Pemuda Yang Shalih
Syaikh ath-Thanthawi pernah menuturkan sebuah cerita, bahwa dulu ketika al-Azhar belum menjadi sebesar saat ini pada mulanya adalah sebuah masjid. Di sana sistem pengajaran dilaksanakan dalam bentuk halaqah-halaqah yang dipimpin oleh para ulama terkenal pada zaman itu. Masjid al-Azhar yang terletak di kota Kairo tersebut sangat ramai dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai penjuru negeri, tidak hanya orang-orang Mesir akan tetapi juga dari negara bahkan benua lain.
Ketika itu, terdapat seorang murid yang bernama Abdullah yang datang dari sebuah negeri terpencil. Dia berasal dari keluarga sederhana, namun memiliki tekad yang sangat kuat untuk menunut ilmu. Dia juga sangat rajin dan semangat mengikuti setiap pelajaran di halaqah-halaqah masjid tersebut. Guru-guru yang mengajar juga sangat menyanginya, karena kekaguman mereka akan kecerdasan anak itu.
Suatu ketika, uang belanja yang dikirimkan oleh orang tuanya dari kampung terputus. Kondisi ini membuat Abdullah harus menahan lapar karena ketiadaan belanja. Akan tetapi, semangatnya untuk belajar tidak pernah surut walaupun dalam kondisi kelaparan. Setelah tiga hari dalam kondisi seperti itu, maka dia mulai merasa tidak mampu menahan lapar yang terus menyerang, hingga dia keluar meninggalkan halaqah untuk mencari makanan. Dia mulai menelusuri setiap rumah dan lorong yang ada di kota Kairo, guna mencari rumah yang kemungkinan bisa mengambil makanan dari sana tanpa izin pemiliknya. Akhirnya, sampailah dia ke sebuah rumah yang pintunya dalam keadaan terbuka, dan dia melihat banyak makanan terletak di atas meja. Dia kemudian masuk dan mengambil dua potong roti. Namun, disaat akan memakan roti tersebut dia teringat bahwa tujuannya ke Kairo adalah untuk menuntut ilmu, sementara makanan yang akan di makannya adalah makanan haram dan batil karena diambil tanpa izin pemiliknya. Dia berfikir bahwa ilmu adalah nur Tuhan, sementara kebatilan adalah kegelapan dan keduanya tidak akan pernah bisa bersatu. Jika nur Allah swt disatukan dengan kegelapan, maka yang satu akan mengalahkan yang lain dan biasanya yang mengalah selalu nur Tuhan.
Teringat akan hal itu, dia meletakan roti yang akan dimakannya di tempatnya semula. Dia kemudian kembali menuju halaqah yang tadi ditinggalkannya, untuk mengikuti pelajaran hingga selesai dalam keadaan perut yang kelaparan.
Sesaat sebelum pelajaran diakhiri, datanglah seorang perempuan menghadap sang guru dan membicarakan sesuatu yang penting, namun para murid tidak mengetahuinya. Setelah perempuan tersebut berlalu, sang guru menatap semua murid, lalu berkata kepada Abdullah,” Hai Abdullah maukah engkau menikah?”. Abdullah menjawab dengan senyum “Wahai guruku! Apakah engkau sengaja meledekku?, jangankan untuk menikah, saya saja sudah tiga hari tidak makan karena tidak ada belanja, lalu bagaimana mungkin aku akan menikah?”. Sang guru berkata, “Wanita yang datang kepadaku tadi adalah seorang janda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Mereka adalah keluarga baik-baik, dan mereka punya seorang anak perempuan shalihah yang menjadi pewaris tunggal kekayaan orang tuanya. Dia ingin mencarikan suami untuk anaknya sekaligus sebagai pelanjut usahanya, seorang laki-laki yang shalih yang tidak pernah menyentuh sesuatu yang haram. Dan aku melihat bahwa engkaulah orang yang paling tepat untuk itu.”
Atas dorongan sang guru, akhirnya Abdullah menerima untuk menikahi anak gadis perempuan tersebut. Kemudian, bersegeralah Abdullah bersama-sama murid yang lainnya menuju rumah wanita itu untuk menyaksikan akad nikah Abdullah dengan anaknya, serta pesta perkawinan mereka. Saat akan memakan hidangan di rumah tersebut, Abdullah menangis sehingga menimbulkan keheranan kawan-kawannya. Salah seorang diantara mereka bertanya, “Hai Abdullah! Kenapa engkau menangis? Apakah engaku menangis karena merasa terpaksa menikah?”. Abdullah menjawab, “Tidak, aku menangis karena beberapa saat yang lalu saya datang dan masuk ke rumah ini untuk mengambil makanan dengan cara yang haram, lalu saya ingat akan Allah kemudian saya meninggalkannya kembali. Namun, justru karena itu Allah swt mengembalikan makanan itu kepada saya, bahkan menambah dengan yang lebih besar dan mulia dari itu.”
Dari kisah di atas, dapat diambil beberapa hikmah; Pertama, bahwa orang yang mampu memelihara dirinya dari hal-hal yang dilarang Allah, maka pasti akan dicarikan oleh-Nya jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapinya. Sesuai dengan janji Allah dalam surat ath-Thalaq [65]: 2-3, Allah swt menyebutkan keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya.
…وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ…(3)
Artinya: “…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2), Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya…(3).”
Kedua, jika seseorang menjauhi dari mengambil yang haram, maka Allah akan memberikan kepadanya sesuatu yang halal yang jauh lebih besar, lebih banyak dan lebih mulia dari yang haram yang ingin diambilnya.
Ketiga, jika seseorang dalam proses menuntut ilmu, maka janganlah sekali-kali mencampurkannya dengan perbuatan maksiat, apakah fikiran, ucapan, perbuatan, termasuk memakan yang haram. Sebab, makanan adalah sesuatu yang kemudian menajadi pengganti cairan dan energi tubuh. Jika energi atau anggota tubuh kita bersumber dari yang haram, maka ilmu yang merupakan kebenaran dan cahaya dari Tuhan tidak akan pernah bisa dicapai dan diperoleh.
Imam Syafi’i ra. pernah mengadu kepada gurunya tentang melemahnya daya ingat dan hafalannya. Dia menjelaskan bahwa tanpa sengaja dia melihat betis seorang wanita yang terhembus angina. Gurunya kemudian menasehatinya agar menjauhi segala bentuk kemaksiatan, karena ilmu adalah nur dari Tuhan yang tidak akan pernah mendekat kepada jiwa manusia yang kotor karena dosa.
Keempat, bahwa jika seseorang bertaqwa kepada Allah swt, maka Allah swt akan berikan pula pasangan yang bertaqwa untuknya. Hal itu sesuai dengan janji Allah dalam surat an-Nur [24]: 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar