Juraij Yang Dibela Bayi
Konon pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda yang shalih dan taat malaksanakan ibadah kepada Allah. Hari demi hari, selalu digunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat terutama shalat sunat dan membaca al-Kitab. Dia pun membangun sebuah mushalla di sebidang tanah peninggalan ayahnya, sebagai tempat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya.
Suatu hari, datanglah ibunya memanggil Juraij agar segera menemuinya. Ketika sang ibu memanggil namanya, Juraij sedang khusu’ melaksanakan shalat sunat. Saat itu dia berkata dalam hati, “Shalatku, ibuku?”. Lantas dia memilih untuk meneruskan shalatnya dan tidak menyahuti panggilan ibunya. Ibunya mengira Juraij sudah tidak mematuhinya lagi. Maka pulanglah ibunya ke rumah dengan perasaan sedih dan kecewa dengan sikap anaknya tersebut. Ibunya tanpa sadar mengucapkan kelimat, “Engkau pasti akan diperlakukan dengan menyakitkan oleh orang banyak”.
Setelah beberapa lama hal itu berlalu, Juraij dan ibunya pun seakan telah melupakan yang terjadi. Di negeri itu, ternyata ada seorang gadis desa yang sudah lama jatuh cinta kepada Juraij. Akan tetapi, Juraij tidak pernah mempedulikan perempuan itu. Suatu hari, perempuan itu datang kepada Juraij saat dia berada di dalam mushallanya. Perempuan itu merayu dan mengajak Juraij untuk melakukan perbuatan zina. Namun, Juraij menolaknya bahkan memarahi perempuan itu dan mengusirnya.
Mendapatkan cintanya ditolak dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Juraij terhadap dirinya, perempuan itu menyusun rencana jahat. Keesokan harinya, pergilah perempuan itu menemui seorang pengembala di suatu padang rumput, dan mengajak pengembala itu melakukan perzinahan. Setelah beberapa waktu kemudian, perempuan itupun hamil dan selanjutnya melahirkan anaknya. Semua penduduk kampung dihebohkan dengan aib dan bencana yang telah menimpa kampung mereka. Mereka kemudian menangkap wanita itu dan menghujaninya dengan pertanyaan, tentang siapa yang telah menghamilinya dan ayah dari bayi yang telah dilahirkannya.
Perempuan itu kemudian menjawab bahwa yang menghamilinya adalah Juraij, pemuda shalih yang berada di mushalla itu. Dia mengatakan bahwa Juriaj telah memperkosanya saat dia shalat di mushallanya. Setelah mendengarkan keterangan dari perempuan itu, maka semua penduduk kampung itu mendatangi mushalla Juraij dengan penuh emosi. Tempat ibadah Juraij dihancurkan hingga rata dengan tanah. Juraij ditarik dengan paksa dari mushallanya dan dipukuli beramai-ramai hingga babak belur.
Beberapa saat kemudian, datanglah penguasa negeri itu ke tempat kejadian, dan mencari tahu kebenaran dari masing-masing pihak. Penguasa negeri itu bertanya kepada pertempuan yang menggendong anaknya, tentang siapa ayah dari anaknya itu. Perempuan itu menjelaskan seperti yang sebelumnya dia katakan kepada penduduk negeri, bahwa ayah dari anaknya adalah Juraij. Juraijpun ditanya tentang kebenaran dirinya sebagai pelaku pemerkosaan dan ayah dari anak perempuan itu. Dia kemudian meminta izin kepada penguasa itu untuk berwudhu’. Setelah itu, Juraij shalat sunat dua rakaat. Kemudian dia datang menghampiri anak yang digendong perempuan itu dan bertanya kepadanya, “Siapa ayahmu sebenarnya?”. Atas izin Allah, bayi yang masih di dalam gendongan tersebut menjawab, “Ayah saya bukan Juraij, tetapi seorang gembala di padang rumput sana”.
Mendengar jawaban bayi tersebut, semua yang berada di tempat itu merasa sangat heran sekaligus menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij. Setelah memberikan hukuman kepada perempuan dan gembala tersebut, secara beramai-ramai penduduk negeri itu meminta maaf, dan mereka bersama penguasa negeri itu berjanji akan membangunkan tempat ibadah yang sangat indah dengan batu terindah seperti layaknya istana, sebagai penebus rasa bersalah mereka. Juraij kemudian berkata, “Cukuplah kiranya kalian bangunkan untuk saya tempat ibadah seperti yang telah kalian hancurkan sebelumnya, tidak lebih dan tidak kurang”. Maka semua penduduk negeri itu, kembali membangun mushalla untuk Juraij seperti yang sebelumnya mereka hancurkan.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bahwa begitulah makbulnya do’a orang tua terhadap anaknya. Bukankah Rasulullah saw. telah menyebutkan, Bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orang tua? Jika orang tua mendo’akan suatu kebaikan untuk anaknya, pastilah Allah akan mengabulkannya, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, janganlah sekalipun dan sekecil apapun pernah menyakiti perasaan orang tua. Begitulah peringatan Allah dalam Surat al-Isra’ [17] ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا(23)وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا(24)
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (23), Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (24).”
Kedua, jika seseorang berada di pihak yang benar, lalu dituduhkan sekian banyak kesalahan dan kejahatan untuknya, pastilah kebenarannya akan terungkap dan kebatilan akan kalah. Betapapun pada awalnya, kebatilan mengalahkan kebenaran, namun hukum Allah menetapkan bahwa kebatilan akan lenyap dan kalah dengan sendirinya. Begitulah yang dimaksudkan Allah dengan perumpamaan-Nya seperti yang terdapat dalam surat ar-Ra’du [13]: 17
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Dalam ayat di atas, Allah mencontohkan pertarungan antara yang hak dan batil seperti air yang mengalir membawa buih-buih yang sangat banyak. Atau seperti logam ketika dibakar yang juga mengeluarkan buih yang sangat banyak. Pada kenyataannya terlihat bahwa air atau logam ditutupi, dilingkupi, ditelan oleh buih yang begitu banyak dan sepertinya buih adalah penguasa yang menutupi air atau logam. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat pendek buih-buih yang pada mulanya menguasai air dan logam perlahan-lahan hilang, bahkan akhirnya lenyap sama sekali tanpa bekas yang ditinggalkan. Buih akan lenyap sebagai sesuatu yang tidak berharga, sementara yang bermanfaat akan tingal bersama manusia. Begitulah jaminan Allah swt untuk kemenangan yang hak terhadap kebatilan.
Ketiga, janganlah gegabah dalam bertindak dan mengambil keputusan. Ketika seorang datang membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Jika tidak ada usaha mencari tahu kebenaran tentang suatu berita yang datang, dikhawatirkan kita akan mengambil keputusan yang salah, merugikan orang lain dan bahkan diri sendiri, yang akhirnya akan mendatangkan penyesalan dan kerugian yang besar. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Keempat, begitulah kekuasaan Allah yang bisa membuat bayi yang masih dalam gendongan ibunya berbicara dan mengatakan kebenaran. Jika Allah mengendaki sesuatu, maka dengan mudah bisa terjadi sekalipun tidak mungkin menurut ukuran akal dan fikiran serta pengalaman manusia. Bukankah nabi Yusuf as. dibela dari tuduhan atas kesalahannya oleh seorang bayi yang dalam gendongan ibunya? Bukankah Maryam ibu nabi Isa as. juga dibela dari kesalahan dan tuduhan kaumnya oleh Isa yang masih dalam gendongan ibunya? Begitulah yang dikisahkan Allah seperti dalam surat Maryam [19]: 29-30
فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا(29)قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ ءَاتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا(30)
Artinya: “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?(29). Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi (30).”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar