Abid Dan Seekor Kucing
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah sepasang suami isteri yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai Tuhan seorang anakpun. Keduanya selalu berdo’a kepada Tuhan dengan penuh keyakinan, agar dikaruniai seorang anak yang shalih. Sebagai penghibur diri ketika mereka kesepian, sang abid memelihara seekor kucing yang sangat pintar. Setiap hari, dia bermain dan bercanda dengan kucing tersebut, dan sesekali kucing itu disuruhnya melakukan suatu pekerjaan. Sang abid dan iterinya sangat menyayangi kucing itu karena kepintarannya.
Setelah lama menunggu, akhirnya Tuhan mengabulkan permohonan mereka, dan isteri sang abid tersebut pun hamil. Setelah berlalu beberapa bulan, anak yang sudah lama ditunggu pun lahir ke dunia. Isterinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang mungil dan tampan. Tidak terlukiskan kebahagian sang abid dan isterinya. Perhelatan besar sebagai syukuran dilaksanakan, dengan memanggil seluruh tetangga dan kerabat. Keluarga sang abid dan isterinya diliputi kebahagiaan yang tiada taranya. Mereka tidak henti-hentinya memuji dan mengucap syukur kepada Tuhan.
Waktupun terus berlalu, sampai di suatu hari isteri sang abid pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan rumah tangga, dan sang abid menjaga anaknya di rumah menunggu kepulangan isterinya. Di saat itulah, datang utusan kerajaan menemui sang abid dan menyampaikan pesan raja. Kepada abid raja berpesan, agar dia segera ke istana untuk menemui raja guna membicarakan hal yang sangat penting.
Sang abid berfikir keras tentang apa yang mesti dilakukannya. Jika dia menunggu kepulangan isterinya, mungkin raja akan marah kepadanya karena dianggap melecehkan perintahnya. Jika dia menghadap raja saat itu, kepada siapakah dia akan menitipkan anaknya yang masih tidur. Maka teringatlah dia akan kucingnya yang cerdas. Kucing itupun dipanggilnya, dan berpesan kepadanya agar menjaga anaknya dan tidak meninggalkan rumah, hingga dia atau isterinya kembali. Kucing itupun seperti memahami dan mengiyakan perintah tuannya dengan cara “mengeong” dan menggesekan kepala di kaki tuannya.
Maka berangkatlah sang abid menemui raja di istana. Namun, sepeninggal sang abid, datanglah seekor ular yang besar ke kamar tempat anaknya tidur. Ular tersebut bermaksud hendak mematuk dan memakan anaknya. Ketika itulah, kucing sang abid datang dan menggagalkan niat ular itu. Terjadilah perkelahian sengit di antara keduanya. Setelah lama berkelahi akhirnya kucing berhasil melumpuhkan ular dan memotong-motong tubuhnya. Ia membiarkan tubuh ular tersebut terpotong-potong di dekat anak sang abid yang masih tertidur pulas. Maka kucing itu pergi ke pintu dengan mulut yang penuh darah, dengan maksud menyambut kedatangan tuannya dan memberitahukan apa yang telah dilakukannya.
Beberapa saat kemudian, sang abidpun kembali dari menghadap raja. Ketika dia membuka pintu, alangkah terkejutnya dia melihat kucingnya berlumuran darah. Sementara kucing itupun menyambut tuannya dengan riangnya dengan “menggaruk-garuk” kaki tuannya dan menggesekan tubuhnya. Akan tetapi, sang abid sudah naik pitam dan mukanya sangat merah. Sebab, dia menduga kalau kucing ini telah memakan anaknya. Dalam kondisi “gelap mata” diambilnya potongan kayu yang biasa dipakai pengunci pintu, dan dipukulkan ke kepala kucing tersebut. Kucing itupun “mengeong” karena sakit, dan akhirnya terkapar tidak bernyawa akibat kerasnya pukulan sang abid.
Sang abid pun bergegas ke kamarnya melihat keberadaan anaknya. Dan alangkah terkejutnya sang abid ketika mendapatkan anaknya masih utuh dan tidur pulas, tanpa kurang satu apapun. Dan lebih terkejut lagi, ketika dia melihat bangkai ular besar yang berlumuran darah di dekat anaknya. Sadarlah sang abid tentang apa yang telah terjadi. Ternyata kucingnya telah memperlihatkan baktinya dengan mengorbankan nyawanya melawan ular ini demi keselamatan anaknya. Maka menangislah sang abid sekuat tanaga, dan diapun memukuli dan menyesali dirinya. Akan tetapi, semua telah terlambat karena kucing itu sudah mati dan tidak mungkin lagi kembali. Sang abidpun, memeluk kucingnya dan menangis tersedu-sedu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, janganlah seorang atau sepasang suami isteri merasa putus asa akan rahmat Tuhan, jika belum dikaruniai seorang anak. Berdo’alah dengan tulus dan penuh keyakinan akan kebesaran dan rakmat-Nya. Jika selau berdo’a dengan penuh keyikinan, suatu saat Allah pasti akan memberinya. Bukankah Ibrahim as. juga sangat lama diberikan keturunan? Namun, beliau dengan penuh keyikinan selalu berdo’a kepada Allah supaya dikaruniai seorang anak yang shalih. Seperti yang diceritakan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 100
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Jika Allah menghendaki, maka tidak ada sutupun yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Bukankah nabi Zakariyah as. mendapat seorang anak dari seorang isteri yang jelas-jelas mandul dan sudah tua? Akan tetapi, berkat keyakinannya akan kebesaran Allah, serta do’anya yang tulus akhirnya Allah memberinya seorang anak yang shalih, Yahya as. Begitulah yang diceritakan Allah dalam surat Maryam [19]: 2-11
ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا(6) يَازَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا(7)قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا(8)قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا(9)قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي ءَايَةً قَالَ ءَايَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا(10)فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا(11)
Artinya: “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya (2). Yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (3). Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku (4). Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera(5). Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai (6). Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia (7). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua (8). Tuhan berfirman: "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali (9). Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat (10). Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (11).”
Bahkan, jika Tuhan menghendaki, jangankan dari sepasang suami isteri yang mandul, dari rahim seorang perempuan yang tidak pernah disentuh laki-lakipun bisa lahir seorang anak manusia. bukankah nabi Isa as. dilahirkan ibunya tanpa seorang ayah? Lalu bagaimana mungkin sepasang suami iteri putus asa dari rahmat Tuhan?
Kedua, janganlah seseorang gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan, sebelum memeriksa suatu persolaan dengan teliti dan seksama. Tidaklah baik, jika mengambil keputusan tanpa mencari tahu tentang kebenaran sesuatu. Jika demikian halnya, maka keputusan yang diambil kemungkinan besar adalah keputusan yang keliru, merugikan, bahkan membuat seseorang menyesal di kemudian hari. Sikap-tergesa-gesa dalam suatu perkara, adalah di antara sikap syaithan. Jika kita perhatikan al-Qur’an, semua kata tergesa-gesa (‘ajala dan semua bentuknya) selau diungkapkan Allah dalam bentuk celaan kepada pelakunya. Lihat misalnya surat Thaha [20]: 83, di mana Allah swt. menegur nabi Musa atas sikapnya yang tergesa-gesa.
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَامُوسَى
Artinya: “Mengapa kamu datang lebih cepat (tergesa-gesa) daripada kaummu, hai Musa?”
Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 11, Allah mencela manusia dengan sikapnya yang tergesa-gesa.
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Di sinilah perlunya ketelitian (tabayyun) terhadap suatu berita, informasi atau suatu kedaan, agar tidak mengambil keputusan dan tindakan yang salah. Tindakan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang, bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar