Ilmu, Iman dan Amal
Ilmu adalah segala macam pengetahuan yang jelas, terang, membawa kepada kebenaran (al-haq), serta berguna bagi kehidupan manusia, masa kini maupun masa mendatang, fisika atau metafisika. Oleh karena itu, jika sesuatu itu belum jelas dan terang, tidaklah disebut sebagai ilmu. Karena, dari akar kata yang sama muncul kata alâmat yang berarti petunjuk yang bisa membawa seseorang kepada tujuan yang benar, disebabkan sesuatu itu sangat jelas dan terang. Begitu juga, ilmu itu harus menjangkau hal-hal yang diluar alam fisik yaitu alam metafisika, sebab ulama dalam al-Qur’an adalah orang yang tidak hanya memahami gejala yang tanpak oleh indrawi, tetapi juga memahami di balik yang tidak terjangkau oleh indrawi manusia (Q.S.Fathir [35]: 28).
Ilmu tersebut didapatkan melalui dua cara; pertama disebut ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih seperti yang diperoleh oleh nabi Khidr as. (Q.S. al-Kahfi [18]: 65). Kedua, ilmu yang diperoleh melalui jalan usaha (kasbi), yaitu melalui penggunaan sarana yang diberikan Allah berupa mata, telinga, hati dan sebagainya (Q.S. an-Nahl [16]: 78).
Sementara iman diartikan sebagai ilmu tentang al-haq (puncak kebenaran) yang wilayahnya diluar jangkauan akal, karena iman wadahnya adalah hati. Dengan demikian, pengetahuan mengenai hal-hal yang ghaib sebenarnya adalah wilayah iman, bukan wilayah kerja akal. Makanya, peristiwa isra’ dan mi’raj secara logika tidak bisa diterima, namun keimanan bisa membenarkannya.
Sedangkan amal adalah buah dari ilmu dan iman, karena kata ilm yang berarti ilmu, dan amal yang berarti perbuatan berasal dari huruf yang sama yaitu, ‘ain, lâm, mîm. Hal itu menunjukan, bahwa antara ilmu dan amal mestilah sejalan atau bersamaan. Betapa banyak ayat Allah dalam al-Qur’an yang mengecam orang berilmu, namun tidak mengamalkan ilmunya. Seperti dalam surat ash-Shaff [61] :2
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?.”
Begitu juga dalam surat al-Munafiqun [63]: 4
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ….
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu terpana mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar…”
Begitulah pentingnya penyelarasan ilmu, iman dan amal. Manusia yang dapat menyatukan ketiga hal ini, akan mendapatkan kedudukan yang sangat mulia. Gambaran hal itu Allah ceritakan dalam surat an-Naml [27]: 20-40.
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menceritakan kisah nabi Sulaiman as. dengan bala tentaranya dari kalangan binatang, manusia, juga jin ketika mengajak seorang ratu dari negeri Saba’ untuk menganut agama tauhid dan meninggalkan kemusyrikan. Berdasarkan informasi yang diterima dari burung Hud-Hud, yang menceritakan sebuah negeri yang makmur dan sentosa dipimpin oleh seorang ratu yang bijaksana, namun rakyatnya hidup dalam kemusyrikan. Nabi Sulaiman kemudian mengirimkan surat, meminta mereka tunduk dan menerima ajaran tauhid. Ajakan nabi Sulaiman as. dibalas ratu Saba’ yang konon bernama Balqis dengan mengirimkan sejumlah utusan dan hadiah yang banyak.
Nabi Sulaiman as. menolak utusan dan hadiah tersebut, karena mungkin dianggap sebagai sogokan. Dia meminta agar ratu Balqis datang bersama pengikutnya ke Palestina; tempat Suliman berkuasa dan menyatakan tunduk dan memeluk agama tauhid. Jika tidak dia akan mengirim bala tentara dalam jumlah besar untuk menghancurkan negeri Saba’.
Mendengar hal itu sang ratu yang bijaksana kemudian pergi bersama pengikutnya menemui Sulaiaman untuk menyatakan ketundukan dan menghindari perang yang merugikan rakyat – sekalipun jika dihadapinya dengan peperangan, belum tentu Sulaiman as bisa mengalahkannya- . Ratu Balqis mengunci rapat istananya, sebelum meninggalkan dan pergi menuju tempat Sulaiman as. Nabi Sulaiman as. kemudian ingin memperlihatkan kebesaran Allah yang telah diberikan kepadanya. Dia bermaksud hendak membawa istana ratu Balqis yang berada di Yaman ke samping istananya sebelum sang ratu datang.
Keinginan itu disampaikan kepada pembesar-pembesarnya dari kalangan manusia dan jin. Hal itu disebutkan Allah dalam surat an-Naml (27) : 38-40
قَالَ يَاأَيُّهَا الْمَلأَُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (38) قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ (39) قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ(40)
Artinya: “Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". (38) “Berkata `Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya (39)". “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia (40).”
Dari peristiwa di atas dapat ditarik pelajaran, bahwa manusia yang memiliki ilmu yang benar (berasal dari al-Kitab/Allah), lalu mengamalkan ilmunya tersebut, dia akan memiliki kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah. Sebab, ayat di atas merupakan bentuk pujian kepada orang yang berilmu, dan al-Qur’an biasanya tidak menyebutkan orang yang berilmu dalam bentuk pujian, kecuali bagi yang sempurna mengamalkan ilmunya. Ayat di atas menggambarkan betapa manusia berilmu dan kemudian mengamalkan ilmunya lebih hebat dari kemampuan yang dimiliki jin dan makhluk lainnya. Jika saja jin ‘Ifrit yang disebut sebagai “rajanya” bangsa jin dan merupakan jin terkuat, mampu mengangkat istana Balqis dalam waktu sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduknya untuk beristirahat pulang, maka orang alim yang mengamalkan ilmunya mampu mengangkat istana tersebut dalam satu kali kedipan mata, sungguh waktu yang sangat singkat.
Dengan demikian, seorang yang memiliki ilmu yang benar dan membawa kepada keimanan yang kokoh serta mengamalkan ilmu tersebut, dia akan mendapatkan kehormatan dari Allah, dan dipastikan dia tidak dapat diganggu oleh jin, iblis dan syaithan atau makhluk halus lainnya disebabkan kedudukannya yang jauh lebih tinggi dari mereka. Bahkan, dia memiliki kemampuan bisa melihat dan berinteraksi dengan alam ghaib yang tidak bisa dicapai manusia biasa. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman; “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku (orang-orang yang dekat kepada-Ku) maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, dengan sesuatu lebih aku senangi daripada melaksanakan amal yang Aku fardhukan atasnya. Dan tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amal-amal sunat, sehingga aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia menghajar, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku pasti Aku kabulkan permohonannya, apabila ia minta perlindungan kepada-Ku pasti aku melindunginya.” (H.R. Bukhari dalam kitab ar-Riqaq)
Mungkin itulah yang dikenal manusia dengan sebutan karamah, yaitu kejadian atau kemampuan luar biasa yang diberikan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang shalih dan sempurna mengamalkan ilmunya. Sehingga, dia bisa mencapai alam metafisika atau melakukan hal-hal yang di luar batas jangkauan akal manusia biasa, seperti melakukan perjalanan jauh dalam waktu singkat dan sebagainya. Atau mungkin seperti yang di alami umat Islam dalam perang Badar, ketika mereka melempar satu tombak ke arah musuh, puluhan orang kafir mati sekaligus. Sehingga, masing-masing mereka merasa bangga atas apa yang mereka lakukan, lalu Allah swt berfirman seperti yang terdapat dalam surat al-Anfal [8]: 17
…وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى…
Artinya: “…Tidaklah kamu yang melempar saat melempar tetapi Allah-lah yang melempar…”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar