Pesan Menyambut Tahun Baru
Dalam setiap bergantian tahun, hampir seluruh manusia di berbagai belahan penjuru dunia menyambutnya dengan pesta besar-besaran. Sebagain dari mereka melaksanakan berbagai acara semalam suntuk, mulai dari pawai, karnaval, meniup terompet, pesta kembang api, sampai pesta pantai dengan menyalakan api unggun sambil berjoget diiringi berbagai jenis musik dan lagu. Itulah pemandangan atau bahkan bisa disebut rutinitas yang sudah menjadi budaya bagi sebagian besar manusia dalam menyambut kemunculan tahun baru.
Bergembira menyambut munculnya tahun baru dengan mengadakan perayaan agaknya tidak salah sama sekali. Sepanjang hal itu dilakukan menurut tuntunan dan ajaran agama atau menurut petunjuk al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an al-Karim kata tahun disebutkan dengan istilah ‘âm disamping ada kata sanah yang juga memiliki kesamaan arti. Jika kita memperhatikan beberapa pembicaraan Allah swt. dalam al-Qur’an ketika menyebutkan kata tahun (‘âm), maka ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Diantaranya;
Pertama, bahwa pergantian masa; jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya dirasakan manusia berjalan dengan amat cepat. Sehingga tidak jarang di antara mereka yang lengah dan lalai dari padanya. Seringkali kita mengucapkan kalimat “tidak terasa, begitu cepat, baru kemarin” dan sebagainya, padahal masanya sudah sangat lama sekali. Kesan itulah yang didapatkan dalam surat al-Baqarah [2]: 259
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Ayat di atas menceritakan seorang hamba Tuhan (dalam suatu riwayat disebutkan seorang nabi bernama Uzair) yang Allah tidurkan selama seratus tahun. Setelah Allah membangunkannya, alangkah terkejutnya dia ketika menyaksikan tempat di sekelilingnya telah mengalami perubahan yang sangat besar. Perkampungan yang sewaktu sebelum tidurnya begitu sepi nyaris tanpa manusia, setelah dia bangun berubah menjadi pemukiman yang sangat padat dan ramai oleh penduduk. Allah kemudian bertanya kepadanya tentang berapa lama dia tidur. Dengan cepat Uzair menjawab, “satu hari atau mungkin setengah hari”. Lalu Allah memberi tahu bahwa dia telah tidur selama seratus tahun, kemudian Allah menyuruhnya untuk memperhatikan keadaan di sekelilignya agar dia menyadari perubahan yang telah terjadi.
Begitulah kiranya isyarat Tuhan tentang waktu (‘âm/tahun) yang dilalui manusia. Manusia seringkali merasakan cepatnya perputaran waktu yang mereka lalui. Sehingga mereka tidak menyadari kalau waktu itu telah berjalan sangat lama dan panjang. Tidak heran kalau ada manusia yang tercengang dengan kondisinya sendiri, di mana mereka merasa baru kemarin masih anak-anak sekarang sudah dewasa, baru kemarin masih muda sekarang sudah tua, baru kemarin masih anak-anak sekarang sudah bapak-bapak dan seterusnya. Seringkali juga kita terkejut dan heran ketika bertemu seseorang yang beberapa saat yang lalu masih sangat kecil, namun sekarang sudah berubah menjadi sangat dewasa.
Itulah agaknya dalam ayat di atas Allah mengajak manusia berfikir dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya, agar manusia menyadari perubahan waktu itu dengan maksud agar dia tidak lengah dan lalai. Dengan menyadari dan merenungkan perputaran waktu, diharapkan setiap manusia memiliki persiapan menghadapi segala kemungkinan dari perubahan tersebut. Sebab, kondisi manusia akan selalu berubah seiring perubahan waktu. Begitulah isyarat yang diperoleh dari penyebutan kata ‘âm/tahun dalam surat Yusuf [12]: 49
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
Artinya: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.”
Dalam ayat di atas kata ‘âm/tahun disebutkan Allah dalam konteks cerita nabi Yusuf ketika menjelaskan takwil mimpi raja Mesir. Di mana sang raja bermimpi bahwa dia melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, dia juga melihat tujuh bulir gandum yang subur dan tujuh bulir gandum yang kering. Yusuf as. kemudian menjelaskan bahwa akan datang tujuh tahun masa subur dengan panen dan kekayaan yang melimpah, namun kemudian diiringi tujuh tahun masa paceklik sehingga akan membuat semua wilayah kekeringan dan miskin. Yusuf as. kemudian menyarankan raja agar melakukan persiapan untuk menghadapi tujuh tahun yang sulit itu, dengan membuat gudang-gudang penyimpan makanan. Dengan persiapan itulah rakyat Mesir selamat dari bahaya kelaparan yang waktu itu melanda hampir semua negeri.
Begitulah isyarat Tuhan ketika berbicara masa (‘âm/tahun), yaitu dengan mengaitkannya dengan persiapan dan perhitungan untuk masa yang akan datang. Kondisi manusia tidaklah tetap sepanjang masa; ada masa jaya dan ada pula masa surutnya, ada masa kaya dan ada pula masa miskinnya. Oleh karena itu, setiap terjadi pergantian masa maka manusia selalu dituntut untuk berfikir, merenung kemudian berbuat sesutu serta melakukan persiapan untuk menghadapi masa depannya. Sehingga, jika kesulitan menghadangnya dia tidak gocang dan terombang ambing karena sudah memiliki persiapan sebelumnya. Termasuk juga ketika kematian datang menjemputnya, maka dengan penuh ketenangan dia akan berangkat menuju Tuhan dengan persiapan yang matang. Begitulah selanjutnya kesan yang diperoleh dalam surat al-Ankabut [29]: 14
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”
Ayat di atas menyebutkan kata ‘âm/tahun yang dikaitkan dengan kehuncuran dan kebinasaan sebagain besar umat nabi Nuh karena hadangan topan dan banjir bah serta keselamatan sebagian umatnya yang taat dan patuh kepada Allah. Keselamatan yang diperoleh oleh sebagian umat nabi Nuh dari bencana besar, karena sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kedatangan topan dan banjir itu dengan membuat sebuah kapal besar. Sementara yang tidak menyadari akan terjadinya perubahan masa dan bencana yang akan menimpa, mereka lalai dan tidak memiliki persiapan apa-apa ditambah lagi dengan kebanggaan mereka dengan kekufuran.
Oleh karena itu, ketika datangnya pergantian tahun selayaknya setiap manusia merenung dan berfikir tentang apa telah yang terjadi di sekitar mereka, sekaligus mempersiapakan diri menghadapi segala kemungkinan dari perubahn tersebut. Termasuk juga mempersiapkan diri menghadapi puncak perubahan waktu itu sendiri berupa kiamat atau kematian bagi setiap individu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar