Selasa, 08 September 2009

Sulaiman Mengadili Perkara

Sulaiman Mengadili Perkara
Dikisahkan pada masa nabi Sulaiman as, hiduplah dua orang wanita yang pada mulanya bersahabat. Kedua wanita itu sama-sama memiliki seorang bayi laki-laki. Suatu hari, mereka berdua pergi berjalan menuju sebuah negeri dan melewati sebuah hutan. Ketika melewati hutan tersebut, datang seekor srigala menyerang mereka dan memakan salah seorang dari kedua anak mereka.
Mendapatkan anaknya dimakan srigala, timbullah keinginan perempuan yang kehilangan anaknya, untuk mengambil anak temannya sebagai pengganti anaknya yang telah tiada. Maka terjadilah pertengkaran diantara kedua perempuan itu untuk memperebutkan anak yang masih hidup itu. Akhirnya, keduanya sepakat untuk membawa perkara mereka kepada nabi Sulaiaman as.
Di hadapan Sulaiman kedua ibu itu bersikeras untuk mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. Keduanya saling mengklaim bahwa dialah yang benar dan menuduh bahwa yang lain adalah pembohong. Setelah memberikan nasehat kepada keduanya, agar masing-masing menyadari kekeliruanya jika berada di pihak yang salah. Menurut Sulaiman, tidaklah mungkin seorang anak dilahirkan oleh dua ibu yang berbeda. Akan tetapi, keduanya tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Maka Sulaiman berkata, “Baiklah, jika anak ini memang kepunyaan kalian berdua, maka terpaksa saya akan membelah tubuh anak ini. Masing-masing mengambil satu bagian untuknya”.
Nabi Sulaiman as. kemudian memerintahkan salah seorang anak buahnya agar membawakan pedang untuknya. Sebelum dia membelah tubuh anak tersebut, Sulaiman bertanya kepada salah satunya, “Setujukah engkau jika anak ini saya bagi dua, sehingga kalian bisa mengambil bagian masing-masing?. Perempuan itu menjawab dengan cepat, “Saya setuju, karena itulah yang paling adil”. Kemudian Sulaiman bertanya lagi kepada yang berikutnya, “Setujukah engkau jika anak ini saya bagi dua, agar kalian bisa sama-sama mendapatkannya?”. Perempuan itu lama terdiam, kemudian dia berkata, “Kalau begitu, janganlah engkau bagi dua tubuh anak ini, aku rela memberikan bagaian saya kepada perempuan itu, asalkan dia tetap hidup”. Sulaiman tersenyum puas mendengar jawaban perempuan itu, dia berkata, “Engkaulah ibu anak ini, silahkan engkau ambil dia dan bawalah pulang. Dan engkau perempuan yang pembohong, janganlah engkau mengulangi perbuatanmu ini untuk masa berikutnya”.
Atas kebijaksanaan Sulaiman, pulanglah kedua perempuan itu dengan membawa kebahagiaan masing-masing. Perempuan yang pertama bahagia karena telah mendapatkan anaknya kembali, dan yang lain gembira karena Sulaiman memaafkan kesalahannya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, begitulah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Tidak akan ada seorang ibupun yang ingin dan sanggup melihat anaknya sakit dan menderita. Dia akan dengan rela mengorbankan perasaan, harta, bahkan jiwanya demi keselamatan dan kebaikan anaknya. Wajarlah kiranya jika Rasulullah saw. melebihkan ibu tiga kali lebih tinggi dari kedudukan ayah. Kasih sayang yang dimiliki ibu terhadap anaknya, berbeda dengan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya, mungkin disebabkan perbedaan penderitaan dan kesusahan yang dialami seorang ibu dan ayah. Sebab, ibu merasakan betul bagaimana susah dan beratnya semenjak mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan anaknya. Itulah yang diceritakan Alqur’an seperti yang terdapat dalam surat Luqman [31] ayat 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Kedua, janganlah manusia berkeinginan untuk mengambil sesuatu yang bukan milikinya. Sebab, hal itu bukan saja merugikan orang lain, akan tetapi juga merugikan diri sendiri. Di dunia seseorang akan merugi karena akan dijauhi dan dibenci oleh orang lain, sementara di akhirat, dia akan menerima siksa dan azab yang pedih dari Allah. Oleh Karena itulah Allah swt. mengingatkan manusia dalam beberapa ayat-Nya, seperti surat al-Baqarah [2]: 188
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Begitu juga dalam surat Ali Imran [3]: 161, Allah swt, berfirman
…وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya: “...Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

1 komentar:

dwisuka mengatakan...

hebat.... berabad2 lalu nabi Sulaiman sudah menerapkan apa yg di lingkungan peradilan umum disebut 'persangkaan/petunjuk' sebagai alat bukti untuk mengadili.
salam kenal...

dwiliz.blogspot