pasti sebabnya iblis tidak mau sujud kepada Adam as. Akan tetapi, Allah swt ingin mendengar langsung dari mulut iblis sendiri. Allah swt kemudian bertanya seperti yang terdapat dalam surat al-A’raf [7]: 12
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Artinya:” Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 75-76
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ(75)قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(76)
Artinya: “Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"(75). “Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Sekalipun Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa api lebih baik dari tanah karena keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, namun iblis merasa bahwa asal penciptaaanya lebih baik dan lebih mulia dari Adam. Perasaan inilah yang membuat iblis enggan dan menolak untuk sujud kepada Adam. Sikap takbbur inilah, yang akhirnya membuat iblis di usir dari rahmat dan sorga Tuhan, di mana sebelumnya adalah makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.
Begitulah, takabbur juga membawa manusia jauh dari rahmat Tuhan dan tentu saja menjadi dekat dengan iblis karena memiliki kesamaan sikap. Dan untuk terhindar dari sikap takabbur, setidaknya ada dua hal yang harus disadari dan diyakini manusia. Pertama, dia harus menyadari bahwa apapun yang dimilikinya adalah nikmat dan pemberian Tuhan. Nikmat secara harfiyah berarti kelebihan, dan seseorang biasanya untuk mengetahui kelebahan tentulah mengetahui dulu yang menjadi modalnya. Ternyata manusia tidak memiliki modal apapun, karena kehidupan yang dirasakan manusia itu sendiri juga nikmat. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Insan [76]: 1
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
Artinya: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
Kedua, menyadari bahwa apapun yang diberikan Tuhan berupa nikmat duniawi, tidak kekal dan bersifat sementara, suatu saat ia akan hilang dan lenyap. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita akan sombong dengan sesuatu yang bukan milik kita, apalagi sifatnya hanya sementara dan suatu saat pasti diambil kembali oleh pemiliknya. Seperti firman Allah swt dalam surat ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26), Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”
Label:
ceramah dan khutbah
Strategi Syaithan Menjerumuskan Manusia
Strategi Syaithan Menjerumuskan Manusia
Dalam surat al-Baqarah [2]: 286, Allah swt berfirman
.... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ....
Artinya: “…Dia (manusia) mendapatkan ganjaran pahala atas kebaikan yang diusahakannya, dan dia juga mendapat siksa atas kejahatan yang diusahakannya…”
Ayat di atas menggunakan kata kasaba untuk arti usaha kebaikan, sementara usaha kejahatan (dosa), Allah swt pakai kata iktasaba. Menurut gramatika bahasa Arab, kasaba artinya usaha yang dilakukan dengan mudah dan gampang, sedangkan iktasaba adalah usaha yang dilakukan dengan berat dan susah. Dengan demikian, Allah swt mengatakan bahwa kebaikan itu adalah sangat mudah dilakukan, karena sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri yang cendrung kepada kebaikan. Sementara kejahatan adalah suatu yang sangat susah untuk dilakukan karena melawan fitrah manusia.
Contoh sederhana sebagai bukti kebaikan merupakan fitrah manusia, apabila seseorang menonton suatu film –bahkan seorang anak kecilpun- pastilah dia menginginkan sang lakon kebaikan (protagonis) yang menang. Tidak seorangpun yang menginginkan sang lakon kebaikan kalah dan lakon kejahatan (antagonis) yang menang.
Oleh karena kebaikan fitrah maka ia mudah dilakukan, namun sebaliknya kejahatan atau dosa amat sulit dilakukan. Seorang yang tidak pernah mencuri, saat pertamakali melakukan pencurian badannya akan gemetar, jantungnya berdebar, dan akan selalu dihantui rasa takut. Akan tetapi, bilamana seseorang telah mencoba melakukannya, maka dia akan mengulangi lagi pada waktu berikutnya hingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dan sikap hidup yang susah untuk dirobah. Artinya, jika seseorang sudah memulai melakukan satu kejahatn yang kecil, maka dia akan diliputi banyak kesalahan yang lain, hingga kejahatan yang pada mulanya sulit dilakukan menjadi mudah, bahkan berobah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Seperti yang dikatakan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 81
بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “Siapa yang melakukan satu kesalahan dia akan diliputi banyak kesalahan yang lain, mereka itulah orang yang kafir.”
Begitulah strategi jitu syaithan dalam menggoda manusia untuk berbuat dosa. Ia mulai membujuk manusia untuk melakukan kesalahan yang sangat kecil, pada akhirnya membuat manusia melakukan dosa-dosa besar, sehingga manusiapun menjadi kafir karenanya. Tentang strategi syaithan ini Allah swt menggambarkannya dalam surat al-An’am [6]: 113
وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ
Artinya: “Dan supaya cendrung hati orang-arang yang tidak beriman kepada bisikan itu, lalu mereka merasa senag kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syithan) kerjakan.”
Dari ayat di atas, Allah swt menggambarkan tiga langkah syaithan dalam menjerumuskan manusia. Pertama, dia ciptakan kecendrungan hati manusia untuk kejahatan yang pada awalnya mungkin dianggap kecil. Kedua, dia mulai menarik hati manusia untuk berkeinginan melakukan dosa itu dalam bentuk rencana. Dan ketiga, manusia terjatuh ke dalam jurang dosa dan melakukan keinginan syaithan.
Untuk memahami strategi syaithan ini, agaknya menarik menyimak kisah seorang abid yang akhirnya mati di pangkaun syaithan dalam kekafiran. Dikasahkan, hiduplah seorang abid yang sangat taat dan tekun beribadah. Hari-harinya dihabiskan untuk berzikir, shalat, membaca al-kitab dan bermunajat kepada Allah swt. Bahkan, dia mendapatkan karamah dari Allah swt berupa kemampuan berjalan diangkasa. Suatu ketika, syaithan merasa tidak senang dengan kesalehan sang abid, lalu bermaksud menggodanya dan membuatnya menjadi kafir kepada Allah swt.
Suatu hari, datanglah syaithan ke tempat sang abid beribadah dalam wujud manusia. Ia pun ikut beribadah di samping sang abid selama beberapa hari. Ternyata, sang abid memperhatikan orang yang di sebelahnya semenjak pertama kali kedatangannya. Dia sangat kagum dan heran kepada orang itu, karena semenjak awal kedatangannya, ia begitu khusus' beribadah, sehingga selama beberapa hari ia lupa makan dan minum juga tidak tidur. Sementara sang abid seperti layaknya manusia biasa, ketika lapar dia makan dan saat haus dia minum, bila mengantuk diapun tidur. Kekaguman inilah yang kemudian membuat sang abid ingin tahu bagaimana rahasinya agar bisa beribadah sampai ke tingkat seperti itu.
Sang abid memberanikan diri bertanya kepada syaithan yang berwujud manusia tadi, tentang rahasia khusu' beribadah sampai bisa melupakan makan, minum dan tidur. Syaithan “sang penyamar” menjawab "Rahasianya adalah, engkau harus berbuat dosa terlebih dahulu, sebab bila manusia berdosa dia akan beribadah dengan penuh rasa takut sehingga menimbulkan kekhusu'an dan dia akan lupa segalanya, yang ada hanya rasa takut dan penyesalan”. Sang abid ternyata membenarkan teori syaithan tersebut dalam hatinya, dan berkeinginan untuk mencoba. Maka diapun bertanya tentang dosa apa yang akan dia lakukan. Syaithan menjawab “Engkau bisa membunuh seseorang”. Kata sang abid “Itu adalah dosa besar”. Syaithan menyarankan yang kedua agar dia berzina. Sang abid juga menjawab "Itu juga dosa besar”. Saran syaithan yang ketiga meminum tuak (khamar). Ternyata sang abid menerima, karena merasa meminum khamar adalah dosa kecil.
Akhirnya, sang abid ke luar dari tempat peribadatanya dan mencari segelas tuak. Dia mendapatkannya dari seorang wanita penjual tuak keliling. Setelah diminum ternyata menimbulkan rasa enak, sampai sang abid mabuk dan hilang akal. Dalam kondisi mabuk, akhirnya sang abid memperkosa wanita yang menjual tuak itu. Ternyata, berita perkosaan terhadap wanita penjual tuak sampai ke telinga suaminya, hingga membuat suaminya marah dan dia berniat membunuh sang abid. Akhirnya, terjadilah perkelahian antara keduanya yang berujung pada terbunuhnya suami wanita penjual tuak yang telah diperkosa sang abid.
Berita mengenai sang abid yang mabuk, lalu memperkosa dan membunuh manusia, tersebar ke seluruh negeri hingga akhirnya sang abid ditangkap dan disalib di tiang gantungan. Di saat sakaratnya sang abid, datanglah syaithan yang tadi berwujud manusia yang menawarkan bantuan penyelamatan, namun dengan syarat mananggalkan tauhidnya. Sang abid menyanggupi dan saat itulah malaikat datang mencabut nyawanya sehingga sang abid mati dalam kekafiran.
Dari kisah itu, tergambar kelicikan syaithan dalam menjerumuskan manusia. Ia mulai menanamkan ketertarikan hati manusia terhadap dosa yang dianggap kecil, namun pada akhirnya manusia terjerumus melakukan dosa besar yang berujung kepada kekafiran. Itulah yang mestinya selalu disadari oleh setiap manusia, bahwa dia memiliki musuh yang selalu ingin menggelincirkannya ke jurang dosa. Suatu permusuhan abadi sampai hari kiamat. Syaithan sudah memproklamirkan permusuhan itu kepada manusia, semenjak dia diusir dari sorga. Semenjak itu pula, dia bersumpah akan menggelincirkan manusia dari jalan Allah dengan cara apapun. Hal itu diungkapkan Allah swt dalam surat al-A'raf [7]: 16-17
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17)
Artinya: “Iblis menjawab:" karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya pasti akan menyesatkan mereka dari jalan-Mu yang benar . kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”
Syaithan bersumpah akan menyesetkan manusia dari segala arah; depan, belakang, kiri, dan kanan manusia. Namun, ada dua arah yang tidak bisa dimasuki syaithan, yaitu arah atas dan bawah. Dari kedua arah inilah manusia berpeluang selamat dari godaan syaithan. Jika diibaratkan tubuh manusia, di mana yang membuat tubuh itu sakit adalah virus yang menyerangnya. Maka, syaithan adalah virus yang membuat rohani manusia sakit. Bila jasad manusia ingin terbebas dari serang virus, maka dia harus menyuntikan sistem imunisasi atau kekebalan tubuh. Rohani yang bisa dijangkitai virus syithan, harus pula diberi imunisasi, dan imunisasinya adalah menutup dua arah yang tidak bisa dimasuki syaithan tadi. Arah atas adalah simbol zikir atau mengingat Allah swt. Sebab, bila manusia masih ingat kepada Tuhan syaithan tidak bisa memasukinya. Arah bawah, adalah simbol manusia yang menyadari kerendahan dan kelemahannya. Karena, bila manusia sadar akan kehinaannya dan kelemahannya sehingga dia jauh dari sikap ujub, takabbur atau sombong, maka dia selamat dari godaan syaithan.
Sementara itu, dalam surat al-A'raf [7]: 200-201 Allah swt memberikan petunjuk agar selamat dari godaan syaithan
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(200)إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ(201)
Artinya: “Dan jika kamu ditimpa godaan syithan, maka berlindunglah kepada Allah karena Dia Maha Mendengar lagi Mengetahu (201). Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (202).”
Dalam surat al-Baqarah [2]: 286, Allah swt berfirman
.... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ....
Artinya: “…Dia (manusia) mendapatkan ganjaran pahala atas kebaikan yang diusahakannya, dan dia juga mendapat siksa atas kejahatan yang diusahakannya…”
Ayat di atas menggunakan kata kasaba untuk arti usaha kebaikan, sementara usaha kejahatan (dosa), Allah swt pakai kata iktasaba. Menurut gramatika bahasa Arab, kasaba artinya usaha yang dilakukan dengan mudah dan gampang, sedangkan iktasaba adalah usaha yang dilakukan dengan berat dan susah. Dengan demikian, Allah swt mengatakan bahwa kebaikan itu adalah sangat mudah dilakukan, karena sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri yang cendrung kepada kebaikan. Sementara kejahatan adalah suatu yang sangat susah untuk dilakukan karena melawan fitrah manusia.
Contoh sederhana sebagai bukti kebaikan merupakan fitrah manusia, apabila seseorang menonton suatu film –bahkan seorang anak kecilpun- pastilah dia menginginkan sang lakon kebaikan (protagonis) yang menang. Tidak seorangpun yang menginginkan sang lakon kebaikan kalah dan lakon kejahatan (antagonis) yang menang.
Oleh karena kebaikan fitrah maka ia mudah dilakukan, namun sebaliknya kejahatan atau dosa amat sulit dilakukan. Seorang yang tidak pernah mencuri, saat pertamakali melakukan pencurian badannya akan gemetar, jantungnya berdebar, dan akan selalu dihantui rasa takut. Akan tetapi, bilamana seseorang telah mencoba melakukannya, maka dia akan mengulangi lagi pada waktu berikutnya hingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dan sikap hidup yang susah untuk dirobah. Artinya, jika seseorang sudah memulai melakukan satu kejahatn yang kecil, maka dia akan diliputi banyak kesalahan yang lain, hingga kejahatan yang pada mulanya sulit dilakukan menjadi mudah, bahkan berobah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Seperti yang dikatakan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 81
بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “Siapa yang melakukan satu kesalahan dia akan diliputi banyak kesalahan yang lain, mereka itulah orang yang kafir.”
Begitulah strategi jitu syaithan dalam menggoda manusia untuk berbuat dosa. Ia mulai membujuk manusia untuk melakukan kesalahan yang sangat kecil, pada akhirnya membuat manusia melakukan dosa-dosa besar, sehingga manusiapun menjadi kafir karenanya. Tentang strategi syaithan ini Allah swt menggambarkannya dalam surat al-An’am [6]: 113
وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ
Artinya: “Dan supaya cendrung hati orang-arang yang tidak beriman kepada bisikan itu, lalu mereka merasa senag kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syithan) kerjakan.”
Dari ayat di atas, Allah swt menggambarkan tiga langkah syaithan dalam menjerumuskan manusia. Pertama, dia ciptakan kecendrungan hati manusia untuk kejahatan yang pada awalnya mungkin dianggap kecil. Kedua, dia mulai menarik hati manusia untuk berkeinginan melakukan dosa itu dalam bentuk rencana. Dan ketiga, manusia terjatuh ke dalam jurang dosa dan melakukan keinginan syaithan.
Untuk memahami strategi syaithan ini, agaknya menarik menyimak kisah seorang abid yang akhirnya mati di pangkaun syaithan dalam kekafiran. Dikasahkan, hiduplah seorang abid yang sangat taat dan tekun beribadah. Hari-harinya dihabiskan untuk berzikir, shalat, membaca al-kitab dan bermunajat kepada Allah swt. Bahkan, dia mendapatkan karamah dari Allah swt berupa kemampuan berjalan diangkasa. Suatu ketika, syaithan merasa tidak senang dengan kesalehan sang abid, lalu bermaksud menggodanya dan membuatnya menjadi kafir kepada Allah swt.
Suatu hari, datanglah syaithan ke tempat sang abid beribadah dalam wujud manusia. Ia pun ikut beribadah di samping sang abid selama beberapa hari. Ternyata, sang abid memperhatikan orang yang di sebelahnya semenjak pertama kali kedatangannya. Dia sangat kagum dan heran kepada orang itu, karena semenjak awal kedatangannya, ia begitu khusus' beribadah, sehingga selama beberapa hari ia lupa makan dan minum juga tidak tidur. Sementara sang abid seperti layaknya manusia biasa, ketika lapar dia makan dan saat haus dia minum, bila mengantuk diapun tidur. Kekaguman inilah yang kemudian membuat sang abid ingin tahu bagaimana rahasinya agar bisa beribadah sampai ke tingkat seperti itu.
Sang abid memberanikan diri bertanya kepada syaithan yang berwujud manusia tadi, tentang rahasia khusu' beribadah sampai bisa melupakan makan, minum dan tidur. Syaithan “sang penyamar” menjawab "Rahasianya adalah, engkau harus berbuat dosa terlebih dahulu, sebab bila manusia berdosa dia akan beribadah dengan penuh rasa takut sehingga menimbulkan kekhusu'an dan dia akan lupa segalanya, yang ada hanya rasa takut dan penyesalan”. Sang abid ternyata membenarkan teori syaithan tersebut dalam hatinya, dan berkeinginan untuk mencoba. Maka diapun bertanya tentang dosa apa yang akan dia lakukan. Syaithan menjawab “Engkau bisa membunuh seseorang”. Kata sang abid “Itu adalah dosa besar”. Syaithan menyarankan yang kedua agar dia berzina. Sang abid juga menjawab "Itu juga dosa besar”. Saran syaithan yang ketiga meminum tuak (khamar). Ternyata sang abid menerima, karena merasa meminum khamar adalah dosa kecil.
Akhirnya, sang abid ke luar dari tempat peribadatanya dan mencari segelas tuak. Dia mendapatkannya dari seorang wanita penjual tuak keliling. Setelah diminum ternyata menimbulkan rasa enak, sampai sang abid mabuk dan hilang akal. Dalam kondisi mabuk, akhirnya sang abid memperkosa wanita yang menjual tuak itu. Ternyata, berita perkosaan terhadap wanita penjual tuak sampai ke telinga suaminya, hingga membuat suaminya marah dan dia berniat membunuh sang abid. Akhirnya, terjadilah perkelahian antara keduanya yang berujung pada terbunuhnya suami wanita penjual tuak yang telah diperkosa sang abid.
Berita mengenai sang abid yang mabuk, lalu memperkosa dan membunuh manusia, tersebar ke seluruh negeri hingga akhirnya sang abid ditangkap dan disalib di tiang gantungan. Di saat sakaratnya sang abid, datanglah syaithan yang tadi berwujud manusia yang menawarkan bantuan penyelamatan, namun dengan syarat mananggalkan tauhidnya. Sang abid menyanggupi dan saat itulah malaikat datang mencabut nyawanya sehingga sang abid mati dalam kekafiran.
Dari kisah itu, tergambar kelicikan syaithan dalam menjerumuskan manusia. Ia mulai menanamkan ketertarikan hati manusia terhadap dosa yang dianggap kecil, namun pada akhirnya manusia terjerumus melakukan dosa besar yang berujung kepada kekafiran. Itulah yang mestinya selalu disadari oleh setiap manusia, bahwa dia memiliki musuh yang selalu ingin menggelincirkannya ke jurang dosa. Suatu permusuhan abadi sampai hari kiamat. Syaithan sudah memproklamirkan permusuhan itu kepada manusia, semenjak dia diusir dari sorga. Semenjak itu pula, dia bersumpah akan menggelincirkan manusia dari jalan Allah dengan cara apapun. Hal itu diungkapkan Allah swt dalam surat al-A'raf [7]: 16-17
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17)
Artinya: “Iblis menjawab:" karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya pasti akan menyesatkan mereka dari jalan-Mu yang benar . kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”
Syaithan bersumpah akan menyesetkan manusia dari segala arah; depan, belakang, kiri, dan kanan manusia. Namun, ada dua arah yang tidak bisa dimasuki syaithan, yaitu arah atas dan bawah. Dari kedua arah inilah manusia berpeluang selamat dari godaan syaithan. Jika diibaratkan tubuh manusia, di mana yang membuat tubuh itu sakit adalah virus yang menyerangnya. Maka, syaithan adalah virus yang membuat rohani manusia sakit. Bila jasad manusia ingin terbebas dari serang virus, maka dia harus menyuntikan sistem imunisasi atau kekebalan tubuh. Rohani yang bisa dijangkitai virus syithan, harus pula diberi imunisasi, dan imunisasinya adalah menutup dua arah yang tidak bisa dimasuki syaithan tadi. Arah atas adalah simbol zikir atau mengingat Allah swt. Sebab, bila manusia masih ingat kepada Tuhan syaithan tidak bisa memasukinya. Arah bawah, adalah simbol manusia yang menyadari kerendahan dan kelemahannya. Karena, bila manusia sadar akan kehinaannya dan kelemahannya sehingga dia jauh dari sikap ujub, takabbur atau sombong, maka dia selamat dari godaan syaithan.
Sementara itu, dalam surat al-A'raf [7]: 200-201 Allah swt memberikan petunjuk agar selamat dari godaan syaithan
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(200)إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ(201)
Artinya: “Dan jika kamu ditimpa godaan syithan, maka berlindunglah kepada Allah karena Dia Maha Mendengar lagi Mengetahu (201). Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (202).”
Label:
ceramah dan khutbah
Langganan:
Postingan (Atom)