Takabbur, Bahaya dan Terapinya
Salah satu dari tujuan diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi ini, adalah untuk menciptakan manusia yang berakhlak sempurna. Hal itu, ditegaskan dalam sebuah haditsnya
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Di antara bentuk kesempurnaan akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw, dan dituntut untuk juga dimiliki oleh umatnya, bahwa Rasululllah memiliki sikap tawâdhu’ . Dalam kitab al-Barzanji ditemukan sebuah ungkapan
وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم شديد الحياء و التواضع
Artinya: “ Adalah Rasulullah saw sangat pemalu dan sangat tawadhu”
Tawâdhu’ secara harfiyah berarti rendah hati. Seorang yang tawadhu’ tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain, sekalipun semua orang mengakuinya memiliki banyak kelebihan dari yang lain. Lawan dari sikap tawâdhu’ adalah takabbur yang berarti seseorang merasa lebih baik dan lebih besar dari orang lain, sekalipun orang lain tidak pernah mengakuinya atau bahkan tidak melihat kelebihan dalam dirinya.
Secara defenitif, Rasulullah saw telah memberikan batasan tentang sikap dan orang yang takabbur tersebut. Sebagaimana terdapat dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Muslim
الكبر بطر الحق وغمط الناس
Artinya: “Takabbur itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R Muslim)
Berdasarkan hadits Rasulullah saw di atas, minimal terdapat dua hal yang menyebabkan seseorang termasuk orang yang takabbur.
1. Menolak kebenaran/ bathar al-haq.
Setidaknya ada tiga alasan, kenapa seseorang menolak kebenaran. Pertama, karena seseorang sedang “asyik” berada dalam kesesatan atau sebuah dosa. Setiap muslim pasti mengetahui bahwa berjudi, berzina, meminum minuman keras dan sebagainya, adalah perbuatan haram yang dilarang Tuhan. Akan tetapi, kenapa masih banyak di antara umat Islam yang melakukannya? Bahkan ketika diingatkan, mereka cendrung menolak nasehat yang datang kepada mereka. Penyebabnya adalah, karena mereka sedang asyik dalam hal-hal yang seperti itu. Begitu juga, seorang petani misalnya yang sedang asyik bekerja di sawah atau di kebun, kemudian suara azan datang memanggil untuk shalat. Kenapa mereka seperti acuh dan tidak mendengarkannya? Karena, mereka sedang asyik dalam pekerjaannya, dan bahkan cendrung keluar alasan popular “tanggung, sedikit lagi selesai”.
Kedua, karena seseorang merasa dirugikan jika menerima kebenaran tersebut. Qarun misalnya, yang menyadari dan mengetahui bahwa apa yang disampaikan Musa as. kepadanya adalah sebuah kebenaran. Akan tetapi, kebenaran itu ditolaknya. Sebab, jika diterima dia harus mengeluarkan sejumlah hartanya untuk dizakatkan, dan hal itu diangganya sesuatu yang merugikan. Begitu juga, Abu Sufyan yang mengetahui bahwa apa yang disampaikan nabi Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, dia menolaknya karena jika diterima dia takut kehilangan pengaruh dan pengikut. Penolakan kebenaran oleh Abu sufyan, karena mengganggap kebenaran itu merugikan jika di terima. Begitu juga misalnya, kenapa ada sebagian orang Islam yang tidak shalat jum’at sekalipun mereka mengetahui kewajibannya, seperti pedagang. Hal itu disebabkan ketakutan akan kerugian, karena jika dia shalat jum’at tokonya ditutup selala beberap jam, dan ini dianggap sesuatu yang merugikan.
Ketiga, seseorang menolak kebenaran karena merasa kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pembawa kebenaran itu sendiri. Raja Namrudz, pasti tahu bahwa yang disampaikan Ibrahim as kepadanya adalah suatu kebenaran. Namun, kebenaran itu ditolaknya karena merasa kedudukannya lebih terhormat sebagai raja besar, dibandingkan Ibrahim sebagai anak tukang kayu. Begitu juga, Fir’aun menyadari apa yang disampaikan Musa as adalah suatu yang benar, akan tetapi, ditolaknya karena merasa bahwa kedudukannya sebagai raja yang agung tidak sepadan dengan Musa yang lahir dari bangsa budak, bani Israel. Begitu juga, Abu Jahal dan Abu Lahab yang mengetahui bahwa yang disampaikan Muhammad saw kepadanya adalah sebuah kebenaran. Namun, mereka menolaknya karena merasa kedudukan mereka sebagai paman lebih mulia dari Muhammad sebagai keponakan. Begitu juga, dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai orang tua yang memaksa anaknya untuk shalat, sementara dia sendiri tidak shalat. Ketika sang anak menegurnya dan bertanya kenapa mereka tidak shalat, orang tua sering menjawabnya dengan marah dan menolak kebenaran dari sang anak. Hal itu disebabkan, karena orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi dari anak, sehingga anak tidak berhak menasehati mereka, sekalipun yang disampaikannya adalah kebenaran.
2. Menganggap remeh dan merendahkan orang lain/ ghamth al-nâs
Sikap takabbur yang kedua ini adalah sikap sejatinya iblis, yang menyebabkan mereka harus terusir dari rahmat Tuhan. Ketika Allah swt menyuruh para malaikat sujud kepada adam, iblis menolak untuk melaksanakannya. Allah Yang Maha Tahu, mengetahui dengan pasti sebabnya iblis tidak mau sujud kepada Adam as. Akan tetapi, Allah swt ingin mendengar langsung dari mulut iblis sendiri. Allah swt kemudian bertanya seperti yang terdapat dalam surat al-A’raf [7]: 12
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Artinya:” Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 75-76
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ(75)قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ(76)
Artinya: “Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"(75). “Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Sekalipun Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa api lebih baik dari tanah karena keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, namun iblis merasa bahwa asal penciptaaanya lebih baik dan lebih mulia dari Adam. Perasaan inilah yang membuat iblis enggan dan menolak untuk sujud kepada Adam. Sikap takbbur inilah, yang akhirnya membuat iblis di usir dari rahmat dan sorga Tuhan, di mana sebelumnya adalah makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.
Begitulah, takabbur juga membawa manusia jauh dari rahmat Tuhan dan tentu saja menjadi dekat dengan iblis karena memiliki kesamaan sikap. Dan untuk terhindar dari sikap takabbur, setidaknya ada dua hal yang harus disadari dan diyakini manusia. Pertama, dia harus menyadari bahwa apapun yang dimilikinya adalah nikmat dan pemberian Tuhan. Nikmat secara harfiyah berarti kelebihan, dan seseorang biasanya untuk mengetahui kelebahan tentulah mengetahui dulu yang menjadi modalnya. Ternyata manusia tidak memiliki modal apapun, karena kehidupan yang dirasakan manusia itu sendiri juga nikmat. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Insan [76]: 1
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
Artinya: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
Kedua, menyadari bahwa apapun yang diberikan Tuhan berupa nikmat duniawi, tidak kekal dan bersifat sementara, suatu saat ia akan hilang dan lenyap. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita akan sombong dengan sesuatu yang bukan milik kita, apalagi sifatnya hanya sementara dan suatu saat pasti diambil kembali oleh pemiliknya. Seperti firman Allah swt dalam surat ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26), Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar