Selasa, 08 September 2009

Sapi Yang Berbicara

Sapi Yang Berbicara
Konon pada masa nabi Musa as. hiduplah sepasang suami isteri dari kalangan bani Israel yang sudah lama menikah, namun belum diberikan keturunan oleh Allah. Akan tetapi, mereka terus berdo’a kepada Allah agar diberikan anak yang shalih, patuh, taat dan berbakti kepada mereka. Do’a mereka akhirnya dikabulkan Allah, sehingga dalam usia yang sudah mulai tua isterinya hamil. Mengingat kondisinya yang sudah tua, suaminya berfikir mungkin dia tidak akan bisa membiayai dan membesarkan anaknya sampai dewasa nanti. Dia berfikir untuk membuatkan tabungan bagi anaknya sebagai bekal untuk kehidupannya kalau nanti dia dipanggil Tuhan lebih awal.
Dia kemudian pergi ke pasar dan membeli seekor anak sapi. Sapi itu dilepaskannya di sebuah padang rumput yang hijau seraya berkata, “Ya Allah, ini aku titipkan kepada-Mu seekor sapi sebagai bekal untuk anakku nanti. Aku memohon kepada-Mu tolong jagalah hartaku ini, dan jika nanti saya sudah meninggal maka berikanlah hartaku ini kepada anakku!”. Setelah melepaskan sapinya, pulanglah dia ke rumah menemui isterinya. Dia kemudian berkata, “Hai isteriku! Jika nanti Allah memanggilku lebih cepat, akau telah melepaskan seekor sapi di padang rumput sana sebagai warisan untuk anak kita. Nanti, kalau dia sudah besar dan butuh biaya untuk melanjutkan kehidupannya, suruhlah dia mengambilnya ke tempat tersebut dan juallah untuk kebutuhan hidupnya”.
Setelah beberapa bulan berlalu, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah bahagianya mereka melihat kelahiran anak mereka yang sehat dan mungil. Akan tetapi, tidak lama setelah itu suaminya jatuh sakit hingga meninggal dunia. Maka isterinya kemudian merawat anaknya dengan kasih sayang dan dalam kondisi yang sangat sederhana bahkan seringkali kekurangan.
Setelah anaknya menginjak umur dewasa teringatlah dia akan pesan suaminya, tentang sapi yang dilepaskan di padang rumput sana sebagai warisan untuk anaknya. Dia kemudian menyuruh anaknya untuk menjemput sapi tersebut setelah menunjukan tempat sapi itu dilepaskan. Begitu sampai di sana, berkat pertolongan Allah sapi tersebut datang kepada anak itu, kemudian dia membawanya pulang.
Setelah sampai di rumah, ibunya terkejut melihat sapi tersebut yang sangat indah, gemuk dan bersih. Ibu itu kemudian menyuruh anaknya untuk menjual sapi tersebut ke pasar seharga seratus dinar. Maka berangkatlah anak itu kepasar dengan membawa sapinya. Di tengah perjalanan dia dicegat oleh seorang laki-laki dan bertanya, “Hai anak kecil! Apakah engkau hendak menjual sapimu?. Anak itu menjawab, “Betul, sapi ini akan aku jual”. Laki-laki ltu kemudian berkata lagi, “Berapa hendak engkau jual sapimu ini?”. Anak itu menjawab, “Kata ibuku, sapi ini akan dijual seharga seratus dinar”. Laki-laki itu kemudian berkata, “Maukah engkau jika sapi ini aku beli seharga dua ratus dinar?”. Anak itu menjawab, “kalau begitu, tunggulah sebentar di sini, aku pulang dulu dan menanyakannya kepada ibuku, jika nanti dia setuju aku akan jual kepadamu”.
Anak itupun berlari pulang menemui ibunya. Sesampainya di rumah dia memberitahukan ibunya bahwa ada orang yang mau membeli sapinya dengan harga dua ratus dinar. Ibunya kemudian berkata, “Juallah kepadanya dua ratus dinar”. Anak itu kemudian bergegas menuju laki-laki itu. Kemudian dia berkata, “Baiklah, kata ibuku sapi ini dijual dengan harga dua ratus dinar”. Laki-laki itu kemudian berkata, “Bagaimana jika aku membelinya tiga ratus dinar?”. Anak itupun kembali menjawab, “Kalau begitu, tunggulah sebentar saya tanya lagi kepada ibu saya, jika dia setuju tiga ratus dinar akan aku jual kepadamu dengan harga itu”.
Maka anak itu bergegas kembali ke rumah menemui ibunya, dia berkata “Ibu! Bagaimana jika laki-laki tersebut ingin membeli sapi kita dengan harga tiga ratus dinar?”. Ibunya menjawab, “Juallah sapi itu dengan harga tiga ratus dinar, hai anakku!”. Diapun kembali bergegas menuju laki-laki yang ingin membeli sapinya. Sesampainya di tempat laki-laki tersebut, dia berkata “Ibuku setuju engkau membeli dengan harga tiga ratus dinar”. Namun laki-laki itu berkata, “Aku bukannya hendak membeli sapimu, tatapi aku datang ingin memberitahumu bahwa saat ini sedang terjadi persengketaan dua kelompok manusia. mereka bersengketa karena menuduh salah satu kelompok menjadi pembunuh seorang tokoh mereka. Mereka ingin mencari kebenarannya dengan cara menyembelih seekor sapi. Sapi yang mereka cari tidak akan mereka temukan di dunia ini, karena sapi seperti itu hanyalah sapimu ini satu-satunya. Nanti jika mereka datang kepadamu untuk membeli sapi ini, katakan kepada mereka bahwa sapi ini hanya akan dijual dengan harga emas sebesar “onggokan” badan sapi ini. Mereka pasti setuju, karena jika tidak mereka akan mendapat murka dari Tuhan.(Cerita kaum Musa itu dan ciri-ciri sapinya disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 67-73). Mulai semenjak itu, hiduplah anak yang jujur tersebut dan ibunya dalam kecukupan materi, bahkan bisa dikatakan menjadi salah satu bani Israel yang kaya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bagi setiap orang tua hendaklah mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depan anak, termasuk mempersiapkan sesatu yang terkait dengan persoalan ekonomi mereka. Setiap orang tua hendaklah punya rencana untuk mempersipkan masa depan bagi anak-anak mereka, sehingga sepeninggal mereka anak-anak tidak dalam keadaan terlunta, lemah dan menjadi beban bagi orang lain. Begitulah yang diperingatkan Allah dalam surat an-Nisa’ [4]: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Kedua, kejujuran seseorang akan mengantarkannya kepada sesuatu yang lebih besar, lebih agung dan lebih mulia dari yang dia inginkan. Allah akan berikan kepada mereka yang jujur dan memelihara diri dari kecurangan dengan keberkatan yang besar dari sisi-Nya. Kemampuan seseorang memelihara diri agar tidak melakukan kecurangan kepada orang lain sekalipun sebetulnya tidak ada orang lain yang dirugikan, itulah wujud nyata dari bentuk keimanan yang sempurna dan ketaqwaan seseorang kepada Allah yang dijanjikan keberkatan yang besar. Seperti firman Allah dalam surat al-A’raf [7]: 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Tidak ada komentar: