Unta Yang Tertipu
Konon, seorang pengembala mengembalakan beberapa ekor untanya di sebuah padang rumput. Waktu sore datang, pulanglah dia membawa kawanan untanya tersebut. Dalam perjalanan pulang ke kandangnya, salah satu dari untanya keluar dari kawanannya dan tersesat hingga jauh ke dalam sebuah hutan.
Di hutan tersebut hiduplah seekor raja singa dan tiga orang pengikutnya, rubah, srigala dan seekor gagak. Raja singa adalah raja yang baik dan santun kepada teman-temannya. Setiap hari ia berburu mangsa, dan ketika makanan diperolehnya ia selalu membagikannya untuk teman-temannya. Dan memang selama ini, ketiga temannya itu menggantungkan hidup mereka kepada raja singa. Karena kepintaran raja singa mencari makanan, ketiga temannya itu berbadan sangat gemuk dan sehat karena selalu memakan makanan yang enak dan bergizi hasil tangkapan raja singa.
Unta yang tersesat tersebut akhirnya bertemu dengan raja singa di dalam hutan itu. Untapun merasa ketakutan kepadanya, ia berkata dengan rasa takut, “Ampun tuanku! Saya bukan bermaksud mengganggu kehidupan masyarakat hutan ini, saya adalah unta yang tersesat dan ditinggalkan kawan-kawan saya. Saya tidak tahu lagi ke mana saya harus pergi. Kasihanilah saya wahai tuanku”. Mendengar perkataan unta tersebut, muncullah rasa iba dalam hati raja singa. Iapun berkata, “Tidak usah engkau takut dan cemas, tinggallah engaku di sini karena saya bersumpah akan menjamin keselamatanmu. Di hutan ini tidak akan ada yang berani menggaggumu”. Alangkah bahagianya hati unta itu mendengar ucapan raja singa dan jaminan keselamatan yang diberikan raja untuknya. Mulai saat itu, hiduplah unta tersebut dalam hutan itu dan mengabdi untuk raja singa.
Suatu hari, raja singa keluar mencari buruan untuk makannya dan ketiga sahabatnya. Akan tetapi, ia bertemu dengan seekor gajah yang juga punya niat yang sama dengannya. Maka terjadilah pertengkaran hebat antara keduanya. Pertengkaran ini berakhir dengan perkelahian, di mana keduanya saling serang dan berusaha membinaskan yang lain. Namun, kedunya sama kuat sehingga tidak ada yang menang ataupun yang kalah. Hasil dari perkelahian ini, keduanya menderita luka-luka yang sangat serius dan mengalami cacat seumur hidup. Raja singa semenjak saat itu, tidak bisa lagi berjalan karena kakinya patah, ditambah lagi luka yang sangat banyak di sekujur tubuhnya. Setiap hari ia hanya bisa tidur berbaring dengan lemahnya, sehingga tidak bisa lagi mencari makanan.
Setelah beberapa lama dalam kondisi seperti tu, akhirnya tubuh raja singa menjadi sangat kurus, begitu juga tubuh ketiga temannya yang selama ini menggantungkan hidup kepada hasil tangkapan raja singa. Mereka mulai hidup dengan penderitaan, bahkan tidak jarang mereka seharian tidak makan. Melihat kondisi seperti tu, berkatalah raja singa kepada teman-temannya, “Hai teman-temanku yang setia! Maafkanlah aku yang tidak bisa memberi kalian makan lagi. Saya benar-benar merasa kasihan dengan keadaan kalian, tubuh kalinmulai kurus karena sering menahan tidak makan. Ingin sekali rasanya aku berburu agar bisa memberi kalian makanan, akan tetapi tubuhku sangat sakit sekali”. Mendengar ucapan raja singa, ketiga sahabatnya menjadi haru, kemudian meraka berkata, “Hai paduka! Tidak perlu paduka bersdih dan menyesali diri seperti tu, kami akan tetap setia kepada paduka. Kami akan berusaha mencarikan makanan untuk paduka dan kita semua”.
Maka keluarlah ketiga teman raja singa mencari makanan, namun karena mereka tidak biasa susah dan berusah sendiri, akhirnya tidak satupun yang bisa di dapatkannya. Berkatalah rubah kepada teman-temannya, “Hai teman-temanku! Sudah setengah hari kita berburu tapi tidak satupun yang bisa kita tangkap. Kita memang tidak akan pernah berhasil menangkap seekor mangsapun, karena kita tidak pernah belajar untuk itu. Bagaimana jika aku tawarkan ide bagus, tanpa kita harus bersusah-susah berburu seperti ini. Kita pasti akan menikmati makanan yang enak dan segar”. Srigala dan gagak berkata, “Katakanlah apa idemu itu!”. Ruba berkata, bagaiamana jika kita meminta raja singa agar membunuh saja unta yang tidak ada gunyanya itu. Apalagi dia tidak sebangsa dengan kita, bukankah ia hewan pemakan rumput. Lagi pula badannya yang besar dan dagingnya yang segar, tentulah akan sangat baik untuk kita terutama raja kita”. Srigala berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin, raja akan marah kepada kita. Tidakkah engkau ingat ucapan raja dahulu, bahwa raja menjamin keselamatan nyawanya selama di hutan ini”. Ruba menjawab, “Caranya sangat gamapang, nanti kita bertiga mengajak unta itu untuk menjenguk raja. Di depan raja kita menunjukan kesedihan yang mendalam atas kondisi yang dialami raja. Karena tidak memperoleh makanan masing-masing kita menawarkan diri untuk menjadi santapan raja. Akan tetapi, setiap yang menawarkan diri, yang lain membela dan menawarkan dirinya pula untuk menjadi santapan. Hingga giliran unta menawarkan diri kita diam dan tidak membela lagi. Dengan begitu raja akan membunuhnya atas tawaran dirinya sendiri.”
Setelah menyetujui ide ruba, berangkatlah mereka menemui unta untuk di ajak menemui dan melihat keadaan raja singa. Sesampainya di dekat raja singa, mereka memperlihatkan kesediahan yang sangat mendalam. Gagak kemudian angkat bicara, “Maafkan kami paduka! Kami tidak berhasil membawa tangkapan sebagai makanan raja. Sudah lebih setengah hari kami berburu, namun kami tidak bisa menangkap satupun mangsa hari ini. Kami sangat khawatir melihat keadaan paduka yang semakin hari semakin lemah. Oleh karena itu, sudilah kiranya paduka membunuh hamba dan makanlah daging hamba ini mudah-mudahan bisa menyembuhkan paduka.” Belum lagi gagak selesai berbicara, srigala dengan cepat menyela, “Hentikan omong kosongmu hai temanku, apalah artinya dagingmu bagi raja, tidak akan mengeyangkannya dan mengurangi rasa laparnya, karena badanmu kebil. Lebih baik aku saja yang menjadi makanan paduka.” Dia kemudian berkata kepada raja singa, “Paduka! sudilah kiranya paduka membunuh saya dan memakan daging saja sebagai wujud pengabdian saya kepada paduka”. Namun tiba-tiba, ruba berkata “Janganlah paduka membunuhnya dan memakan dagingnya, karena daging srigala itu busuk dan tidak enak. Sebaiknya paduka membunuh saya dan memakan daging saya. Mungkin lebih enak dari daging srigala ini”. Namun gagak dan srigala kemudian berkata, “Hentikan omong kosongmu ruba! Jangan paduka, daging rubah memang enak tetapi beracun. Nanti, jangankan sembuh malah akan membuat paduka binasa”.
Unta yang dari tadi diam menyaksikan pertengkaran antara ruba, gagak, dan srigala untuk menyediakan diri mereka menjadi makan raja, akhirnya juga berkata karena malu jangan-jangan raja mengiranya orang yang tidak tahu membalas budi, “Tuanku, bagaimana jika tuanku membunuh saya dan memakan daging saya ini. Mengkin daging saya lebih enak dan bisa membuat tuanku lebih baik”. Unta kemudian diam menunggu pembelaan teman-tamnnya yang lain seperti yang dilakukan oleh yang satu terhadap yang lain.
Setelah lama menunggu, namun tidak satupun yang memberikan pembelaan kepadanya, bahkan mereka secara serempak berkata, “Paduka! Apa yang dikatakan unta ini agak memang benar, dagingnya memang segar, enak, dan baik untuk kita semua. Alangkah baiknya, jika usulnya kita terima saja. Maka tiba-tiba mereka melompat menerkam unta dan menjadikannya makanan yang lezat, karena sudah lama mereka tidak memakan daging yang seperti ini.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, tidak baik bagi seseorang keluar dari robongan, jama’ah, sistem, peraturan dan norma yang sudah disepakati oleh masyarakatnya. Jika seseorang keluar dari kelompok, jamaah, aturan, sistem masyarakat, maka dia akan ditimpa suatu kesulitan, bencana, atau malapetaka. Contoh sederhana, jika seseorang ketika berjalan di jalan raya keluar dari aturan yang ada, seperti tidak mengindahkan lampu merah dan sebagainya, dipastikan kecelakaan telah menantinya. Dalam sebuah ungkapan bijak disebutkam “Domba yang dimakan srigala adalah domba yang keluar dari kawaanannya”.
Setidaknya, jika manusia keluar dari kebersamaannya dia akan tersesat dan susah menemukan jalan untuk kembali. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Kedua, jika kita menghadapi seseorang dengan keramahan dan sopan santun dan bahasa yang lembut serta merendahkan diri, maka manusia yang kasar dan bengis sekalipun akan merasa kasihan kepada kita. Seseorang akan diterima dengan baik di manapun dan oleh siapapun, jika dia bertutur dengan baik, sopan dan dengan bahasa yang merendah. Akan tetapi, jika seseorang selalu berbicara kepada mansuia dengan bahasa yang kasar, angkuh, sombong, maka orang lain akan benci kepadanya, jangankan orang yang jahat manusia baik-baikpun tidak akan suka kepadanya. Dalam surat Ali ‘Imran [3]: 159 Allah swt berfirman
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ketiga, jika manusia hendak mencari teman dan menjalin persahabatan, maka carilah teman yang memilki kesamaan baik ide, fikiran, pendidikan, prilaku dan sebagainya. Jika kita berteman dengan orang yang tidak memilki kesamaan, bukan hanya mengakibatkan muncullah kejemuan karena antara satu dengan yang lain tidak saling memahami, namun juga dikwhawatirkan akan mendatangkan bahaya atau kecelakaan kepada kita sendiri. Begitu juga halnya yang dipesankan Tuhan, ketika manusia hendak memilih pasangan hidup. Bahkan, Allah telah memberikan jaminan bahwa pasangan akan diberikan-Nya sesuai kesamaan yang mereka miliki. Seperti firman Allah dalam surat an-Nur [24]: 3
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.”
Begitu juga dalam surat an-Nur [24]: 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Keempat, dalam hidup di dunia ini pakaliah selalu sikap “mengalah” untuk orang lain. Mengalah bukan berarti kalah, karena dengan sikap ini manusia akan terhindar dari kerugian yang akan menimpanya. Jika terjadi persengketaaan antara dua orang atau lebih, jika salah satu yang bersengketa mengalah maka persoalan akan selesai. Namun, jika keduanya tetap dalam pendirian masing-masing, pertengkaran akan berujung pada perkelahian dan saling bunuh. Akhirnya, yang menang jadi arang dan yang kalah menjadi abu, keduanya sama-sama binasa dan rugi.
Kelima, sebaiknya bagi setiap manusia belajar untuk hidup mandiri, dan tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Memang, kewajiban bagi setiap orang tua untuk memberikan nafkah yang cukup bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, tentu hal ini bukan untuk waktu yang panjang dan selamanya. Kewajiban orang tua hanyalah sampai anaknya dewasa.
Jika seorang anak tidak belajar hidup mandiri, tentulah selamanya dia akan tergantung pada kedua orang tuanya atau orang lain. Bagaimana halnya, jika suatu ketika tiba-tiba orang yang menaggungnya sudah tiada, tentulah hidupnya akan terlunta-lunta. Alangkah lebih baiknya jika manusia belajar hidup mandiri sejak dini, dan andai kata tiba-tiba dia ditinggalkan oleh yang menanggungnya, dia tidak mengalami kegoncangan dan hidupnya tidak akan terlunta.
Keenam, bagi setiap orang tua, guru, atau penanggung jawab bagi seeorang anak, maka pendidikan yang paling baik adalah “Memberikan dia pancing lalu mengajarinya memancing ikan, bukan memberinya ikan”. Orang tua yang bijaksana bukanlah orang tua yang meninggalkan harta yang bayak kepada anaknya atau selalu memberikan keinginan anaknya dalam bentuk materi langsung. Akan tetapi, orang tua yang bijaksana adalah yang membekali anaknya dengan ilmu dan kepandaian serta keterampilan, sehingga dengan bekal ilmu itulah dia akan mencari sesuatu dan mengembangkannya. Jika orang tua hanya meninggalkan harta kepada anaknya tanpa membekali ilmu, jangankan untuk menambah dan mengembangkan harta yang ditinggalkan, yang ada di tangannyapun mungkin akan habis dalam waktu cepat.
Ketujuh, sikap jujur dan ikhlas dalam kehidupan mestilah selalu dipakai. Jika kita tidak mampu dan mau melakukan sesuatu, katakanlah bahwa kita bisa dan tidak mau. Jangan karena ingin mendapatkan pujian, atau karena rasa takut, segan, malu dan sebagainya, pekerjaan yang tidak mungkin bisa dan ingin kita lakukan dipaksakan juga untuk melakukannya. Akhirnya, kebinasaan dan kehancuran akan menimpa kita. Bukankah Allah sendiri telah memberikan jaminan akan hal itu, seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 286
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ…
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya…”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar