Senin, 30 Juni 2008

Disiplin Kunci Keberhasilan

Disiplin Kunci Keberhasilan

Kata disiplin seringkali dipahami sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dan memanfaatkan waktunya seefektif dan sebaik mungkin. Sehingga, tidak satu detikpun dari waktu yang dimilikinya terbuang percuma tanpa ada hasil yang bisa diambilnya. Pemahaman terhadap kata disiplin seperti demikian tidaklah keliru, karena memang salah satu bentuk disiplin adalah memang terkait dengan pemanfaatan waktu. Begitu pentingnya penghargaan dan pemanfaatan waktu sehingga Rasulullah saw mengingatkan umatnya dalam sebuah haditsnya
اغتنم خمسا قبل خمس حياتك قبل موتك صحتك قبل سقمك فراغك قبل شغلك شبابك قبل هرمك غناك قبل فقرك
Artinya: “Pergunakanlah lima waktu sebelum datang waktu yang lima; waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu lapangmu sebelum datang waktu sempitmu, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu.” (H.R Baihaqi).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa setiap kemunculan fajar, ia selalu berseru kepada manusia, dengan ungkapan:
ما من يوم ينشق فجره إلا وينادى ياابن آدام أنا خلق جديد وعلى عملك شهيد فاغتنم مني فإني لا أعود إلى يوم القيامة
Artinya: “Tidak ada satu haripun yang ketika fajarnya datang kecuali ia berseru” wahai semua anak Adam, saya adalah ciptaan Allah yang baru dan menjadi saksi atas semua amalmu, maka pergunakanlah saya sebaik mungkin karena aku yang datang hari ini tidak akan pernah kembali lagi sampai hari kiamat.”
Oleh karena itulah, Ali bin Abi Thalib kw. mengingatkan bahwa rezeki yang tidak didapatkan hari ini mungkin bisa didapatkan besok, namun waktu yang berlalu hari ini tidak akan pernah didapati lagi sampai hari kiamat. Karena, waktu yang telah berlalau walaupun satu detik tidak mungkin lagi diputar untuk kembali (mâ fâtaka al-yauma min ar-rizq yurja ghadan ‘audatuhu, wa mâ fâtaka min al-‘umr lâ yurja raj’atuhu).
Begitu pentingnya pemanfaatan waktu sehingga dalam banyak ayat-Nya, Allah swt juga mengingatkan manusia agar menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Firman Allah swt dalam surat al-Jumu’ah [62] : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berusaha mencari kebaikan dunia sebanyak banyaknya, dan pada saat yang bersamaan juga mencari kebaikan akhirat. Karena keberuntungan dan kesuksesan manusia terletak pada pemanfaatan waktu yang diberikan kepada mereka. Tuhan menyebut mereka dengan kelompok manusia sukses, berhasil atau beruntung (muflihûn). Begitu juga Allah swt berfirman dalam surat Alam Nasyrah [94]: 7, Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Dengan demikian, tidak ada istilah waktu kosong atau waktu “nganggur” dalam kehidupan setiap manusia.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin juga menjadi bagian dari ciri manusia yang sempurna. Sebab, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berakhlak dengan akhlak dan sifat Allah swt walaupun tidak akan bisa sampai ke tingkat sempurna. Salah satu sifat Allah swt yang mesti diikuti dan diteladani manusia adalah selalu sibuk dengan urusan, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 29
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Sehingga manusia yang sibuk termasuk manusia yang meneladani sifat Allah swt dan berpeluang bukan hanya menjadi manusia yang sukses, namun juga menjadi manusia yang sempurna. Sementara manusia yang tidak mampu mempergunakan waktunya dengan baik akan menjadi manusia yang merugi. Namun, tentu kerugian itu diketahuinya setelah berlalunya waktu tersebut atau nanti di akhirat. Itulah yang dimaksud Allah swt dalam surat al-‘Ashr [103] : 1-3.
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
Artinya: “ Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati dengan kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran.”.
Dalam ayat tersebut, Allah swt sengaja memakai kata ‘Ashr untuk menyebutkan manusia merugi, dan kerugian itu sendiri sangat banyak dan bermacam-macam sesuai kondisi dan profesi manusia itu sendiri. Kesan pemahaman tersebut diperoleh dari penggunaan kata khusr (merugi) dalam bentuk nakirah (indifinit). Lalu apa hubungan al-‘ashr dengan kerugian?
Kata ‘ashr berasal dari kata ‘ashara yang berarti memeras, sehingga juice (minuman hasil perasan) disebut dengan ‘ashîr. Kemudian áshr diartikan masa sesaat sebelum mata hari terbenam, dan akhirnya dipakai untuk arti masa secara umum. Dengan demikian, Allah swt ingin mengatakan bahwa kerugian atau keberuntungan manusia baru diketahui dan disadarinya setelah mereka memeras keringat dan berusaha sekuat tenaga. Dengan kata lain, keberuntungan dan kerugian baru diketahui ketika hari sudah sore atau matahari di ambang terbenam, dengan bahasa lain sesaat sebelum kematian menjemputnya. Bukankah dalam surat al-Munafiqun [63]: 10, Allah swt menyebutkan, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?". Begitulah penyesalan yang dialami manusia saat kematian datang terhadap kelalaian mereka akan waktu dan kesempatan semasa hidup di dunia.
Adapun manusia yang tidak merugi adalah orang yang mengisi waktunya sebaik mungkin dengan ilmu, iman, dan amal shalih. Sepanjang waktu mereka selalu mengisinya dengan aktifitas yang berguna dan bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Itulah yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya
خياركم أطولكم اعمارا وأحسنكم اعمالا
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling panjang umurnya, namun paling baik amalnya”. (H.R. Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal [2]: 235)

Tidak ada komentar: