Kera dan Kura-Kura
Konon di sebuah hutan, hiduplah seekor raja kera yang sangat dihormati, dikagumi, dan patuhi oleh rakyatnya. Alangkah bahagianya hati sang raja mendapatkan penghormatan dan kemuliaan dari seluruh rakyatnya. Namun, seiring berlalunya waktu sang raja makin bertambah tua dan kondisi fisiknya mulai lemah dimakan usia. Maka bermunculanlah generasi muda kera yang kuat, cerdas, dan agresif. Secara perlahan-lahan raja kera kehilangan kharismatiknya di hadapan rakyatnya, hingga pada akhirnya rakyat kera memilih raja baru yang masih muda, kuat, energik dan cerdas. Sang raja yang sebelumnya dipuji, dihormati dan dikagumi mulai diabaikan oleh rakyatnya.
Mendapatkan perlakuan dan kondisi seperti itu, sang mantan raja kera sangat kecewa hingga akhirnya ia memilih menyendiri meninggalkan rakyatnya dengan pergi ke suatu tempat jauh diluar kerajaannya. Ketika pagi datang, pergilah kera tua itu ke tempat yang jauh dari kerajaanya dan bertengger di sebuah batang pohon ara di pinggir sungai. Setelah sore datang, kembalilah kera itu ke rumahnya untuk berkumpul bersama isteri dan anak-anaknya. Begitulah kehidupan kera itu dijalin hari demi hari dengan cara menyendiri dan meniggalkan hiruk-pikuknya kehidupan di negerinya.
Suatu hari, ketika kera itu bertengger dipohon ara tempat biasanya dia bermenung, tanpa sengaja ia menjatuhkan buah pohon itu ke dalam air. Namun, jatuhan buah itu didengarnya mengeluarkan suara yang indah. Maka dijatuhkannya buah pohon itu kembali ke dalam air hingga beberapa kali, sampai hal itu akhirnya menjadi kesenangannya selama bertengger di atas pohon ara tersebut. Di bawah pohon ara itu, ternyata hiduplah seekor kura-kura yang semenjak beberapa hari telah memperhatikan apa yang dilakukan oleh kera itu.
Ketika kera menjatuhkan buah pohon ara itu ke dalam sungai makanlah kura-kura itu dengan senangnya, dan sebagiannya ia bawa pulang untuk anak dan siterinya, hingga setiap hari dia tidak perlu repot-repot memikirkan makanan. Kura-kura berfikir dan berkata dalam dirinya, “Alangkah baiknya budi kera itu, setiap hari dia memberi saya makan, mungkin dia tahu bahwa saya sulit memperoleh makanan”. Muncullah keinginan kura-kura untuk menjalin persahabatan dengan kera tua itu. Maka naiklah kura-kura ke pinggir sungai di bawah pohon ara tersebut, dan mengajak kera untuk turun dan berbincang-bincang dengannya. Begitulah hari demi hari mereka jalani dengan persahabatan yang semakin akrab. Kera menjadi sangat senang karena mempunyai sahabat tempat menumpahkan isi hatinya sekaligus menghiburnya dari kekecewaan terhadap rakyatnya. Keakraban ini akhirnya membuat kera dan kura-kura terkadang lupa pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul bersama anak isteri mereka.
Keluarga kura-kura akhirnya merasakan perubahan sikap dari ayah mereka. Sudah beberapa hari belakangan ini ayah mereka jarang pulang ke rumah dan tidak pula meninggalkan pesan atau berita. Keadaan ini membuat keluarga kura-kura mencari tahu sebab ayah mereka jarang pulang. Akhirnya mereka memperoleh kabar bahwa ayah mereka tengah menjalin persahabatan yang erat dengan seekor kera. Saking dekatnya hubungan mereka, sehingga mereka mulai melupakan keluarga masing-masing.
Timbullah niat dari keluarga kura-kura untuk memutuskan hubungan persahabatan itu. Maka mereka membuat suatu rencana jahat, isteri kura-kura itu pura-pura sakit kemudian diutusnya salah satu anaknya menemui ayah mereka di pinggir sunagai tempat di mana biasanya kura-kura itu mencari makanan. Diberitahukan kepadanya bahwa ibu mereka sedang sakit keras dan meminta agar ia pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah kura-kura itu mendapatkan isterinya sedang sakit keras, dan menurut tabib tiadalah obat yang bisa menyembuhkannya kecuali hati kera.
Kura-kura merasakan sangat sedih terlebih lagi mendengar kata tabib tentang satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan isterinya. Ia berfikir bagaimana bisa saya mendapatkan hati kera, sementara saya hidup di air dan ia hidup di atas pohon. Tiba-tiba teringatlah ia akan sahabatnya kera yang setiap hari hidup bersamanya. Muncullah niat dalam hatinya untuk membinasakan sahabatnya itu demi mendapatkan hatinya sebagai obat bagi isterinya yang sedang sakit. Maka pergila kura-kura dengan wajah penuh kesedihan ke pinggir sungai tempat ia dan sahabatnya kera biasa bermain.
Melihat kondisi sahabatnya yang sedang bersedih kera menjadi merasa sangat kasihan. Kemudia kera bertanya kepada kura-kura, “Hai sahabatku! Apa gerangan yang membuat engkau begitu sedihnya? Tiadalah aku melihat engkau seperti ini sebelumnya”. Kura-kura menjawab, “Bagaimana saya tidak akan bersedih temanku, setiap hari engkau berbuat baik kepadaku, engkau memberiku makan dan keluargaku tanpa aku bersusah-susah mencarinya. Saya bingung bagaimana caranya saya akan membalas budi baikmu?”. Mendengar perkataan sahabatnya kera menjawab, “Wahai sahabatku! Kenapa pula itu yang engkau fikirkan? Dan kenapa pula engkau harus membebani dirimu dengan sesuatu yang tidak semestinya engkau fikirkan?. Ketahuilah sahabatku bahwa aku menjalin persahabatan denganmu karena Tuhan semata, saya tidak pernah mengharap balasan darimu juga tidak pula ucapan terima kasih. Maka janganlah engkau berfikir lagi tentang itu”.
Kura-kura kembali berkata, “Sahabatku, saya tidak akan pernah hidup dengan tenang, sebelum saya bisa membalas kebaikanmu, itulah tekadku yang mesti saya wujudkan”. Kemudian kura-kura berkata lagi, “Wahai sahabatku! Jika engkau bersedia ikutlah denganku ke rumah tempat aku berdiam. Saya tinggal di sebuah pulau di seberang lautan sana, di sana terdapat banyak jenis pohon dan buah-buahan. Saya yakin engkau pastilah merasa senang dan bahagia dengan pohon dan buahan yng beraneka ragam itu. Mungkin dengan cara begitulah saya bisa sedikit membalas kebaikanmu”. Mendengarkan cerita sahabatnya, muncullah keinginan kera untuk ikut bersama kura-kura ke pulau tempat kura-kura berdiam.
Maka kerapun naik di atas punggung kura-kura dan berlayar menuju pulau yang dimaksud. Di tengah perjalanan tiba-tiba kura-kura berhenti, ia lama berfikir karena dalam hatinya berkecamuk pemikiran antara membunuh sahabatnya dengan menenggelamkannya atau menyelamatkan sahabatnya dan membiarkan isterinya mati karena tidak berhasil memperoleh obatnya. Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan, hingga beberapa saat kemudian ia kembali berhenti dan mulai muncul lagi niat untuk menenggelamkan sahabatnya. Namun niat itupun diurungkannya karena ia merasa tidak tega membunuh sahabatnya sendiri. Seteleh beberapa kali seperti itu, muncullah kecurigaan di dalam hati kera yang berada di atas punggung kura-kura, jangan-jangan temannya punya niat jahat terhadapnya. Kera berkata, “Wahai sahabatku, aku perhatikan engkau sedang memikirkan seuatu yang sangat berat, ceritakanlah kepadaku sahabat!”. Kura-kura akhirnya berkata, “Sahabatku, betapa saya tidak menanggung beban yang berat, karena di rumah isteri saya sedang sakit keras dan menurut tabib tiada lain obatnya hanyalah hati kera yang bisa menyembuhkannya”. Berdebarlah hati kera dengan kuatnya, ia berfikir, “Tamatlah riwayat saya hari ini, setelah tua saya harus mati mengenaskan karena kerakusan sendiri”.
Akan tetapi kerapun tidak kehilangan akal, ia berkata kepada kura-kua, “Hai sahabatku! Kenapa tidak dari tadi engkau mengatakannya? Jika saja engkau mengatakannya ketika kita akan berangkat tadi, tentulah saya akan memberikan hatiku kepadamu, karena hati saya ada di rumah saat itu. Sebab, sudah menjadi tradisi kami warga kera, jika pergi berkunjung ke rumah sahabatnya kami meninggalkan hati di rumah agar fikiran dan hati kami tidak bercabang dan resah selama berkunjung. Jika engkau mau sudilah kiranya engkau kembali ke sungai tempat kita berangkat tadi, karena hati saya ada di situ”.
Alangkah senangnya hati kura-kura mendengar ucapan sahabatnya. Ia tersenyum dengan lega karena bisa mendapatkan apa yang diinginkanya tanpa harus berbuat jahat kepada sahabatnya sendiri. Maka kembalilah kura-kura membawa kera ke pinggir sungai tempat mereka biasa bermain. Setelah sampai ke tepi daratan, melompatlah kera ke atas dan langsung memanjat pohon ara itu. Kera tidak lagi mau turun dari atas pohon dan kemudian berteriak kepada kura-kura, “Cukuplah sampai di sini persahabatn kita, karena aku melihat kebinasaan jika berteman denganmu”. Sejak saat itu selesailah persahabatan kedua makhluk itu.
Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran; Pertama, kondisi manusia akan selalu berubah seiring terjadinya perubahan masa. Hari ini, seseorang dihargai, dihormati, disanjung, dipuja dan sebagainya mungkin masa berikutnya ia akan ditinggalkan, dicaci atau bahkan dihina oleh orang yang sebelumnya memuji dan mengagungkannya. Saat ini, seorang kaya raya, belum tentu masa berikutnya kekayaan masih tetap bersamanya. Tahun ini seorang dalam kondisi sehat, kuat, segar bugar dan sebagainya mungkin tahun berikutnya dia adalah orang yang sakit, lemah dan tidak berdaya, begitulah seterusnya. Hal inilah yang digambarkan Allah swt. dalam surat Ali Imran[3]: 140
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Oleh karena itu, sikap terbaik yang mesti dimiliki seseorang dalam menghadapi segala perubahan yang akan mereka hadapi adalah mempersiapkan diri, baik fisik maupun mental. Sehingga, jika perubahan itu terjadi seseorang tidak sters, prustasi, atau meningggalkan masyarakat dan memilih mengasingkan diri seperti yang dilakukan oleh raja kera. Kalaupun kita tidak mendapatkan tempat di tengah masyarakat, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan dari pada harus mengasingkan diri.
Kedua, Jika kita menjalin persahabatan dengan seseorang atau pihak lain, yakinlah bahwa ada pihak lain yang tidak senang dan ingin menghancurkan persahabatan itu. Sebab, syaithan tidak pernah senang melihat dua anak Adam bersahabat, ia sekuat tenaga akan menghasut pihak lain hingga menanamkan benih-benih kebencian dan permusuhan di antara manusia. permusuhan itu telah digambarkan Allah dalam surat al-Baqarah[2]: 36
….وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ….
Artinya: “…dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain,…
Ketiga, dalam kehidupan ini sikap rakus, tamak, loba adalah hal yang mesti dijauhi manusia. sebab, sikap hidup seperti itulah yang membuat manusia celaka dan terhina, di dunia dan di akhirat. Allah swt, menyebutkannya dalam surat al-Baqarah [2]: 96
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا….
Artinya: “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik…”
Keempat, hendaklah seseorang menghindarkan dirinya dari kebodohan. Karena kebodohan seringkali membuat manusia mudah ditipu, dipermainkan, diperolok, bahkan disesatkan oleh orang lain. Seperti kura-kura yang dengan kebodohannya, kera yang sudah berada dalam genggamannya berhasil menipu dan mengelabuinya. Seringkali kebodohan juga membuat manusia tidak bisa menjaga apa yang sudah dimilikinya dengan baik. itulah yang diperingatkan Allah dalm surat an-Nisa’[ 4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Kelima, kebaikan adalah fitrah manusia oleh karena itu sangat mudah untuk dilakukan, sementara kejahatan adalah berlawanan dengan fitrah manusia sehingga sangat sulit untuk dilakukan. Itulah seperti yang dialami oleh kura-kura ketika hendak membinasakan kera, beberapa kali ia berfikir dan tertegun hingga kebaikan akhirnya mengalahkan niat jahatnya. Begitulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 286
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya:”….ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…”
Ayat di atas menggunakan kata kasaba untuk arti usaha kebaikan, sementara usaha kejahatan (dosa), Allah pakai kata iktasaba. Menurut gramatika bahasa Arab, kasaba artinya usaha yang dilakukan dengan mudah dan gampang, sedangkan iktasaba adalah usaha yang dilakukan dengan berat dan susah. Dengan demikian, Allah swt mengatakan bahwa kebaikan itu adalah sangat mudah dilakukan, karena sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri yang cendrung kepada kebaikan. Sementara kejahatan adalah suatu yang sangat susah untuk dilakukan karena melawan fitrah manusia.
Akan tetapi, bilamana seseorang telah mencoba melakukan satu kejahatan, maka dia akan mengulangi lagi pada waktu berikutnya hingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan dan sikap hidup yang susah untuk dirobah. Artinya, jika seseorang sudah memulai melakukan satu kejahatn yang kecil, maka dia akan diliputi banyak kesalahan yang lain, hingga kejahatan yang pada mulanya sulit dilakukan menjadi mudah, bahkan berobah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Seperti yang dikatakan Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 81
بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Keenam, dalam hidup di dunia ini sikap waspada haruslah selau dimiliki, bahkan termasuk kepada orang terdekat sekalipun. Sikap waspada itu diperingatkan Allah dalam surat an-Nisa’[4]: 71
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, waspada dan bersiap siagalah kamu
Buruk sangka memang sesuatu yang dilarang dan merupakan sebuah dosa di sisi Allah. Namun, kewaspadaan adalah sikap yang mesti dimiliki setiap manusia, karena tidak semua orang senang dan menginginkan kebaikan untuk kita. Atau bahkan tidak selamanya orang yang kita cintai dan sayangi mendatangkan kebaikan bagi kita. Itulah yang diingatkan Allah dalam surat al-Anfal [8]: 28
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Begitu juga dalam surat at-Taghabun [64]: 14
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;…”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar