Senin, 30 Juni 2008

Kebahagiaan Yang Hakiki

Kebahagiaan Yang Hakiki

“Bahagia” adalah kata yang selau menjadi dambaan setiap manusia. Tidak seorangpun yang menginginkan kesengsaraan dalam kahidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, manusia selalu dituntut untuk berdo’a kepada Tuhan, “…Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan (kebahagiaan hidup) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan hidup) di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka.” (Q.S al-Baqarah [2]: 201).
Imam al-Ghazali membagi bahagia yang diperoleh manusia ke dalam dua bentuk; pertama disebutnya dengan al-lazzah, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh jasmani manusia seperti yang dirasakan mata, telinga, hidung, kulit dan sebagainya. Kedua, disebutnya dengan as- sa’âdah, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh rohani manusia melalui pengasahannya dengan intensitas ibadah yang tinggi kepada Allah swt. Namun demikian, kebahagiaan yang berbentuk al-lazzah adalah kebahagiaan yang bersifat sementara, terbatas dan bisa diukur, seperti kebahagiaan yang dirasakan oleh lidah ketika memakan makanan yang enak, yang hanya dirasakan oleh indra pengecap manusia dalam ukuran yang sangat singkat dan hanya sampai batas kerongkongannya. Bahkan, hubungan seksual yang dianggap sebagai kenikmatan atau kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan manusia, jika dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya sungguh sangatlah tidak sebanding. Menurut hasil penelitian, burung gereja yang memiliki ukuran tubuh yang kecil, mampu melakukan hubungan seksual sebanyak seratus kali dalam sehari.
Sedangkan kebahagiaan yang dirasakan oleh rohani manusia melalui serangkaian ibadah, adalah kebahagiaan yang tidak terbatas dan tidak bisa diukur, bahkan diungkapkan dengan kata-kata sekalipun. Inilah yang disebut sebagai kebahagian yang hakiki.
Untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki ini, manusia bisa menempuh beberapa jalan, di antaranya;

1. Tobat
Tobat secara harfiyah berarti kembali, yaitu kembali kepada kedekatan dengan Allah swt. Manusia pada awal penciptaannya adalah dekat dengan Allah, karena dalam dirinya terdapat unsur suci yang berasal dari Allah, yaitu Roh-Nya (Q.S. as-Sajadah [32]: 7-9 dan Shad [38]: 71-71). Ketika manusia melakukan dosa dan kesalahan kepada Allah swt, maka rohani yang pada awalnya suci menjadi kotor, sehingga Allah Yang Maha Suci secara perlahan-lahan menjauh darinya, sesuai dosa dan kesalahan yang dilakukan. Semakin banyak dosa dan kesalahan, semakin jauh jarak Allah dengannya. Itulah yang terjadi dengan nabi Adam as, di mana sebelum bersalah kepada Allah, dia begitu dekat dengan-Nya sehingga ditempatkan di sorga, namun ketika sudah melakukan dosa Allah menjauh darinya (bandingkan redaksi surat al-Baqarah [2]: 35 dengan surat al-A’raf [7]: 22) dan kemudian diwujudkan dengan membuang nabi Adam ke atas bumi.
Untuk mengembalikan manusia kepada kedekatan hubungannya dengan Allah swt, maka diperlukan tobat. Itulah yang dilakukan nabi Adam ketika sampai di bumi, firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 37
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Manusia memang tidak ada yang bisa luput dari dosa dan kesalahan, namun sesuai sabda Rasulullah saw, bahwa sebaik-baik manusia yang bersalah adalah yang mau bertobat kepada Allah swt. Tobat dilakukan dengan cara menyadari apa yang dilakukan adalah suatu dosa, menyesali perbuatan tersebut, meminta ampun kepada Allah (istighfâr), berjanji dengan diri dan Allah swt tidak mengulanginya, serta mengiringinya dengan amal shalih sebagai pengganti kesalahan yang telah dilakukan. Setelah manusia melakukan hal itu, maka dia akan merasakan suatu kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan itulah yang disebut as-sa’âdah.
2. Zuhud
Kecintaan seseorang terhadap dunia, bisa melalaikan manusia dari Allah swt, bahkan bisa menyeretnya ke jurang dosa. Oleh Karena itu, diperlukan sikap hidup zuhud agar terhindar dari belenggu kecintaan duniawi. Zuhud menurut pandangan al-Ghazali, bukan berarti membenci dunia dan meninggalkannya secara total. Zuhud berarti menjuhkan diri dari keterikatan terhadap dunia dan gemerlapannya.
Oleh karena itu, kondisi kaya atau miskin bukanlah penentu zuhud atau tidaknya seseorang. Seorang yang hidup miskin mungkin saja sangat menginginkan bahkan “tergila-gila” dengan kekayaan dan gemerlapan dunia, namun nasib membawanya untuk hidup kekurangan. Sebaliknya yang kaya raya mungkin saja seorang yang zuhud, sekalipun memiliki harta yang melimpah namun tidak terlalu mencintainya dan hatinya tidak tergantung kepadanya. Zuhud lebih ditentukan sikap dan pandangan seseorang terhadap dunia. Dengan demikian, seorang yang bersikap zuhud adalah orang yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir kehidupan, namun menjadikanya sebagai sarana menuju kehidupan abadi yang labih sempurna.
3. Sabar
Sabar berarti menekan gejolak jiwa, karena manusia adalah makhluk emosional, yang dalam kondisi apapun selalu memiliki gejolak jiwa. Ketika manusia senang atau memperoleh nikmat, jiwanya bergejolak karena gembira dan bahagia. Namun, gejolak ini harus segera ditekan, karena jika dibiarkan akan berobah menjadi sikap ujub, takabbur, atau sombong. Misalnya, ketika seseorang pendapat penghargaan dari orang lain karena prestasinya dia merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi jika ini melewati batasnya mungkin saja akan muncul sikap ujub dan takabbur dalam dirinya yang akhirnya membuat dia lupa diri dan menjadi musuh Allah swt seperti yang terjadi dengan iblis (Q.S. al-A’raf [7]: 12 dan Shad [38]: 76). Di sinilah pentingnya sabar, menekan gejolak jiwa yang muncul kerena kegembiraan.
Begitu juga ketika manusia ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak disenanginya, jiwa manusiapun bergejolak karena tidak bisa atau tidak siap menerimanya. Gejolak ini bila tidak ditekan, maka akan berobah menjadi “umpatan” dan “celaan” terhadap Allah swt. Manusia menjadi tidak senang dan ridha dengan keputusan Allah swt. Ketidaksenangan dan celaan manusia terhadap keputusan Allah tersebut, membuat dia jauh dari Allah swt bahkan mendapat celaan Allah swt berupa kecelakaan yang besar. Firman Allah swt dalam surat al-Humazah [104] : 1
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”
Dengan demikian, kesabaran atau kemampuan manusia menekan gejolak jiwanya baik ketika senang maupun susah, akan membuat jiwanya stabil. Ketika memperoleh nikmat dia sadar akan karunia Allah, dan saat mendapat kesulitan dia yakin akan pertolongan Allah dan keputusan-Nya yang maha adil, sehingga inilah yang membawa manusia memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Sebab, Allah swt memberikan jaminan bahwa Dia selalu memberikan pertolongan-Nya kepada orang yang sabar. Firman-Nya dalam surat ali ‘Imran [3]: 125
بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ ءَالَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ
Artinya: “Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda”


Dalam surat al-Baqarah [2]: 153 Allah juga memberikan jaminan bahwa Dia selalu bersama dan dekat dengan orang yang sabar.
…إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “…Sesungguhnya Allah selalu bersama orang yang sabar”
4. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri kepada Allah. Seorang yang tawakal, akan merasakan puncak kebahagiaan batin, karena dia selalu menilai apapun keputusan Allah adalah yang terbaik untuknya, sekalipun secara lahiriyah dinilai buruk oleh orang lain. Sebab, seorang yang bertawakal artinya dia menjadikan Allah sebagai wakil dalam menentukan dan mengambil keputusan atas kehidupannya, dikarenakan ketidakmampuaannya menentukan yang terbaik untuk dirinya. Manusia bisa saja menganggap sesuatu baik namun justru buruk baginya, begitupun sebaliknya yang dianggap buruk justru baik untuknya (baca Q.S. al-Baqarah [2]:216). Oleh karena itulah, manusia perlu menjadikan Allah Yang Maha Bijaksana sebagai wakil melalui tawakal.
5. Muraqabah
Muraqabah berarti manusia merasakan kehadiran dan keikutsertaan Allah swt dalam setiap gerak langkahnya. Dia akan selalu mawas diri untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah swt, karena menyadari pengawasan Allah swt terhadapnya. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat at-Thariq [86] ayat 1-4, surat ar-Ra’du [13]: 11 dan surat al-Infithar [84]: 10-12.
Kesadaran akan adanya pengawasan Allah, membawa manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya, yang akhirnya menumbuhkan rasa cinta dan harap bertemu dengan-Nya. Kerinduan kepada Allah serta harapan bertemu dengan-Nya, membuat manusia giat melakukan amal kebajikan dan menjauhi larangan Allah. Manusia akan selalu melatih jiwanya untuk melakukan hal-hal yang terpuji dan menghindarkan keburukan melalui proses yang sering disebut dengan riyâdhah dan mujâhadah. Melalui proses inilah manusia memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
6. Zikrullah
Secara harfiyah zikir berarti mengingat, sedangkan menurut istilah, zikir berarti membasahi lidah dengan ucapan-ucapan terpuji kepada Allah swt. Zikir merupakan metode lain yang paling utama dalam memperoleh ilmu laduni.
Zikir merupakan obat paling ampuh untuk rohani atau hati yang sakit, karena hati yang sakit menghalangi manusia untuk dekat dengan Allah. Al-Ghazali dalam buku ihyâ’ menjelaskan bahwa hati manusia tidak ubahnya seperti kolam yang di dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar yaitu panca indra, dan adakalanya dari dalam yaitu khayal syahwat, amarah, dan tabi’at manusia.
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan, bahwa syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah swt adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah swt, dan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara totalitas dengan zikir kepada Allah swt. Dengan zikir tabir alam malakut, (kemampuan melihat alam ghaib melalui datangnya malaikat Allah swt) dapat terbuka karena zikir adalah kunci pembuka alam ghaib.
Hati yang terang adalah hati yang selalu dilatih dengan zikrullah, dan hati yang terang akan mampu menerima pancaran nur Tuhan, apakah bentuknya ilmu, ilham, atau petunjuk. Manusia yang memproleh nur Tuhan, berarti mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Tidak ada komentar: