Pemuda Penghuni Sorga
Dikisahkan pada bahwa suatu ketika, nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhan tentang siapa yang akan mendampinginya di sorga nanti. Allah swt kemudian menyuruh Musa ke suatu tempat menemui seorang pemuda yang akan menjadi pendampingnya di sorga. Berangkatlah nabi Musa ke tempat yang ditunjukan Allah kepadanya untuk menemui pemuda yang disebutkan Allah itu. Ketika sampai di tempat yang dimaksud, nabi Musa as bertemu seorang pemuda yang sedang membelai dan mencium dua ekor babi, kemudian babi itu dimandikannya satu persatu dengan kasih sayang. Setelah itu, kedua babi tersebut diberinya makan seperti layaknya manusia terhormat.
Nabi Musa as merasa heran kenapa Allah mengatakan bahwa pemuda seperti inilah yang akan mendampinginya di sorga. Kemudian nabi Musa as bertanya kepada pemuda itu, ”Kenapa engkau memelihara dan memperlakukan babi seperti itu? Bukankah ia binatang yang haram?”. Pemuda itu menjawab, “Benar, mereka ada dua ekor babi, akan tetapi mereka adalah orang tua saya, namun disebabkan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan, Allah kemudian merobah bentuk mereka menjadi babi. Akan tetapi, urusan dosa dan kesalahan adalah tanggung jawab mereka kepada Allah, sementara kewajiban saya adalah berbakti kepada mereka sekalipun rupa mereka sudah berubah seperti babi”. Nabi Musa baru menyadari bahwa begitu besarnya ganjaran bagi anak yang berbuat baik kepada kedua arang tuanya.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran; Pertama, bahwa pengabdian seorang anak terhadap orang tuanya dengan tulus dan ikhlas serta tanpa pernah menyakiti perasaan mereka, membuat seseorang mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat di sisi Allah. Bahkan, dia adalah orang yang paling berhak menjadi temannya para nabi dan rasul Allah di sorga-Nya. Begitu tingginya penghormatan Allah terhadap pengabdian manusia kepada orang tuanya, sehingga Dia menjadikan perintah bersyukur kepada-Nya berbarengan dengan perintah bersyukur kepada orang tua. Hal itu menunjukan bahwa syukur kepada Allah tidak akan diterima, jika seseorang tidak bersyukur kepada kedua orang tuanya. Berbuat baik kepada Allah tidak akan sempurna jika tidak berbuat baik kepada orang tua.
Kedua, persoalan perbedaan keyakinan dengan orang tua tidak menjadikan perintah berbakti menjadi gugur. Baik atu buruknya orang tua itu adalah urusan mereka dengan Tuhan, sedangkan kewajiban seorang anak tetap berbuat baik kepada mereka sekalipun berbeda keyakinan. Itulah yang diingatkan Allah dalam surat Luqman [31]: 15
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar