Ibn Jad’an Diselamatkan Dari Maut
Ibn al-Jad’an, seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia diselamatkan Allah dari maut, karena pernah berbuat baik kepada seorang tetangganya yang miskin. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.
Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.
Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.
Dari kisah tersebut dapat ditarik pelajaran; Pertama ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik dari apa yang dimilikinya, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah swt. sudah memberikan jaminan, bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya.
Kedua, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik, maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri. Itulah maksud al-birr (kebaikan yang sempurna) yang hanya bisa diperoleh bagi yang memberikan hal terbaik dari miliknya. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Ali Imran [3]: 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya; “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Al-birr (kebaikan yang sempurna) dalam ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. pemahaman itu diperoleh dengan melihat lawan kata al-birr yang terdapat dalam surat al-Ma’idah [5]: 2
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain.
Begitulah penghargaan Allah swt. terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan menjadi kekasih Allah dan ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain (al-‘udwân).
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar