Siapakah Pembela Kebenaran?
Allah swt telah menetapkan bahwa antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kebatilan akan selalu terjadi pertarungan dan persaingan. Dalam pertarungan antara keduanya seringkali dalam keyataan, bahwa kebatilan menguasai kebenaran dan tampil sebagai pemenang. Betapa hari ini kita saksikan kebatilan sepertinya sudah sangat merajalela dan menguasai hampir semua sendi kehidupan manusia. Kebenaran seringkali dipojokan dan diinjak-injak, dan nyaris tidak kedengaran suaranya dipanggung peradaban yang dibangun manusia saat ini.
Namun demikian, Allah swt telah memberikan jaminan bahwa dalam setiap peretempuran antara yang hak dan batil, pada akhirnya kebenaran akan muncul sebagai pemenang. Sekalipun, pada awalnya kebatilan terlihat menguasai dan menelan kebenaran. Itulah yang ditegaskan Allah swt dalam surat ar-Ra’du [13]: 17
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Dalam ayat di atas, Allah mencontohkan pertarungan antara yang hak dan batil seperti air yang mengalir membawa buih-buih yang sangat banyak. Atau seperti logam ketika dibakar yang juga mengeluarkan buih yang sangat banyak. Pada kenyataannya terlihat bahwa air atau logam ditutupi, dilingkupi, ditelan oleh buih yang begitu banyak dan sepertinya buih adalah penguasa yang menutupi air atau logam. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat pendek buih-buih yang pada mulanya menguasai air dan logam perlahan-lahan hilang, bahkan akhirnya lenyap sama sekali tanpa bekas yang ditinggalkan. Buih akan lenyap sebagai sesuatu yang tidak berharga, sementara yang bermanfaat akan tingal bersama manusia. Begitulah jaminan Allah swt untuk kemenangan yang hak terhadap kebatilan.
Namun demikian, ada hal yang menarik untuk dicermati dari redaksi ayat yang diungkapkan Allah swt seperti di atas. Yaitu Allah mengatakan “…adapun yang memberi manfaat bagi manusia ia akan tetap tinggal di bumi”. Allah swt tidak mengatakan “adapun air atau logam, maka ia akan tetap tinggal di bumi”, sebagaimana tema ayat tersebut. Hal itu mengandung suatu isyarat, bahwa kebenaran akan memperoleh kemenangan dan pertolongan Allah swt melawan kebatilan, adalah kebenaran yang mendatangkan manfaat bagi manusia. sebab, jika kebenaran tidak mendatangkan kebaikan dan menfaat bagi manusia, maka kebenaran seperti itu tidaklah ada artinya.
Walaupun Allah swt telah memberikan jaminan kemenangan atas kebatilan, di mana kebenaran akan tetap terjaga sementara kebatilan akan lenyap, namun lenyapnya kebatilan di permukaan bumi bukanlah tanpa usaha dan perjuangan manusia. Kebatilan akan lenyap karena ada kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan berupaya menghapus kebatilan. Orang-orang yang akan memperjuangkan kebenaran tersebut, adalah seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat ar-Ra’d [13}: 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam ayat di atas Allah menyebutkan ada manusia yang buta terhadap kebenaran. Tentu saja yang diamksud bukan buta mata, tetapi buta hatinya. Betapa banyak orang yang cerdas, intelektual, cendekiawan, pemikir, memiliki ilmu yang sangat luas dan sebagainya, namun tidak mampu membela dan memperjuangkan kebenaran. Ketika kebatilan terjadi di depan mata mereka, seakan mereka tidak melihatnya. Andaikata mereka mengetahui kebatilan terjadi, namun mereka tetap diam seribu bahasa.
Akan tetapi ada sekelompok manusia yang tidak buta, sehingga mereka mampu membela, memperjuanagkan serta menyuarakan kebenaran. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki akal yang cerdas dan tulus, yang dalam bahsa al-Qur’an disebut ûlûl al-albâb. Ûlûl al-albâb secara harfiyah berasal dari kata al-lubb yang berarti inti sesuatu yang tidak tertutupi kulitnya. Biji kacang yang tidak tertutup kulitnya disebut al-lubb. Sehingga, ûlûl al-albâb berarti kelompok manusia yang memiliki akal dan fikiran yang jernih, bersih dan tulus, tidak tertutup kabut debu kemusyrikan, kemunafikan, ketakutan, kepura-puraan, ketidak ikhlasan, keraguan dan sebagainya. Orang seperti inilah yang sanggup menyuarakan kebenaran dengan lantang dan terbuka.
Adapun ciri-ciri ûlûl al-albâb tersebut Allah jelaskan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ûlûl al-albâb) (190), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (191).”
Berdasarkan ayat di atas terdapat tiga ciri ûlûl al-albâb. Pertama, orang-orang yang selalu berzikir (mengingat Allah) kapanpun dan dimanapun serta dalam kondisi apapun. Dia selalu menghadirkan kebesaran Allah dalam setiap gerak langkah bahkan gerak nafasnya. Kedua, adalah orang-orang yang selalu berfikir menggunakan akalnya tentang ciptaan Allah, untuk menemukan kebesaran-Nya. Dengan zikir dan fikirnya menghasilkan kecerdasan spiritual dan emosional sehingga dia menemukan kebesaran Tuhan dan berada dekat dengan-Nya, yang membuat mereka berani menyuarakan kebenaran dengan suara lantang kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun. Kebenaran akan selalu mereka katakan tanpa adanya kabut ketakutan yang menyelimuti mereka. Ketiga, adalah orang-orang yang selalu berdo’a menggantungkan harapan kepada Allah Yang Maha Berkuasa. Mereka bukan manusia yang hanya mengandalkan kecerdasan semata, karena mereka juga sadar akan kelemahan dan keterbatasan sebagai manusia. Oleh karena itu, mereka tetap mengharapkan bentuan dan pertolongan Allah atas kesuksesan usaha mereka.
Ada hal yang menarik untuk dicermati terkait dengan ungkapan Allah swt mengenai ciri-ciri ûlûl al-albâb. Pertama Allah swt mendahulukan sebutan zikir dari berfikir. Hal itu memberikan arti bahwa ûlûl al-albâb sebagai manusia yang akan menjadi pembela kebenaran adalah orang-orang yang mendahulukan zikir daripada fakir. Sebab, dengan berzikir hati manusia akan memperoleh ketenangan, dan bila ketenangan hati sudah diperoleh maka akal akan bisa dipergunakan dengan baik untuk menemukan kebenaran dan selanjutnya memperjuangkan kebenaran tersebut. Sehingga kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran yang dihasilkan dari hati yang tenang, begitu juga perjuangan terhadap kebenaran, dilakukan dengan penuh ketenangan, memakai kepala dingin, tidak emosional dan sebagainya. Sehingga kebenaran yang diperjuangkan dengan cara demikian akan bisa memperoleh kemenangan dan diterima secara universal. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kebenaran itu diperjuangan demi mengagungkan dan menegakan agama dan kebesaran Allah swt.
Kedua, bahwa kata zikir dan fakir Allah ungkapkan dalam bentuk fi’l mudhâri’ atau kata kerja yang mengandung masa sekarang dan akan datang (kontinuitas/keberlanjutan). Hal itu berarti bahwa ûlûl al-albâb adalah manusia yang selalu berupaya mengasah ketajaman hati dan akalnya guna menemukan kebenaran dan memperjuangkannya hingga akhirnya memperoleh kemenangan.
Ketiga, ûlûl al-albâb yang menjadi pembela kebenaran adalah manusia yang tidak hanya mengandalkan kemampuan semata. Akan tetapi, mereka meyadari akan kelemahan yang dimiliki manusia, sehingga membuat mereka selalu berdo’a kepada Allah untuk kesuksesan usaha mereka. Hal itu memiliki maksud, agar mereka tidak “lupa daratan” atau menjadi orang yang sombong ketika sukses dan berhasil menumpas kebatilan dan membela kebenaran. Sebab, mereka sadar bahwa kesuksesan mereka adalah lebih ditentukan oleh bantuan dan pertolongan Allah.
Terakhir, sebuah pertanyaan yang mesti menjadi renungan kita bersama, sudahkah kita menjadi bagian dari ûlûl al-albâb yang memperjuangkan kebenaran di muka bumi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar