Selasa, 08 September 2009

Ibn Thulun Mendidik Puteranya

Ibn Thulun Mendidik Puteranya

Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Ibn Thulun seorang penguasa dinasti Thuluniyah (sebuah dinasti Islam di Mesir yang berdiri pada tahun 837-903M) memiliki seorang anak laki-laki yang sangat pemalas. Setiap hari kerjanya hanyalah bermain, tidur, dan makan berbagai jinis makanan. Hobinya yang selalu mengisi perutnya dengan penuh turut mendorongnya menjadi pemalas. Ibn Thulun menjadi resah melihat sikap anaknya yang merupakan putera tunggal pewaris tahta kerajaan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anaknya nanti terhadap kerajaan dan rakyatnya, jika dia berkuasa dengan kebodohan dan sikapnya yang tidak terpuji tersebut.
Maka berniatlah Ibn Thulun memanggil seorang ulama terkenal untuk datang ke istana dan menjadi guru bagi anaknya. Dia kemudian memberitahukan anaknya bahwa setiap hari sehabis maghrib dia harus belajar di istana. Pada hari yang ditentukan datanglah ulama tersebut ke istana Ibn Thulun. Sesampainya sang guru di istana Ibn Thulun memerintahkan salah seorang pegawainya untuk menjemput anaknya yang sedang berada di rumah. Dia berbepesan kepada pegawainya, jika nanti anaknya meminta izin makan terlebih dahulu jangan diberi izin. Hendaklah anak itu dibawa dalam keadaan belum makan.
Sesuai perintah Ibn Thulun, berangkatlah pegawai tersebut menjemput anaknya yang berada di rumah. Sesampainya di rumah pegawai tersebut menyampaikan perintah Ibn Thulun kepada anaknya agar sesegera mungkin ke istana. Seperti yang diperkirakan Ibn Thulun, anaknya itu meminta izin makan terlebih dahulu. Namun, pegawai itu menolak dan mengatakan bahwa makannya di istana saja nanti. Maka berangkatlah anaknya itu bersama pegawai istana menuju Ibn Thulun yang sudah menunggu mereka.
Selesai shalat maghrib, sang guru mulai membuka pelajaran untuk putera ibn Thulun. Beberapa waktu kemudian, anaknya merasakan lapar sudah mengerogoti perutnya, dia mulai gelisah karena belum ada tanda-tanda akan berakhir pelajaran dan datangnya makan malam. Ibn Thulun terus memperhatikan kedaan anaknya yang sudah gelisah, karena tidak sanggup menahan rasa lapar. Ibn Thulun memberikan isyarat kepada sang guru agar pelajaran terus dilanjutkan tanpa menghiraukan kondisi puteranya.
Putera Ibn Thulun sudah benar-benar tidak kuasa lagi menahan lapar, dan Ibn Thulun menyadari akan hal itu. Maka, dia memberikan isyarat kepada seorang pegawainya untuk mendatangkan makanan berupa satu panci nasi putih dengan di beri kol yang sudah direbus di atasnya. Melihat nasi yang berada di dalam panci dan kol yang direbus, putera Ibn Thulun langsung menghentikan pelajarannya dan makan sepuasnya. Tidak beberapa lama, nasi yang ada di dalam panci itupun habis dan dia pun terduduk lemas kekenyangan.
Kurang “lebih lima” menit setelah anaknya selesai makan, datanglah para pelayan istana membawa beberapa jenis makanan yang sangat enak dan lezatnya. Bahkan, sebagian makanan itu belum pernah dirasakan oleh putera Ibn Thulun sebelumnya. Ibn Thulun bersama sang guru pun menyantap makanan yang begitu lezat tersebut dengan nikmatnya. Sementara putera Ibn Thulun hanya bisa melihat dan menyaksikan ayah dan gurunya dengan penuh penyesalan. Sebab, dia tidak bisa makan lagi karena perutnya sudah terisi penuh, sehingga tidak ada celah lagi yang bisa diisi.
Setelah selesai makan, Ibn Thulun berkata kepada anaknya, “Anakku, hal inilah sebenarnya yang ingin ajarkan kepada engkau. Janganlah engkau mengutamakan dan menyibukan diri dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Seluruh makanan ini, saya sediakan untukmu jika saja engkau bisa sabar dan menahan diri agak “lima menit” saja. Akan tetapi, engkau tidak bisa menahan diri melihat nasi putih dan kol yang direbus tadi. Sebenarnya engkau berhak memperoleh dan mendapatkan yang lebih hebat dari apa yang telah engkau makan tadi, jika engaku mau berjuang menahan keinginanmu yang rendah”.
Ibn Thulun kemudian melanjutkan perkataannya, “Anakku, saya tidak melarang engkau bermain, tidur, makan dan sebagainya. Namun, janganlah hal-hal yang rendah itu engkau jadikan tujuan hidupmu. Engkau harus belajar dan menambah pengalaman, karena itu jauh lebih berarti untuk masa depan dan kebahagianmu”. Putera Ibn Thulun menyadari kesalahannya dan muali saat itu, dia menjadi anak yang rajin dan giat belajar dan bekerja.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, yaitu janganlah manusia mengutamakan dan puas dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Hendaklah setiap orang memiliki target yang besar dalam hidupnya. Jika manusia memilki target dan tujuan yang rendah dalam hidupnya, maka kecenderungan manusia tersebut akan menjadi pemalas dan puas dengan sesuatu yang kecil.
Kita bisa lihat fenomena sebagian masyarakat bangsa ini yang sebagian besarnya adalah miskin dan cenderung pemalas. Sebabnya adalah karena sudah tertanam target hidup yang rendah dalam masyarakat Indonesia, yaitu “cukuplah kita mendapatkan makan tiga kali sehari”. Tentu saja akan berbeda dengan orang-orang yang hidup di negara-negara maju yang memiliki target hidup menjadi penguasa dunia, baik secara politik mapun ekonomi.
Dengan demikian, kurang gairah dan semangat dalam diri manusia serta sikap malas bisa dihilangkan, jika setiap manusia memiliki target besar dalam hidupnya. Sehingga, target yang besar ini akan mendorongnya berbuat yang besar pula dengan penuh semangat dan kesungguhan.

Tidak ada komentar: