Yang Tua Masuk Sorga, Yang Kecil Masuk Neraka
Konon, pada suatu masa hiduplah dua orang yang bersaudara di sebuah negeri. Antara kedua bersaudara ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dari berbagai hal termasuk ibadah. Adapun yang tua, adalah orang yang agresif, dan sangat terampil dalam berdagang. Semenjak kecil, bakatnya sebagai seorang pedagang ulung telah tampak. Sehingga, orang tuanya memberinya dorongan dan modal yang besar dalam mengembangkan bakat usahanya. Dalam waktu yang singkat dalam dalam usia yang sangat muda, dia sudah menjadi orang terkaya di negeri itu. Semua orang menyegani dan menghormatinya karena kekayaan yang dimilikinya. Akan tetapi, dia adalah orang yang tidak pernah tampak melakukan ibadah kepada Allah.
Berbeda dengan yang kecil, sang adik semenjak kecil sudah memperlihatkan kesalehan dan kecintaannya kepada ilmu dan ibadah. Sehingga, orang tuanya mencarikan guru untuk mengajarkan agama dan cara beribadah kepadanya. Dalam waktu yang singkat dan usia yang sangat muda, dia sudah menjadi orang yang terkenal kesalehan dan keluasan ilmunya. Dia disegani dan dihormati oleh seluruh masyarakat negeri itu dan dijadikan teladan dan tempat bertanya. Namun, dia adalah orang yang tidak sekalipun ikut serta dalam urusan duniawi seperti berdagang atau usaha lain, seperti yang dilakukan kakaknya.
Kedua bersaudara ini tinggal dalam satu rumah yang memilki dua lantai. Di lantai bawah, adalah toko tempat kakaknya melakukan aktifitas dagangnya. Sementara lantai dua, adalah khusus untuk sang adik melaksanskan ibadah setiap saat dan membaca buku-bukunya. Suatu hari, dalam saat yang bersamaan muncul fikiran yang berbeda dari keduanya. Yang tua berfikir, “Alangkah meruginya hidup saya ini, setiap hari saya telah disibukan untuk mencari kekayaan duniawi. Bagaimana kalau besok atau sebentar lagi saya mati, tentulah harta yang yang saya kumpulkan ini tidak akan saya bawa dan juga tidak akan bisa menolong saya. Dan alangkah bahagianya adik saya nanti, setiap hari dia selalu sibuk beribadah untuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Jika dia nanti mati, tentulah dia akan pergi menemui Tuhan dengan senang dan gembira, karena telah mempersiapkan dirinya dengan amal yang begitu banyak. Ingin rasanya saya meninggalkan dagang saya ini dan menyusul adik saya untuk beribadah”.
Sementara sang adik juga berfikir di lantai atas, “Kenapa umur dan masa yang semestinya saya pakai untuk menikmati dunia, saya habiskan untuk beribadah kepada Allah. Bukankah umur saya masih panjang?. Jika tidak bisa beribadah hari ini, besokpun hal itu masih bisa saya lakukan. Alangkah suksesnya kakak saya, kekayaannya begitu melimpah dalam usianya yang sangat muda. Ingin rasanya saya meninggalkan ibadah saya dan menyusulnya untuk ikut pula berdagang mencari kekayaan dunia”.
Dalam saat yang bersamaan keduanya pun bergerak, sang kakak bergerak naik ke atas tangga menuju lantai atas dan sang adik bergerak menuruni tangga menuju lantai bawah. Begitu sampai di pertengahan anak tangga, tanpa sengaja sang adik terpeleset dan jatuh menimpa kakaknya. Keduanya jatuh secara bersamaan dari anak tangga dan meninggal dalam waktu yang bersamaan.
Maka datanglah malaikat Rahmat dan malaikat Azab memperebutkan keduanya. Kata malaikat Azab, “Kakaknya adalah milik saya, dan adiknya adalah untukmu. Sebab, selama hidup di dunia kakanya ini sibuk mengurus dunia dan tidak sempat beribadah kepada Allah. Sementara adiknya adalah orang yang sangat taat dan rajin beribadah”. Malaikat Rahmat berkata, “Kakaknya adalah milik saya dan adiknya ini adalah milik engkau. Sebab, kakaknya sudah berniat meninggal dunia, ingin bertaubat dan melaksanakan ibadah untuk sisa umurnya. Sementara, adiknya sudah berniat meningglkan ibadahnya dan ingin menghabiskan umurnya untuk mengurus dunia”.
Setelah lama bertengkar, maka keduanya sepakat untuk menghadap Allah dan meminta petunjuk tentang siapa yang berhak membawa siapa. Allah pun memberikan petunjuk, bahwa kakaknya adalah milik malaikat Rahmat karena niatnya yang bulat menghabiskan umurnya untuk beribadah, sekalipun belum sempat dilaksanakannya. Sementara, adiknya adalah milik malaikat Azab kerana dia telah bertekad meninggalkan-Ku dan mengejar dunia dengan sisa umurnya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, hendaklah seseorang marasakan dan menyadari bahwa umurnya di dunia ini sangatlah pendek. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang mempersiapkan diri menghadapi kematian yang tidak diketahui oleh siapapun datangannya dan tempatnya. Kematian akan datang kepada siapa saja dan kapan saja serta di mana saja tanpa bisa manusia menolak atau meminta diundur walau sedetikpun. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 61
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.”
Jika seseorang mempersiapkan diri menghadapi kematian, maka tentulah dia akan dengan senang hati dan gembira menemui Tuhan. Namun, jika seseorang tidak mempunyai persiapan, maka tentu tiada yang paling ditakutinya selain bertemu dengan Tuhan. Begitulah kurang lebih disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Ahmad “Seorang mukmin saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya, kecuali bertemu dengan Tuhan (kematian). Berbeda halnya dengan orang kafir (orang yang tidak siap dengan kematian) yang juga diperlihatkan kepadanya apa yang bakal dihadapinya setelah kematian, dan ketika itu tidak ada yang lebih dibencinya kecuali bertemu dengan Tuhan (kematian).”
Kedua, tidaklah baik bagi seorang manusia memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Hendaklah keduanya diambil dan dicari secara bersamaan. Sebab, dunia adalah jembatan menuju akhirat, dan kebahagiaan akhirat bisa diperoleh jika seseorang sempurna mencapai kehidupan dunia. Bukanlah orang terbaik yang meninggalkan dunia untuk mencapai akhirat, dan bukan pula manusia terbaik yang meninggalkan akhirat untuk mencari dunia. Namun, yang terbaik adalah yang memperoleh kedua-duanya. Oleh karena itulah, Allah swt mengingatkan manusia dalam surat al-Qashash [28]: 77
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. pernah mengingatkan umatnya, “Berusahalah kamu untuk mencari duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya. Namun, berusahalah kamu untuk mendapatkan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Akan tetapi, jika kita mesti memilih antara kehidupan dunia dan akhirat, tentulah yang terbaik memilih akhirat dan meninggalkan dunia. Seperti dalam sebuah riwayat Rasulullah menyebutkan, “Juallah duniamu untuk akhiratmu, niscaya engkau akan mendapatkan keduanya. Dan janganlah engkau jual akhiratmu untuk duniamu karena engkau akan kehilangan keduanya”.
Ketiga, para orang tua juga bertanggung jawab untuk mempersiapakan anak-anak mereka meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Seorang anak tidak hanya disiapkan untuk menjadi manusia yang pintar dan terampil, namun juga harus dipersiapkan menjadi orang yang shalih dan taat kepada Allah. Sehingga, akan muncullah genarsi-generasi yang tangguh baik ekonomi, ilmu, akhlak, rohani, dan sebagainya, bukan genarasi yang lemah dan menjadi beban, sampah atau pengacau di tengah masyarakatnya. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat an-Nisa’ [4]: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Keempat, janganlah seseorang merasa sombong dan angkuh dengan ibadah dan ketaatannya kepada Allah. Sebab, hal itu tidak menjadi jaminan dia akan selamat dari godaan syaithan, atau menjadi jaminan bahwa dia adalah pasti penghuni sorga. Sebelum manusia meninggalkan dunia yang fana ini, selama itu pula syaithan dengan sekuat tenaga dan seluruh kekuatannya, akan mengajak manusia ke jalannya dan jauh dari jalan Tuhan. Begitulah sumpah syaithan di hadapan Tuhan, seperti diungkapkan Allah swt dalam surat al-A'raf [7]: 16-17
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ(17)
Artinya: “Iblis menjawab:" karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya pasti akan menyesatkan mereka dari jalan-Mu yang benar . kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”
Sebaliknya, seseorang haruslah optimis dan penuh harap terhadap rahmat Allah. Betapapun lengah dan jauhnya manusia dari Allah pada masa lalunya, jika dia mau mendekat dan kembali maka rahmat Allah maha luas terhadapnya. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat Yusuf [12]: 78
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Kelima, begitulah telitinya pengadilan Tuhan terhadap manusia. Sesuatu yang masih dalam hati dan berbentuk niat yang masih tercetus, sekalipun belum terwujud dalam bentuk perbuatan sudah menjadi bagian dari amal shalih yang diperhitungkan. Bahkan, yang akan dilihat dan dinilai Allah dari manusia adalah apa yang ada di dalam hatinya, bukan yang tampak dilahirkan oleh tubuhnya. Begitulah kira-kira sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan perbuatanmu, namun Allah hanya melihat apa yang ada di dalam hatimu”. Begitu juga, apa yang tercetus di dalam hati manusia baik kejahatan maupun kebaikan, niscaya akan dilahatnya nanti di akhirat. Seperti firman Allah dalam surat al-Zalzalah [99]: 7-8
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(7)وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya(7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula (8).”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar