Malaikat-Malaikat Pencabut Nyawa
Dalam surat asy- Syams [91]: 7, Allah berfirman
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
Artinya: “Demi jiwa dan proses penyempurnaanya.”
Dengan demikian, setiap jiwa selalu mengalami proses penyempurnaan termasuk manusia. Salah satu bentuk proses penyempurnaan itu, dilakukan Allah dengan memindahkan jiwa tersebut dari satu alam ke alam lain. Dulu, manusia berada di suatu alam yang disebut alam arwah, lalu Allah swt menyempurnakan jiwa manusia tersebut dengan memindahkannya ke alam rahim. Di alam rahim manusia juga belum sempurna, kemudian Allah swt pindahkan ke alam dunia. Di dunia manusia masih belum sempurna, Allah swt pindahkan ke alam akhirat melalui proses kematian.
Oleh karena itu, kematian adalah konsekwensi dari kehidupan untuk menuju kesempurnaan. Proses kematian itu sendiri tidaklah berlangsung tanpa peran dan bantuan pihak lain. Dalam setiap proses kematian ada makhluk-makhluk Allah swt yang secara khusus ditugaskan untuk itu, yaitu para malaikat pencabut nyawa. Malaikat itulah yang diceritakan Allah swt dalam surat an-Nazi’at [79] : 1-4
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا(1)وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا(2)وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا(3)فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا(4)
Artinya: “Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras (1), dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut (2), dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat (3), dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang (4).”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan empat kondisi malaikat pencabut nyawa manusia. Pertama, disebut dengan an-Nâzi’at yang berarti malaikat-malaikat pencabut dengan keras. Jika kita menyebut kata mencabut, tentu yang dipahami adalah sesuatu itu sangat keras, sehingga perlu usaha yang kuat untuk mengeluarkan dari tempatnya, salah satunya dengan mencabut. Dengan demikian, ada di antara jiwa manusia (dalam istilah lain disebut dengan Roh dan juga nyawa) yang tidak mau meninggalkan jasadnya dan bersikukuh untuk tetap berada di sana, sehingga malaikat perlu berbuat keras dengan melakukan proses pencabutan. Keengganan jiwa meninggalkan jasad bisa disebabkan karena terlalu mencintai dunia, sehingga ia takut dan tidak mau berpisah dengannya seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 96
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Ada juga sebagian manusia yang takut dengan kematian disebabkan kondisi mereka yang bergelimang dosa. Sehingga mereka berupaya untuk menjauh dari kematian, namun usaha mereka tetap akan sia-sia. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Jumu’ah [62]: 7
وَلَا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
Artinya: “Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim.”
Keengganan lain disebabkan ketidaksiapannya mengahadapi proses kamatian itu sendiri. Seperti yang diingatkan Allah swt dalam surat al-Munafiqun [63]: 10
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?.”
Manusia yang tidak siap menghadapi kematian, akan meminta kepada Allah swt agar ditangguhkan waktunya. Namun, permintaan itu hanyalah kesia-siaan belaka, karena malaikat harus melakukan pencabutan terhadap nyawanya.
Kedua, disebut an-Nâsyithât yang diartikan sebagai malaikat pencabut nyawa dengan lemah lembut. Mengartikan an-Nâsyithât dengan mencabut dengan lemah lembut, agaknya kurang tepat. Sebab, jika dilihat asal katanya an-Nâsyithât berasal dari kata nasyatha yang berarti rajin, aktif, kreatif dan sebagainya. Dengan demikian, kata an-nâsyithât lebih menunjukan kepada arti kondisi lain dari kelompok orang beriman yang beramal shalih, dimana ketika proses kematiannya berlangsung malaikat tidak mengalami kesusahan mengambil nyawanya. Nyawanyanya keluar dengan sendirinya berpisah dengan jasadnya tanpa harus dipaksa atau dikerasi. Bukankah orang yang rajin adalah orang yang tanpa diperintah dia akan melakukan suatu pekerjaan?.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ketika telah datang ajal seseorang, maka datang malaikat- malaikat pencabut nyawa kepadanya sambil berkata, “Aku telah pergi ke semua belahan bumi; timur dan barat dan tidak ada lagi rezeki, air, dan udara untukmu, maka sekarang aku datang ingin mengambil nyawamu”. Manusia tersebut menjawab “ Kalau itu keinginanmu, maka aku tidak bisa mengabulkannya, sebab dulu ketika Tuhan saya memasukan nyawa ke dalam jasad saya, engkau di mana? Kenapa ketika mencabutnya engkau yang datang?”. Maka malaikat datang mengadu kepada Tuhan bahwa di sana terdapat hamba-Nya yang menolak nyawanya diambil. Allah swt kemudian memerintahkan malaikat untuk menuliskan nama-Nya di telapak tangannya, kemudian memperlihatkan tulisan itu kepada hamba-Nya. Ketika nama Allah swt diperlihatkan kepada hamba tersebut, maka keluarlah nyawanya dengan sendirinya dengan penuh ketenangan dan kebahagian. Itulah yang disebut an-Nâsyithât (yang rajin).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ketika ajal seseorang sudah tiba, maka malaikat datang kepadanya dari bagian mata untuk mengambil nyawanya. Matanya menjawab “Tidak ada tempat untuk engkau di sini, karena mata ini dulu selalu menangis ketika menyebut nama Tuhan dan ia selalu aku pakai untuk memandang yang baik-baik”. Malaikat kemudian datang kepada Tuhan dan mengadukan apa yang di hadapinya. Allah swt memerintahkan untuk mencari tempat lain. Kemudian, malaikat datang lagi melalui mulut, dan mulutnya pun menjawab “Tidak ada tempat bagi engkau di sini, karena mulut dan lidah ini selalu aku pakai untuk menyebut nama Tuhan dan membaca al-Qur’an”. Malaikat kembali lagi mengadu kepada Tuhan, dan Tuhan memerintahkan lagi mencari tempat lain. Malaikat kemudian datang kepada manusia itu lewat tangan. Namun, tangannya juga memberikan jawaban yang sama, begitulah seterusnya. Akhirnya Allah swt memerintahkan malaikat untuk membawa satu jenis buahan sorga dan memperlihatkan kepadanya. Ketika hamba Tuhan tadi melihat buah sorga itu, maka nyawanya keluar berpisah dengan jasadnya tanpa harus dicabut, (baca: Ahmad al-Qadhi: Daqa’iq al-akhbar: 8-9) .
Ketiga, disebut as-Sâbihât yang berarti malaikat-malaikat yang turun dari langit dengan cepat. Jika dilihat dari makna harfiyahnya, kata as-Sâbihât berasal dari kata sabaha yang berarti menjauh. Berenang dalam bahasa Arab disebut sabaha karena orang yang berenang pasti menjauh dari tempat semula. Dari akar kata yang sama muncul kata tasbîh yang berarti mensucikan Allah swt, dalam pengertian menjauhkan Allah swt dari segala kekurangan dan sifat yang tidak layak untuk-Nya.
Dengan demikian, kata as-Sâbihât berarti bahwa dalam proses kamatian, malaikat berada dalam kondisi saling berjauhan dan saling menolak untuk mengambil dan membawa jiwa manusia tersebut ke alam barzakh. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa jiwa manusia yang ingkar dan kafir kepada Tuhan, berbau sangat busuk sehingga mengganggu dan mengusik semua penduduk langit. Bau busuk inilah yang membuat para malaikat yang bertugas membawa roh itu ke alam barzakh, saling berlomba untuk menolak, menghindar atau menjauh. Kalaupun mereka harus membawanya maka roh/jiwa/nyawa tersebut dibawa dengan kondisi penuh kejijikan. Itulah yang dimaksudkan dengan as-Sâbihât dalam ayat ini.
Keempat, disebut dengan istilah as-Sâbiqât yang berarti malaikat-malaikat yang mendahului dengan kencang. Kata as-Sâbiqât berasal dari kata sabaqa yang berarti berlomba untuk mencapai sesuatu. Kata ini populer untuk menyebutkan perlombaan dalam bentuk positif atau kebaikan, sehingga kata musâbaqah selalu dipakai untuk maksud yang baik. Dengan demikian, kata as-Sâbiqât menunjukan makna kelompok malaikat yang berlomba dan saling berebut untuk mengambil jiwa seorang manusia dan saling berlomba untuk membawanya ke alam barzakh. Dalam riwayat juga disebutkan bahwa roh atau jiwa orang shalih beraroma sangat harum, sehingga semua penduduk langit menyambutnya dengan ucapan salam dan penghormatan yang besar. Para malaikatpun saling berlomba untuk mendapatkan kehormatan tersebut.
Begitulah kondisi kematian yang dialami setiap manusia. Ada yang dicabut dengan keras, ada yang keluar dengan sendirinya, ada yang ditolak malaikat, dan ada yang diperebutkan oleh malaikat. Tentu kondisi itu sesuai amal yang dikerjakan manusia semasa hidupnya di dunia. Jika baik maka yang ditemuinya adalah an-Nâsyithât dan as-Sâbiqât. Namun, jika buruk maka yang dijumpainya adalah an-Nâzi’ât dan as-Sâbihât.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar