Hasan al-Bana Dengan Pencuri
Hasan al-Bana adalah salah seorang tokoh Islam kebangsaan Mesir yang sangat terkenal. Dia juga dikenal sebagai adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia juga terkenal dengan ilmunya sangat luas serta kesalehannya kepada Allah. Di rumahnya terdapat perpustakaan yang mengoleksi ribuan jumlah buku.
Pada suatu malam, datanglah beberapa orang pencuri ke rumah Hasan al-Bana. Hasan al-Bana beserta keluarga disandra di dalam rumah oleh kawanan pencuri tersebut. Dengan demikian, secara leluasa para pencuri menguras isi rumah Hasan al-Bana.
Setelah selesai menguras ini rumahnya, para pencuri mulai melirik buku-buku yang ada di lemari Hasan al-Bana. Para pencuripun bergerak membuka lemari dan bermaksud mengambil buku-buku Hasan al-Bana. Ketika itulah Hasan al-Bana berkata, “Kalian boleh mengambil seluruh isi rumah ini semuanya, kecuali aku bermohon kepada kalian agar jangan mengambil satupun dari buku-buku saya ini. Sebab, buku-buku ini sangat berharga bagiku melebihi semua hartaku yang lain. Pada buku-buku ini tersimpan ilmu yang aku miliki”.
Salah seorang dari pencuri berkata kepada Hasan al-Bana, “Saya heran, baru kali ini saya melihat seorang ulama besar yang merasa takut buku-bukunya diambil. Saya tahu kenapa engkau takut buku-buku ini diambil, karena engkau belumlah meletakan ilmu yang ada pada buku-buku di dalam hati dan dadamu. Ilmu-ilmu itu masih tersimpan di dalam kertas-kertas ini. Ketahuilah, Hai Hasan al-Bana! Bahwa Ilmu itu ada di dalam dada, bukan pada kertas-kertas ini. Jika semua yang ada di kertas ini sudah engkau pindahkan ke dalam dadamu, tentulah ini semua tidak ada artinya bagimu dan tentu engkau tidak akan takut jika kertas-kertas ini dicuri oleh orang lain”. Setelah itu, para pencuripun menghilang dari pandangan Hasan al-Bana dan meninggalkan kembali semua miliknya.
Mendengarkan ucapan pencuri itu, Hasan al-Bana terdiam serta meminta ampun kepada Allah atas kelalaiannya terhadap ilmu. Dia menyesali dirinya yang tidak memindahkan ilmu yang ada di buku itu ke dalam dadanya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, jika seseorang mencintai ilmu, maka tiadalah yang lebih berharga dalam pandangannya selain buku-buku. Dia akan rela menghabiskan uangnya, mengurangi belanjanya jika sudah mencintai buku dan ilmu. Bahkan, dia akan menjadi budak buku dan ilmu. Bagi seorang yang mencintai ilmu, maka buku baginya adalah teman di kala sendiri dan penghibur di saat kesusahan. Dalam sebuah bait prosanya al-Jahizh, salah seorang pujangga Abbasiyah pernah berkata
الكتاب هو الجليس الذي لا يطريك, والصديك الذي لا يغريك, والرفيق الذي يملك, والجار الذي لايستبطئك, والصاحب الذي لا يعاملك بالمكر, ولايخدعك بالنفاق, ولا يحتال لك بالكذب . الكتاب نعم الأنيس لساعة الوحدة, ونعم المعرفة ببلاد الغربة ونعم الوزير والنزيل . الكتاب وعاء ملئ علما, وظرف حشي ظرفا, وإناء شحن مزاحا وجدا
Artinya: “Buku adalah sahabat yang tidak pernah memuji berlebihan, teman yang tidak pernah menghasut, kawan yang tidak pernah membosankan, tetangga yang tidak pernah merasa terbebani, orang dekat yang tidak pernah menipu, bersikap munafik dan berbohong.
Buku sadalah sebaik-baik teman waktu sendiri, sebaik baik pengetahuan ketika terasing, dan sebaik-baik pembantu dan tamu. Buku adalah bejana yang penuh dengan ilmu, penuh kebaikan, kepandaian, senda gurau dan kesungguhan.”
Kedua, hendak seseorang meletakan ilmunya di dalam hati dan dadanya, bukan di atas kertas dan kumpulan kitabnya. Ilmu adalah nur dari Tuhan yang mesti diletakan dan disimpan di dalam hati, bukannya disimpan di dalam lemari. Begitulah pesan Tuhan ketika memberikan manusia alat untuk memperoleh ilmu, sekaligus mengajak manusia agar meletakan ilmu itu di dalam hatinya. Firman Allah dalam surat an-Nahl [16]: 78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Dalam ayat di atas Allah menciptakan tiga sarana untuk manusia, agar bisa memperoleh ilmu yang belum diketahuinya melalui proses belajar. Sarana itu adalah pendengaran (telinga), penglihatan (mata), dan hati sebagai muara terakhir tempat ilmu itu bercokol dalam diri manusia. Oleh karena itu, amat rugilah manusia yang tidak menempatkan ilmu di dalam hatinya, karena tujuan Allah memberikan hati kepada manusia tidak bisa diwujudkan manusia itu sendiri.
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar