Senin, 30 Juni 2008

Menumbuhkan Sikap Malu

Menumbuhkan Sikap Malu

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw menyebutkan “Malu itu adalah bahagian dari iman”. Oleh karena itu, seorang yang memiliki iman sempurna mesti punya rasa malu dalam dirinya. Perasaan malu itu juga yang menjadikan salah satu pembeda antara manusia sebagai makhluk paling sempurna, dengan makhluk Allah swt yang lain seperti binatang.
Di antara bentuk malu yang mesti dimiliki manusia adalah;
1. Malu melanggar aturan Allah swt atau berbuat dosa
Manusia seringkali menyembunyikan kesalahannya, karena malu dilihat orang lain yang belum tentu pasti akan melihatnya. Sementara Allah swt yang pasti dan selalu melihat setiap gerak manusia bahkan gerakan hati sekalipun, tentu lebih patut mereka malu kepada-Nya. Bukankah dalam banyak surat, Allah swt mengeskan pengawasan-Nya terhadap segala aktifitas manusia?. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat at-Thariq [86]: 1-4, surat ar-Ra’du [13]: 11 dan surat al-Infithar [84]: 10-12
2. Malu tidak bersyukur kepada Allah swt
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna memperoleh nikmat Allah swt. Bahkan, semua makhluk selain manusia termasuk malaikat diciptakan Allah swt untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah swt menjadikan manusia penguasa yang berhak mengekploitasi bumi dan segala isinya. Allah swt melengkapi manusia dengan seperangkat kesempurnaan yang membuat manusia menjadi tempat sujud kedua selain Allah swt. Begitulah nikmat Allah swt atas manusia, yang jika dihitung satu saja dari jenis nikmat tersebut tidak ada manusia, atau alat hitung yang mampu menghitungnya. Firman Allah dalam surat dalam surat Ibrahim [14]: 34.
…وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا…
Artinya: “… Dan jika kamu menghitung nikamt Allah niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya…”
Begitu juga dalam surat an-Nahl [16]: 18
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا…
Artinya: “Dan jika kamu menghitung nikamt Allah niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya….”
Oleh karena itu, seharusnya manusia merasa malu jika tidak mampu bersyukur kepada Allah swt. Hal itulah yang pernah dicontohkan Rasulullah saw dengan intensitas ibadahnya yang sangat tinggi setiap malam, hingga istri beliau ‘Aisyah ra. melihat di suatu malam kaki Rasulullah saw bengkak karena lama berdiri saat shalat malam. ‘Aisyah bertanya “Ya Rasulullah, kenapa engkau harus seperti ini beribadah, bukankah Allah swt telah menjamin bahwa engkaulah orang pertama yang memasuki sorga?”. Rasulullah saw menjawab “Justru karena itu saya malu kepada Allah, saya khawatir tidak mampu mensyukuri-Nya”.
3. Malu menjadi orang yang tidak mandiri (“cengeng”)
Manusia seharusnya memiliki rasa malu karena selalu memiliki ketergantungan pada orang lain. Binatang yang kecil dan tidak memiliki kesempurnaan akal seperti yang dimiliki manusia, hanya memiliki ketergantungan pada induknya sampai berumur beberapa bulan saja. Begitu dewasa, setiap binatang selalu mampu hidup mandiri dan tidak banyak menuntut pihak lain dalam hidupnya. Gambaran sikap malu seperti ini pernah digambarkan oleh nabi Ayyub as. ketika dia ditimpa penyakit yang begitu hebat (Q.S. Shad [38]: 41. Kemudian istrinya berkata kepada nabi Ayyub as. ”Hai Ayyub! bukankah engkau nabi Allah, semua permintaan engkau pasti didengar dan dikabulkan Allah, maka minta kesembuhan kepada-Nya”. Nabi Ayyub as. menjawab, “Saya malu kepada Allah, karena selama ini saya sudah merasakan banyak pemberian-Nya, dan ketika diberikan satu kesulitan saja, apakah pantas saya mengadu lagi?”


4. Malu ketika tidak sukses melakukan suatu pekerjaan
Sikap malu seperti inilah yang menjadi salah satu sifat para nabi dan rasul Allah. Rasulullah saw ketika mendapatkan umat manusia (orang-orang Quraisy) menolak dakwahnya dan beliau merasa gagal, maka hati beliau menjadi resah dan pikirannya sangat kacau. Sehingga al-Qur’an menggambarkan beban yang ditanggungnya karena merasa gagal dalam berda’wah, seperti memikul gunung yang besar dipundaknya sehingga tulang punggungnya berbunyi karena sangat beratnya (baca: Q.S Alam Nasyrah [94]: 2-3, dan rujuklah makna wizraka dan anqadha zhahraka).
Dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 3, Allah swt juga menggambarkan sikap Nabi saw yang sangat malu karena merasa dakwahnya gagal. Sehingga Rasulullah saw seperti ingin membunuh dirinya sendiri dengan memotong urat lehernya. Seperti firman-Nya
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya: “Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 3)
Begitu juga, dalam surat fathir [35]: 8 Allah berfirman
….فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Artinya: “…maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Agaknya inilah yang dicontoh dan dijadikan budaya hidup bagi masyarakat Jepang. Mereka sangat terkenal dengan semangat bunuh diri, dari pada pulang dengan kegagalan.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa nanti di mahsyar ketika semua manusia dikumpulkan untuk menunggu perhitungan. Keberadaan manusia di sana dalam waktu yang tidak bisa diketahui siapapun selain Allah swt. Hingga akhirnya semua manusia sepakat mencari pertolongan kepada para nabi agar mereka memohon kepada Allah, kiranya ditegakan mîzân dan manusia berpindah ke tempat lain “sekalipun ke neraka”.
Setiap nabi mereka datangi, mulai dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw. akan tetapi, semua nabi menolak memohon kepada Allah kecuali nabi Muhammad saw, dengan alasan malu. Ketika manusia datang kepada nabi Nuh as, beliau menolak dengan alasan merasa malu karena umur yang begitu panjang diberikan Allah untuk berdakwah, kurang lebih 950 tahun hanya mampu mengajak puluhan manusia saja ke jalan Tuhan. Perasaan akan kegagalan itulah yang membuat dia merasa malu kepada Allah. Begitulah selanjutnya, yang masing-masing merasakan kegagalan atas pekerjaan mereka sehingga semua merasa malu kepada Allah.
Sedangkan para nabi dan rasul saja begitu malunya kepada Allah, karena merasa gagal sekalipun menurut Allah mereka tidak gagal, lalu kenapa kita manusia biasa selalu bangga dengan keberhasilan yang belum tentu suatu kesuksesan di sisi Allah swt. Apalagi kalau itu sudah jelas suatu kegagalan, alangkah lebih buruknya kalau kita juga tidak merasa malu karenanya.

Tidak ada komentar: