Pentingnya Ujian Dalam Kehidupan Manusia
Seperti yang dijelaskan, bahwa hidup dan mati sengaja diciptakan Allah swt sebagai ujian bagi setiap manusia, agar Dia tahu siapa yang terbaik di antara mereka. Begitulah yang dikatakan Allah swt dalam surat al-Mulk [67]: 2. Dengan demikian, kehidupan di dunia ini adalah ujian yang tidak akan pernah berakhir, sampai datangnya kematian sebagai akhir “drama” kehidupan manusia di pentas dunia. Dalam surat al-Balad [90]: 4, Allah swt berfirman
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Artinya: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia berada dalam kesusahan.”
Pernyataan tersebut Allah ungkapkan setelah terlebih dahulu Dia bersumpah dengan al-Balad/negeri Makah (tempat kediaman manusia), dan dengan Adam serta keturunannya (manusia). Dengan demikian, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa manusia memang sengaja diciptakan Allah swt untuk menghadapi kesusahan dan kesulitan.
Kesusahan dan kepayahan manusia selama di dunia, tidak akan pernah berhenti semenjak dalam kandungan sampai kematiannya datang. Bahkan, kematian itu sendiri adalah puncak dari kesusahan dan kepayahan hidup. Dalam kehidupan di dunia ini, setiap manusia selalu berhadapan dengan berbagai bentuk kesulitan dan kesusahan. Kalaupun dia bisa melepaskan diri dari satu kesulitan, maka dia akan menghadapi kesulitan yang lain. Misalnya, seorang yang masih dalam bangku pendidikan merasa kesusahan dengan materi pelajaran. Setelah lulus dan selesai dari bangku pendidikan, dia kembali menghadapi kesusahan untuk mendapatkan pekerjaan. Begitu memperoleh pekerjaan, muncul lagi kesusahan baru menghadapi rekan seprofesi di kantor begitulah seterusnya.
Manusia yang berhenti pada satu tahap kesusahan, akan menjadi orang yang putus asa dan pesimis. Dia akan memandang hidup ini dengan pandangan hampa. Namun, orang yang beriman justru akan menjadi semakin optimis dan berjuang keras untuk menyelesaikan semua kesulitan itu. Sebab, seorang yang beriman meyakini bahwa setiap kesulitan itu pasti mempunyai jalan keluar, dan yang pasti kesulitan itu tidak akan deberikan Allah swt, melainkan sesuai batas kemampuan manusia itu sendiri memikulnya.
Manusia memang harus menanggung resiko kehidupan dunia ini. Ia harus siap menghadapi kesulitan dan kepayahan, karena hidup memang diciptakan untuk itu. Akan tetapi, semua itu bertujuan baik, karena dengan kesulitan-kesulitan itulah, Allah swt meningkatkan derajat manusia itu sendiri. Allah swt berfirman dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Dalam surat al-Ankabut [29]:2, Allah swt juga berfirman
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Artinya: "Apakah manusia mengira akan dibiarkan saja mengatakan kami telah beriman, sementara mereka belum mendapatkan ujian?.”
Hal itu berarti, bahwa ujian bagi manusia sebenarnya bertujuan baik; yaitu meningkatkan kualitas manusia itu sendiri. Bukankah dengan ujian seorang siswa bisa naik kelas?. Dan bukankah dengan ujian juga, manusia biasa bisa menjadi orang besar dan disegani manusia lain?.
Oleh karena itu, ujian atau kesulitan bukanlah sesuatau yang jelek dan buruk, bahkan justru harus didambakan, diharapkan atau bahkan dicari. Ujian tidak boleh dihindari atau ditakuti, karena ujian itu sendiri kebaikan. Akan tetapi, yang salah dan buruk adalah gagal dalam menghadapi ujian dan kesulitan itu. Semakin banyak ujian dan kesulitan yang dihadapi, akan semakin tinggilah mutu seseorang kalau dia berhasil menyelesaikannya. Bukankah ikan yang enak dagingnya, adalah ikan yang sering berenang di air deras?. Dan bukankah emas yang sering dibakar akan semakin mengkilat?.
Namun demikian, satu hal yang mesti diyakini, bahwa seberapa banyakpun ujian dan kesulitan yang dihadapi, jumlahnya tetap masih sedikit bila dibandingkan dengan ni'mat yang telah diterima. Bukankah Allah swt telah mengatakan dalam surat al-baqarah [2]: 155, "Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit daripada rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta dan jiwa serta buah-buahan…”. Karena sedikitnya kesusahan itu, sering tanpa kita sadari muncul ungkapan "untung". Misalnya, ketika datang gempa di suatu daerah yang menghancurkan semua rumah, namun penghuninya selamat, kita berkata “Untunglah rumah saja yang hancur, penghuninya masih selamat”. Ketika rumah hancur dan semua penghuninya luka parah, kita berkata lagi “Untunglah rumah saja yang hancur dan penghuninya hanya luka-luka”, begitulah seterusnya. Secara tidak disadari manusia mengakui bahwa betapa besar dan banyaknya kesulitan itu, ia masih dianggap sedikit. Agaknya itulah yang membuat nabi Ayyub as. malu meminta kesembuhan penyakitnya kepada Allah swt, karena menilai kesusahannya sangatlah sedikit sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan yang telah diperolehnya selama ini. Dan hal yang pasti adalah, bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan, karena kemudahan diciptakan Allah swt jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan kesulitan. Begitulah yang dimaksud Allah swt dalam surat Alam Nasyrah [94]: 5-6, dengan melakukan pengulangan dua ayat dengan redaksi yang sama.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا(5)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا(6)
Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (5), sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (6).”
Menurut gramatika bahasa Arab, jika kata yang berbentuk ma’rifah (difinit/ tertentu) diulang sebutannya dua kali, maka yang dimaksud adalah satu. Namun, jika kata yang berbentuk nakirah (indifinit/ tidak tentu) diulang sebutannya dua kali, maka yang dimaksud adalah dua hal yang berbeda. Dengan demikian, ayat di atas menegaskan bahwa al-‘usr yang berarti kesulitan, bentuknya satu karena diungkapkan dalam bentuk ma’rifah. Sementara yusr yang berarti kemudahan bentuknya dua, karena diungkapkan dalam pola nakirah. Kesimpulannya adalah bahwa dalam satu kesulitan, Allah swt telah menciptakan dua kemudahan atau lebih. Sehingga di dunia ini pada hakikatnya kemudahan jauh lebih banyak dari kesulitan.
Berdasarkan hal itu, maka tidak ada peluang bagi manusia untuk putus asa ketika menghadapi suatu kesulitan. Tinggal lagi, usaha mereka untuk menemukan jalan kemudahan guna keluar dari kesulitan yang sedang dihadapinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
setuju memang begitu kehidupan di dunia
Syukran ustadz,super bgt penjelasanya
Alhamdulillah..ustadz dapat pencerahan syukron ustadz!
Posting Komentar