Selasa, 08 September 2009

Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut

Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat beliau; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Layaknya tamu, Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah menyambut kedatangan mereka, kemudian disuruh masuk dan dipersilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, Fathimah ke dapur mencari hidangan untuk Rasulullah saw; ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Adapun hidangan yang dibawa Fathimah adalah madu yang diletakan di sebuah mangkuk yang indah.
Ketika madu yang berada dalam mangkuk tersebut berada di tengah mereka, Rasulullah saw melihat sehelai rambut di dekatnya. Kemudian Rasulullah saw mengambil ketiganya; madu dengan mangkuk dan sehelai rambut tersebut. Maka Rasulullah saw berkata kepada semua sahabatnya, “Coba kamu membuat perumpamaan dari yang tiga ini; madu, mangkuk dan sehelai rambut!”. Masing-masing mereka kemudian membuat perumpamaan.
Giliran pertama dipersilahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dia berkata “Iman itu lebih manis dari madu, orang yang beriman lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mempertahankan iman atau mencari orang yang mampu mempertahankan imannya sampai dia meninggalkan dunia ini, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw berdecak kagum dengan perumpamaan Abu Bakar.
Selanjutnya Umar bin Khattab dipersilahkan, dan dia berkata “Kekuasaan itu lebih manis dari madu, orang yang berkuasa/penguasa/ pemimpin lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun berkuasa secara adil atau mencari orang yang mampu berlaku adil terhadap kekuasaannya, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Rasulullah saw memuji perumpamaan Umar bin Khattab.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Utsman bin Affan, dia berkata “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Bagus, sambut Rasullah saw.
Kemudian kesempatan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, dia berkata "Tamu itu lebih manis dari madu, orang yang menerima tamu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang yang mampu menyambut tamunya dengan hangat dan mesra dari mulai kedatangan mereka sampai saat mereka meninggalkan rumah tanpa kurang sedikitpun, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut". Rasulullah saw tersenyum sambil mengagumi perumpamaan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah juga diberi kesempatan untuk membuat perumpamaan, dia berkata “Wanita itu lebih manis dari madu, wanita yang shalihah lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mancari wanita yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya saja, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw pun memuji perumpamaan Fathimah.
Sekarang kesempatan Rasulullah saw membuat perumpamaan, beliau berkata “Amal itu lebih manis dari madu, orang yang beramal lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mencari orang beramal yang ikhlas dalam mengerjakan amalnya itu, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Allah swt kemudian melalui Rasulullah saw juga membuat perumpamaan, "Sorga-Ku lebih manis dari madu, keindahan sorga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun jalan menuju sorga-Ku susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”.
Dari perumpamaan kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah susahnya mempertahankan keimanan yang ada di dalam hati manusia, sampai dia meningggalkan dunia ini. Memang, keimanan adalah sebuah nikmat dan anugerah dari Allah kepada manusia. Akan tetapi, usaha mempertahankannya agar tidak tercabut dari akarnya, sungguh sesuatu yang termat sulit. Sebab, syaithan telah bersumpah di hadapan Tuhan, ketika ia diusir dari sorga bahwa sampai hari kiamat, ia akan berusaha mencabut keimanan dari manusia dan membawa ke jalan kesesatan. Permintaan syaithan tersebut, disahuti Allah dengan memberinya waktu sampai hari kiamat. Begitulah yang disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 13-17
قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ(13)قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(14)قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(15)قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17) قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ(18)
Artinya: “Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina(13). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan(14). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh(15). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus (16). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at) (17). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya(18).”
Begitu juga dalam surat al-Hijr [15]: 34-40
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(34)وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(35)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(36)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(37)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(38)قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk (34). Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat (35). Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan (36) Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (37). Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan (38). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (39) Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Begitu juga dalam surat Shad [38]: 77-83
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ(77)وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ(78)قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(79)قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ(80)إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ(81)قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(82)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(83)
Artinya: “Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk (77). Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan (78). Iblis berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan (79). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh (80). Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat) (81). Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya (82). Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (83).”
Kedua, kekuasaan adalah hal yang selalu menjadi “incaran” setiap manusia, karena menjadi penguasa adalah suatu kebaikan, kehormatan dan kemuliaan. Akan tetapi, menjalankan kekuasaan yang pegang dengan cara adil adalah hal yang sangat sulit dicapai – jika tidak mengatakannya hal yang mustahil – kecuali hanya dalam jumlah yang teramat sedikit sekali. Sebab, menjadi penguasa yang adil, menjadi teladan, dan ikutan bagi manusia banyak adalah suatu hal yang termat sulit. Karena penguasa yang bisa seperti itu adalah para penguasa yang sudah melewati ujian kelayakan dan kepantasan. Bukankah Ibrahim as. dijadikan Allah sebagai pemimpin manusia yang penuh teladan, setelah melewati banyak ujian kelayakan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 124, Allah swt berfirman

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ketiga, memiliki ilmu adalah suatu karunia dan kemuliaan dari Allah. Akan tetapi, mengamalkan ilmu yang dimiliki adalah sesuatu yang teramat sulit. Setiap kali ilmu manusia bertambah, setiap kali itu pula Allah menuntutnya agar mengamalkan ilmunya. Betapa banyaknya celaan Allah terhadap manusia yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Lihat misalnya firman Allah dalam surat ash-Shaff [61] :2
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?.”
Begitu juga dalam surat al-Munafiqun [63]: 4
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ….
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu terpana mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar…”
Keempat, menjalin silaturrahmi dengan saling mengunjungi adalah suatu perbuatan yang mulia dan diperintahkan Allah. Bagi yang menerima tamu dan memuliakannya, diberikan kehormatan tersendiri sebagai manusia yang sempurna imannya. Bukankah Rasululllah saw bersabda
من كان يؤمن بالله وباليوم الآخر فاليكرم ضيفه
Artinya: “Siapa yang beriman dengan Allah dan dengan hari yang akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
Akan tetapi, memperlakukan tamu dengan penuh kemuliaan, semenjak kedatangannya sampai dia meninggalkan rumah tuan rumah, tentulah seuatu yang teramat sulit. Seringkali tuan rumah, hanya ramah dan simpati kepada tamu ketika awal kedatangannya. Namun, jika tamu sudah berada beberapa hari di rumah tuan rumah, penghormatan yang pada awalnya hangat burubah menjadi “dingin” bahkan sampai tidak menegur tamu dan akhirnya mengusir sang tamu dengan tidak hormat.
Kelima, wanita baik-baik (shalihah) adalah sesuatu yang sangat berharga, karena sulitnya mencari perempuan seperti itu. Akan tetapi, mendapatkan wanita yang tidak pernah dilihat sama sekali orang lain, kecuali muhrimnya, tentulah lebih sulit lagi. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini, agaknya perempuan seperti itu hanya ada dalam khayalan atau ungkapan saja. Betapa tidak, dunia yang sudah semakin kecil dan kemjuan yang sangat pesat, tentu mempengaruhi sistem sosial dan intelektual masyarakat termasuk juga prilaku mereka. Perempuan yang dulu mesti di dampingi muhrimnya jika hendak keluar rumah, sekarang mereka bisa bebas keluar rumah kapan saja tanpa harus ada yang menemani. Masih adakah perempuan yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya hari ini? Wallahu a’lam
Keenam, mendapat hidayah untuk berbuat kebajikan tentulah suatu anugerah dari Allah. Namun, beramal saja tidaklah ada artinya jika tidak memiliki keikhlasan dalam mengerjakannya. Pekerjaan yang dilakukan tanpa keikhlasan, adalah pekerjaan yang rapuh ibarat debu yang mudah dihembus angin. Perbuatan ikhlas adalah sesuatu yang teramat sulit, karena syaithan tidak akan menginginkan dan membiarkan ada hamba yang berlaku ikhlas.
Akan tetapi, jika seorang berlaku ikhlas dalam beribadah, iblispun merasa takut terhadapnya, sehingga iapun tidak berani mengganggunya. Ketakutan iblis tersebut muncul dari pengakuannya sendiri, seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Hijr [15]: 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(39)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ(40)
Artinya: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik perbuatan ma'siat di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya(39), Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (40).”
Ketujuh, betapa sorga sebagai sebagai puncak dan muara segala bentuk kenikmatan, adalah sesuatu yang teramat susah memperolehnya. Sorga akan didapatkan setelah manusia melewati kesungguhan menghadapi serangkain ujian yang sangat panjang. Tidaklah sorga akan diberikan Allah kepada hamba-Nya, sebelum Dia mengetahui kesungguhan dan perjuangan hamba-Nya. Begitulah yang dikatakan Allah dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk sorga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Semua perumpamaan di atas pada hakikatnya, bukan berarti sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun lebih menunjukan arti susahnya berbuat yang demikian itu. Yaitu, susahnya mempertahankan keimanan, berlaku adil terhadap amanah berupa kekuasaan, mengamalkan ilmu dengan sempurna, memuliakan tamu secara sempurna, wanita yang benar-benar bersih dan terjaga, beramal dengan ikhlas serta mendapatkan sorga Allah. Kalaupun itu ditemukan maka amat sedikit yang mampu melakukannya.

Tidak ada komentar: