Selasa, 08 September 2009

Ular Dan Raja Katak

Ular Dan Raja Katak
Dikisahkan pada sebuah telaga hiduplah padanya seekor ular dan sejumlah besar katak. Semenjak kecil, ular tersebut selalu memakan katak yang ada ditelaga itu, namun karena jumlahnya yang sangat banyak sekalipun tiap hari dimangsa ular, jumlahnya tetap tidak berkurang. Ularpun hidup dengan senangnya di telaga itu dengan badannya yang sehat dan gemuk.
Seiring berlalunya masa, ular itupun perlahan menjadi tua dan mulai lemah dimakan usia. Matanyapun mulai rabun, sehingga setiap hari seringkali dia menahan tidak makan karena sudah tidak mampu lagi menangkap katak di telaga itu. Badannya pun mulai kurus dan sering sakit-sakitan akibat kurang gizi.
Akan tetapi, ia tidak kehabisan akal untuk memperoleh makanan setiap hari. Suatu hari, datanglah ia ke pinggir telaga dengan wajah sedih dan lesu serta sesekali air matanya menetes dari pipinya. Melihat kondisi seperti itu, raja katak yang kebetulan lewat di dekat ular bermenung, berhenti dari perjalanannya dan bertanya, “Ada apa engkau bersedih hati seperti itu? Tidak pernah aku melihatmu dalam kondisi seperti ini sebelumnya? Bukankah engkau setiap hari hidup riang dengan memangsa rakyatku sesuka hatimu?”. Mendengar ucapan raja katak, bertambah keraslah tangisnya, sehingga membuat raja katak menjadi kasihan. Raja katak kemudian berkata, “Katakanlah kepadaku apa yang membuat engkau berduka, mungkin aku bisa membantumu”.
Mendengar ucapan raja katak, mulailah ular itu mengarang cerita agar maksudnya tercapai. Ia berkata, “Sebenarnya amat berat hatiku mengatakan hal ini kepadamu, tetapi karena engkau meminta baiklah aku ceritakan. Beberapa hari yang lalu, seperti biasanya saya memburu seekor katak di telaga ini, namun katak itu lari sampai memasuki wilayah kerajaan. Aku terus memburunya, hinga ia bersembunyi di sebuah semak belukar. Saya melihat sesuatu yang bergerak di dalam semak itu, lalu saya kira ia adalah katak yang saya kejar dan sayapun mematuknya. Namun, tanpa aku sadari ternyata yang saya patuk itu adalah tangan anak seorang abid di negeri itu. Akhirnya anak itupun meninggal karena bisaku menjalar di sekujur tubunya. Kemudian betapa bersama orang kampung mengejar saya. Saya bisa lolos karena bersembunyi di suatu tempat. Namun, sang abid menyumpahi saya dan berkata ‘mulai saat ini, ular itu akan hidup dengan kehinaan, ia akan menjadi pengabdi raja katak seumur hidupnya, dia tidak akan mendapatkan makanan seekor katakpun kecuali yang diberikan oleh raja katak kepadanya’. Begitulah sumpah abid itu kepadaku, hingga aku datang kepadamu karena sumaph tersebut. Mulai hari ini saya akan menjadi hamba dan kendaraanmu, dan makanan saya tergantung kepadamu”.
Mendengarkan ucapan ular tersebut, alangkah girangnya hati raja katak. Sehinga, setiap hari dia berkeliling di seluruh kawasan telaga di atas punggung ular sebagai kendaraannya. Dan ularpun senang karena setiap hari, raja katak menyediakan makanan untuknya beberapa ekor katak, tanpa ia harus bersusah-susah memburunya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, janganlah seseorang merasa malu dan hina merendahkan diri di depan lawan atau orang yang lebih rendah kedudukannya. Sebab, sikap malu mengakui kelemahan seringkali membuat manusia mengalami kesengsaraan hidup. Bukankah seekor ular bersedia menjadi kendaraannya raja katak, untuk menghindarkan diri dari kelaparan dan kebinasaan?.
Seringkali kita malu mengakui kekurangan dan kelemahan kita dihadapan orang lain karena dianggap menghinakan diri, lalu berlagak serba tahu dan serba bisa. Suatu pandangan yang amat keliru dan akan membuat manusia tersiksa karenanya. Jika seorang tidak tahu mengenai suatu persoalan, alangkah lebih baiknya jika dia mengakui tidak tahu dan bertanya kepada yang mengetahuinya, sekalipun kepada seorang anak kecil. Jika tidak, dia akan tersesat dan menyesatkan orang lain. Bukankah Alah swt. telah mengingatkan dalam surat an-Nahl [16]: 43

….فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Bukankah para maliakatpun mengakui ketidaktahuan mereka dihadapan Allah? Lalu kenapa manusia yang lemah dan hina ini tidak mau mengakui kekurangannya. Lihatlah ungkapan malaikat dalam surat al-Baqarah [2]: 32
قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kedua, janganlah seseorang mengorbankan orang lain, demi kesenangan dan kebahagiaannya, apalagi jika seorang pemimpin yang mengorbankan rakyatnya demi kepentingan, kesenangan, dan kebahagiaannya. Semestinya seseorang memperlakukan orang lain, sama seperti memperlakukan diri sendiri atau bahkan lebih baik dari perlakuan kepada diri sendiri. Itulah yang dipesankan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Berlaku ihsan dalam ayat di atas artinya memperlakukan orang lain lebih baik dari pada memperlakukan diri sendiri. Memandang keselamatan dan kebaikan orang lain, melebihi keselamatan dan kebaikan untuk diri sendiri. Dengan demikian, orang yang berbuat ihsan adalah orang yang memandang kebaikan untuk orang lain, dan tidak melihat kebaikn untuk dirinya. Sama seperti Ibarahim as. yang diberikan oleh Allah gelar muhsinin yang mengutamakan kehendak Allah atas keinginan pribadinya.

Tidak ada komentar: