Burung Merpati Dan Seekor Semut
Dikisahkan, bahwa pada suatu ketika seekor semut pergi ke sebuah selokan untuk meminum air, karena merasa haus setelah seharian bekerja mengumpulkan makanan. Begitu sampai di selokan, ia pun turun menuju air yang ada di sana, namun kakinya terpeleset dan iapun jatuh lalu tercebur ke dalamnya. Semut itu berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri, akan tetapi ia tidak mampu berenang. Iapun nyaris tenggelam.
Di tempat itu, ada seekor merpati yang sedang bertengger di atas sebuah batu selokan tersebut. Merpati melihat semut yang nyaris tenggelam itu marasa kasihan terhadapnya. Iapun terbang mencari sehelai daun untuk menyelamatkan semut tersebut. Setelah mendapatkan sehelai daun, merpati terbang dengan membawa daun di paruhnya. Sesampainya di dekat semut itu, ia menjulurkan daun itu ke dalam air, sehingga semut itu naik ke daratan dengan selamat.
Beberapa hari kemudian, merpati itu hinggap dan bertengger di sebuah pohon untuk beristirahat dan melepaskan rasa lelah setelah seharian terbang mencari makanan. Namun, seorang pemburu lewat di tempat itu dan melihat merpati sedang asyik menikmati istirahatnya. Pemburu itu mencari tempat bersembunyi dan mengarahkan senjatanya kepada merpati yang sedang bertengger di atas pohon itu. Karena lelah, merpati itu tidak menyadari kalau nyawanya sedang dalam bahaya, sehingga iapun tidak berusaha terbang untuk menyelamatkan diri.
Untunglah ketika itu semut yang diselamatkan merpati tersebut berada di tempat itu. Ia perlahan-lahan mendekati pemburu yang sedang mengintai merpati tersebut. Ia memanjat tubuh pemburu itu dan begitu sampai di salah satu bagian tubuhnya, semut itu menggigit pemburu dengan kerasnya, sehingga dia terkejut dan pelurunya meleset dari sasaran. Merpatipun selamat dari maut, karena bantuan semut yang pernah ditolongnya itu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa jika seseorang berbuat baik kepada siapapun, maka kebaikan itu akan kembali kepadanya. Akan tetapi, jika seseorang berbuat kejahatan, maka kejahatan itupun akan kembali kepadanya. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya surat al-Isra’ [17]: 7.
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا….
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri…”
Begitu juga, hendaklah seseorang membalasi kebaikan yang pernah dilakukan orang lain terhadapnya dengan kebaikan serupa atau bahkan lebih baik dari yang diberikan orang lain. Janganlah kebaikan dibalasi dengan kejahatan, Karena amat buruklah perbuatan seperti itu di sisi Allah. Dalam surat ar-Rahman [55]: 60 Allah swt berfirman
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Selasa, 08 September 2009
Bayi dan Ibunya
Bayi dan Ibunya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. menuturkan; terdapat seorang perempuan dari kalangan bani Israel sedang menyusui bayinya. Ketika itu, lewatlah di hadapannya seorang laki-laki yang sangat gagah, dengan pakaian yang sangat bagus dan mewah sambil menunggangi kuda yang besar dan kuat. Ketika dia melewati manusia, orang-orang tunduk dan memberi hormat kepadanya. Sang ibupun berkata sambil berdo’a kepada Allah, “Ya Allah! Jadikanlah puteraku ini seperti orang itu nantinya”. Tiba-tiba bayi tersebut berhenti dari menyusu dan melihat ke arah laki-laki itu. Bayi itu kemudian berbicara, “Ya Allah! Janganlah engkau jadikan saya seperti laki-laki itu”. Setelah itu, dia kembali menyusu kepada ibunya.
Tidak lama kemudian, lewat pula seorang perempuan yang sedang diarak oleh sekelompok bani Israel. Mereka berteriak, “engkau pezina, engkau pencuri, engkau berhak dirajam dan di bunuh”. Melihat keadaan perempuan itu, ibunya berkata, “Ya Allah! Janganlah engkau jadikan anakku ini seperti nasib perempuan itu nanti”. Bayi itupun tiba-tiba berhenti menyusu dan melihat ke arah perempuan itu. Dia berkata, “Ya Allah! Jadikanlah saya seperti perempuan itu nanti”.
Mendapati anaknya yang berbicara seperti itu, sang ibupun bertanya, “Kenapa ketika saya meminta agar Allah menjadikan engkau seperti laki-laki yang gagah tadi, engkau malah meminta agar tidak dijadikan seperti dia. Dan ketika saya meminta agar Allah tidak menjadikan engkau seperti nasib perempuan tadi, engkau malah meminta sepertinya?”.
Sang bayi menjelaskan kepada ibunya, bahwa laki-laki yang gagah dan berpenampilan hebat dan mewah tadi adalah seorang penguasa yang sangat zalim dan kejam, sekalipun kelihatnnya dia sebagai orang baik dan dihormati. Oleh karena itulah, saya memohon agar Allah tidak menjadikan saya seperti dia. Sedangkan perempuan yang dikejar dan diarak orang-orang tadi adalah wanita shalihah dan baik-baik. Namun, mereka tidak menyukainya sehingga melemparkan tuduhan dan fitnah terhadapnya. Oleh karena itulah, saya memohon agar Allah menjadikanku sepertinya.
Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa janganlah seseorang tertipu dan terpedaya oleh penampilan luar orang lain. Seorang yang dari luar terlihat hebat, dihormati, disanjung dan sebagainya, belumlah tentu dihadapan Allah seperti itu. Begitulah yang diperingatkan Allah adalam surat Al-Munafiqun [63]: 4, Allah swt berfirman
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Dalam ayat di atas Allah swt mengatakan, bahwa ada di antara manusia yang begitu mengagumkan, dan sepertinya di mata manusia lain dialah orang yang paling sempurna. Bila dia tampil dihadapan manusia, maka penampilannya begitu memukau, baik karena wajah yang gagah, ataupun karena penampilan fisiknya yang tanpa cacat. Semua orang ketika melihatnya, akan berharap sekiranya kesempurnaan itu mereka miliki pula. Begitu juga, ketika dia berbicara maka untaian katanya, argumentasinya, dan gaya bicaranya begitu menakjubkan dan menyihir orang lain. Orang-orang menjadi terpaku ketika dia berbicara, baik kerena keluasan ilmunya maupun karena gaya bicaranya. Namun demikian, kata Allah orang itu tidak lebih baik dari kayu yang disandarkan atau benda mati lainnya.
Oleh karena itu, kemulian dan kehormatan seseorang tidaklah dinilai dari kehebatan luarnya, kemewahan pakaian dan kendaraannya atau kefasihan lidahnya. Akan tetapi, kemulian dan kehormatan dinilai dari ketaqwaan dan kesalehan seseorang. Begitulah yang ditegaskan Alah dalam surat al-Hujurat [49]: 13
…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. menuturkan; terdapat seorang perempuan dari kalangan bani Israel sedang menyusui bayinya. Ketika itu, lewatlah di hadapannya seorang laki-laki yang sangat gagah, dengan pakaian yang sangat bagus dan mewah sambil menunggangi kuda yang besar dan kuat. Ketika dia melewati manusia, orang-orang tunduk dan memberi hormat kepadanya. Sang ibupun berkata sambil berdo’a kepada Allah, “Ya Allah! Jadikanlah puteraku ini seperti orang itu nantinya”. Tiba-tiba bayi tersebut berhenti dari menyusu dan melihat ke arah laki-laki itu. Bayi itu kemudian berbicara, “Ya Allah! Janganlah engkau jadikan saya seperti laki-laki itu”. Setelah itu, dia kembali menyusu kepada ibunya.
Tidak lama kemudian, lewat pula seorang perempuan yang sedang diarak oleh sekelompok bani Israel. Mereka berteriak, “engkau pezina, engkau pencuri, engkau berhak dirajam dan di bunuh”. Melihat keadaan perempuan itu, ibunya berkata, “Ya Allah! Janganlah engkau jadikan anakku ini seperti nasib perempuan itu nanti”. Bayi itupun tiba-tiba berhenti menyusu dan melihat ke arah perempuan itu. Dia berkata, “Ya Allah! Jadikanlah saya seperti perempuan itu nanti”.
Mendapati anaknya yang berbicara seperti itu, sang ibupun bertanya, “Kenapa ketika saya meminta agar Allah menjadikan engkau seperti laki-laki yang gagah tadi, engkau malah meminta agar tidak dijadikan seperti dia. Dan ketika saya meminta agar Allah tidak menjadikan engkau seperti nasib perempuan tadi, engkau malah meminta sepertinya?”.
Sang bayi menjelaskan kepada ibunya, bahwa laki-laki yang gagah dan berpenampilan hebat dan mewah tadi adalah seorang penguasa yang sangat zalim dan kejam, sekalipun kelihatnnya dia sebagai orang baik dan dihormati. Oleh karena itulah, saya memohon agar Allah tidak menjadikan saya seperti dia. Sedangkan perempuan yang dikejar dan diarak orang-orang tadi adalah wanita shalihah dan baik-baik. Namun, mereka tidak menyukainya sehingga melemparkan tuduhan dan fitnah terhadapnya. Oleh karena itulah, saya memohon agar Allah menjadikanku sepertinya.
Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa janganlah seseorang tertipu dan terpedaya oleh penampilan luar orang lain. Seorang yang dari luar terlihat hebat, dihormati, disanjung dan sebagainya, belumlah tentu dihadapan Allah seperti itu. Begitulah yang diperingatkan Allah adalam surat Al-Munafiqun [63]: 4, Allah swt berfirman
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Dalam ayat di atas Allah swt mengatakan, bahwa ada di antara manusia yang begitu mengagumkan, dan sepertinya di mata manusia lain dialah orang yang paling sempurna. Bila dia tampil dihadapan manusia, maka penampilannya begitu memukau, baik karena wajah yang gagah, ataupun karena penampilan fisiknya yang tanpa cacat. Semua orang ketika melihatnya, akan berharap sekiranya kesempurnaan itu mereka miliki pula. Begitu juga, ketika dia berbicara maka untaian katanya, argumentasinya, dan gaya bicaranya begitu menakjubkan dan menyihir orang lain. Orang-orang menjadi terpaku ketika dia berbicara, baik kerena keluasan ilmunya maupun karena gaya bicaranya. Namun demikian, kata Allah orang itu tidak lebih baik dari kayu yang disandarkan atau benda mati lainnya.
Oleh karena itu, kemulian dan kehormatan seseorang tidaklah dinilai dari kehebatan luarnya, kemewahan pakaian dan kendaraannya atau kefasihan lidahnya. Akan tetapi, kemulian dan kehormatan dinilai dari ketaqwaan dan kesalehan seseorang. Begitulah yang ditegaskan Alah dalam surat al-Hujurat [49]: 13
…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Abid Dan Seekor Ular
Abid Dan Seekor Ular
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah seorang abid yang sangat terkenal kesalehan dan ketaatannya kepada Allah. Tidak ada kejahatan dan dosa, sekecil apapun yang berani dia lakukan terhadap Allah. Pada suatu hari, pergilah sang abid ke suatu tempat melewati sebuah daerah perbukitan. Ketika berada di daerah tersebut, dia menjumpai seekor ular yang berusaha lari sekuat tenaganya untuk bersembunyi. Dia melihat ular itu diliputi rasa takut yang luar biasa.
Ular itupun mendekat kepada sang abid dan meminta pertolongan. Ular itu berkata, “Wahai manusia, tolong selamatkan aku dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku. Di belakangku ada beberapa orang laki-laki yang berusaha mengejar dan membunuhku. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk lari dan bersembunyi, namun aku yakin mereka pasti menemukanku juga”. Sang abid pun merasa kasihan, namun dia juga tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Dia berkata kepada ular itu, “Bagaimana caranya saya bisa membantu engkau?”. Ular itu menjawab, “Tolong engkau sembunyikan aku di dalam perutmu, aku akan masuk melalui mulutmu. Nanti jika orang-orang yang mengejarku datang dan bertanya kepadamu, katakan bahwa engkau tidak melihat seekor ularpun selama di sini.” Oleh karena kasihan terhadap keselamatan ular itu, sang abidpun membuka mulutnya dan masuklah ular itu melalui mulut sang abid untuk kemudian menuju perutnya.
Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok laki-laki dengan nafas yang sesak dan membawa senjata di tangan mereka. Mereka bertanya kepada sang abid apakah dia melihat seekor ular melewati daerah ini. Sang abid menjawab dengan penuh berat hati, “Selama saya di sini, tidak ada seekor ularpun yang saya lihat”. Mendengar jawaban sang abid, merekapun percaya dan segera berlalu dari hadapannya.
Setelah beberapa lama dan keadaan sudah dipastikan aman, sang abid berkata kepada ular yang sudah berada di dalam perutnya, “Sekarang sudah aman, keluarlah engkau dari dalam perutku!”. Akan tetapi, ular tersebut berkata, “Wahai manusia, jika saja bukan karena nenek moyangmu Adam dan Hawa, tentulah saya dan nenek moyang saya tidak akan pernah terusir dari sorga. Sehingga, akibat nenek moyangmu berbuat dosa, kami menanggung kesusahan karenanya. Sekarang aku memberimu pilihan, apakah hatimu atau jantungmu yang akan saya patuk”. Alangkah kagetnya sang abid mendengar jawaban ular itu.
Sang abid kemudian menjawab, “Jika begitu keinginanmu, berilah saya waktu untuk berfikir selama satu hari. Setelah itu engkau boleh mematuk apa saja yang engkau inginkan dari bagian tubuhku”. Maka berangkatlah sang abid menuju sebuah batang pohon untuk berlindung dan kemudian dia mencari air untuk berwudhu’. Setelah berwudhu’ dia shalat sunat dan memohon ampun atas dosanya kepada Allah. Sang abid menyesali perbuatan dustanya, demi menyelamatkan ular yang ada di dalam perutnya. Allah kemudian memberi ampun kepada sang abid, lalu mengutus malaikat untuk datang menemui sang abid dan memberikan sehelai daun dari sorga untuk dimakannya. Setelah memakan daun itu, ular yang berada di dalam tubuhnya hancur dan keluar bersama kotorannya.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran; Pertama, Janganlah pernah seseorang melakukan kebohongan sekecil apapun itu. Sebab, kebohongan tetaplah sebagai suatu dosa, sekecil apapun dan atas alasan apapun. Kalaupun terpaksa berbohong dalam kedaan yang sangat darurat dan memaksa, maka segeralah minta ampun kepada Allah setelah itu. Dalam surat an-Nisa’ [4]: 50 Allah swt. berfirman
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا
Artinya: “Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).”
Kedua, janganlah seseorang memiliki sikap dendam dalam hatinya. Sebab, sikap dendam adalah salah satu bentuk penyakit rohani yang bukan hanya membuat seseorang menjadi tersiksa dan mengalami kebinasaan, namun juga membuat manusia jauh dari kebaikan dan dekat dengan dosa. Orang yang suka mendendam akan jauh dari manusia dan dari Allah serta dekat dengan syaithan. Hendaklah seseorang menjadi pemaaf atau bahkan menjadi orang yang berlaku ihsan (Membalas kejahatan dengan kebaikan). Bukankah Allah menjadikan orang yang muhsin sebagai penghuni sorga dan sekaligus kekasih-Nya? Begitulah janji Allah dalam surat Al-Imran [3]: 134
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ketiga, hendaklah seseorang merasa malu kepada Allah atas dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya, sekecil apapun bentuknya. Sikap malu terhadap kesalahan ini, akan membuat manusia selalu ingat kepada Allah dan meminta ampun atas dosanya itu. Manusia memang tidak akan ada yang bisa luput dari dosa dan kesalahan, namun sebaik-baik yang berdosa adalah yang mau bertobat. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 135
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Keempat, hendaklah setiap manusia memiliki sikap waspada dan hati-hati dalam berbuat dan mempercayai orang lain, apalagi terhadap orang yang sudah jelas akan mendatangkan bahaya kepada kita. Orang yang sudah jelas memusuhi kita, mestilah selalu diwaspadai sekalipun dalam penampilan luarnya kelihatan baik, sebab mungkin saja di dalam hatinya tersimpan kejahatan dan “penyakit” yang sewaktu-waktu bisa membahayakan kita. Begitulah yang dipesankan Alah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 200
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
Kelima, bagi yang mau bertobat dari kesalahannya dan kembali kepada Allah, maka Allah pasti akan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya itu. Bukankah sebagian para nabi Allah juga pernah berbuat salah, namun ketika mereka bertaubat, Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 37
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Keenam, janganlah pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan orang lain, sekecil apapun. Sebab, mengkhianati amanah bukan hanya sesuatu yang dibenci oleh Allah, namun juga menjadikan orang lain terasing dari pergaulan hidup di dunia. Jika sekali saja seorang berbuat khianat, maka selamanya orang lain tidak akan mempercayainya lagi. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Begitu juga dalam surat al-Anfal [8]: 27
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah seorang abid yang sangat terkenal kesalehan dan ketaatannya kepada Allah. Tidak ada kejahatan dan dosa, sekecil apapun yang berani dia lakukan terhadap Allah. Pada suatu hari, pergilah sang abid ke suatu tempat melewati sebuah daerah perbukitan. Ketika berada di daerah tersebut, dia menjumpai seekor ular yang berusaha lari sekuat tenaganya untuk bersembunyi. Dia melihat ular itu diliputi rasa takut yang luar biasa.
Ular itupun mendekat kepada sang abid dan meminta pertolongan. Ular itu berkata, “Wahai manusia, tolong selamatkan aku dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku. Di belakangku ada beberapa orang laki-laki yang berusaha mengejar dan membunuhku. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk lari dan bersembunyi, namun aku yakin mereka pasti menemukanku juga”. Sang abid pun merasa kasihan, namun dia juga tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Dia berkata kepada ular itu, “Bagaimana caranya saya bisa membantu engkau?”. Ular itu menjawab, “Tolong engkau sembunyikan aku di dalam perutmu, aku akan masuk melalui mulutmu. Nanti jika orang-orang yang mengejarku datang dan bertanya kepadamu, katakan bahwa engkau tidak melihat seekor ularpun selama di sini.” Oleh karena kasihan terhadap keselamatan ular itu, sang abidpun membuka mulutnya dan masuklah ular itu melalui mulut sang abid untuk kemudian menuju perutnya.
Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok laki-laki dengan nafas yang sesak dan membawa senjata di tangan mereka. Mereka bertanya kepada sang abid apakah dia melihat seekor ular melewati daerah ini. Sang abid menjawab dengan penuh berat hati, “Selama saya di sini, tidak ada seekor ularpun yang saya lihat”. Mendengar jawaban sang abid, merekapun percaya dan segera berlalu dari hadapannya.
Setelah beberapa lama dan keadaan sudah dipastikan aman, sang abid berkata kepada ular yang sudah berada di dalam perutnya, “Sekarang sudah aman, keluarlah engkau dari dalam perutku!”. Akan tetapi, ular tersebut berkata, “Wahai manusia, jika saja bukan karena nenek moyangmu Adam dan Hawa, tentulah saya dan nenek moyang saya tidak akan pernah terusir dari sorga. Sehingga, akibat nenek moyangmu berbuat dosa, kami menanggung kesusahan karenanya. Sekarang aku memberimu pilihan, apakah hatimu atau jantungmu yang akan saya patuk”. Alangkah kagetnya sang abid mendengar jawaban ular itu.
Sang abid kemudian menjawab, “Jika begitu keinginanmu, berilah saya waktu untuk berfikir selama satu hari. Setelah itu engkau boleh mematuk apa saja yang engkau inginkan dari bagian tubuhku”. Maka berangkatlah sang abid menuju sebuah batang pohon untuk berlindung dan kemudian dia mencari air untuk berwudhu’. Setelah berwudhu’ dia shalat sunat dan memohon ampun atas dosanya kepada Allah. Sang abid menyesali perbuatan dustanya, demi menyelamatkan ular yang ada di dalam perutnya. Allah kemudian memberi ampun kepada sang abid, lalu mengutus malaikat untuk datang menemui sang abid dan memberikan sehelai daun dari sorga untuk dimakannya. Setelah memakan daun itu, ular yang berada di dalam tubuhnya hancur dan keluar bersama kotorannya.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran; Pertama, Janganlah pernah seseorang melakukan kebohongan sekecil apapun itu. Sebab, kebohongan tetaplah sebagai suatu dosa, sekecil apapun dan atas alasan apapun. Kalaupun terpaksa berbohong dalam kedaan yang sangat darurat dan memaksa, maka segeralah minta ampun kepada Allah setelah itu. Dalam surat an-Nisa’ [4]: 50 Allah swt. berfirman
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا
Artinya: “Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).”
Kedua, janganlah seseorang memiliki sikap dendam dalam hatinya. Sebab, sikap dendam adalah salah satu bentuk penyakit rohani yang bukan hanya membuat seseorang menjadi tersiksa dan mengalami kebinasaan, namun juga membuat manusia jauh dari kebaikan dan dekat dengan dosa. Orang yang suka mendendam akan jauh dari manusia dan dari Allah serta dekat dengan syaithan. Hendaklah seseorang menjadi pemaaf atau bahkan menjadi orang yang berlaku ihsan (Membalas kejahatan dengan kebaikan). Bukankah Allah menjadikan orang yang muhsin sebagai penghuni sorga dan sekaligus kekasih-Nya? Begitulah janji Allah dalam surat Al-Imran [3]: 134
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ketiga, hendaklah seseorang merasa malu kepada Allah atas dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya, sekecil apapun bentuknya. Sikap malu terhadap kesalahan ini, akan membuat manusia selalu ingat kepada Allah dan meminta ampun atas dosanya itu. Manusia memang tidak akan ada yang bisa luput dari dosa dan kesalahan, namun sebaik-baik yang berdosa adalah yang mau bertobat. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 135
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Keempat, hendaklah setiap manusia memiliki sikap waspada dan hati-hati dalam berbuat dan mempercayai orang lain, apalagi terhadap orang yang sudah jelas akan mendatangkan bahaya kepada kita. Orang yang sudah jelas memusuhi kita, mestilah selalu diwaspadai sekalipun dalam penampilan luarnya kelihatan baik, sebab mungkin saja di dalam hatinya tersimpan kejahatan dan “penyakit” yang sewaktu-waktu bisa membahayakan kita. Begitulah yang dipesankan Alah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 200
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
Kelima, bagi yang mau bertobat dari kesalahannya dan kembali kepada Allah, maka Allah pasti akan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya itu. Bukankah sebagian para nabi Allah juga pernah berbuat salah, namun ketika mereka bertaubat, Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 37
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Keenam, janganlah pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan orang lain, sekecil apapun. Sebab, mengkhianati amanah bukan hanya sesuatu yang dibenci oleh Allah, namun juga menjadikan orang lain terasing dari pergaulan hidup di dunia. Jika sekali saja seorang berbuat khianat, maka selamanya orang lain tidak akan mempercayainya lagi. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Begitu juga dalam surat al-Anfal [8]: 27
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Ibn Thulun Mendidik Puteranya
Ibn Thulun Mendidik Puteranya
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Ibn Thulun seorang penguasa dinasti Thuluniyah (sebuah dinasti Islam di Mesir yang berdiri pada tahun 837-903M) memiliki seorang anak laki-laki yang sangat pemalas. Setiap hari kerjanya hanyalah bermain, tidur, dan makan berbagai jinis makanan. Hobinya yang selalu mengisi perutnya dengan penuh turut mendorongnya menjadi pemalas. Ibn Thulun menjadi resah melihat sikap anaknya yang merupakan putera tunggal pewaris tahta kerajaan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anaknya nanti terhadap kerajaan dan rakyatnya, jika dia berkuasa dengan kebodohan dan sikapnya yang tidak terpuji tersebut.
Maka berniatlah Ibn Thulun memanggil seorang ulama terkenal untuk datang ke istana dan menjadi guru bagi anaknya. Dia kemudian memberitahukan anaknya bahwa setiap hari sehabis maghrib dia harus belajar di istana. Pada hari yang ditentukan datanglah ulama tersebut ke istana Ibn Thulun. Sesampainya sang guru di istana Ibn Thulun memerintahkan salah seorang pegawainya untuk menjemput anaknya yang sedang berada di rumah. Dia berbepesan kepada pegawainya, jika nanti anaknya meminta izin makan terlebih dahulu jangan diberi izin. Hendaklah anak itu dibawa dalam keadaan belum makan.
Sesuai perintah Ibn Thulun, berangkatlah pegawai tersebut menjemput anaknya yang berada di rumah. Sesampainya di rumah pegawai tersebut menyampaikan perintah Ibn Thulun kepada anaknya agar sesegera mungkin ke istana. Seperti yang diperkirakan Ibn Thulun, anaknya itu meminta izin makan terlebih dahulu. Namun, pegawai itu menolak dan mengatakan bahwa makannya di istana saja nanti. Maka berangkatlah anaknya itu bersama pegawai istana menuju Ibn Thulun yang sudah menunggu mereka.
Selesai shalat maghrib, sang guru mulai membuka pelajaran untuk putera ibn Thulun. Beberapa waktu kemudian, anaknya merasakan lapar sudah mengerogoti perutnya, dia mulai gelisah karena belum ada tanda-tanda akan berakhir pelajaran dan datangnya makan malam. Ibn Thulun terus memperhatikan kedaan anaknya yang sudah gelisah, karena tidak sanggup menahan rasa lapar. Ibn Thulun memberikan isyarat kepada sang guru agar pelajaran terus dilanjutkan tanpa menghiraukan kondisi puteranya.
Putera Ibn Thulun sudah benar-benar tidak kuasa lagi menahan lapar, dan Ibn Thulun menyadari akan hal itu. Maka, dia memberikan isyarat kepada seorang pegawainya untuk mendatangkan makanan berupa satu panci nasi putih dengan di beri kol yang sudah direbus di atasnya. Melihat nasi yang berada di dalam panci dan kol yang direbus, putera Ibn Thulun langsung menghentikan pelajarannya dan makan sepuasnya. Tidak beberapa lama, nasi yang ada di dalam panci itupun habis dan dia pun terduduk lemas kekenyangan.
Kurang “lebih lima” menit setelah anaknya selesai makan, datanglah para pelayan istana membawa beberapa jenis makanan yang sangat enak dan lezatnya. Bahkan, sebagian makanan itu belum pernah dirasakan oleh putera Ibn Thulun sebelumnya. Ibn Thulun bersama sang guru pun menyantap makanan yang begitu lezat tersebut dengan nikmatnya. Sementara putera Ibn Thulun hanya bisa melihat dan menyaksikan ayah dan gurunya dengan penuh penyesalan. Sebab, dia tidak bisa makan lagi karena perutnya sudah terisi penuh, sehingga tidak ada celah lagi yang bisa diisi.
Setelah selesai makan, Ibn Thulun berkata kepada anaknya, “Anakku, hal inilah sebenarnya yang ingin ajarkan kepada engkau. Janganlah engkau mengutamakan dan menyibukan diri dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Seluruh makanan ini, saya sediakan untukmu jika saja engkau bisa sabar dan menahan diri agak “lima menit” saja. Akan tetapi, engkau tidak bisa menahan diri melihat nasi putih dan kol yang direbus tadi. Sebenarnya engkau berhak memperoleh dan mendapatkan yang lebih hebat dari apa yang telah engkau makan tadi, jika engaku mau berjuang menahan keinginanmu yang rendah”.
Ibn Thulun kemudian melanjutkan perkataannya, “Anakku, saya tidak melarang engkau bermain, tidur, makan dan sebagainya. Namun, janganlah hal-hal yang rendah itu engkau jadikan tujuan hidupmu. Engkau harus belajar dan menambah pengalaman, karena itu jauh lebih berarti untuk masa depan dan kebahagianmu”. Putera Ibn Thulun menyadari kesalahannya dan muali saat itu, dia menjadi anak yang rajin dan giat belajar dan bekerja.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, yaitu janganlah manusia mengutamakan dan puas dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Hendaklah setiap orang memiliki target yang besar dalam hidupnya. Jika manusia memilki target dan tujuan yang rendah dalam hidupnya, maka kecenderungan manusia tersebut akan menjadi pemalas dan puas dengan sesuatu yang kecil.
Kita bisa lihat fenomena sebagian masyarakat bangsa ini yang sebagian besarnya adalah miskin dan cenderung pemalas. Sebabnya adalah karena sudah tertanam target hidup yang rendah dalam masyarakat Indonesia, yaitu “cukuplah kita mendapatkan makan tiga kali sehari”. Tentu saja akan berbeda dengan orang-orang yang hidup di negara-negara maju yang memiliki target hidup menjadi penguasa dunia, baik secara politik mapun ekonomi.
Dengan demikian, kurang gairah dan semangat dalam diri manusia serta sikap malas bisa dihilangkan, jika setiap manusia memiliki target besar dalam hidupnya. Sehingga, target yang besar ini akan mendorongnya berbuat yang besar pula dengan penuh semangat dan kesungguhan.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Ibn Thulun seorang penguasa dinasti Thuluniyah (sebuah dinasti Islam di Mesir yang berdiri pada tahun 837-903M) memiliki seorang anak laki-laki yang sangat pemalas. Setiap hari kerjanya hanyalah bermain, tidur, dan makan berbagai jinis makanan. Hobinya yang selalu mengisi perutnya dengan penuh turut mendorongnya menjadi pemalas. Ibn Thulun menjadi resah melihat sikap anaknya yang merupakan putera tunggal pewaris tahta kerajaan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anaknya nanti terhadap kerajaan dan rakyatnya, jika dia berkuasa dengan kebodohan dan sikapnya yang tidak terpuji tersebut.
Maka berniatlah Ibn Thulun memanggil seorang ulama terkenal untuk datang ke istana dan menjadi guru bagi anaknya. Dia kemudian memberitahukan anaknya bahwa setiap hari sehabis maghrib dia harus belajar di istana. Pada hari yang ditentukan datanglah ulama tersebut ke istana Ibn Thulun. Sesampainya sang guru di istana Ibn Thulun memerintahkan salah seorang pegawainya untuk menjemput anaknya yang sedang berada di rumah. Dia berbepesan kepada pegawainya, jika nanti anaknya meminta izin makan terlebih dahulu jangan diberi izin. Hendaklah anak itu dibawa dalam keadaan belum makan.
Sesuai perintah Ibn Thulun, berangkatlah pegawai tersebut menjemput anaknya yang berada di rumah. Sesampainya di rumah pegawai tersebut menyampaikan perintah Ibn Thulun kepada anaknya agar sesegera mungkin ke istana. Seperti yang diperkirakan Ibn Thulun, anaknya itu meminta izin makan terlebih dahulu. Namun, pegawai itu menolak dan mengatakan bahwa makannya di istana saja nanti. Maka berangkatlah anaknya itu bersama pegawai istana menuju Ibn Thulun yang sudah menunggu mereka.
Selesai shalat maghrib, sang guru mulai membuka pelajaran untuk putera ibn Thulun. Beberapa waktu kemudian, anaknya merasakan lapar sudah mengerogoti perutnya, dia mulai gelisah karena belum ada tanda-tanda akan berakhir pelajaran dan datangnya makan malam. Ibn Thulun terus memperhatikan kedaan anaknya yang sudah gelisah, karena tidak sanggup menahan rasa lapar. Ibn Thulun memberikan isyarat kepada sang guru agar pelajaran terus dilanjutkan tanpa menghiraukan kondisi puteranya.
Putera Ibn Thulun sudah benar-benar tidak kuasa lagi menahan lapar, dan Ibn Thulun menyadari akan hal itu. Maka, dia memberikan isyarat kepada seorang pegawainya untuk mendatangkan makanan berupa satu panci nasi putih dengan di beri kol yang sudah direbus di atasnya. Melihat nasi yang berada di dalam panci dan kol yang direbus, putera Ibn Thulun langsung menghentikan pelajarannya dan makan sepuasnya. Tidak beberapa lama, nasi yang ada di dalam panci itupun habis dan dia pun terduduk lemas kekenyangan.
Kurang “lebih lima” menit setelah anaknya selesai makan, datanglah para pelayan istana membawa beberapa jenis makanan yang sangat enak dan lezatnya. Bahkan, sebagian makanan itu belum pernah dirasakan oleh putera Ibn Thulun sebelumnya. Ibn Thulun bersama sang guru pun menyantap makanan yang begitu lezat tersebut dengan nikmatnya. Sementara putera Ibn Thulun hanya bisa melihat dan menyaksikan ayah dan gurunya dengan penuh penyesalan. Sebab, dia tidak bisa makan lagi karena perutnya sudah terisi penuh, sehingga tidak ada celah lagi yang bisa diisi.
Setelah selesai makan, Ibn Thulun berkata kepada anaknya, “Anakku, hal inilah sebenarnya yang ingin ajarkan kepada engkau. Janganlah engkau mengutamakan dan menyibukan diri dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Seluruh makanan ini, saya sediakan untukmu jika saja engkau bisa sabar dan menahan diri agak “lima menit” saja. Akan tetapi, engkau tidak bisa menahan diri melihat nasi putih dan kol yang direbus tadi. Sebenarnya engkau berhak memperoleh dan mendapatkan yang lebih hebat dari apa yang telah engkau makan tadi, jika engaku mau berjuang menahan keinginanmu yang rendah”.
Ibn Thulun kemudian melanjutkan perkataannya, “Anakku, saya tidak melarang engkau bermain, tidur, makan dan sebagainya. Namun, janganlah hal-hal yang rendah itu engkau jadikan tujuan hidupmu. Engkau harus belajar dan menambah pengalaman, karena itu jauh lebih berarti untuk masa depan dan kebahagianmu”. Putera Ibn Thulun menyadari kesalahannya dan muali saat itu, dia menjadi anak yang rajin dan giat belajar dan bekerja.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, yaitu janganlah manusia mengutamakan dan puas dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Hendaklah setiap orang memiliki target yang besar dalam hidupnya. Jika manusia memilki target dan tujuan yang rendah dalam hidupnya, maka kecenderungan manusia tersebut akan menjadi pemalas dan puas dengan sesuatu yang kecil.
Kita bisa lihat fenomena sebagian masyarakat bangsa ini yang sebagian besarnya adalah miskin dan cenderung pemalas. Sebabnya adalah karena sudah tertanam target hidup yang rendah dalam masyarakat Indonesia, yaitu “cukuplah kita mendapatkan makan tiga kali sehari”. Tentu saja akan berbeda dengan orang-orang yang hidup di negara-negara maju yang memiliki target hidup menjadi penguasa dunia, baik secara politik mapun ekonomi.
Dengan demikian, kurang gairah dan semangat dalam diri manusia serta sikap malas bisa dihilangkan, jika setiap manusia memiliki target besar dalam hidupnya. Sehingga, target yang besar ini akan mendorongnya berbuat yang besar pula dengan penuh semangat dan kesungguhan.
Nabi Musa as. dan Nabi Khidr as.
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, suatu ketika nabi Musa as. berkhutbah di hadapan kaumnya bani Israel. Kemudian dia ditanya tentang siapa yang paling dalam dan luas ilmunya. Nabi Musa as. menjawab bahwa dialah yang paling dalam dan luas ilmunya. Lalu Allah menegurnya karena tidak mengembalikan jawaban tersebut kepada Allah swt. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa Dia memiliki seorang hamba yang shalih dimana ilmu serta pengetahuaannya lebih luas dan lebih dalam darinya.
Musa as. kemudian meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengan hamba tersebut agar bisa belajar kepadanya. Allah menyuruh Musa as untuk pergi menemui hamba-Nya itu yang menurut riwayat bernama Khidhr, ke tempat pertemuan dua lautan, dengan membawa sesekor ikan yang sudah mati dan diletakan di atas sehelai daun korma. Di tempat mana ikan tersebut hidup dan melompat di situlah tempat hamba Allah tersebut berada.
Maka berangkatlah Musa as. bersama seorang pembantunya mencari hamba Allah tempat dia akan menuntut ilmu. Sebelum berangkat, nabi Musa berpesan kepada pembantunya, agar memberitahukan kepadanya jika nanti ikan yang mereka bawa hidup kembali dan melompat ke dalam air, karena di situlah tempat guru yang dia cari berada. (Kisah ini secara lengkap diceritakan Allah dalam surat al-Kahfi [18]: 60-82).
Dengan tekad yang bulat dan semangat yang membaja, nabi Musa as. berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun menghabiskan umurku demi mencari guru tempat aku belajar itu”. Setelah melewati perjalanan yang panjang, maka mereka pun sampai ke pertemuan dua buah laut itu, dan mereka beristirahat beberapa saat pada sebuah batu di tempat itu. Akan tetapi, mereka tidak menyadari kalau di situlah tempat yang mereka cari. Bahkan, mereka lalai akan ikan yang mereka bawa, karena saat mereka berada pada pertemuan dua lautan itu, atau ketika mereka beristirahat pada sebuah batu di tempat itu, ikan tersebut melompat ke dalam air dan hidup kembali.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini”. Nabi Musa meminta pembantunya untuk mengeluarkan makanan yang mereka bawa, termasuk juga ikan yang ada di kantongnya. Akan tetapi, muridnya menjawab, “Maaf Ya Musa, Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu - dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan - bahwa ikan itu melompat dan mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula, hingga sampai di tempat ikan itu melompat. Maka bertemulah mereka dengan seorang hamba yang disebutkan Allah, yang bernama Khidr yang telah diberikan Allah kepadanya rahmat dari sisi-Nya berupa ilmu tentang sesuatu yang zhahir, dan yang telah Allah ajarkan kepadanya ilmu laduni (ilmu tentang sesuatu yang bathin).
Musa berkata kepada Khidhr sambil mengajukan permohonan untuk belajar kepadanya, katanya: “Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”. Khidr menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar jika kamu pergi bersama aku”. Nabi Khidr kemudian melanjutkan ucapannya, “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?". Musa berkata, “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang dan membantahmu dalam sesuatu urusanpun”. Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”
Maka berjalanlah keduanya melewati beberapa negeri. Tatkala keduanya sampai di sebuah pantai, mereka menumpang pada sebuah perahu nelayan untuk menyeberangi lautan menuju suatu tempat. Ketika berada di dalam perahu itu, dan setelah mereka mendapatkan tumpangan gratis dan pelayanan yang bagus dari pemiliknya, tiba-tiba Khidhr melobangi perahu tersebut. Melihat hal itu, nabi Musa tidak mampu menahan diri dan berkata, “Mengapa engkau melobangi perahu ini, tidakkah engkau tahu akibatnya bahwa engkau akan menenggelamkan penumpangnya yang telah menjamu kita?”. Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”. Nabi Khidhr berkata, “Bukankah aku telah berkata, Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Musa berkata sambil bermohon, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Nabi Khaidir kemudian memaafkan Musa dan memberinya kembali kesempatan untuk ikut serta menemaninya dan belajar kepadanya.
Maka berjalanlah keduanya beberapa lama, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr mengeluarkan pedangnya dan membunuh anak tersebut. Menyaksikan tindakan Khidr, Musa tidak sanggup menahan diri dan berkata, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih tanpa alasan yang benar, bukankah dia seorang anak yang tidak bersalah dan tidak pula membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?". Musa kembali bermohon sambil berkata: "Jika aku bertanya kepada engkau tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur padaku." Nabi Khidr kembali memaafkan Musa dan memberinya satu kesempatan lagi.
Maka keduanya meneruskan perjalanan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu dan diberi makanan dan minuman kepada penduduk negeri itu. Akan tetapi, tidak seorangpun penduduk negeri itu tidak yang bersedia menjamu mereka dan memberikan sedikit makanan dan minuman. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding sebuah rumah yang hampir roboh, maka Khidhr memperbaiki dan menegakkan dinding itu. Melihat hal itu, Musa kembali berkata, “Jikalau engkau mau, niscaya kamu bisa mengambil upah untuk itu. Tidakkah engkau tahu betapa jahatnya perlakuan penduduk negeri ini kepada kita?”. Nabi Khidhr pun berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, hai Musa. Saya telah berikan dua kesempatan untukmu, dan ini adalah kesempatan terakhirmu. Akan tetapi, kamu tidak bisa menahan diri dan bersabar untuk tidak bertanya. Sekarang akan kuberitahukan kepadamu tujuan dan hikmah perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. Mereka bekerja keras siang dan malam demi untuk membeli sebuah bahtera, agar bisa menghidupi keluarga mereka. Aku bertujuan melobangi bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja (bajak laut) yang merampas tiap-tiap bahtera yang bagus. Jika perampok itu nanti melihat kapal tersebut telah rusak, niscaya mereka tidak akan mengambilnya sehingga selamatlah kapal nelayan miskin itu dari perampokan.
Adapun anak kecil yang saya bunuh tadi, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin yang shalih dan taat. Jika nanti anak itu dewasa, dia akan mendorong dan memaksa kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Setelah aku membunuhnya, nanti Allah pasti mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesucian dan kesalehannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.
Adapun dinding rumah yang saya perbaiki tadi adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua yang sengaja ditinggalkan ayah mereka ketika masih hidup dulu. Ayah mereka adalah seorang yang saleh dan taat kepada Allah. Jika dinding itu tidak diperbaiki, rumah itu akan roboh dan ditinggalkan anak-anaknya. Dengan demikian, harta warisan peninggalan ayah mereka tentulah tidak sampai ke tangan mereka. Allah menghendaki ketika mereka sudah dewasa nanti, mereka bisa mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Ketahuilah hai Musa, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri, namun adalah petunjuk dari Allah. Demikian itu adalah tujuan dan hikmah perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Musa pun menyadari kelemahannya dan bertaubat kepada Allah atas sikapnya yang angkuh dan merasa besar. Sadarlah Musa, bahwa masih ada manusia yang mengatasinya dan memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajran; Pertama terkait dengan sikap hidup yang mesti dijauhi setiap manusia. Di mana, hendaklah setiap manusia selalu menjauhkan diri dari sikap merasa diri sebagai yang terbaik. Sebab, sikap ini kemudian akan membawa seseorang menjadi orang yang sombong, takabbur, memandang rendah orang lain yang pada akhirnya tidak bersedia menerima kebenaran dan nasehat siapaun. Sebaliknya, hendaklah setiap manusia memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati), sekalipun memiliki banyak kelebihan dari kebanyakan manusia lain. Sadarilah, bahwa betapapun hebat dan tingginya kedudukan seseorang, pastilah di tempat lain dan di waktu yang lain, ada manusia yang lebih hebat dan lebih tinggi darinya. Kalaupun tidak ada yang mengatasinya, pastilah Allah mengatasi segalanya.
Kedua, terkait tentang bagaimana sikap sikap seorang pencari ilmu atau murid dalam belajar dan mencarai ilmu dan sikap seorang alim atau guru yang bertugas mengajarkan ilmu kepada muridnya. Dalam kisah tersebut, sosok seorang murid diperankan oleh nabi Musa as. dan sosok seorang guru diperankan oleh Khaidir as. Di antara pengajaran itu adalah;
Sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam menuntut ilmu. Yaitu;
1. Seorang murid dalam mencari ilmu haruslah merasakan bahwa belajar atau memperoleh ilmu adalah kebutuhannya. Seorang murid idealnya haruslah menjadi pengemis dalam menuntut ilmu. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. kepada gurunya Khidhr as. seperti yang disebutkan dalam ayat 66, “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Bahkan beberapa kali nabi Khidhr as. berupaya menolak nabi Musa as. agar mengurungkan niatnya. Namun setiap kali ditolak, nabi Musa as. terus “merengek” kepada gurunya agar diberi kesempatan untuk belajar.
Begitulah sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam melalui proses balajar, bahwa dia harus menjadi “pengemis” ilmu. Seorang murid yang baik dan sukses adalah murid yang selalu mencari keberadaan ilmu di manapun ia berada. Dia akan sangat sedih dan kecewa ketika sang guru tidak datang atau tidak didapatinya. Begitu juga dia akan sangat kecewa sekiranya pelajaran yang mestinya dia peroleh tidak didapatinya.
2. Seorang murid dalam menempuh proses belajar harus penuh kesabaran. Sebab, proses yang sedang dilaluinya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa rintangan. Setiap saat rintangan dan godaan akan selalu menghadangnya, dan jika dia tidak siap menghadapinya dipastikan proses yang dilaluinya tidak akan berujung kepada kesuksesan. Inilah yang digambarkan melalui ungkapan Musa as. kepada Khidhr as. dalam ayat 69, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar……”.Bahkan saking pentingnya kesabaran dalam menjalankan proses belajar, sehingga dalam kisah tersebut kata sabar disebutkan tidak kurang dari tujuh kali.
Dalam menempuh proses belajar seseorang akan menghadapi berbagai macam godaan dan rintangan, baik dari dalam mapun dari luar diri. Seperti, godaan untuk berhura-hura, bermain, atau gejolak jiwa akibat keterkungkungan selama proses pendidikan. Jika seseorang tidak mampu menahan gejolak dan gangguan tersebut, maka kesuksesan dalam belajar akan susah untuk dicapai dan diwujudkan.
3. Seorang murid harus patuh dan hormat kepada guru. Sebab, dalam proses belajar jika terjadi komunikasi yang kurang baik antara murid dan guru, maka dikhawatirkan proses belajar tidak akan berjalan baik. Oleh karena itu seorang murid harus bisa menjaga sikap agar sang guru tidak merasa dilecehkan, kurang dihargai dan sebagainya. Dengan ungkapan lain, seorang murid harus menghormati guru dan tidak berlaku durhaka kepadanya. Itulah yang digambarkan Musa as. kepada Khidhr as dalam ungkapannya pada ayat 69, …… dan aku tidak akan menentangmu (mendurhakaimu) dalam sesuatu urusanpun”.
Itulah sebabnya kenapa Imam Syafi’i ra. pernah mensyaratkan seseorang akan mendapatkan ilmu jika dia memenuhi lima hal, salah satunya adalah menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dengan sang guru. Sebab, jika guru senang dengan muridnya dan murid juga senang kepada gurunya, sesulit apapun pelajaran itu murid akan mampu mencerna dan menerimanya. Namun sebaliknya, jika murid tidak suka dengan guru dan guru juga tidak respek dengan muridnya, maka semudah apapun pelajaran tersebut sang murid juga tidak akan mampu menyerapnya dengan baik.
4. Seorang murid harus bersikap sportif terhadap kelalaian dan kesalahannya. Dia harus bersedia meminta ma’af, sekaligus jika kesalahan itu harus membuatnya mennerima sanksi maka dia harus bersedia menerimanya dengan ihklas, tulus dan tanpa perasaan mendongkol. Inilah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia bersalah kepada gurunya beberapa kali, dengan jujur dia mengakui kelalaiannya dan bersedia meminta ma’af. Namun ketika, dia melakukan kesalahan yang sama sebanyak tiga kali dan Khidhr menjatuhkan sanksi kepadanya, Musa pun menerima sanksi tersebut sebagai kompensasi atas kesalahannya tanpa perasaan mendongkol sedikitpun. Begitulah sikap seorang murid yang baik terhadap tindakan gurunya yang bijaksan terhadap kesalahan yang dilakukannya. Kesan tersebut diperoleh dari ayat 78 ketika Khidhr menjatuhkan sanksi kepada musa dalam bentuk perpisahan, Musa as. tidak membantah dan mendongkol apalagi berlaku keras dan kasar kepada gurunya. Bahkan dengan sangat sportif dia mengatkan “sungguh engkau telah banyak memberikan maaf terhadap saya”.
Betapa hari ini kita lihat sikap murid yang jauh dari sportifitas. Ketika seorang guru memberikan sanksi dan hukuman atas kesalahannya sang murid mendongkol, melawan, bahkan memukul serta mengeroyok gurunya. Betapa banyak hari ini kita saksikan, jika seorang murid gagal dalam ujian akibat kelalaian dan kesalahannya sendiri, maka guru dan sekolah yang menjadi sasaran kemarahannya. Sehingga tidak jarang sebuah sekolah dihancurkan, dibakar oleh siswa yang gagal dalam belajar atau ujian mereka.
5. Seorang murid harus berani mengkritik dan memberikan saran kepada guru, jika memang terbukti bersalah. Akan tetapi, tentu kritik dan saran itu disampaikan dalam bahasa yang santun dan dalam ungkapan yang sangat bijaksana seperti yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia menegur nabi Khidhr as. Di mana bahasa yang dipakai Musa as. untuk menegur gurunya adalah ungkapan bertanya atau berandai, yang menunjukan kesopanan dan kelembutan.
Begitulah sikap seorang murid yang mesti dimiliki dalam memberikan kritik atau saran kepada gurunya. Pakailah bahasa yang bagus dan tidak menyakiti perasaanya, sehingga tidak mengganggu komunikasi antara murid dan guru.
6. Seorang murid harus serius serta penuh perhatian terhadap apa yang dijelaskan oleh gurunya. Sehingga guru tidak seringkali mengulangi penjelasan yang sama kepada muridnya. Dengan perhatian dan konsentrasi yang penuh, seorang murid akan memahami penjelasan gurunya dengan cepat. Itulah kesan yang diperoleh dari ayat 70 dan 71, “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu (70). Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (71). Di mana Musa sa. tidak lagi bertanya tentang apa yang dijelaskan gurunya, sehingga begitu dijelaskan mereka langsung berangkat. Kesan memahami secara langsung dapat diperoleh dari penggunaan fa (maka) pada awal ayat 71.
Sikap yang mesti dimiliki seorang guru dalam mengajar
1. Seorang guru harus memahami kondisi muridnya, sehingga dia tidak bersikap arogan atau memaksakan kehendak kepada muridnya. Guru juga harus mengetahui kemampuan intelektual murid. Itulah kesan yang diperoleh dari ungkapan Khidr pada ayat 67-68, “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
2. Seorang guru harus selalu sabar dan berlapang dada menghadapi muridnya serta memberi ma’af atas kesalahannya. Karena dalam proses belajar dan mengajar seorang guru pasti menemukan banyak hal yang tidak menyenangkan dari muridnya, apakah ucapan, perbutan, sikap dan sebagainya. Di sinilah kesabaran seorang guru dituntut agar proses belajar dan megajar tetap berjalan dengan baik. Sehingga seorang guru tidak menyikapi kelakuan muridnya dengan marah dan emosi atau mengabaikan muridnya begitu saja. Begitulah kesan yang diperoleh dari sikap Khidr yang selalu bersabar menghadapi kesalahan Musa as. dan selalu memberikan ma’af dan kesempatan untuk terus mengikutinya.
3. Seorang guru dituntut untuk selalu menegur setiap kali muridnya berbuat salah. Akan tetapi, teguran haruslah sebijaksana mungkin dan dengan kata-kata yang mendidik serta menyentuh. Seperti Khidr yang menegur Musa dengan kalimat tanya, bukan kalimat yang terkesan melecehkan atau mempersalahkan, namun justru ahkirnya sang murid mengakui kesalahannya sendiri. Dan jika murid tetap melakukan kesalahan yang sama, maka guru semestinya mengambil tindakan yang tegas bahkan kalau perlu memberikan sanksi. Hal ini bertujuan agar sang murid menyadari kesalahannya dan mengambil pelajaran dari padanya serta tidak melakukan kesalahan yang sama untuk masa mendatang. Tentu saja pemberian sanksi oleh guru haruslah dengan pertimbangan yang matang dan jika memang hal itu dianggap perlu untuk dilakukan demi kebaikan seorang murid. Begitulah kesan yang diperoleh dari ayat 72, 75 dan 78. “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku (72). Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"(75). “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”(78)
4. Seorang guru hendaklah memberikan penjelasan terhadap kesalahan dan kekeliruan muridnya. Hal ini bertujuan agar seorang murid mengetahui dan menyadari serta tidak mengulanginya pada masa berikutnya. Sehingga diharapkan seorang guru tidak hanya bisa memarahi dan memberikan sanksi kepada muridnya, namun juga membetulkan keslahan tersebut. Begitulah kesan yang didapatkan dari ayat 78-82.
Musa as. kemudian meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengan hamba tersebut agar bisa belajar kepadanya. Allah menyuruh Musa as untuk pergi menemui hamba-Nya itu yang menurut riwayat bernama Khidhr, ke tempat pertemuan dua lautan, dengan membawa sesekor ikan yang sudah mati dan diletakan di atas sehelai daun korma. Di tempat mana ikan tersebut hidup dan melompat di situlah tempat hamba Allah tersebut berada.
Maka berangkatlah Musa as. bersama seorang pembantunya mencari hamba Allah tempat dia akan menuntut ilmu. Sebelum berangkat, nabi Musa berpesan kepada pembantunya, agar memberitahukan kepadanya jika nanti ikan yang mereka bawa hidup kembali dan melompat ke dalam air, karena di situlah tempat guru yang dia cari berada. (Kisah ini secara lengkap diceritakan Allah dalam surat al-Kahfi [18]: 60-82).
Dengan tekad yang bulat dan semangat yang membaja, nabi Musa as. berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun menghabiskan umurku demi mencari guru tempat aku belajar itu”. Setelah melewati perjalanan yang panjang, maka mereka pun sampai ke pertemuan dua buah laut itu, dan mereka beristirahat beberapa saat pada sebuah batu di tempat itu. Akan tetapi, mereka tidak menyadari kalau di situlah tempat yang mereka cari. Bahkan, mereka lalai akan ikan yang mereka bawa, karena saat mereka berada pada pertemuan dua lautan itu, atau ketika mereka beristirahat pada sebuah batu di tempat itu, ikan tersebut melompat ke dalam air dan hidup kembali.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini”. Nabi Musa meminta pembantunya untuk mengeluarkan makanan yang mereka bawa, termasuk juga ikan yang ada di kantongnya. Akan tetapi, muridnya menjawab, “Maaf Ya Musa, Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu - dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan - bahwa ikan itu melompat dan mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula, hingga sampai di tempat ikan itu melompat. Maka bertemulah mereka dengan seorang hamba yang disebutkan Allah, yang bernama Khidr yang telah diberikan Allah kepadanya rahmat dari sisi-Nya berupa ilmu tentang sesuatu yang zhahir, dan yang telah Allah ajarkan kepadanya ilmu laduni (ilmu tentang sesuatu yang bathin).
Musa berkata kepada Khidhr sambil mengajukan permohonan untuk belajar kepadanya, katanya: “Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”. Khidr menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar jika kamu pergi bersama aku”. Nabi Khidr kemudian melanjutkan ucapannya, “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?". Musa berkata, “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang dan membantahmu dalam sesuatu urusanpun”. Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”
Maka berjalanlah keduanya melewati beberapa negeri. Tatkala keduanya sampai di sebuah pantai, mereka menumpang pada sebuah perahu nelayan untuk menyeberangi lautan menuju suatu tempat. Ketika berada di dalam perahu itu, dan setelah mereka mendapatkan tumpangan gratis dan pelayanan yang bagus dari pemiliknya, tiba-tiba Khidhr melobangi perahu tersebut. Melihat hal itu, nabi Musa tidak mampu menahan diri dan berkata, “Mengapa engkau melobangi perahu ini, tidakkah engkau tahu akibatnya bahwa engkau akan menenggelamkan penumpangnya yang telah menjamu kita?”. Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”. Nabi Khidhr berkata, “Bukankah aku telah berkata, Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Musa berkata sambil bermohon, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Nabi Khaidir kemudian memaafkan Musa dan memberinya kembali kesempatan untuk ikut serta menemaninya dan belajar kepadanya.
Maka berjalanlah keduanya beberapa lama, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr mengeluarkan pedangnya dan membunuh anak tersebut. Menyaksikan tindakan Khidr, Musa tidak sanggup menahan diri dan berkata, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih tanpa alasan yang benar, bukankah dia seorang anak yang tidak bersalah dan tidak pula membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?". Musa kembali bermohon sambil berkata: "Jika aku bertanya kepada engkau tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan uzur padaku." Nabi Khidr kembali memaafkan Musa dan memberinya satu kesempatan lagi.
Maka keduanya meneruskan perjalanan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu dan diberi makanan dan minuman kepada penduduk negeri itu. Akan tetapi, tidak seorangpun penduduk negeri itu tidak yang bersedia menjamu mereka dan memberikan sedikit makanan dan minuman. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding sebuah rumah yang hampir roboh, maka Khidhr memperbaiki dan menegakkan dinding itu. Melihat hal itu, Musa kembali berkata, “Jikalau engkau mau, niscaya kamu bisa mengambil upah untuk itu. Tidakkah engkau tahu betapa jahatnya perlakuan penduduk negeri ini kepada kita?”. Nabi Khidhr pun berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, hai Musa. Saya telah berikan dua kesempatan untukmu, dan ini adalah kesempatan terakhirmu. Akan tetapi, kamu tidak bisa menahan diri dan bersabar untuk tidak bertanya. Sekarang akan kuberitahukan kepadamu tujuan dan hikmah perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. Mereka bekerja keras siang dan malam demi untuk membeli sebuah bahtera, agar bisa menghidupi keluarga mereka. Aku bertujuan melobangi bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja (bajak laut) yang merampas tiap-tiap bahtera yang bagus. Jika perampok itu nanti melihat kapal tersebut telah rusak, niscaya mereka tidak akan mengambilnya sehingga selamatlah kapal nelayan miskin itu dari perampokan.
Adapun anak kecil yang saya bunuh tadi, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin yang shalih dan taat. Jika nanti anak itu dewasa, dia akan mendorong dan memaksa kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Setelah aku membunuhnya, nanti Allah pasti mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesucian dan kesalehannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.
Adapun dinding rumah yang saya perbaiki tadi adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua yang sengaja ditinggalkan ayah mereka ketika masih hidup dulu. Ayah mereka adalah seorang yang saleh dan taat kepada Allah. Jika dinding itu tidak diperbaiki, rumah itu akan roboh dan ditinggalkan anak-anaknya. Dengan demikian, harta warisan peninggalan ayah mereka tentulah tidak sampai ke tangan mereka. Allah menghendaki ketika mereka sudah dewasa nanti, mereka bisa mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Ketahuilah hai Musa, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri, namun adalah petunjuk dari Allah. Demikian itu adalah tujuan dan hikmah perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Musa pun menyadari kelemahannya dan bertaubat kepada Allah atas sikapnya yang angkuh dan merasa besar. Sadarlah Musa, bahwa masih ada manusia yang mengatasinya dan memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajran; Pertama terkait dengan sikap hidup yang mesti dijauhi setiap manusia. Di mana, hendaklah setiap manusia selalu menjauhkan diri dari sikap merasa diri sebagai yang terbaik. Sebab, sikap ini kemudian akan membawa seseorang menjadi orang yang sombong, takabbur, memandang rendah orang lain yang pada akhirnya tidak bersedia menerima kebenaran dan nasehat siapaun. Sebaliknya, hendaklah setiap manusia memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati), sekalipun memiliki banyak kelebihan dari kebanyakan manusia lain. Sadarilah, bahwa betapapun hebat dan tingginya kedudukan seseorang, pastilah di tempat lain dan di waktu yang lain, ada manusia yang lebih hebat dan lebih tinggi darinya. Kalaupun tidak ada yang mengatasinya, pastilah Allah mengatasi segalanya.
Kedua, terkait tentang bagaimana sikap sikap seorang pencari ilmu atau murid dalam belajar dan mencarai ilmu dan sikap seorang alim atau guru yang bertugas mengajarkan ilmu kepada muridnya. Dalam kisah tersebut, sosok seorang murid diperankan oleh nabi Musa as. dan sosok seorang guru diperankan oleh Khaidir as. Di antara pengajaran itu adalah;
Sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam menuntut ilmu. Yaitu;
1. Seorang murid dalam mencari ilmu haruslah merasakan bahwa belajar atau memperoleh ilmu adalah kebutuhannya. Seorang murid idealnya haruslah menjadi pengemis dalam menuntut ilmu. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. kepada gurunya Khidhr as. seperti yang disebutkan dalam ayat 66, “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Bahkan beberapa kali nabi Khidhr as. berupaya menolak nabi Musa as. agar mengurungkan niatnya. Namun setiap kali ditolak, nabi Musa as. terus “merengek” kepada gurunya agar diberi kesempatan untuk belajar.
Begitulah sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam melalui proses balajar, bahwa dia harus menjadi “pengemis” ilmu. Seorang murid yang baik dan sukses adalah murid yang selalu mencari keberadaan ilmu di manapun ia berada. Dia akan sangat sedih dan kecewa ketika sang guru tidak datang atau tidak didapatinya. Begitu juga dia akan sangat kecewa sekiranya pelajaran yang mestinya dia peroleh tidak didapatinya.
2. Seorang murid dalam menempuh proses belajar harus penuh kesabaran. Sebab, proses yang sedang dilaluinya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa rintangan. Setiap saat rintangan dan godaan akan selalu menghadangnya, dan jika dia tidak siap menghadapinya dipastikan proses yang dilaluinya tidak akan berujung kepada kesuksesan. Inilah yang digambarkan melalui ungkapan Musa as. kepada Khidhr as. dalam ayat 69, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar……”.Bahkan saking pentingnya kesabaran dalam menjalankan proses belajar, sehingga dalam kisah tersebut kata sabar disebutkan tidak kurang dari tujuh kali.
Dalam menempuh proses belajar seseorang akan menghadapi berbagai macam godaan dan rintangan, baik dari dalam mapun dari luar diri. Seperti, godaan untuk berhura-hura, bermain, atau gejolak jiwa akibat keterkungkungan selama proses pendidikan. Jika seseorang tidak mampu menahan gejolak dan gangguan tersebut, maka kesuksesan dalam belajar akan susah untuk dicapai dan diwujudkan.
3. Seorang murid harus patuh dan hormat kepada guru. Sebab, dalam proses belajar jika terjadi komunikasi yang kurang baik antara murid dan guru, maka dikhawatirkan proses belajar tidak akan berjalan baik. Oleh karena itu seorang murid harus bisa menjaga sikap agar sang guru tidak merasa dilecehkan, kurang dihargai dan sebagainya. Dengan ungkapan lain, seorang murid harus menghormati guru dan tidak berlaku durhaka kepadanya. Itulah yang digambarkan Musa as. kepada Khidhr as dalam ungkapannya pada ayat 69, …… dan aku tidak akan menentangmu (mendurhakaimu) dalam sesuatu urusanpun”.
Itulah sebabnya kenapa Imam Syafi’i ra. pernah mensyaratkan seseorang akan mendapatkan ilmu jika dia memenuhi lima hal, salah satunya adalah menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dengan sang guru. Sebab, jika guru senang dengan muridnya dan murid juga senang kepada gurunya, sesulit apapun pelajaran itu murid akan mampu mencerna dan menerimanya. Namun sebaliknya, jika murid tidak suka dengan guru dan guru juga tidak respek dengan muridnya, maka semudah apapun pelajaran tersebut sang murid juga tidak akan mampu menyerapnya dengan baik.
4. Seorang murid harus bersikap sportif terhadap kelalaian dan kesalahannya. Dia harus bersedia meminta ma’af, sekaligus jika kesalahan itu harus membuatnya mennerima sanksi maka dia harus bersedia menerimanya dengan ihklas, tulus dan tanpa perasaan mendongkol. Inilah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia bersalah kepada gurunya beberapa kali, dengan jujur dia mengakui kelalaiannya dan bersedia meminta ma’af. Namun ketika, dia melakukan kesalahan yang sama sebanyak tiga kali dan Khidhr menjatuhkan sanksi kepadanya, Musa pun menerima sanksi tersebut sebagai kompensasi atas kesalahannya tanpa perasaan mendongkol sedikitpun. Begitulah sikap seorang murid yang baik terhadap tindakan gurunya yang bijaksan terhadap kesalahan yang dilakukannya. Kesan tersebut diperoleh dari ayat 78 ketika Khidhr menjatuhkan sanksi kepada musa dalam bentuk perpisahan, Musa as. tidak membantah dan mendongkol apalagi berlaku keras dan kasar kepada gurunya. Bahkan dengan sangat sportif dia mengatkan “sungguh engkau telah banyak memberikan maaf terhadap saya”.
Betapa hari ini kita lihat sikap murid yang jauh dari sportifitas. Ketika seorang guru memberikan sanksi dan hukuman atas kesalahannya sang murid mendongkol, melawan, bahkan memukul serta mengeroyok gurunya. Betapa banyak hari ini kita saksikan, jika seorang murid gagal dalam ujian akibat kelalaian dan kesalahannya sendiri, maka guru dan sekolah yang menjadi sasaran kemarahannya. Sehingga tidak jarang sebuah sekolah dihancurkan, dibakar oleh siswa yang gagal dalam belajar atau ujian mereka.
5. Seorang murid harus berani mengkritik dan memberikan saran kepada guru, jika memang terbukti bersalah. Akan tetapi, tentu kritik dan saran itu disampaikan dalam bahasa yang santun dan dalam ungkapan yang sangat bijaksana seperti yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia menegur nabi Khidhr as. Di mana bahasa yang dipakai Musa as. untuk menegur gurunya adalah ungkapan bertanya atau berandai, yang menunjukan kesopanan dan kelembutan.
Begitulah sikap seorang murid yang mesti dimiliki dalam memberikan kritik atau saran kepada gurunya. Pakailah bahasa yang bagus dan tidak menyakiti perasaanya, sehingga tidak mengganggu komunikasi antara murid dan guru.
6. Seorang murid harus serius serta penuh perhatian terhadap apa yang dijelaskan oleh gurunya. Sehingga guru tidak seringkali mengulangi penjelasan yang sama kepada muridnya. Dengan perhatian dan konsentrasi yang penuh, seorang murid akan memahami penjelasan gurunya dengan cepat. Itulah kesan yang diperoleh dari ayat 70 dan 71, “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu (70). Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (71). Di mana Musa sa. tidak lagi bertanya tentang apa yang dijelaskan gurunya, sehingga begitu dijelaskan mereka langsung berangkat. Kesan memahami secara langsung dapat diperoleh dari penggunaan fa (maka) pada awal ayat 71.
Sikap yang mesti dimiliki seorang guru dalam mengajar
1. Seorang guru harus memahami kondisi muridnya, sehingga dia tidak bersikap arogan atau memaksakan kehendak kepada muridnya. Guru juga harus mengetahui kemampuan intelektual murid. Itulah kesan yang diperoleh dari ungkapan Khidr pada ayat 67-68, “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
2. Seorang guru harus selalu sabar dan berlapang dada menghadapi muridnya serta memberi ma’af atas kesalahannya. Karena dalam proses belajar dan mengajar seorang guru pasti menemukan banyak hal yang tidak menyenangkan dari muridnya, apakah ucapan, perbutan, sikap dan sebagainya. Di sinilah kesabaran seorang guru dituntut agar proses belajar dan megajar tetap berjalan dengan baik. Sehingga seorang guru tidak menyikapi kelakuan muridnya dengan marah dan emosi atau mengabaikan muridnya begitu saja. Begitulah kesan yang diperoleh dari sikap Khidr yang selalu bersabar menghadapi kesalahan Musa as. dan selalu memberikan ma’af dan kesempatan untuk terus mengikutinya.
3. Seorang guru dituntut untuk selalu menegur setiap kali muridnya berbuat salah. Akan tetapi, teguran haruslah sebijaksana mungkin dan dengan kata-kata yang mendidik serta menyentuh. Seperti Khidr yang menegur Musa dengan kalimat tanya, bukan kalimat yang terkesan melecehkan atau mempersalahkan, namun justru ahkirnya sang murid mengakui kesalahannya sendiri. Dan jika murid tetap melakukan kesalahan yang sama, maka guru semestinya mengambil tindakan yang tegas bahkan kalau perlu memberikan sanksi. Hal ini bertujuan agar sang murid menyadari kesalahannya dan mengambil pelajaran dari padanya serta tidak melakukan kesalahan yang sama untuk masa mendatang. Tentu saja pemberian sanksi oleh guru haruslah dengan pertimbangan yang matang dan jika memang hal itu dianggap perlu untuk dilakukan demi kebaikan seorang murid. Begitulah kesan yang diperoleh dari ayat 72, 75 dan 78. “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku (72). Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"(75). “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”(78)
4. Seorang guru hendaklah memberikan penjelasan terhadap kesalahan dan kekeliruan muridnya. Hal ini bertujuan agar seorang murid mengetahui dan menyadari serta tidak mengulanginya pada masa berikutnya. Sehingga diharapkan seorang guru tidak hanya bisa memarahi dan memberikan sanksi kepada muridnya, namun juga membetulkan keslahan tersebut. Begitulah kesan yang didapatkan dari ayat 78-82.
Ibn Jad’an Diselamatkan Dari Maut
Ibn Jad’an Diselamatkan Dari Maut
Ibn al-Jad’an, seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia diselamatkan Allah dari maut, karena pernah berbuat baik kepada seorang tetangganya yang miskin. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.
Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.
Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.
Dari kisah tersebut dapat ditarik pelajaran; Pertama ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik dari apa yang dimilikinya, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah swt. sudah memberikan jaminan, bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya.
Kedua, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri. Itulah maksud al-birr (kebaikan yang sempurna) yang hanya bisa diperoleh bagi yang memberikan hal terbaik dari miliknya. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Ali Imran [3]: 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya; “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Al-birr (kebaikan yang sempurna) dalam ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. pemahaman itu diperoleh dengan melihat lawan kata al-birr yang terdapat dalam surat al-Ma’idah [5]: 2
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain.
Begitulah penghargaan Allah swt. terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan menjadi kekasih Allah dan ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain (al-‘udwân).
Ibn al-Jad’an, seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia diselamatkan Allah dari maut, karena pernah berbuat baik kepada seorang tetangganya yang miskin. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.
Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.
Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.
Dari kisah tersebut dapat ditarik pelajaran; Pertama ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik dari apa yang dimilikinya, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah swt. sudah memberikan jaminan, bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya.
Kedua, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri. Itulah maksud al-birr (kebaikan yang sempurna) yang hanya bisa diperoleh bagi yang memberikan hal terbaik dari miliknya. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Ali Imran [3]: 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya; “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Al-birr (kebaikan yang sempurna) dalam ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. pemahaman itu diperoleh dengan melihat lawan kata al-birr yang terdapat dalam surat al-Ma’idah [5]: 2
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain.
Begitulah penghargaan Allah swt. terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan menjadi kekasih Allah dan ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain (al-‘udwân).
Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut
Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat beliau; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Layaknya tamu, Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah menyambut kedatangan mereka, kemudian disuruh masuk dan dipersilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, Fathimah ke dapur mencari hidangan untuk Rasulullah saw; ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Adapun hidangan yang dibawa Fathimah adalah madu yang diletakan di sebuah mangkuk yang indah.
Ketika madu yang berada dalam mangkuk tersebut berada di tengah mereka, Rasulullah saw melihat sehelai rambut di dekatnya. Kemudian Rasulullah saw mengambil ketiganya; madu dengan mangkuk dan sehelai rambut tersebut. Maka Rasulullah saw berkata kepada semua sahabatnya, “Coba kamu membuat perumpamaan dari yang tiga ini; madu, mangkuk dan sehelai rambut!”. Masing-masing mereka kemudian membuat perumpamaan.
Giliran pertama dipersilahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dia berkata “Iman itu lebih manis dari madu, orang yang beriman lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mempertahankan iman atau mencari orang yang mampu mempertahankan imannya sampai dia meninggalkan dunia ini, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw berdecak kagum dengan perumpamaan Abu Bakar.
Selanjutnya Umar bin Khattab dipersilahkan, dan dia berkata “Kekuasaan itu lebih manis dari madu, orang yang berkuasa/penguasa/ pemimpin lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun berkuasa secara adil atau mencari orang yang mampu berlaku adil terhadap kekuasaannya, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Rasulullah saw memuji perumpamaan Umar bin Khattab.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Utsman bin Affan, dia berkata “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Bagus, sambut Rasullah saw.
Kemudian kesempatan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, dia berkata "Tamu itu lebih manis dari madu, orang yang menerima tamu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang yang mampu menyambut tamunya dengan hangat dan mesra dari mulai kedatangan mereka sampai saat mereka meninggalkan rumah tanpa kurang sedikitpun, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut". Rasulullah saw tersenyum sambil mengagumi perumpamaan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah juga diberi kesempatan untuk membuat perumpamaan, dia berkata “Wanita itu lebih manis dari madu, wanita yang shalihah lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mancari wanita yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya saja, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw pun memuji perumpamaan Fathimah.
Sekarang kesempatan Rasulullah saw membuat perumpamaan, beliau berkata “Amal itu lebih manis dari madu, orang yang beramal lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mencari orang beramal yang ikhlas dalam mengerjakan amalnya itu, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Allah swt kemudian melalui Rasulullah saw juga membuat perumpamaan, "Sorga-Ku lebih manis dari madu, keindahan sorga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun jalan menuju sorga-Ku susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”.
Dari perumpamaan kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah susahnya mempertahankan keimanan yang ada di dalam hati manusia, sampai dia meningggalkan dunia ini. Memang, keimanan adalah sebuah nikmat dan anugerah dari Allah kepada manusia. Akan tetapi, usaha mempertahankannya agar tidak tercabut dari akarnya, sungguh sesuatu yang termat sulit. Sebab, syaithan telah bersumpah di hadapan Tuhan, ketika ia diusir dari sorga bahwa sampai hari kiamat, ia akan berusaha mencabut keimanan dari manusia dan membawa ke jalan kesesatan. Permintaan syaithan tersebut, disahuti Allah dengan memberinya waktu sampai hari kiamat. Begitulah yang disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 13-17
قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ(13)قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(14)قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(15)قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17) قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ(18)
Artinya: “Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina(13). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan(14). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh(15). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus (16). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at) (17). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya(18).”
Begitu juga dalam surat al-Hijr [15]: 34-40
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(34)وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(35)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(36)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(37)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(38)قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk (34). Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat (35). Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan (36) Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (37). Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan (38). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (39) Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 77-83
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(77)وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(78)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(79)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(80)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(81)قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(82)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(83)
Artinya: “Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk (77). Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan (78). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan (79). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (80). Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat) (81). Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya (82). Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (83).”
Kedua, kekuasaan adalah hal yang selalu menjadi “incaran” setiap manusia, karena menjadi penguasa adalah suatu kebaikan, kehormatan dan kemuliaan. Akan tetapi, menjalankan kekuasaan yang pegang dengan cara adil adalah hal yang sangat sulit dicapai – jika tidak mengatakannya hal yang mustahil – kecuali hanya dalam jumlah yang teramat sedikit sekali. Sebab, menjadi penguasa yang adil, menjadi teladan, dan ikutan bagi manusia banyak adalah suatu hal yang termat sulit. Karena penguasa yang bisa seperti itu adalah para penguasa yang sudah melewati ujian kelayakan dan kepantasan. Bukankah Ibrahim as. dijadikan Allah sebagai pemimpin manusia yang penuh teladan, setelah melewati banyak ujian kelayakan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 124, Allah swt berfirman
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ketiga, memiliki ilmu adalah suatu karunia dan kemuliaan dari Allah. Akan tetapi, mengamalkan ilmu yang dimiliki adalah sesuatu yang teramat sulit. Setiap kali ilmu manusia bertambah, setiap kali itu pula Allah menuntutnya agar mengamalkan ilmunya. Betapa banyaknya celaan Allah terhadap manusia yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Lihat misalnya firman Allah dalam surat ash-Shaff [61] :2
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?.”
Begitu juga dalam surat al-Munafiqun [63]: 4
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ….
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu terpana mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar…”
Keempat, menjalin silaturrahmi dengan saling mengunjungi adalah suatu perbuatan yang mulia dan diperintahkan Allah. Bagi yang menerima tamu dan memuliakannya, diberikan kehormatan tersendiri sebagai manusia yang sempurna imannya. Bukankah Rasululllah saw bersabda
من كان يؤمن بالله وباليوم الآخر فاليكرم ضيفه
Artinya: “Siapa yang beriman dengan Allah dan dengan hari yang akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Akan tetapi, memperlakukan tamu dengan penuh kemuliaan, semenjak kedatangannya sampai dia meninggalkan rumah tuan rumah, tentulah seuatu yang teramat sulit. Seringkali tuan rumah, hanya ramah dan simpati kepada tamu ketika awal kedatangannya. Namun, jika tamu sudah berada beberapa hari di rumah tuan rumah, penghormatan yang pada awalnya hangat burubah menjadi “dingin” bahkan sampai tidak menegur tamu dan akhirnya mengusir sang tamu dengan tidak hormat.
Kelima, wanita baik-baik (shalihah) adalah sesuatu yang sangat berharga, karena sulitnya mencari perempuan seperti itu. Akan tetapi, mendapatkan wanita yang tidak pernah dilihat sama sekali orang lain, kecuali muhrimnya, tentulah lebih sulit lagi. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini, agaknya perempuan seperti itu hanya ada dalam khayalan atau ungkapan saja. Betapa tidak, dunia yang sudah semakin kecil dan kemjuan yang sangat pesat, tentu mempengaruhi sistem sosial dan intelektual masyarakat termasuk juga prilaku mereka. Perempuan yang dulu mesti di dampingi muhrimnya jika hendak keluar rumah, sekarang mereka bisa bebas keluar rumah kapan saja tanpa harus ada yang menemani. Masih adakah perempuan yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya hari ini? Wallahu a’lam
Keenam, mendapat hidayah untuk berbuat kebajikan tentulah suatu anugerah dari Allah. Namun, beramal saja tidaklah ada artinya jika tidak memiliki keikhlasan dalam mengerjakannya. Pekerjaan yang dilakukan tanpa keikhlasan, adalah pekerjaan yang rapuh ibarat debu yang mudah dihembus angin. Perbuatan ikhlas adalah sesuatu yang teramat sulit, karena syaithan tidak akan menginginkan dan membiarkan ada hamba yang berlaku ikhlas.
Akan tetapi, jika seorang berlaku ikhlas dalam beribadah, iblispun merasa takut terhadapnya, sehingga iapun tidak berani mengganggunya. Ketakutan iblis tersebut muncul dari pengakuannya sendiri, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Hijr [15]: 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya(39), Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Ketujuh, betapa sorga sebagai sebagai puncak dan muara segala bentuk kenikmatan, adalah sesuatu yang teramat susah memperolehnya. Sorga akan didapatkan setelah manusia melewati kesungguhan menghadapi serangkain ujian yang sangat panjang. Tidaklah sorga akan diberikan Allah kepada hamba-Nya, sebelum Dia mengetahui kesungguhan dan perjuangan hamba-Nya. Begitulah yang dikatakan Allah dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Semua perumpamaan di atas pada hakikatnya, bukan berarti sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun lebih menunjukan arti susahnya berbuat yang demikian itu. Yaitu, susahnya mempertahankan keimanan, berlaku adil terhadap amanah berupa kekuasaan, mengamalkan ilmu dengan sempurna, memuliakan tamu secara sempurna, wanita yang benar-benar bersih dan terjaga, beramal dengan ikhlas serta mendapatkan sorga Allah. Kalaupun itu ditemukan maka amat sedikit yang mampu melakukannya.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat beliau; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Layaknya tamu, Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah menyambut kedatangan mereka, kemudian disuruh masuk dan dipersilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, Fathimah ke dapur mencari hidangan untuk Rasulullah saw; ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Adapun hidangan yang dibawa Fathimah adalah madu yang diletakan di sebuah mangkuk yang indah.
Ketika madu yang berada dalam mangkuk tersebut berada di tengah mereka, Rasulullah saw melihat sehelai rambut di dekatnya. Kemudian Rasulullah saw mengambil ketiganya; madu dengan mangkuk dan sehelai rambut tersebut. Maka Rasulullah saw berkata kepada semua sahabatnya, “Coba kamu membuat perumpamaan dari yang tiga ini; madu, mangkuk dan sehelai rambut!”. Masing-masing mereka kemudian membuat perumpamaan.
Giliran pertama dipersilahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dia berkata “Iman itu lebih manis dari madu, orang yang beriman lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mempertahankan iman atau mencari orang yang mampu mempertahankan imannya sampai dia meninggalkan dunia ini, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw berdecak kagum dengan perumpamaan Abu Bakar.
Selanjutnya Umar bin Khattab dipersilahkan, dan dia berkata “Kekuasaan itu lebih manis dari madu, orang yang berkuasa/penguasa/ pemimpin lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun berkuasa secara adil atau mencari orang yang mampu berlaku adil terhadap kekuasaannya, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Rasulullah saw memuji perumpamaan Umar bin Khattab.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Utsman bin Affan, dia berkata “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Bagus, sambut Rasullah saw.
Kemudian kesempatan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, dia berkata "Tamu itu lebih manis dari madu, orang yang menerima tamu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang yang mampu menyambut tamunya dengan hangat dan mesra dari mulai kedatangan mereka sampai saat mereka meninggalkan rumah tanpa kurang sedikitpun, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut". Rasulullah saw tersenyum sambil mengagumi perumpamaan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah juga diberi kesempatan untuk membuat perumpamaan, dia berkata “Wanita itu lebih manis dari madu, wanita yang shalihah lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mancari wanita yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya saja, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw pun memuji perumpamaan Fathimah.
Sekarang kesempatan Rasulullah saw membuat perumpamaan, beliau berkata “Amal itu lebih manis dari madu, orang yang beramal lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mencari orang beramal yang ikhlas dalam mengerjakan amalnya itu, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Allah swt kemudian melalui Rasulullah saw juga membuat perumpamaan, "Sorga-Ku lebih manis dari madu, keindahan sorga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun jalan menuju sorga-Ku susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”.
Dari perumpamaan kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah susahnya mempertahankan keimanan yang ada di dalam hati manusia, sampai dia meningggalkan dunia ini. Memang, keimanan adalah sebuah nikmat dan anugerah dari Allah kepada manusia. Akan tetapi, usaha mempertahankannya agar tidak tercabut dari akarnya, sungguh sesuatu yang termat sulit. Sebab, syaithan telah bersumpah di hadapan Tuhan, ketika ia diusir dari sorga bahwa sampai hari kiamat, ia akan berusaha mencabut keimanan dari manusia dan membawa ke jalan kesesatan. Permintaan syaithan tersebut, disahuti Allah dengan memberinya waktu sampai hari kiamat. Begitulah yang disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 13-17
قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ(13)قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(14)قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(15)قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17) قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ(18)
Artinya: “Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina(13). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan(14). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh(15). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus (16). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at) (17). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya(18).”
Begitu juga dalam surat al-Hijr [15]: 34-40
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(34)وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(35)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(36)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(37)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(38)قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk (34). Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat (35). Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan (36) Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (37). Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan (38). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (39) Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 77-83
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(77)وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(78)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(79)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(80)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(81)قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(82)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(83)
Artinya: “Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk (77). Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan (78). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan (79). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (80). Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat) (81). Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya (82). Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (83).”
Kedua, kekuasaan adalah hal yang selalu menjadi “incaran” setiap manusia, karena menjadi penguasa adalah suatu kebaikan, kehormatan dan kemuliaan. Akan tetapi, menjalankan kekuasaan yang pegang dengan cara adil adalah hal yang sangat sulit dicapai – jika tidak mengatakannya hal yang mustahil – kecuali hanya dalam jumlah yang teramat sedikit sekali. Sebab, menjadi penguasa yang adil, menjadi teladan, dan ikutan bagi manusia banyak adalah suatu hal yang termat sulit. Karena penguasa yang bisa seperti itu adalah para penguasa yang sudah melewati ujian kelayakan dan kepantasan. Bukankah Ibrahim as. dijadikan Allah sebagai pemimpin manusia yang penuh teladan, setelah melewati banyak ujian kelayakan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 124, Allah swt berfirman
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ketiga, memiliki ilmu adalah suatu karunia dan kemuliaan dari Allah. Akan tetapi, mengamalkan ilmu yang dimiliki adalah sesuatu yang teramat sulit. Setiap kali ilmu manusia bertambah, setiap kali itu pula Allah menuntutnya agar mengamalkan ilmunya. Betapa banyaknya celaan Allah terhadap manusia yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Lihat misalnya firman Allah dalam surat ash-Shaff [61] :2
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?.”
Begitu juga dalam surat al-Munafiqun [63]: 4
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ….
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu terpana mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar…”
Keempat, menjalin silaturrahmi dengan saling mengunjungi adalah suatu perbuatan yang mulia dan diperintahkan Allah. Bagi yang menerima tamu dan memuliakannya, diberikan kehormatan tersendiri sebagai manusia yang sempurna imannya. Bukankah Rasululllah saw bersabda
من كان يؤمن بالله وباليوم الآخر فاليكرم ضيفه
Artinya: “Siapa yang beriman dengan Allah dan dengan hari yang akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Akan tetapi, memperlakukan tamu dengan penuh kemuliaan, semenjak kedatangannya sampai dia meninggalkan rumah tuan rumah, tentulah seuatu yang teramat sulit. Seringkali tuan rumah, hanya ramah dan simpati kepada tamu ketika awal kedatangannya. Namun, jika tamu sudah berada beberapa hari di rumah tuan rumah, penghormatan yang pada awalnya hangat burubah menjadi “dingin” bahkan sampai tidak menegur tamu dan akhirnya mengusir sang tamu dengan tidak hormat.
Kelima, wanita baik-baik (shalihah) adalah sesuatu yang sangat berharga, karena sulitnya mencari perempuan seperti itu. Akan tetapi, mendapatkan wanita yang tidak pernah dilihat sama sekali orang lain, kecuali muhrimnya, tentulah lebih sulit lagi. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini, agaknya perempuan seperti itu hanya ada dalam khayalan atau ungkapan saja. Betapa tidak, dunia yang sudah semakin kecil dan kemjuan yang sangat pesat, tentu mempengaruhi sistem sosial dan intelektual masyarakat termasuk juga prilaku mereka. Perempuan yang dulu mesti di dampingi muhrimnya jika hendak keluar rumah, sekarang mereka bisa bebas keluar rumah kapan saja tanpa harus ada yang menemani. Masih adakah perempuan yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya hari ini? Wallahu a’lam
Keenam, mendapat hidayah untuk berbuat kebajikan tentulah suatu anugerah dari Allah. Namun, beramal saja tidaklah ada artinya jika tidak memiliki keikhlasan dalam mengerjakannya. Pekerjaan yang dilakukan tanpa keikhlasan, adalah pekerjaan yang rapuh ibarat debu yang mudah dihembus angin. Perbuatan ikhlas adalah sesuatu yang teramat sulit, karena syaithan tidak akan menginginkan dan membiarkan ada hamba yang berlaku ikhlas.
Akan tetapi, jika seorang berlaku ikhlas dalam beribadah, iblispun merasa takut terhadapnya, sehingga iapun tidak berani mengganggunya. Ketakutan iblis tersebut muncul dari pengakuannya sendiri, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Hijr [15]: 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya(39), Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Ketujuh, betapa sorga sebagai sebagai puncak dan muara segala bentuk kenikmatan, adalah sesuatu yang teramat susah memperolehnya. Sorga akan didapatkan setelah manusia melewati kesungguhan menghadapi serangkain ujian yang sangat panjang. Tidaklah sorga akan diberikan Allah kepada hamba-Nya, sebelum Dia mengetahui kesungguhan dan perjuangan hamba-Nya. Begitulah yang dikatakan Allah dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Semua perumpamaan di atas pada hakikatnya, bukan berarti sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun lebih menunjukan arti susahnya berbuat yang demikian itu. Yaitu, susahnya mempertahankan keimanan, berlaku adil terhadap amanah berupa kekuasaan, mengamalkan ilmu dengan sempurna, memuliakan tamu secara sempurna, wanita yang benar-benar bersih dan terjaga, beramal dengan ikhlas serta mendapatkan sorga Allah. Kalaupun itu ditemukan maka amat sedikit yang mampu melakukannya.
Penjual Telur
Penjual Telur
Konon, pada suatu masa hiduplah seorang pemuda miskin yang setiap hari hidup dengan berbagai macam khayalan di benaknya. Suatu ketika, dia di suruh oleh ibunya pergi ke pasar membawa beberapa butir telur untuk dijual. Maka berangkatlah dia menuju pasar dengan membawa beberapa butir telur ke pasar yang berada cukup jauh dari rumahnya. Perjalanan menuju pasar harus ditempuhnya dengan menyeberangi sebuah sungai menumpang pada sebuah perahu.
Setelah menaiki sebuah perahu, pemuda itupun duduk di pinggir badan perahu sambil menjulurkan kakinya ke dalam air. Sambil menggoyangkan kakinya ke dalam air dan memegang kantong telur yang ada di tangannya, diapun mulai berkhayal tentang masa depan yang indah dan cemerlang. Dia berkata, “Nanti, jika sudah sampai di pasar telur ini saya jual, lalu saya belikan seekor ayam betina. Ayam ini kemudian saya pelihara, hingga beranak-pinak dan berjumlah ratusan ekor. Kemudian, ayam yang banyak itu saya jual, dan saya belikan seekor kambing. Kambing itupun saya pelihara, hingga beberapa bulan kemudian dia berkembang biak dan mencapai jumlah puluhan bahkan ratusan. Kambing itupun kemudian saya jual, dan saya belikan seekor sapi. Sapi itu saya pelihara hingga beberapa tahun kemudian berjumlah puluhan ekor atau bahkan rastusan ekor. Sapi ini saya jual, lalu saya beli sebuah rumah yang sangat bagus seperti istana raja. Sebagiannya saya belikan kebun-kebun yang luas. Sebagian lagi saya belikan budak-budak dan pelayan yang akan membantu mengurus kekayaan saya. Sayapun menikah dan mempunyai beberapa isteri yang cantik-cantik. Dari isteri-isteri itu, saya mendapatkan banyak anak yang sehat dan cerdas. Semua anak, isteri, dan pembantu saya, hidup dengan senang dan berlimpah harta. Sehingga semua mereka mematuhi dan menghormati saya. Jika mereka membantah atau melawan perintah saya, maka saya akan memukul dan menghajar mereka”. Sambil memperagakan bagaimana dia menghajar, diapun menggerakan kaki dan tangannya dengan kuat, sehingga telur yang ada di tangannya terlempar ke dalam sungai dan berserakan. Dan dalam beberapa detik, telur itupun hilang ditelan air sungai yang dalam. Dia hanya bisa menggigit anak jarinya, sambil melihat telur yang akan di jualnya di telan oleh arus sungai.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa khayalan dan angan-angan hanyalah akan membuat seseorang menjadi manusia yang merugi. Dalam beberapa ayat-Nya Allh swt. melarang manusia untuk menjadi orang yang panjang angan-angan. Misalnya dalam surat al-Hijr [15]: 88
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.
Begitu juga firman Allah dalam surat al-Qashash [28]: 79, di mana Allah swt mencela sebagian manusia yang berangan-angan agar memperoleh kenikmatan seperti Qarun.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Artinya: “Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
Khayalan atau panjang angan-angan (thûl al-amal), bukan hanya membuat manusia menjadi orang pemalas, namun juga membuat hati menjadi mati. Bukankah malas juga merupakan salah satu penyakit rohani, yang mana manusia disuruh berlindung dari sikap hidup tersebut. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah mengajarkan suatu do’a kepada umatnya
اللهم إني أعوذبك من الهم والحزن وأعوذبك من الجبن والبخل وأعوذبك من العجز والكسل وأعوذبك غلبة الدين وقهر الرجال
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari sikap takut dan rusuh, dari sikap penegcut dan kikir, dari sikap lemah dan malas, dari sikap lililatan hutang dan desakan orang lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, sebaiknya manusia giat dan tekun bekerja tanpa menunggu dan banyak berpangku tangan. Kerjakanlah apa yang bisa dikerjakan, sehingga tidak sedikitpun waktu terbuang percuma tanpa hasil yang bisa dipetik. Tidaklah ada kesuksesan tanpa kerja keras, dan tiadalah kebahagiaan tanpa kesusahan. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Jumu’ah [62] : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berusaha mencari kebaikan dunia sebanyak banyaknya, dan pada saat yang bersamaan juga mencari kebaikan akhirat. Karena keberuntungan dan kesuksesan manusia terletak pada pemanfaatan waktu yang diberikan kepada mereka. Tuhan menyebut mereka dengan kelompok manusia sukses, berhasil atau beruntung (muflihûn). Begitu juga Allah swt berfirman dalam surat Alam Nasyrah [94]: 7, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Dengan demikian, tidak ada istilah waktu kosong atau waktu “nganggur” dalam kehidupan setiap manusia.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin juga menjadi bagian dari ciri manusia yang sempurna. Sebab, Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk berakhlak dengan akhlak dan sifat Allah swt. walaupun tidak akan bisa sampai ke tingkat sempurna. Salah satu sifat Allah swt. yang mesti diikuti dan diteladani manusia adalah selalu sibuk dengan urusan, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 29
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Sehingga, manusia yang sibuk termasuk manusia yang meneladani sifat Allah swt dan berpeluang bukan hanya menjadi manusia yang sukses, namun juga menjadi manusia yang sempurna. Sementara manusia yang tidak mampu mempergunakan waktunya dengan baik akan menjadi manusia yang merugi.
Konon, pada suatu masa hiduplah seorang pemuda miskin yang setiap hari hidup dengan berbagai macam khayalan di benaknya. Suatu ketika, dia di suruh oleh ibunya pergi ke pasar membawa beberapa butir telur untuk dijual. Maka berangkatlah dia menuju pasar dengan membawa beberapa butir telur ke pasar yang berada cukup jauh dari rumahnya. Perjalanan menuju pasar harus ditempuhnya dengan menyeberangi sebuah sungai menumpang pada sebuah perahu.
Setelah menaiki sebuah perahu, pemuda itupun duduk di pinggir badan perahu sambil menjulurkan kakinya ke dalam air. Sambil menggoyangkan kakinya ke dalam air dan memegang kantong telur yang ada di tangannya, diapun mulai berkhayal tentang masa depan yang indah dan cemerlang. Dia berkata, “Nanti, jika sudah sampai di pasar telur ini saya jual, lalu saya belikan seekor ayam betina. Ayam ini kemudian saya pelihara, hingga beranak-pinak dan berjumlah ratusan ekor. Kemudian, ayam yang banyak itu saya jual, dan saya belikan seekor kambing. Kambing itupun saya pelihara, hingga beberapa bulan kemudian dia berkembang biak dan mencapai jumlah puluhan bahkan ratusan. Kambing itupun kemudian saya jual, dan saya belikan seekor sapi. Sapi itu saya pelihara hingga beberapa tahun kemudian berjumlah puluhan ekor atau bahkan rastusan ekor. Sapi ini saya jual, lalu saya beli sebuah rumah yang sangat bagus seperti istana raja. Sebagiannya saya belikan kebun-kebun yang luas. Sebagian lagi saya belikan budak-budak dan pelayan yang akan membantu mengurus kekayaan saya. Sayapun menikah dan mempunyai beberapa isteri yang cantik-cantik. Dari isteri-isteri itu, saya mendapatkan banyak anak yang sehat dan cerdas. Semua anak, isteri, dan pembantu saya, hidup dengan senang dan berlimpah harta. Sehingga semua mereka mematuhi dan menghormati saya. Jika mereka membantah atau melawan perintah saya, maka saya akan memukul dan menghajar mereka”. Sambil memperagakan bagaimana dia menghajar, diapun menggerakan kaki dan tangannya dengan kuat, sehingga telur yang ada di tangannya terlempar ke dalam sungai dan berserakan. Dan dalam beberapa detik, telur itupun hilang ditelan air sungai yang dalam. Dia hanya bisa menggigit anak jarinya, sambil melihat telur yang akan di jualnya di telan oleh arus sungai.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa khayalan dan angan-angan hanyalah akan membuat seseorang menjadi manusia yang merugi. Dalam beberapa ayat-Nya Allh swt. melarang manusia untuk menjadi orang yang panjang angan-angan. Misalnya dalam surat al-Hijr [15]: 88
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.
Begitu juga firman Allah dalam surat al-Qashash [28]: 79, di mana Allah swt mencela sebagian manusia yang berangan-angan agar memperoleh kenikmatan seperti Qarun.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Artinya: “Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
Khayalan atau panjang angan-angan (thûl al-amal), bukan hanya membuat manusia menjadi orang pemalas, namun juga membuat hati menjadi mati. Bukankah malas juga merupakan salah satu penyakit rohani, yang mana manusia disuruh berlindung dari sikap hidup tersebut. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah mengajarkan suatu do’a kepada umatnya
اللهم إني أعوذبك من الهم والحزن وأعوذبك من الجبن والبخل وأعوذبك من العجز والكسل وأعوذبك غلبة الدين وقهر الرجال
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari sikap takut dan rusuh, dari sikap penegcut dan kikir, dari sikap lemah dan malas, dari sikap lililatan hutang dan desakan orang lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, sebaiknya manusia giat dan tekun bekerja tanpa menunggu dan banyak berpangku tangan. Kerjakanlah apa yang bisa dikerjakan, sehingga tidak sedikitpun waktu terbuang percuma tanpa hasil yang bisa dipetik. Tidaklah ada kesuksesan tanpa kerja keras, dan tiadalah kebahagiaan tanpa kesusahan. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Jumu’ah [62] : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berusaha mencari kebaikan dunia sebanyak banyaknya, dan pada saat yang bersamaan juga mencari kebaikan akhirat. Karena keberuntungan dan kesuksesan manusia terletak pada pemanfaatan waktu yang diberikan kepada mereka. Tuhan menyebut mereka dengan kelompok manusia sukses, berhasil atau beruntung (muflihûn). Begitu juga Allah swt berfirman dalam surat Alam Nasyrah [94]: 7, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Dengan demikian, tidak ada istilah waktu kosong atau waktu “nganggur” dalam kehidupan setiap manusia.
Pemanfaatan waktu sebaik mungkin juga menjadi bagian dari ciri manusia yang sempurna. Sebab, Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk berakhlak dengan akhlak dan sifat Allah swt. walaupun tidak akan bisa sampai ke tingkat sempurna. Salah satu sifat Allah swt. yang mesti diikuti dan diteladani manusia adalah selalu sibuk dengan urusan, seperti yang disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 29
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Sehingga, manusia yang sibuk termasuk manusia yang meneladani sifat Allah swt dan berpeluang bukan hanya menjadi manusia yang sukses, namun juga menjadi manusia yang sempurna. Sementara manusia yang tidak mampu mempergunakan waktunya dengan baik akan menjadi manusia yang merugi.
Abid Dan Seekor Kucing
Abid Dan Seekor Kucing
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah sepasang suami isteri yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai Tuhan seorang anakpun. Keduanya selalu berdo’a kepada Tuhan dengan penuh keyakinan, agar dikaruniai seorang anak yang shalih. Sebagai penghibur diri ketika mereka kesepian, sang abid memelihara seekor kucing yang sangat pintar. Setiap hari, dia bermain dan bercanda dengan kucing tersebut, dan sesekali kucing itu disuruhnya melakukan suatu pekerjaan. Sang abid dan iterinya sangat menyayangi kucing itu karena kepintarannya.
Setelah lama menunggu, akhirnya Tuhan mengabulkan permohonan mereka, dan isteri sang abid tersebut pun hamil. Setelah berlalu beberapa bulan, anak yang sudah lama ditunggu pun lahir ke dunia. Isterinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil dan tampan. Tidak terlukiskan kebahagian sang abid dan isterinya. Perhelatan besar sebagai syukuran dilaksanakan, dengan memanggil seluruh tetangga dan kerabat. Keluarga sang abid dan isterinya diliputi kebahagiaan yang tiada taranya. Mereka tidak henti-hentinya memuji dan mengucap syukur kepada Tuhan.
Waktupun terus berlalu, sampai di suatu hari isteri sang abid pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan rumah tangga, dan sang abid menjaga anaknya di rumah menunggu kepulangan isterinya. Di saat itulah, datang utusan kerajaan menemui sang abid dan menyampaikan pesan raja. Kepada abid raja berpesan, agar dia segera ke istana untuk menemui raja guna membicarakan hal yang sangat penting.
Sang abid berfikir keras tentang apa yang mesti dilakukannya. Jika dia menunggu kepulangan isterinya, mungkin raja akan marah kepadanya karena dianggap melecehkan perintahnya. Jika dia menghadap raja saat itu, kepada siapakah dia akan menitipkan anaknya yang masih tidur. Maka teringatlah dia akan kucingnya yang cerdas. Kucing itupun dipanggilnya, dan berpesan kepadanya agar menjaga anaknya dan tidak meninggalkan rumah, hingga dia atau isterinya kembali. Kucing itupun seperti memahami dan mengiyakan perintah tuannya dengan cara “mengeong” dan menggesekan kepala di kaki tuannya.
Maka berangkatlah sang abid menemui raja di istana. Namun, sepeninggal sang abid, datanglah seekor ular yang besar ke kamar tempat anaknya tidur. Ular tersebut bermaksud hendak mematuk dan memakan anaknya. Ketika itulah, kucing sang abid datang dan menggagalkan niat ular itu. Terjadilah perkelahian sengit di antara keduanya. Setelah lama berkelahi akhirnya kucing berhasil melumpuhkan ular dan memotong-motong tubuhnya. Ia membiarkan tubuh ular tersebut terpotong-potong di dekat anak sang abid yang masih tertidur pulas. Maka kucing itu pergi ke pintu dengan mulut yang penuh darah, dengan maksud menyambut kedatangan tuannya dan memberitahukan apa yang telah dilakukannya.
Beberapa saat kemudian, sang abidpun kembali dari menghadap raja. Ketika dia membuka pintu, alangkah terkejutnya dia melihat kucingnya berlumuran darah. Sementara kucing itupun menyambut tuannya dengan riangnya dengan “menggaruk-garuk” kaki tuannya dan menggesekan tubuhnya. Akan tetapi, sang abid sudah naik pitam dan mukanya sangat merah. Sebab, dia menduga kalau kucing ini telah memakan anaknya. Dalam kondisi “gelap mata” diambilnya potongan kayu yang biasa dipakai pengunci pintu, dan dipukulkan ke kepala kucing tersebut. Kucing itupun “mengeong” karena sakit, dan akhirnya terkapar tidak bernyawa akibat kerasnya pukulan sang abid.
Sang abid pun bergegas ke kamarnya melihat keberadaan anaknya. Dan alangkah terkejutnya sang abid ketika mendapatkan anaknya masih utuh dan tidur pulas, tanpa kurang satu apapun. Dan lebih terkejut lagi, ketika dia melihat bangkai ular besar yang berlumuran darah di dekat anaknya. Sadarlah sang abid tentang apa yang telah terjadi. Ternyata kucingnya telah memperlihatkan baktinya dengan mengorbankan nyawanya melawan ular ini demi keselamatan anaknya. Maka menangislah sang abid sekuat tanaga, dan diapun memukuli dan menyesali dirinya. Akan tetapi, semua telah terlambat karena kucing itu sudah mati dan tidak mungkin lagi kembali. Sang abidpun, memeluk kucingnya dan menangis tersedu-sedu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, janganlah seorang atau sepasang suami isteri merasa putus asa akan rahmat Tuhan, jika belum dikaruniai seorang anak. Berdo’alah dengan tulus dan penuh keyakinan akan kebesaran dan rakmat-Nya. Jika selau berdo’a dengan penuh keyikinan, suatu saat Allah pasti akan memberinya. Bukankah Ibrahim as. juga sangat lama diberikan keturunan? Namun, beliau dengan penuh keyikinan selalu berdo’a kepada Allah supaya dikaruniai seorang anak yang shalih. Seperti yang diceritakan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 100
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Jika Allah menghendaki, maka tidak ada sutupun yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Bukankah nabi Zakariyah as. mendapat seorang anak dari seorang isteri yang jelas-jelas mandul dan sudah tua? Akan tetapi, berkat keyakinannya akan kebesaran Allah, serta do’anya yang tulus akhirnya Allah memberinya seorang anak yang shalih, Yahya as. Begitulah yang diceritakan Allah dalam surat Maryam [19]: 2-11
ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا(6) يَازَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا(7)قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا(8)قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا(9)قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي ءَايَةً قَالَ ءَايَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا(10)فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا(11)
Artinya: “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya (2). Yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (3). Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku (4). Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera(5). Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai (6). Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia (7). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua (8). Tuhan berfirman: "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali (9). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat (10). Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (11).”
Bahkan, jika Tuhan menghendaki, jangankan dari sepasang suami isteri yang mandul, dari rahim seorang perempuan yang tidak pernah disentuh laki-lakipun bisa lahir seorang anak manusia. bukankah nabi Isa as. dilahirkan ibunya tanpa seorang ayah? Lalu bagaimana mungkin sepasang suami iteri putus asa dari rahmat Tuhan?
Kedua, janganlah seseorang gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan, sebelum memeriksa suatu persolaan dengan teliti dan seksama. Tidaklah baik, jika mengambil keputusan tanpa mencari tahu tentang kebenaran sesuatu. Jika demikian halnya, maka keputusan yang diambil kemungkinan besar adalah keputusan yang keliru, merugikan, bahkan membuat seseorang menyesal di kemudian hari. Sikap-tergesa-gesa dalam suatu perkara, adalah di antara sikap syaithan. Jika kita perhatikan al-Qur’an, semua kata tergesa-gesa (‘ajala dan semua bentuknya) selau diungkapkan Allah dalam bentuk celaan kepada pelakunya. Lihat misalnya surat Thaha [20]: 83, di mana Allah swt. menegur nabi Musa atas sikapnya yang tergesa-gesa.
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَامُوسَى
Artinya: “Mengapa kamu datang lebih cepat (tergesa-gesa) daripada kaummu, hai Musa?”
Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 11, Allah mencela manusia dengan sikapnya yang tergesa-gesa.
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Di sinilah perlunya ketelitian (tabayyun) terhadap suatu berita, informasi atau suatu kedaan, agar tidak mengambil keputusan dan tindakan yang salah. Tindakan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang, bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah sepasang suami isteri yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai Tuhan seorang anakpun. Keduanya selalu berdo’a kepada Tuhan dengan penuh keyakinan, agar dikaruniai seorang anak yang shalih. Sebagai penghibur diri ketika mereka kesepian, sang abid memelihara seekor kucing yang sangat pintar. Setiap hari, dia bermain dan bercanda dengan kucing tersebut, dan sesekali kucing itu disuruhnya melakukan suatu pekerjaan. Sang abid dan iterinya sangat menyayangi kucing itu karena kepintarannya.
Setelah lama menunggu, akhirnya Tuhan mengabulkan permohonan mereka, dan isteri sang abid tersebut pun hamil. Setelah berlalu beberapa bulan, anak yang sudah lama ditunggu pun lahir ke dunia. Isterinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil dan tampan. Tidak terlukiskan kebahagian sang abid dan isterinya. Perhelatan besar sebagai syukuran dilaksanakan, dengan memanggil seluruh tetangga dan kerabat. Keluarga sang abid dan isterinya diliputi kebahagiaan yang tiada taranya. Mereka tidak henti-hentinya memuji dan mengucap syukur kepada Tuhan.
Waktupun terus berlalu, sampai di suatu hari isteri sang abid pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan rumah tangga, dan sang abid menjaga anaknya di rumah menunggu kepulangan isterinya. Di saat itulah, datang utusan kerajaan menemui sang abid dan menyampaikan pesan raja. Kepada abid raja berpesan, agar dia segera ke istana untuk menemui raja guna membicarakan hal yang sangat penting.
Sang abid berfikir keras tentang apa yang mesti dilakukannya. Jika dia menunggu kepulangan isterinya, mungkin raja akan marah kepadanya karena dianggap melecehkan perintahnya. Jika dia menghadap raja saat itu, kepada siapakah dia akan menitipkan anaknya yang masih tidur. Maka teringatlah dia akan kucingnya yang cerdas. Kucing itupun dipanggilnya, dan berpesan kepadanya agar menjaga anaknya dan tidak meninggalkan rumah, hingga dia atau isterinya kembali. Kucing itupun seperti memahami dan mengiyakan perintah tuannya dengan cara “mengeong” dan menggesekan kepala di kaki tuannya.
Maka berangkatlah sang abid menemui raja di istana. Namun, sepeninggal sang abid, datanglah seekor ular yang besar ke kamar tempat anaknya tidur. Ular tersebut bermaksud hendak mematuk dan memakan anaknya. Ketika itulah, kucing sang abid datang dan menggagalkan niat ular itu. Terjadilah perkelahian sengit di antara keduanya. Setelah lama berkelahi akhirnya kucing berhasil melumpuhkan ular dan memotong-motong tubuhnya. Ia membiarkan tubuh ular tersebut terpotong-potong di dekat anak sang abid yang masih tertidur pulas. Maka kucing itu pergi ke pintu dengan mulut yang penuh darah, dengan maksud menyambut kedatangan tuannya dan memberitahukan apa yang telah dilakukannya.
Beberapa saat kemudian, sang abidpun kembali dari menghadap raja. Ketika dia membuka pintu, alangkah terkejutnya dia melihat kucingnya berlumuran darah. Sementara kucing itupun menyambut tuannya dengan riangnya dengan “menggaruk-garuk” kaki tuannya dan menggesekan tubuhnya. Akan tetapi, sang abid sudah naik pitam dan mukanya sangat merah. Sebab, dia menduga kalau kucing ini telah memakan anaknya. Dalam kondisi “gelap mata” diambilnya potongan kayu yang biasa dipakai pengunci pintu, dan dipukulkan ke kepala kucing tersebut. Kucing itupun “mengeong” karena sakit, dan akhirnya terkapar tidak bernyawa akibat kerasnya pukulan sang abid.
Sang abid pun bergegas ke kamarnya melihat keberadaan anaknya. Dan alangkah terkejutnya sang abid ketika mendapatkan anaknya masih utuh dan tidur pulas, tanpa kurang satu apapun. Dan lebih terkejut lagi, ketika dia melihat bangkai ular besar yang berlumuran darah di dekat anaknya. Sadarlah sang abid tentang apa yang telah terjadi. Ternyata kucingnya telah memperlihatkan baktinya dengan mengorbankan nyawanya melawan ular ini demi keselamatan anaknya. Maka menangislah sang abid sekuat tanaga, dan diapun memukuli dan menyesali dirinya. Akan tetapi, semua telah terlambat karena kucing itu sudah mati dan tidak mungkin lagi kembali. Sang abidpun, memeluk kucingnya dan menangis tersedu-sedu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, janganlah seorang atau sepasang suami isteri merasa putus asa akan rahmat Tuhan, jika belum dikaruniai seorang anak. Berdo’alah dengan tulus dan penuh keyakinan akan kebesaran dan rakmat-Nya. Jika selau berdo’a dengan penuh keyikinan, suatu saat Allah pasti akan memberinya. Bukankah Ibrahim as. juga sangat lama diberikan keturunan? Namun, beliau dengan penuh keyikinan selalu berdo’a kepada Allah supaya dikaruniai seorang anak yang shalih. Seperti yang diceritakan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 100
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Jika Allah menghendaki, maka tidak ada sutupun yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Bukankah nabi Zakariyah as. mendapat seorang anak dari seorang isteri yang jelas-jelas mandul dan sudah tua? Akan tetapi, berkat keyakinannya akan kebesaran Allah, serta do’anya yang tulus akhirnya Allah memberinya seorang anak yang shalih, Yahya as. Begitulah yang diceritakan Allah dalam surat Maryam [19]: 2-11
ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا(6) يَازَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا(7)قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا(8)قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا(9)قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي ءَايَةً قَالَ ءَايَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا(10)فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا(11)
Artinya: “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya (2). Yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (3). Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku (4). Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera(5). Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai (6). Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia (7). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua (8). Tuhan berfirman: "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali (9). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat (10). Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (11).”
Bahkan, jika Tuhan menghendaki, jangankan dari sepasang suami isteri yang mandul, dari rahim seorang perempuan yang tidak pernah disentuh laki-lakipun bisa lahir seorang anak manusia. bukankah nabi Isa as. dilahirkan ibunya tanpa seorang ayah? Lalu bagaimana mungkin sepasang suami iteri putus asa dari rahmat Tuhan?
Kedua, janganlah seseorang gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan, sebelum memeriksa suatu persolaan dengan teliti dan seksama. Tidaklah baik, jika mengambil keputusan tanpa mencari tahu tentang kebenaran sesuatu. Jika demikian halnya, maka keputusan yang diambil kemungkinan besar adalah keputusan yang keliru, merugikan, bahkan membuat seseorang menyesal di kemudian hari. Sikap-tergesa-gesa dalam suatu perkara, adalah di antara sikap syaithan. Jika kita perhatikan al-Qur’an, semua kata tergesa-gesa (‘ajala dan semua bentuknya) selau diungkapkan Allah dalam bentuk celaan kepada pelakunya. Lihat misalnya surat Thaha [20]: 83, di mana Allah swt. menegur nabi Musa atas sikapnya yang tergesa-gesa.
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَامُوسَى
Artinya: “Mengapa kamu datang lebih cepat (tergesa-gesa) daripada kaummu, hai Musa?”
Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 11, Allah mencela manusia dengan sikapnya yang tergesa-gesa.
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Di sinilah perlunya ketelitian (tabayyun) terhadap suatu berita, informasi atau suatu kedaan, agar tidak mengambil keputusan dan tindakan yang salah. Tindakan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang, bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ibn Hajar; Murid Bodoh Jadi Ulama
Ibn Hajar; Murid Bodoh Jadi Ulama
Konon pada suatu masa, terdapatlah sebuah madrasah yang dipimpin oleh seorang ulama yang sangat terkenal kedalaman dan keluasan ilmunya. Di sana, berkumpullah banyak siswa untuk belajar yang datang dari berbagai penjuru negeri. Madrasah itu sudah banyak menghasilkan ulama-ulama terkenal yang terpencar ke berbagai negeri.
Dari sekian banyak yang belajar murid di madrasah tersebut, terdapatlah seorang murid bernama Ibn Hajar. Dia dikenal sebagai murid yang memiliki kemampuan rendah “bodoh” dalam menyerap pelajaran yang diberikan para gurunya. Setiap kali dijelaskan suatu pelajaran kepadanya, setiap kali itu pula dia lupa. Berbeda dengan kawan-kawannya yang lain, di mana mereka memiliki otak yang cerdas dan kemampuan yang bagus dalam menyerap pelajaran. Namun demikian, Ibn Hajar terkenal sebagai murid yang rajin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Tidak satupun meteri pelajaran yang ditinggalkannya, begitu juga tidak seorang gurupun yang tidak ditemuinya untuk mengikuti pelajaran.
Seiring berlalunya masa, Ibn Hajar ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Dia masih saja sebagai murid yang “bodoh” dan tidak mampu menyerap pelajaran yang diberikan kepadanya. Bahkan sudah hampir separoh umurnya telah dihabiskannya di madarasah itu. Kawan-kawan yang dulu sama-sama belajar dengannya, sudah menjadi ulama-ulama terkenal di berbagai negeri. Maka muncullah rasa pesimis dalam diri Ibn Hajar untuk menuntut ilmu. Dia bermaksud meninggalkan madrasah itu, dan berkelana mencari sesuatu sambil menghabiskan sisa umurnya.
Suatu hari, datanglah Ibn Hajar menemui gurunya dan mengemukakan maksudnya hendak meninggalkan madrasah dan hidup berkelana ke berbagai negeri. Dia mengatakan bahwa ini mungkin sudah takdirnya sebagai orang yang tidak diberikan kecerdasan dan kemampuan intelektual. Sebelum berangkat, gurunya kembali mengingatkan agar mengurungkan niatnya meninggalkan pelajaran, dan tetaplah bersungguh-sungguh sampai Allah memberikan petunjuk-Nya. Gurunya juga berpesan, jika suatu hari nanti dia bermaksud kembali ke madrasah ini dan ingin melanjutkan pelajarannya, maka madarah ini selalu terbuka untuknya kapan saja dia datang.
Maka berangkatlah Ibn Hajar meninggalkan madrasah dan guru-gurunya. Dia terus berjalan mengikuti arah langklah kakinya. Setelah lama berjalan, dia pun merasakan kelelahan. Ibn Hajar beristirahat di sebuah tempat yang teduh, di atasnya tumbuh sebatang pohon besar yang rindang. Ketika itu, dia melihat air menetes ke sebuah batu yang ada di dekatnya. Dia memperhatikan hal itu dengan seksama, ternyata air menetes satu demi satu dari akar pohon itu dalam jarak yang lama dan menimpa batu tersebut. Namun, dia melihat bahwa batu itu ternyata berlobang karena tetesan air tersebut. Mulailah dia berfikir, “Jika saja air yang menetes satu demi satu dalam waktu yang lama, bisa melobangi batu yangs angat keras, lalu kenapa saya harus berputus asa dalam menuntut ilmu. Bukankah jika saya tetap bersungguh-sungguh mencari ilmu, walupun satu setiap hari, akan bisa membuat saya menjadi seorang alim?”.
Dengan perasaan senang seperti mendapatkan petunjuk dan bimbingan Allah, diapun bergegas kembali ke madarsah yang telah ditinggalkannya. Kemudian menyampaikan maksud dan keinginannya kepada gurunya untuk melanjutkan pelajaran di madrasah itu. Akan tetapi, mulai saat itu terjadi hal yang luar biasa dalam diri Ibn Hajar. Jika sebelumnya dia terekanal sebagai murid yang kurang cerdas dan lemah daya ingatnya, sekarang dia menjadi murid yang paling cerdas, memiliki otak yang encer dan daya ingat yang kuat. Bahkan, saking cerdasnya Ibn Hajar, ibarat pepatah “Satu yang diajarkan, sepuluh dia dapatkan”. Akhirnya semua guru dan murid di sana mengaguminya, dan dalam waktu yang cepat dia sudah menjadi seorang yang memilki ilmu yang sangat luas. Bahkan keluasan ilmunya, melebihi kawan-kawannya yang sudah menjadi ulama-ulama terkenal sebelumnya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa begitulah buah dari kesungguhan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam menuntut ilmu. Sekalipun dengan kemampuan otak yang sederhana, namun jika terus-menerus di asah, maka hal itu tidak menghalangi seseorang menjadi seorang yang sukses dan mengusai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kesungguhan adalah kunci suatu keberhasilan. Kecerdasan tidak berarti apa-apa, jika tidak memiliki kesungguhan. Bukankah semut yang memiliki tubuh yang kecil, dengan kesungguhannya bisa membuat tumpukan sebesar gunung?
Di samping itu, seseorang hendaklah yakin akan petunjuk dan pertolongan Allah yang sangat dekat. Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam melakukakn sesuatu dan meyakini pertolongan Allah, maka tidak ada satuppun pekerjaan yang tidak bisa dicapainya. Sehingga, kesungguhan dan keyakinan adalah dua hal penting mancapai kesuksesan. Ingatlah apa yang dipesankan Musa as. kepada kaumnya, ketika kaumnya putus asa untuk bisa melepaskan diri dari penindasan Fir’aun. Firman Allah dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 24
قَالَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
Artinya: “Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.”
Konon pada suatu masa, terdapatlah sebuah madrasah yang dipimpin oleh seorang ulama yang sangat terkenal kedalaman dan keluasan ilmunya. Di sana, berkumpullah banyak siswa untuk belajar yang datang dari berbagai penjuru negeri. Madrasah itu sudah banyak menghasilkan ulama-ulama terkenal yang terpencar ke berbagai negeri.
Dari sekian banyak yang belajar murid di madrasah tersebut, terdapatlah seorang murid bernama Ibn Hajar. Dia dikenal sebagai murid yang memiliki kemampuan rendah “bodoh” dalam menyerap pelajaran yang diberikan para gurunya. Setiap kali dijelaskan suatu pelajaran kepadanya, setiap kali itu pula dia lupa. Berbeda dengan kawan-kawannya yang lain, di mana mereka memiliki otak yang cerdas dan kemampuan yang bagus dalam menyerap pelajaran. Namun demikian, Ibn Hajar terkenal sebagai murid yang rajin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Tidak satupun meteri pelajaran yang ditinggalkannya, begitu juga tidak seorang gurupun yang tidak ditemuinya untuk mengikuti pelajaran.
Seiring berlalunya masa, Ibn Hajar ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Dia masih saja sebagai murid yang “bodoh” dan tidak mampu menyerap pelajaran yang diberikan kepadanya. Bahkan sudah hampir separoh umurnya telah dihabiskannya di madarasah itu. Kawan-kawan yang dulu sama-sama belajar dengannya, sudah menjadi ulama-ulama terkenal di berbagai negeri. Maka muncullah rasa pesimis dalam diri Ibn Hajar untuk menuntut ilmu. Dia bermaksud meninggalkan madrasah itu, dan berkelana mencari sesuatu sambil menghabiskan sisa umurnya.
Suatu hari, datanglah Ibn Hajar menemui gurunya dan mengemukakan maksudnya hendak meninggalkan madrasah dan hidup berkelana ke berbagai negeri. Dia mengatakan bahwa ini mungkin sudah takdirnya sebagai orang yang tidak diberikan kecerdasan dan kemampuan intelektual. Sebelum berangkat, gurunya kembali mengingatkan agar mengurungkan niatnya meninggalkan pelajaran, dan tetaplah bersungguh-sungguh sampai Allah memberikan petunjuk-Nya. Gurunya juga berpesan, jika suatu hari nanti dia bermaksud kembali ke madrasah ini dan ingin melanjutkan pelajarannya, maka madarah ini selalu terbuka untuknya kapan saja dia datang.
Maka berangkatlah Ibn Hajar meninggalkan madrasah dan guru-gurunya. Dia terus berjalan mengikuti arah langklah kakinya. Setelah lama berjalan, dia pun merasakan kelelahan. Ibn Hajar beristirahat di sebuah tempat yang teduh, di atasnya tumbuh sebatang pohon besar yang rindang. Ketika itu, dia melihat air menetes ke sebuah batu yang ada di dekatnya. Dia memperhatikan hal itu dengan seksama, ternyata air menetes satu demi satu dari akar pohon itu dalam jarak yang lama dan menimpa batu tersebut. Namun, dia melihat bahwa batu itu ternyata berlobang karena tetesan air tersebut. Mulailah dia berfikir, “Jika saja air yang menetes satu demi satu dalam waktu yang lama, bisa melobangi batu yangs angat keras, lalu kenapa saya harus berputus asa dalam menuntut ilmu. Bukankah jika saya tetap bersungguh-sungguh mencari ilmu, walupun satu setiap hari, akan bisa membuat saya menjadi seorang alim?”.
Dengan perasaan senang seperti mendapatkan petunjuk dan bimbingan Allah, diapun bergegas kembali ke madarsah yang telah ditinggalkannya. Kemudian menyampaikan maksud dan keinginannya kepada gurunya untuk melanjutkan pelajaran di madrasah itu. Akan tetapi, mulai saat itu terjadi hal yang luar biasa dalam diri Ibn Hajar. Jika sebelumnya dia terekanal sebagai murid yang kurang cerdas dan lemah daya ingatnya, sekarang dia menjadi murid yang paling cerdas, memiliki otak yang encer dan daya ingat yang kuat. Bahkan, saking cerdasnya Ibn Hajar, ibarat pepatah “Satu yang diajarkan, sepuluh dia dapatkan”. Akhirnya semua guru dan murid di sana mengaguminya, dan dalam waktu yang cepat dia sudah menjadi seorang yang memilki ilmu yang sangat luas. Bahkan keluasan ilmunya, melebihi kawan-kawannya yang sudah menjadi ulama-ulama terkenal sebelumnya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa begitulah buah dari kesungguhan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam menuntut ilmu. Sekalipun dengan kemampuan otak yang sederhana, namun jika terus-menerus di asah, maka hal itu tidak menghalangi seseorang menjadi seorang yang sukses dan mengusai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kesungguhan adalah kunci suatu keberhasilan. Kecerdasan tidak berarti apa-apa, jika tidak memiliki kesungguhan. Bukankah semut yang memiliki tubuh yang kecil, dengan kesungguhannya bisa membuat tumpukan sebesar gunung?
Di samping itu, seseorang hendaklah yakin akan petunjuk dan pertolongan Allah yang sangat dekat. Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam melakukakn sesuatu dan meyakini pertolongan Allah, maka tidak ada satuppun pekerjaan yang tidak bisa dicapainya. Sehingga, kesungguhan dan keyakinan adalah dua hal penting mancapai kesuksesan. Ingatlah apa yang dipesankan Musa as. kepada kaumnya, ketika kaumnya putus asa untuk bisa melepaskan diri dari penindasan Fir’aun. Firman Allah dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 24
قَالَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
Artinya: “Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.”
Ikrimah Yang Sakarat
Ikrimah Yang Sakarat
Pada masa Rasulullah masih hidup, terdapatlah seorang sahabat yang bernama Ikrimah. Dia adalah seorang yang sangat mulia, taat, rajin beribadah, bahkan selalu ikut bersama Rasulullah saw dalam setiap kali peperangan yang beliau pimpin menghadapi kaum musyrik.
Ikrimah memiliki seorang isteri dan seorang ibu yang sudah tua. Mereka tinggal di rumah yang berbeda. Ikrimah dan isterinya tinggal di sebuah rumah yang mereka bangun, sementara ibunya tinggal di rumah peninggalan ayahnya. Akan tetapi, Ikrimah selalu memperlakukan ibunya dengan sangat baik. Setiap hari dia datang melihat ibunya dan memberikan apa yang juga diberikan untuk isterinya. Jika Ikrimah pergi ke pasar dan membeli sesuatu untuk isterinya, maka diapun membelikan untuk ibunya hal yang sama seperti yang dibelikan untuk isterinya. Sehingga, tidak sekalipun ibunya merasa kecewa atas perlakuan anaknya terhadap dirinya. Maka Ikrimahpun menjadi teladan bagi masyarakat lainnya, terhadap pengabdiannya kepada ibunya.
Suatu hari, Ikrimah bermaksud membelikan pakaian untuk iteri dan ibunya. Akan tetapi, kain yang hendak dicarinya tidak ditemukannya kecuali satu potong saja, yang hanya cukup untuk satu orang. Maka Ikrimahpun membeli yang satu potong tersebut, dan sepotong lagi dengan warna dan bentuk yang sama, namun dasar kainya berbeda. Jika yang pertama kainnya sangat lembut dan halus, sementara yang kedua agak sedikit kasar. Sehingga harga kedua potong kain itupun berbeda, walaupun tidak terlalu jauh perbedaaanya.
Maka pulanglah Ikrimah membawa dua potong kain yang telah dibelinya. Sesampainya di rumah, dia memberikan kain yang halus dan lembut untuk isterinya. Kemudian dia bergegas pula ke rumah ibunya dan memberikan kain yang satu lagi untuknya. Sampai suatu ketika, ternyata ibunya mengetahui bahwa anaknya telah membelikan dua potong kain yang berbeda harganya untuk isterinya dan untuknya. Ibunya juga tahu, bahwa Ikrimah telah memberikan kain yang mahal untuk isterinya dan yang murah untuk ibunya. Ibunyapun bersedih dan kecewa mendapatkan sikap anaknya kepada dirinya.
Setelah beberapa lama kejadian itu berlalu, Ikrimah dijangkiti suatu penyakit. Namun, penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan hingga membuat Ikrimah sakarat, dan hendak menghembuskan nafas terakhirnya. Semua orang yang mengenalnya, termasuk Rasulullah saw. berkumpul di rumah Ikrimah guna melepas kepergiannya. Semua yang hadir meminta maaf sekaligus memberikan maaf kepada Ikrimah. Kalimat tauhidpun sudah diajarkan kepadanya untuk dibaca, dan yang lain telah membacakan surat Ya Sin di rumahnya. Akan tetapi, setelah lebih dari satu minggu, Ikrimah belum juga meninggal. Dia begitu susah dan payahnya meregang nyawanya. Ikrimah betul-betul merasakan sakarat dan sakit kematian yang luar biasa.
Setelah hampir dua minggu dalam keadaan sakarat dan berjuang meregang nyawa, akhirnya Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya, “Siapa lagi yang belum datang memberikan maaf pada Ikrimah?”. Setelah diperiksa ternyata mereka menemukan bahwa yang belum datang memberi maaf kepada Ikrimah adalah ibunya sendiri. Maka Rasulullah saw. mengirim utusan untuk menjemput ibu Ikrimah, agar datang ke rumah anaknya yang sedang sakarat dan memberi maaf jika dia pernah berbuat salah.
Dua orang sahabat pergi menemui ibu Ikrmah dan memberitahukan keadaan anaknya. Ibunya kemudian diminta untuk datang memberikan maaf kepada anaknya. Akan tetapi, ibunya menolak untuk datang dan memberikan maaf. Maka pulanglah dua orang sahabat itu menemui Rasululllah saw. dan memberitahukan tentang ibu Ikrimah.
Rasuulullah saw. didampingi beberapa sahabat langsung pergi menemui ibu Ikrimah tersebut. Setelah sampai, Rasulullah mengucapkan salam kepadanya dan mengatakan, bahwa Ikrimah anaknya sudah beberapa hari sakarat. Oleh karena itu, Rasulullah meminta agar ibunya datang dan memberikan maaf kepada anaknya. Seperti sebelumnya, ibu Ikrimah juga menolak untuk datang dan memberi maaf kepada anaknya. Maka Rasulullah bertanya tentang kesalahan apa yang telah dilakukan oleh Ikrimah kepadanya, sehingga dia begitu marah dan tidak bersedia memberi maaf. Perempuan itupun menceritakankan kesalahan Ikrimah kepadanya.
Setelah mendengarkan cerita ibu Ikrimah, Rasulullah saw. kembali mengulangi permintaannya agar dia bersedia memberi maaf kepada anaknya. Namun, ibunya seperti sudah memiliki hati yang membatu, sehingga dia menutup pintu maaf bagi anaknya. Maka Rasulullah saw. pun pulang bersama beberapa sahabatnya ke rumah Ikrimah. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan kepada para sahabatnya untuk segera mengumpulkan kayu api. Kayu yang sudah terkumpul kemudian disusun sebagaimana layaknya orang Arab menghidupkan api unggun. Begitu tumpukan kayu siap dibakar, Rasulullah saw. kembali mengutus salah seorang sahabatnya kepada ibu Ikrimah dan memberitahukan, jika dia tidak datang memberi maaf kepada Ikrimah, maka Rasulullah saw. akan membakar anaknya supaya dia bisa meninggal dengan cepat.
Mendengarkan kabar bahwa anaknya akan dibakar, menangislah perempuan tua itu dan segeralah dia pergi menemui anaknya. Setelah sampai di rumah Ikrimah, ibunya memeluknya dan menangis sambil memberikan maaf atas kesalahan anaknya itu. Ikrimahpun meninggal dengan tenangnya setelah mengucapakan kalimat syahadat. Semua yang hadir mengucapakan al-hamdulillâh, memuji kebesaran Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah jika orang tua tidak meridhai seorang anak, maka Allah pun tidak meridhainya. Betapapun shalih dan banyaknya amalan seseorang, jika hubungan dengan orang tuanya tidak baik, maka sia-sialah kebaikannya yang banyak itu. Sangatlah tepat, jika Allah mengaitkan syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang tua. Sebab, tidak ada artinya pengabdian seorang hamba kepada Allah, jika dia tidak mengabdi kepada orang tuanya. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Luqman [31] ayat 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”
Kedua, begitulah besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya terutama seorang ibu. Sebesar apapun kesalahan seorang anak kepada orang tuanya, mereka tetap tidak akan tega melihat anaknya disakiti atau mengalami kesengsaraan. Kalaupun mereka marah, maka kasih sayang mereka tetap mengalahkan amarah mereka. Apalagi seorang ibu, yang merasakan betul sakit, susah, serta pahit getirnya mengandung, melahirkan, menyusui, merawat hingga membesarkan anaknya. Tidak ada seorang ibupun yang akan tega melihat anaknya menderita. Kalaulah mereka memiliki dua atau tiga nyawa, pastilah akan diberikannya demi kebahagiaan anaknya. Apapun akan dilakukannya,- termasuk kalau dia mesti menjual harga dirinya sekalipun - demi kebahagiaan anak-anaknya.
Dalam sebuah bait nyanyi disebutkan, “Kasih ibu sepanjang jalan, tak terhingga sepanjang waktu, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Sangat tepat kiranya, kalau Rasulullah melebihkan ibu tiga kali lebih tinggi dibandingkan kedudukan ayah - tanpa maksud merendahkan kedudukan ayah dan mengecilkan jasanya terhadap anak-. Sebab, kesusahan yang dilalui ibu dalam mengandung, melahirkan, merawat, dan membesarkan anaknya digambarkan sendiri oleh al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat Luqman [31] ayat 14 di atas.
Pada masa Rasulullah masih hidup, terdapatlah seorang sahabat yang bernama Ikrimah. Dia adalah seorang yang sangat mulia, taat, rajin beribadah, bahkan selalu ikut bersama Rasulullah saw dalam setiap kali peperangan yang beliau pimpin menghadapi kaum musyrik.
Ikrimah memiliki seorang isteri dan seorang ibu yang sudah tua. Mereka tinggal di rumah yang berbeda. Ikrimah dan isterinya tinggal di sebuah rumah yang mereka bangun, sementara ibunya tinggal di rumah peninggalan ayahnya. Akan tetapi, Ikrimah selalu memperlakukan ibunya dengan sangat baik. Setiap hari dia datang melihat ibunya dan memberikan apa yang juga diberikan untuk isterinya. Jika Ikrimah pergi ke pasar dan membeli sesuatu untuk isterinya, maka diapun membelikan untuk ibunya hal yang sama seperti yang dibelikan untuk isterinya. Sehingga, tidak sekalipun ibunya merasa kecewa atas perlakuan anaknya terhadap dirinya. Maka Ikrimahpun menjadi teladan bagi masyarakat lainnya, terhadap pengabdiannya kepada ibunya.
Suatu hari, Ikrimah bermaksud membelikan pakaian untuk iteri dan ibunya. Akan tetapi, kain yang hendak dicarinya tidak ditemukannya kecuali satu potong saja, yang hanya cukup untuk satu orang. Maka Ikrimahpun membeli yang satu potong tersebut, dan sepotong lagi dengan warna dan bentuk yang sama, namun dasar kainya berbeda. Jika yang pertama kainnya sangat lembut dan halus, sementara yang kedua agak sedikit kasar. Sehingga harga kedua potong kain itupun berbeda, walaupun tidak terlalu jauh perbedaaanya.
Maka pulanglah Ikrimah membawa dua potong kain yang telah dibelinya. Sesampainya di rumah, dia memberikan kain yang halus dan lembut untuk isterinya. Kemudian dia bergegas pula ke rumah ibunya dan memberikan kain yang satu lagi untuknya. Sampai suatu ketika, ternyata ibunya mengetahui bahwa anaknya telah membelikan dua potong kain yang berbeda harganya untuk isterinya dan untuknya. Ibunya juga tahu, bahwa Ikrimah telah memberikan kain yang mahal untuk isterinya dan yang murah untuk ibunya. Ibunyapun bersedih dan kecewa mendapatkan sikap anaknya kepada dirinya.
Setelah beberapa lama kejadian itu berlalu, Ikrimah dijangkiti suatu penyakit. Namun, penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan hingga membuat Ikrimah sakarat, dan hendak menghembuskan nafas terakhirnya. Semua orang yang mengenalnya, termasuk Rasulullah saw. berkumpul di rumah Ikrimah guna melepas kepergiannya. Semua yang hadir meminta maaf sekaligus memberikan maaf kepada Ikrimah. Kalimat tauhidpun sudah diajarkan kepadanya untuk dibaca, dan yang lain telah membacakan surat Ya Sin di rumahnya. Akan tetapi, setelah lebih dari satu minggu, Ikrimah belum juga meninggal. Dia begitu susah dan payahnya meregang nyawanya. Ikrimah betul-betul merasakan sakarat dan sakit kematian yang luar biasa.
Setelah hampir dua minggu dalam keadaan sakarat dan berjuang meregang nyawa, akhirnya Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya, “Siapa lagi yang belum datang memberikan maaf pada Ikrimah?”. Setelah diperiksa ternyata mereka menemukan bahwa yang belum datang memberi maaf kepada Ikrimah adalah ibunya sendiri. Maka Rasulullah saw. mengirim utusan untuk menjemput ibu Ikrimah, agar datang ke rumah anaknya yang sedang sakarat dan memberi maaf jika dia pernah berbuat salah.
Dua orang sahabat pergi menemui ibu Ikrmah dan memberitahukan keadaan anaknya. Ibunya kemudian diminta untuk datang memberikan maaf kepada anaknya. Akan tetapi, ibunya menolak untuk datang dan memberikan maaf. Maka pulanglah dua orang sahabat itu menemui Rasululllah saw. dan memberitahukan tentang ibu Ikrimah.
Rasuulullah saw. didampingi beberapa sahabat langsung pergi menemui ibu Ikrimah tersebut. Setelah sampai, Rasulullah mengucapkan salam kepadanya dan mengatakan, bahwa Ikrimah anaknya sudah beberapa hari sakarat. Oleh karena itu, Rasulullah meminta agar ibunya datang dan memberikan maaf kepada anaknya. Seperti sebelumnya, ibu Ikrimah juga menolak untuk datang dan memberi maaf kepada anaknya. Maka Rasulullah bertanya tentang kesalahan apa yang telah dilakukan oleh Ikrimah kepadanya, sehingga dia begitu marah dan tidak bersedia memberi maaf. Perempuan itupun menceritakankan kesalahan Ikrimah kepadanya.
Setelah mendengarkan cerita ibu Ikrimah, Rasulullah saw. kembali mengulangi permintaannya agar dia bersedia memberi maaf kepada anaknya. Namun, ibunya seperti sudah memiliki hati yang membatu, sehingga dia menutup pintu maaf bagi anaknya. Maka Rasulullah saw. pun pulang bersama beberapa sahabatnya ke rumah Ikrimah. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan kepada para sahabatnya untuk segera mengumpulkan kayu api. Kayu yang sudah terkumpul kemudian disusun sebagaimana layaknya orang Arab menghidupkan api unggun. Begitu tumpukan kayu siap dibakar, Rasulullah saw. kembali mengutus salah seorang sahabatnya kepada ibu Ikrimah dan memberitahukan, jika dia tidak datang memberi maaf kepada Ikrimah, maka Rasulullah saw. akan membakar anaknya supaya dia bisa meninggal dengan cepat.
Mendengarkan kabar bahwa anaknya akan dibakar, menangislah perempuan tua itu dan segeralah dia pergi menemui anaknya. Setelah sampai di rumah Ikrimah, ibunya memeluknya dan menangis sambil memberikan maaf atas kesalahan anaknya itu. Ikrimahpun meninggal dengan tenangnya setelah mengucapakan kalimat syahadat. Semua yang hadir mengucapakan al-hamdulillâh, memuji kebesaran Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah jika orang tua tidak meridhai seorang anak, maka Allah pun tidak meridhainya. Betapapun shalih dan banyaknya amalan seseorang, jika hubungan dengan orang tuanya tidak baik, maka sia-sialah kebaikannya yang banyak itu. Sangatlah tepat, jika Allah mengaitkan syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang tua. Sebab, tidak ada artinya pengabdian seorang hamba kepada Allah, jika dia tidak mengabdi kepada orang tuanya. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Luqman [31] ayat 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”
Kedua, begitulah besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya terutama seorang ibu. Sebesar apapun kesalahan seorang anak kepada orang tuanya, mereka tetap tidak akan tega melihat anaknya disakiti atau mengalami kesengsaraan. Kalaupun mereka marah, maka kasih sayang mereka tetap mengalahkan amarah mereka. Apalagi seorang ibu, yang merasakan betul sakit, susah, serta pahit getirnya mengandung, melahirkan, menyusui, merawat hingga membesarkan anaknya. Tidak ada seorang ibupun yang akan tega melihat anaknya menderita. Kalaulah mereka memiliki dua atau tiga nyawa, pastilah akan diberikannya demi kebahagiaan anaknya. Apapun akan dilakukannya,- termasuk kalau dia mesti menjual harga dirinya sekalipun - demi kebahagiaan anak-anaknya.
Dalam sebuah bait nyanyi disebutkan, “Kasih ibu sepanjang jalan, tak terhingga sepanjang waktu, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Sangat tepat kiranya, kalau Rasulullah melebihkan ibu tiga kali lebih tinggi dibandingkan kedudukan ayah - tanpa maksud merendahkan kedudukan ayah dan mengecilkan jasanya terhadap anak-. Sebab, kesusahan yang dilalui ibu dalam mengandung, melahirkan, merawat, dan membesarkan anaknya digambarkan sendiri oleh al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat Luqman [31] ayat 14 di atas.
Anak Kecil Yang Takut Neraka
Anak Kecil Yang Takut Neraka
Dikisahkan, bahwa seorang kakek sedang berjalan di sebuah perkampungan. Saat itu sang kakek menemukan seorang anak kecil sedang menangis tersedu-sedu. Kakek itupun segera menghampirinya dan bertanya kenapa dia menangis seperti itu. Setelah berhenti dari tangisnya, anak kecil itu menjawab, “Kakek! Saya menangis, karena beberapa saat yang lalu ketika saya berada di masjid, ada seorang yang membaca sebuah ayat berbunyi
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya: “Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24)
Itulah yang membuat saya menagis kek, karena saya takut dimasukan ke dalam neraka yang panas itu”, lanjutnya. Mendengarkan keterangan anak kecil tersebut, kakek itupun memahami sebab kenapa dia menangis. Sang kakek kemudian berkata kepada anak itu, “Kalau begitu, kamu tidak usah menagis dan takut. Sebab, kamu masih kecil dan belum diberati hukum dan tidak ada dosa bagimu. Jika kamu mati, Allah tidak akan memasukanmu ke dalam neraka”.
Mendengarkan jawaban kakek itu, anak kecil tersebut kembali berkata, “Bukankah kakek sudah sangat tua? Kenapa kakek tidak memahami sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum? Tidakkah kakek lihat, kalau orang mau menghidupkan api, yang dimasukan pertama adalah kayu yang kecil-kecil, baru kemudian kayu yang besar-besar?”. Kakek itupun terdiam mendengarkan jawaban anak kecil itu, kemuidan dia meminta ampun kepada Allah dan mengucapkan terima kasih kepada anak kecil itu, karena telah mengingatkannya akan rasa takut terhadap azab Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa semestinyalah semua orang merasakan takut akan azab dan siksa Tuhan. Janganlah seseorang merasa yakin dan optimis akan terlepas dari siksa Tuhan yang amat pedih. Hendaklah rasa takut dan cemas selalu ditumbuhkan dalam diri setiap orang, agar bisa memacu dirinya untuk lebih giat beribadah kepada Allah.
Sebagian besar sahabat yang mulia dan para aulia serta orang-orang shalih dahulu, selalu menagis di tengah malam saat mereka shalat malam, karena merasakan bahwa neraka dan siksa Tuhan hanya disediakan untuk dirinya saja. Sehingga, dengan perasaan seperti ini, seorang tidak sombong dengan banyaknya amal yang telah dilakukannya, sekaligus selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas amalnya itu tanpa henti sampai akhir hayatnya. Perjuangan tanpa henti inilah yang akan membuat manusia memperoleh rahmat Allah nantinya. Hal itu disebutkan dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Dikisahkan, bahwa seorang kakek sedang berjalan di sebuah perkampungan. Saat itu sang kakek menemukan seorang anak kecil sedang menangis tersedu-sedu. Kakek itupun segera menghampirinya dan bertanya kenapa dia menangis seperti itu. Setelah berhenti dari tangisnya, anak kecil itu menjawab, “Kakek! Saya menangis, karena beberapa saat yang lalu ketika saya berada di masjid, ada seorang yang membaca sebuah ayat berbunyi
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya: “Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24)
Itulah yang membuat saya menagis kek, karena saya takut dimasukan ke dalam neraka yang panas itu”, lanjutnya. Mendengarkan keterangan anak kecil tersebut, kakek itupun memahami sebab kenapa dia menangis. Sang kakek kemudian berkata kepada anak itu, “Kalau begitu, kamu tidak usah menagis dan takut. Sebab, kamu masih kecil dan belum diberati hukum dan tidak ada dosa bagimu. Jika kamu mati, Allah tidak akan memasukanmu ke dalam neraka”.
Mendengarkan jawaban kakek itu, anak kecil tersebut kembali berkata, “Bukankah kakek sudah sangat tua? Kenapa kakek tidak memahami sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum? Tidakkah kakek lihat, kalau orang mau menghidupkan api, yang dimasukan pertama adalah kayu yang kecil-kecil, baru kemudian kayu yang besar-besar?”. Kakek itupun terdiam mendengarkan jawaban anak kecil itu, kemuidan dia meminta ampun kepada Allah dan mengucapkan terima kasih kepada anak kecil itu, karena telah mengingatkannya akan rasa takut terhadap azab Tuhan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa semestinyalah semua orang merasakan takut akan azab dan siksa Tuhan. Janganlah seseorang merasa yakin dan optimis akan terlepas dari siksa Tuhan yang amat pedih. Hendaklah rasa takut dan cemas selalu ditumbuhkan dalam diri setiap orang, agar bisa memacu dirinya untuk lebih giat beribadah kepada Allah.
Sebagian besar sahabat yang mulia dan para aulia serta orang-orang shalih dahulu, selalu menagis di tengah malam saat mereka shalat malam, karena merasakan bahwa neraka dan siksa Tuhan hanya disediakan untuk dirinya saja. Sehingga, dengan perasaan seperti ini, seorang tidak sombong dengan banyaknya amal yang telah dilakukannya, sekaligus selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas amalnya itu tanpa henti sampai akhir hayatnya. Perjuangan tanpa henti inilah yang akan membuat manusia memperoleh rahmat Allah nantinya. Hal itu disebutkan dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Juraij Yang Dibela Bayi
Juraij Yang Dibela Bayi
Konon pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda yang shalih dan taat malaksanakan ibadah kepada Allah. Hari demi hari, selalu digunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat terutama shalat sunat dan membaca al-Kitab. Dia pun membangun sebuah mushalla di sebidang tanah peninggalan ayahnya, sebagai tempat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya.
Suatu hari, datanglah ibunya memanggil Juraij agar segera menemuinya. Ketika sang ibu memanggil namanya, Juraij sedang khusu’ melaksanakan shalat sunat. Saat itu dia berkata dalam hati, “Shalatku, ibuku?”. Lantas dia memilih untuk meneruskan shalatnya dan tidak menyahuti panggilan ibunya. Ibunya mengira Juraij sudah tidak mematuhinya lagi. Maka pulanglah ibunya ke rumah dengan perasaan sedih dan kecewa dengan sikap anaknya tersebut. Ibunya tanpa sadar mengucapkan kelimat, “Engkau pasti akan diperlakukan dengan menyakitkan oleh orang banyak”.
Setelah beberapa lama hal itu berlalu, Juraij dan ibunya pun seakan telah melupakan yang terjadi. Di negeri itu, ternyata ada seorang gadis desa yang sudah lama jatuh cinta kepada Juraij. Akan tetapi, Juraij tidak pernah mempedulikan perempuan itu. Suatu hari, perempuan itu datang kepada Juraij saat dia berada di dalam mushallanya. Perempuan itu merayu dan mengajak Juraij untuk melakukan perbuatan zina. Namun, Juraij menolaknya bahkan memarahi perempuan itu dan mengusirnya.
Mendapatkan cintanya ditolak dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Juraij terhadap dirinya, perempuan itu menyusun rencana jahat. Keesokan harinya, pergilah perempuan itu menemui seorang pengembala di suatu padang rumput, dan mengajak pengembala itu melakukan perzinahan. Setelah beberapa waktu kemudian, perempuan itupun hamil dan selanjutnya melahirkan anaknya. Semua penduduk kampung dihebohkan dengan aib dan bencana yang telah menimpa kampung mereka. Mereka kemudian menangkap wanita itu dan menghujaninya dengan pertanyaan, tentang siapa yang telah menghamilinya dan ayah dari bayi yang telah dilahirkannya.
Perempuan itu kemudian menjawab bahwa yang menghamilinya adalah Juraij, pemuda shalih yang berada di mushalla itu. Dia mengatakan bahwa Juriaj telah memperkosanya saat dia shalat di mushallanya. Setelah mendengarkan keterangan dari perempuan itu, maka semua penduduk kampung itu mendatangi mushalla Juraij dengan penuh emosi. Tempat ibadah Juraij dihancurkan hingga rata dengan tanah. Juraij ditarik dengan paksa dari mushallanya dan dipukuli beramai-ramai hingga babak belur.
Beberapa saat kemudian, datanglah penguasa negeri itu ke tempat kejadian, dan mencari tahu kebenaran dari masing-masing pihak. Penguasa negeri itu bertanya kepada pertempuan yang menggendong anaknya, tentang siapa ayah dari anaknya itu. Perempuan itu menjelaskan seperti yang sebelumnya dia katakan kepada penduduk negeri, bahwa ayah dari anaknya adalah Juraij. Juraijpun ditanya tentang kebenaran dirinya sebagai pelaku pemerkosaan dan ayah dari anak perempuan itu. Dia kemudian meminta izin kepada penguasa itu untuk berwudhu’. Setelah itu, Juraij shalat sunat dua rakaat. Kemudian dia datang menghampiri anak yang digendong perempuan itu dan bertanya kepadanya, “Siapa ayahmu sebenarnya?”. Atas izin Allah, bayi yang masih di dalam gendongan tersebut menjawab, “Ayah saya bukan Juraij, tetapi seorang gembala di padang rumput sana”.
Mendengar jawaban bayi tersebut, semua yang berada di tempat itu merasa sangat heran sekaligus menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij. Setelah memberikan hukuman kepada perempuan dan gembala tersebut, secara beramai-ramai penduduk negeri itu meminta maaf, dan mereka bersama penguasa negeri itu berjanji akan membangunkan tempat ibadah yang sangat indah dengan batu terindah seperti layaknya istana, sebagai penebus rasa bersalah mereka. Juraij kemudian berkata, “Cukuplah kiranya kalian bangunkan untuk saya tempat ibadah seperti yang telah kalian hancurkan sebelumnya, tidak lebih dan tidak kurang”. Maka semua penduduk negeri itu, kembali membangun mushalla untuk Juraij seperti yang sebelumnya mereka hancurkan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bahwa begitulah makbulnya do’a orang tua terhadap anaknya. Bukankah Rasulullah saw. telah menyebutkan, Bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orang tua? Jika orang tua mendo’akan suatu kebaikan untuk anaknya, pastilah Allah akan mengabulkannya, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, janganlah sekalipun dan sekecil apapun pernah menyakiti perasaan orang tua. Begitulah peringatan Allah dalam Surat al-Isra’ [17] ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا(23)وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا(24)
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (23), Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (24).”
Kedua, jika seseorang berada di pihak yang benar, lalu dituduhkan sekian banyak kesalahan dan kejahatan untuknya, pastilah kebenarannya akan terungkap dan kebatilan akan kalah. Betapapun pada awalnya, kebatilan mengalahkan kebenaran, namun hukum Allah menetapkan bahwa kebatilan akan lenyap dan kalah dengan sendirinya. Begitulah yang dimaksudkan Allah dengan perumpamaan-Nya seperti yang terdapat dalam surat ar-Ra’du [13]: 17
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Dalam ayat di atas, Allah mencontohkan pertarungan antara yang hak dan batil seperti air yang mengalir membawa buih-buih yang sangat banyak. Atau seperti logam ketika dibakar yang juga mengeluarkan buih yang sangat banyak. Pada kenyataannya terlihat bahwa air atau logam ditutupi, dilingkupi, ditelan oleh buih yang begitu banyak dan sepertinya buih adalah penguasa yang menutupi air atau logam. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat pendek buih-buih yang pada mulanya menguasai air dan logam perlahan-lahan hilang, bahkan akhirnya lenyap sama sekali tanpa bekas yang ditinggalkan. Buih akan lenyap sebagai sesuatu yang tidak berharga, sementara yang bermanfaat akan tingal bersama manusia. Begitulah jaminan Allah swt untuk kemenangan yang hak terhadap kebatilan.
Ketiga, janganlah gegabah dalam bertindak dan mengambil keputusan. Ketika seorang datang membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Jika tidak ada usaha mencari tahu kebenaran tentang suatu berita yang datang, dikhawatirkan kita akan mengambil keputusan yang salah, merugikan orang lain dan bahkan diri sendiri, yang akhirnya akan mendatangkan penyesalan dan kerugian yang besar. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Keempat, begitulah kekuasaan Allah yang bisa membuat bayi yang masih dalam gendongan ibunya berbicara dan mengatakan kebenaran. Jika Allah mengendaki sesuatu, maka dengan mudah bisa terjadi sekalipun tidak mungkin menurut ukuran akal dan fikiran serta pengalaman manusia. Bukankah nabi Yusuf as. dibela dari tuduhan atas kesalahannya oleh seorang bayi yang dalam gendongan ibunya? Bukankah Maryam ibu nabi Isa as. juga dibela dari kesalahan dan tuduhan kaumnya oleh Isa yang masih dalam gendongan ibunya? Begitulah yang dikisahkan Allah seperti dalam surat Maryam [19]: 29-30
فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا(29)قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ ءَاتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا(30)
Artinya: “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?(29). Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi (30).”
Konon pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda yang shalih dan taat malaksanakan ibadah kepada Allah. Hari demi hari, selalu digunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat terutama shalat sunat dan membaca al-Kitab. Dia pun membangun sebuah mushalla di sebidang tanah peninggalan ayahnya, sebagai tempat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya.
Suatu hari, datanglah ibunya memanggil Juraij agar segera menemuinya. Ketika sang ibu memanggil namanya, Juraij sedang khusu’ melaksanakan shalat sunat. Saat itu dia berkata dalam hati, “Shalatku, ibuku?”. Lantas dia memilih untuk meneruskan shalatnya dan tidak menyahuti panggilan ibunya. Ibunya mengira Juraij sudah tidak mematuhinya lagi. Maka pulanglah ibunya ke rumah dengan perasaan sedih dan kecewa dengan sikap anaknya tersebut. Ibunya tanpa sadar mengucapkan kelimat, “Engkau pasti akan diperlakukan dengan menyakitkan oleh orang banyak”.
Setelah beberapa lama hal itu berlalu, Juraij dan ibunya pun seakan telah melupakan yang terjadi. Di negeri itu, ternyata ada seorang gadis desa yang sudah lama jatuh cinta kepada Juraij. Akan tetapi, Juraij tidak pernah mempedulikan perempuan itu. Suatu hari, perempuan itu datang kepada Juraij saat dia berada di dalam mushallanya. Perempuan itu merayu dan mengajak Juraij untuk melakukan perbuatan zina. Namun, Juraij menolaknya bahkan memarahi perempuan itu dan mengusirnya.
Mendapatkan cintanya ditolak dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Juraij terhadap dirinya, perempuan itu menyusun rencana jahat. Keesokan harinya, pergilah perempuan itu menemui seorang pengembala di suatu padang rumput, dan mengajak pengembala itu melakukan perzinahan. Setelah beberapa waktu kemudian, perempuan itupun hamil dan selanjutnya melahirkan anaknya. Semua penduduk kampung dihebohkan dengan aib dan bencana yang telah menimpa kampung mereka. Mereka kemudian menangkap wanita itu dan menghujaninya dengan pertanyaan, tentang siapa yang telah menghamilinya dan ayah dari bayi yang telah dilahirkannya.
Perempuan itu kemudian menjawab bahwa yang menghamilinya adalah Juraij, pemuda shalih yang berada di mushalla itu. Dia mengatakan bahwa Juriaj telah memperkosanya saat dia shalat di mushallanya. Setelah mendengarkan keterangan dari perempuan itu, maka semua penduduk kampung itu mendatangi mushalla Juraij dengan penuh emosi. Tempat ibadah Juraij dihancurkan hingga rata dengan tanah. Juraij ditarik dengan paksa dari mushallanya dan dipukuli beramai-ramai hingga babak belur.
Beberapa saat kemudian, datanglah penguasa negeri itu ke tempat kejadian, dan mencari tahu kebenaran dari masing-masing pihak. Penguasa negeri itu bertanya kepada pertempuan yang menggendong anaknya, tentang siapa ayah dari anaknya itu. Perempuan itu menjelaskan seperti yang sebelumnya dia katakan kepada penduduk negeri, bahwa ayah dari anaknya adalah Juraij. Juraijpun ditanya tentang kebenaran dirinya sebagai pelaku pemerkosaan dan ayah dari anak perempuan itu. Dia kemudian meminta izin kepada penguasa itu untuk berwudhu’. Setelah itu, Juraij shalat sunat dua rakaat. Kemudian dia datang menghampiri anak yang digendong perempuan itu dan bertanya kepadanya, “Siapa ayahmu sebenarnya?”. Atas izin Allah, bayi yang masih di dalam gendongan tersebut menjawab, “Ayah saya bukan Juraij, tetapi seorang gembala di padang rumput sana”.
Mendengar jawaban bayi tersebut, semua yang berada di tempat itu merasa sangat heran sekaligus menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij. Setelah memberikan hukuman kepada perempuan dan gembala tersebut, secara beramai-ramai penduduk negeri itu meminta maaf, dan mereka bersama penguasa negeri itu berjanji akan membangunkan tempat ibadah yang sangat indah dengan batu terindah seperti layaknya istana, sebagai penebus rasa bersalah mereka. Juraij kemudian berkata, “Cukuplah kiranya kalian bangunkan untuk saya tempat ibadah seperti yang telah kalian hancurkan sebelumnya, tidak lebih dan tidak kurang”. Maka semua penduduk negeri itu, kembali membangun mushalla untuk Juraij seperti yang sebelumnya mereka hancurkan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bahwa begitulah makbulnya do’a orang tua terhadap anaknya. Bukankah Rasulullah saw. telah menyebutkan, Bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orang tua? Jika orang tua mendo’akan suatu kebaikan untuk anaknya, pastilah Allah akan mengabulkannya, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, janganlah sekalipun dan sekecil apapun pernah menyakiti perasaan orang tua. Begitulah peringatan Allah dalam Surat al-Isra’ [17] ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا(23)وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا(24)
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (23), Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (24).”
Kedua, jika seseorang berada di pihak yang benar, lalu dituduhkan sekian banyak kesalahan dan kejahatan untuknya, pastilah kebenarannya akan terungkap dan kebatilan akan kalah. Betapapun pada awalnya, kebatilan mengalahkan kebenaran, namun hukum Allah menetapkan bahwa kebatilan akan lenyap dan kalah dengan sendirinya. Begitulah yang dimaksudkan Allah dengan perumpamaan-Nya seperti yang terdapat dalam surat ar-Ra’du [13]: 17
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Dalam ayat di atas, Allah mencontohkan pertarungan antara yang hak dan batil seperti air yang mengalir membawa buih-buih yang sangat banyak. Atau seperti logam ketika dibakar yang juga mengeluarkan buih yang sangat banyak. Pada kenyataannya terlihat bahwa air atau logam ditutupi, dilingkupi, ditelan oleh buih yang begitu banyak dan sepertinya buih adalah penguasa yang menutupi air atau logam. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat pendek buih-buih yang pada mulanya menguasai air dan logam perlahan-lahan hilang, bahkan akhirnya lenyap sama sekali tanpa bekas yang ditinggalkan. Buih akan lenyap sebagai sesuatu yang tidak berharga, sementara yang bermanfaat akan tingal bersama manusia. Begitulah jaminan Allah swt untuk kemenangan yang hak terhadap kebatilan.
Ketiga, janganlah gegabah dalam bertindak dan mengambil keputusan. Ketika seorang datang membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Jika tidak ada usaha mencari tahu kebenaran tentang suatu berita yang datang, dikhawatirkan kita akan mengambil keputusan yang salah, merugikan orang lain dan bahkan diri sendiri, yang akhirnya akan mendatangkan penyesalan dan kerugian yang besar. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Keempat, begitulah kekuasaan Allah yang bisa membuat bayi yang masih dalam gendongan ibunya berbicara dan mengatakan kebenaran. Jika Allah mengendaki sesuatu, maka dengan mudah bisa terjadi sekalipun tidak mungkin menurut ukuran akal dan fikiran serta pengalaman manusia. Bukankah nabi Yusuf as. dibela dari tuduhan atas kesalahannya oleh seorang bayi yang dalam gendongan ibunya? Bukankah Maryam ibu nabi Isa as. juga dibela dari kesalahan dan tuduhan kaumnya oleh Isa yang masih dalam gendongan ibunya? Begitulah yang dikisahkan Allah seperti dalam surat Maryam [19]: 29-30
فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا(29)قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ ءَاتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا(30)
Artinya: “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?(29). Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi (30).”
Langganan:
Postingan (Atom)