Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Hari ini, genap bangsa Indonesia memperingati seratus tahun kebangkitan nasional. Satu Abad yang lalu, sekelompok pemuda membentuk sebuah organsasi yang merupakan awal kebangkitan dan kesadaran bangsa indonesia akan pentingnya persatuan demi melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Pergerakan tersebut dikenal dengan nama Budi utomo yang dibentuk tanggal 20 Mei 1908. Pergerakan inilah yang kemudian mempelopori munculnya ide nasionalisme, sehingga pada taanggal 28 Oktober 1928 lahir sumpah pemuda dan 17 tahun kemudian tepatnya 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya.
Melalui momentum seratus tahun peringatan kebangkitan nasional, marilah kita menolehkan pandangan kepada pembicaraan al-Qur’an tentang bagaimana kebangkitan semestinya kita sambut dan apa yang semestinya kita lakukan dalam mengisi kebangkitan itu sendiri.
Di dalam al-Qur’an dikisahkan beberapa orang yang pernah dibangkitkan dari tidur panjang mereka. Pertama, Uzair yang Allah tidurkan selama seratus tahun, kemudian Allah bangkitkan. Seperti disebutkan dalam surat al -Baqarah [2]: 259
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Kedua, sekelompok pemuda yang Allah tidurkan di dalam sebuah goa selama 309 tahun, kemudian Allah bangkitkan. Seperti disebutkan dalam surat al-Kahfi [18]: 19
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Artinya: “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun.
Ada hal yang menarik untuk kita cermati dari kedua manusia yang dibangkitkan Allah tersebut. Di mana, ketika Allah membangkitkan Uzair dari tidur yang sangat panjang, dan dari keterlenaannya dalam waktu cukup lama, Allah perintahkan kepadanya untuk berfikir, merenung, mencermati, meneliti atau memperhatikan dengan seksama keadaan di sekelilingnya (unzhur).
Inilah hal yang penting semestinya kita lakukan dalam rangka menyambut hari kebangkitan, yaitu berfikir, merenung dan mengkaji keadaan di sekeling kita. Apa yang sudah kita lakukan dan yang sedang kita lakukan serta yang akan kita lakukan demi memperbaiki keadaan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa ini.
Berfikir dan merenung, juga hal pertama yang dilakukan oleh para pendahulu dan pendiri bangsa ini, ketika mereka memulai gerakan kebangkitan nasional. Mereka berfikir tentang apa kesalahan dan kelemahan masa lalu bangsa ini untuk kemudian memperbaikinya agar bisa bangkit dan melepaskan diri dari belenggu penjajajahan. Akhirnya, mereka menemukan jawaban bahwa kesalahan dan kelemahan bangsa ini adalah tidak adanya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah. Perlawanan terhadap penjajah dilakukan secara personal atau mungkin hanya sampai tingkat lokal dan belum menjadi gerakan dan perlawanan secara kolektif dan nasional. Inilah yang kemudian membuat para tokoh pemuda bangsa ini yang terdiri dari sekelompok elit yang terdidik untuk segera bangkit dan menggalang persatuan demi melakukan perjuangan secara bersama dan kolektif melawan penjajah.
Oleh karena itu, dalam momuntem sratus tahun kebangkitan nasional ini, kita sama-sama berfikir dan merenungkan kembali tentang keadaan yang kita alami, dan berfikir tentang kesalahan dan dosa apa yang sudah dilakukan bangsa ini untuk kemudian secara bersama-sama memperbaikinya.
Kedua, ketika Allah membangkitkan para pemuda penghuni goa dari tidur panjang mereka, hal yang dilakukan mereka adalah mengutus salah seorang di antara mereka untuk pergi ke kota untuk mencari makanan sekaligus melihat situasi dan kondisi di sana.
Inilah hal yang juga mesti kita lakukan dalam rangka mengisi kebangkitan, yaitu mengirim beberapa utusan untuk pergi ke tempat-tempat yang lebih maju utnuk membandingkan kedaan kita dengan mereka untuk kemudian mengambil segala bentuk kemajuan dari tempat tersebut selanjutnya menerapkan di Negara kita.
Dalam catatan sejarah dunia, bahwa banyak Negara yang mengalami kebangkitan dan kemajuan pesat setelah mereka melakukan pengutusan para pemuda untuk belajar ke Negara yang lebih maju dan kemudian kembali dan membangun negeri mereka. Inilah yang pernah dalakukan oleh Negara-negara Eropa sebelum mereka bangkit dari ketertinggalan mereka. Mereka mengutus para pemuda ke berbagai kawasan Islam yang lebih maju dari mereka untuk kemudian mereka kembangkan di Negara mereka. Dan ketika peradaban menjadi matang di Negara-negara Barat, sebagian Umat Islam pun melakukan hal yang serupa. Sebut saja misalnya, Mesir, Turki dan sebagainya. Bahkan, Jepang setelah terpuruk dan porak poranda pada perang dunia ke dua, juga melakukan hal yang sama, sehingga bisa mencapai kemajuan seperti sekarang ini.
Akan tetapi, ada hal yang mesti kita sadarai bahwa kebangkitan atau perubahan bangsa ke arah perbaikan dan kemajuan, tidak akan bisa dilakukan secara pribadi. Perubahan dan kebangkitan mestilah dilakukan secara bersama oleh setiap jiwa bangsa ini. Lihatlah peringatan Allah dalam surat ar-Ra’du [13]: 11
…إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Ada hal yang menarik untuk dicermati dari ayat di atas; di mana, Allah swt. menegaskan bahwa perubahan harus secara kolektif (qaumin). Namun, perubahan secara kolektif baru akan terwujud jika perubahan dimulai dari pribadai-pribadi kaum tersebut (anfusihim).
Oleh karena itu, bangsa ini tidak akan bisa berubah dan bangkit dari keterpurukan jika yang ingin beruba hanya segelintir orang atau para penguasa saja atau rakyat saja. Sehebat apapun penguasa yang memimpin negeri ini, jika individu-individu bangsa ini tidak ingin berubah, maka perubahan tidak akan mungkin terjadi. Begitupun sebaliknya, sebesar apapun keinginan rakyat untuk berubah, namun jika tidak disahuti oleh para penguasa dan pemegang kebijakan juga tidak akan pernah berubah. Maka, antara penguasa dan semua pribadi rakyat bangsa ini harus punya tekad dan keinginan yang sama untuk merobah diri masing-masing, sehingga perubahan dan kebangkitan baru bisa tercapai.
Di samping itu, Allah juga menegaskan bahwa yang semestinya dirubah adalah anfusihim (jiwa), yang merupakan bagian dalam dari diri mansuia. Dengan demikian, semestinya seluruh rakyat bangsa ini jika ingin berubah dan bangkit, maka haruslah merubah anfus (moral, mental, wawasan dan gaya berfikir) mereka. Jika bangsa ini masih bermental korupsi, bermental penjilat, bermental semena-mena dan menindas yang lemah, selama itu pula kebangkitan akan jauh dari harapan.
Sekaligus, ayat ini memberikan ketegasan bahwa baik buruknya suatu bangsa, pertanggungjawabannya akan dipikul oleh seluruh bangsa tersebut. Oleh karena itu, jika bangsa ini didominasi oleh keburukan dan kejahatan, maka orang-orang baik negeri inipun akan ikut menanggung beban dosa dan keburukan bangsa ini. Sebab, di dunia ini pertangungjawaban akan dipikul secara bersama dan kelompok, sementara pertangungjawaban secara pribadi baru nanti di akhirat. Lihatlah firman Allah dalam surat Maryam [19}; 95
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
Artinya: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”
Hal lain yang mesti kita sadari dari ayat di atas, bahwa kata qaumin (bangsa) berbentuk nakirat (indifinit/ tidak tentu). Kata qaumin mencakup seluruh bangsa atau bangsa manapun di dunia ini, kafir atau mukmin. Oleh karena itu, jika sebuah bangsa sekalipun kafir dan tidak mengenal Tuhan, jika setiap pribadi bangsa itu merubah diri mereka, dipastikan Allah akan merubah bangsa tersebut ke arah lebih baik. Sebaliknya, sekalipun sebuah bangsa yang seratus persen Islam, berasaskan Islam dan seterusnya, namun jika setiap individu bangsa tersebut tidak ingin merubah diri mereka, dipastikan Allah juga tidak akan merubah nasib mereka. Sehingga, hari ini kita tidak perlu heran jika bangsa-bangsa Barat jauh lebih maju dari bangsa-bangsa Islam, karena mereka telah semenjak dulu merubah diri mereka sendiri.
Selasa, 05 Agustus 2008
Mukmin Yang Kuat
Mukmin Yang Kuat
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف (رواه مسلم)
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.(HR.Muslim)
Kata al-qawi (kekuatan) memiliki banyak arti. Di dalam al-Qur’an ditemukan beberapa makna al-qawi, di antaranya:
Pertama, Kekuatan fisik, seperti disebutkan dalam surat ar-Rum [30]: 54
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Dalam ayat di atas, kata quwat berarti kekuatan fisik. Sehingga, berdasarkan hadits di atas seorang mukmin yang kuat secara fisik lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah secara fisik. Sebab, seorang mukmin yang fisiknya lebih kuat, tentu bisa melakukan berbagai macam akatifitas secara baik dan sempurna dibandingkan seorang mukmin yang lemah fisiknya. Shalat seorang yang memiliki fisik yang kuat agaknya lebih sempurna dari shalat seorang yang fisiknya lemah. Dan tentu saja Allah lebih menyukai amal yang dilakukan seorang hamba secara sempurna.
Dua, kekuatan tekad dan iradah, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 63
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا ءَاتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa".”
Kata quwat dalam ayat di atas bermakna tekad. Sebab, salah satu sikap bani Israel yang selalu dicela Allah, bahwa mereka tidak pernah memiliki ketuguhan hati dan tekad dalam menjaga dan memenuhi janji yang telah mereka buat.
Dengan demikian, seorang mukmin yang kuat tekad dan kemauannya adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah tekad dan kemauannya. Sebab, seorang yang memiliki keteguhan tekad bisanya kan menjadi orang yang sabar dan optimis. Dan tentu saja seorang hamba yang memiliki kesabaran dan optimisme yang lahir dari kekuatan tekad, lebih disukai dan dicintai oleh Allah swt.
Tiga, kekuatan amanah dan kecerdasan, seperti disebutkan dalam surat an-Najm [53]: 1-3
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(5)
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya (3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (4). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (5).”
Kata al-quwa dalam ayat di atas dipakai untuk menyebutkan malaikat Jibril. Malaikat Jibril adalah makhluk yang sangat cerdas sekaligus jujur. Betapa tidak, setiap kali ia diperintah menyampaikan wahyu, ia tidak pernah minta diulang dan melupakan apa yang telah diterimanya untuk kemudian disampaikan kepada rasul, tanpa pernah satu huruf pun kurang dari apa yang telah diterimnya dari Allah swt.
Sehingga, seorang mukmin yang kuat kecerdasannya dan memiliki kekuatan dalam menerima dan menyampaikan amanah adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah kecerdasan dan kejujurannya. Sebab, kekuatan intelektual dan kejujuran akan membawa mansuai memilki kedudukan yang tinggi, baik di hadapan Allah maupun di hadapan makhluk. Bukankah nabi Musa as. diangkat menjadi pegawai yang diserahi tugas mengelola kekayaan nabi Syu’aib as dan bahkan kemudian dijadikan menantu olehnya, karena memiliki kekuatan kecerdasan dan kejujuran (Baca QS. Al-Qasash [28]: 26). Begitu juga nabi Yusuf as. diangkat menjadi menteri dan pejabat tinggi di Mesir, juga karena memiliki kekuatan kecerdasan dan kejujuran (Baca. QS Yusuf [12]: 54).
Empat, kekuatan dalam melawan musuh, seperti dalam surat al-Anfal [8]: 60
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Dengan demikian, seorang mukmin yang memiliki kekuatan dan keteguhan dalam melawan musuh agama adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. daripada seorang mukmin yang lemah dalam menghadapi musuh. Bukankah semua sahabat yang ikut berperang pada peperangan Badar, mendapat tempat yang sangat tinggi di hadapan Allah dibandingkan sebagian sahabat yang ikut para perang Uhud, terutama para sahabat yang tidak memiliki kekuatan iman dan keteguhan hati, sehingga mereka lalai terhadap pesan Rasualullah saw?
Adapun cara agar memperoleh kekuatan dan untuk tatap kuat, adalah selalu meminta ampun terhadap setiap dosa dan kesalahan dan selalu bertaubat kepada Allah swt. Begitulah caranya agar kekuatan tumbuh dalam diri seseorang, jika dia jauh dari dosa dan banyak melakukan amal kebajikan. Seperti disebutkan dalam surat Hud [11]: 52
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا
Artinya: “Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa."
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف (رواه مسلم)
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.(HR.Muslim)
Kata al-qawi (kekuatan) memiliki banyak arti. Di dalam al-Qur’an ditemukan beberapa makna al-qawi, di antaranya:
Pertama, Kekuatan fisik, seperti disebutkan dalam surat ar-Rum [30]: 54
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Dalam ayat di atas, kata quwat berarti kekuatan fisik. Sehingga, berdasarkan hadits di atas seorang mukmin yang kuat secara fisik lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah secara fisik. Sebab, seorang mukmin yang fisiknya lebih kuat, tentu bisa melakukan berbagai macam akatifitas secara baik dan sempurna dibandingkan seorang mukmin yang lemah fisiknya. Shalat seorang yang memiliki fisik yang kuat agaknya lebih sempurna dari shalat seorang yang fisiknya lemah. Dan tentu saja Allah lebih menyukai amal yang dilakukan seorang hamba secara sempurna.
Dua, kekuatan tekad dan iradah, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 63
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا ءَاتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa".”
Kata quwat dalam ayat di atas bermakna tekad. Sebab, salah satu sikap bani Israel yang selalu dicela Allah, bahwa mereka tidak pernah memiliki ketuguhan hati dan tekad dalam menjaga dan memenuhi janji yang telah mereka buat.
Dengan demikian, seorang mukmin yang kuat tekad dan kemauannya adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah tekad dan kemauannya. Sebab, seorang yang memiliki keteguhan tekad bisanya kan menjadi orang yang sabar dan optimis. Dan tentu saja seorang hamba yang memiliki kesabaran dan optimisme yang lahir dari kekuatan tekad, lebih disukai dan dicintai oleh Allah swt.
Tiga, kekuatan amanah dan kecerdasan, seperti disebutkan dalam surat an-Najm [53]: 1-3
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(5)
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya (3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (4). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (5).”
Kata al-quwa dalam ayat di atas dipakai untuk menyebutkan malaikat Jibril. Malaikat Jibril adalah makhluk yang sangat cerdas sekaligus jujur. Betapa tidak, setiap kali ia diperintah menyampaikan wahyu, ia tidak pernah minta diulang dan melupakan apa yang telah diterimanya untuk kemudian disampaikan kepada rasul, tanpa pernah satu huruf pun kurang dari apa yang telah diterimnya dari Allah swt.
Sehingga, seorang mukmin yang kuat kecerdasannya dan memiliki kekuatan dalam menerima dan menyampaikan amanah adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah kecerdasan dan kejujurannya. Sebab, kekuatan intelektual dan kejujuran akan membawa mansuai memilki kedudukan yang tinggi, baik di hadapan Allah maupun di hadapan makhluk. Bukankah nabi Musa as. diangkat menjadi pegawai yang diserahi tugas mengelola kekayaan nabi Syu’aib as dan bahkan kemudian dijadikan menantu olehnya, karena memiliki kekuatan kecerdasan dan kejujuran (Baca QS. Al-Qasash [28]: 26). Begitu juga nabi Yusuf as. diangkat menjadi menteri dan pejabat tinggi di Mesir, juga karena memiliki kekuatan kecerdasan dan kejujuran (Baca. QS Yusuf [12]: 54).
Empat, kekuatan dalam melawan musuh, seperti dalam surat al-Anfal [8]: 60
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Dengan demikian, seorang mukmin yang memiliki kekuatan dan keteguhan dalam melawan musuh agama adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. daripada seorang mukmin yang lemah dalam menghadapi musuh. Bukankah semua sahabat yang ikut berperang pada peperangan Badar, mendapat tempat yang sangat tinggi di hadapan Allah dibandingkan sebagian sahabat yang ikut para perang Uhud, terutama para sahabat yang tidak memiliki kekuatan iman dan keteguhan hati, sehingga mereka lalai terhadap pesan Rasualullah saw?
Adapun cara agar memperoleh kekuatan dan untuk tatap kuat, adalah selalu meminta ampun terhadap setiap dosa dan kesalahan dan selalu bertaubat kepada Allah swt. Begitulah caranya agar kekuatan tumbuh dalam diri seseorang, jika dia jauh dari dosa dan banyak melakukan amal kebajikan. Seperti disebutkan dalam surat Hud [11]: 52
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا
Artinya: “Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa."
Label:
ceramah dan khutbah
Makna Di Balik Panggilan Azan
Kalimat-kalimat azan adalah di antara ungkapan yang paling sering dan paling banyak kita dengar setiap hari. Adalah hal yang sudah menjadi pengetahuan umum bagi seluruh umat Islam, bahwa kalimat-kalimat yang dilantunkan oleh seorang muazzin ketika azan, berarti panggilan untuk segera bangkit dan bergerak serta meninggalkan segala macam aktifitas yang bersifat duniawi dan segera menghadap Allah dengan melaksanakan shalat. Sehingga, telinga disebut âzân karena telinga adalah sumber gerakan bagi seseorang. Jika telinga yang diganggu, pastilah seseorang langsung bergerak dan bereaksi. Oleh karena itulah, Ashshabul kahfi bisa tidur nyenyak selama 309 tahun, karena Allah menutup rapat telinga mereka (al-Kahfi [18]: 11).
Namun demikian, ada satu hal yang menjadi subtansi dan tujuan utama dari seruan azan, yaitu panggilan untuk segera bergerak meraih keberhasilan, kesuksesan dan keberuntungan (al-falah). Untaian kalimat-kalimat azan sebenarnya memberikan petunjuk kepada kita, bagaimana kemenangan dan keberhasilan semestinya diraih dan dipergunakan.
Ada tujuh kalimat yang biasa diucapkan oleh seorang muazzin dan merupakan susunan kalimat azan yang sudah popular di kalangan umat Islam; yiatu pertama;
الله أكبر
Ungkapan ini memberikan arahan kepada umat Islam yang hendak mencari dan mencapai kemenangan, bahwa hendaklah dia memulai gerak, aktifitas dan usahanya dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar. Ketika hendak memulai aktifitas, hendaklah dia mengingat bahwa ada Dzat Yang Maha Besar yang selalu akan membantu dan menolongnya dalam mencapai maksud dan tujuan itu. Memulai sesuatu dengan nama Allah dan meyakini Allah Maha Besar, akan berdampak pada munculnya rasa optimisme yang tinggi dalam diri seseorang. Sekalipun di tengah perjalanan, dia menghadapi berbagai macam bentuk hambatan dan rintangan, namun dengan keyakinan akan adanya pertolongan Allah yang Maha Besar, dia akan tetap teguh dalam mencapi tujuannya.
Ungkapan kedua;
أشهد ان لا إله إلا الله
Ungkapan ini berarti persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah selain Allah. Ungkapan ini memberikan panduan kepada seseorang yang hendak memulai sesuatu agar memurnikan niatnya karena Allah, dan apapun yang dilakukannya adalah untuk tujuan ibadah. Sebab, tidak ada satupun pekerjaan yang dikerjaan manusia, kecuali bernilai ibadah. Begitulah yang ditegaskan dalam surat al-Bayyinah [98]:5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Hal ini menjadi amat penting bagi seseorang yang hendak meraih sukses, bahwa sebesar apapun usahanya jika tidak untuk niat beribadah akan bernilai sia-sia. Memurnikan niat dan tujuan untuk beribadah, akan menjadikan seseorang bekerja dengan sungguh-sungguh. Karena, kalaupun kemudian usahanya mengalami kegagalan, setidaknya dia sudah mendapatkan bagian pahala dari Allah swt.
Ungkapan ketiga,
أشهد أن محمدا رسول الله
Ungkapan ini memberikan petunjuk kpeda manusia akan adanya sosok manusia agung dan sempurna yang mesti dijadikan contoh dan teladan. Nabi Muhammad saw. adalah sosok pekerja yang sangat sukses dalam mencapai setiap tujuan dan maksudnya. Dengan menyebutkan nama nabi Muhammad. saw, manusia diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai panutan, teladan dalam setiap aktifitas dan perbuatan mencapai kesuksesan. Nabi Muhammad saw. adalah pekerja yang ulet, cerdas, tangguh, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Adalah hal yang sudah biasa bagi setiap manusia, bahwa untuk bekerja dia memerlukan contoh. Tentunya, yang mesti dijadikan contoh adalah yang terbaik dan paling sukses. Tipe sepeti itu hanyalah ada pada diri Rasulullah saw.
Ungkapan keempat,
حي على الصلاة
Panggilan untuk segera melaksanakan shalat memberikan arahan kepada setiap yang akan memulai sesuatu, bahwa hendaklah mengawalinya dengan ibadah; shalat. Ibadah akan mendatangkan keredaan Allah kepada seseorang, dan jika Allah sudah meredhainya tentulah semua keinginanya akan terwujud dengan sempurna dan kesuksesan dengan mudah akan diraih. Begitulah yang diingatkan Allah dalam surat al-Jum’ah [62]: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Di siamping itu, shalat sebagai salah satu bentuk zikir kepada Allah, adalah hal yang bisa mendatangkan ketenangan jiwa bagi pelakunya. Jika seseorang bekerja dengan hati yang tenang dan fikiran yang jernih, tentulah kesukesan akan mudah diraih.
Ungkapan kelima;
حي على الفلاح
Ajakan ini adalah tujuan akhir dari usaha manusia; yaitu kesuksesan. Akan tetapi, kesuksesan ini baru akan diperoleh jika sebelumnya di awali dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya; memulai dengan nama Allah, memurnikan niat untuk ibadah, mencontoh yang terbaik (Rasulullah), serta mengawalinya dengan ibadah (Shalat). Jika hal itu sudah dipenuhi anda pasti sukses. Akan tetapi, setelah kesuksesan di raih, mesti diikuit oleh ungkapan keenam;
ألله أكبر
Dengan ungkapan Allah Maha Besar setelah meraih kemenangan, akan menyadarkan manusia bahwa kesuksesan dan keberhasilan yang diperolehnya adalah berkat bantuan dan pertolongan Allah swt. Tidak satupun yang bisa terwujud di alam ini tanpa izin dari Allah. Pengakuan ini, akan menjadaikan manusia untuk selalu rendah hati dengan keberhasilannya, dan tidak berubah menjadi manusia yang angkuh dan sombong.
Akhir dari ungkapan azan adalah
لا إله إلا الله
Dengan ungkapan bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah setelah meraih sukses, akan menjadikan manusia sadar bahwa kesuksesan yang telah diraihnya mestilah dipergunakan kembalai untuk tujuan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Betapa banyak, manusia yang sukses mencapai tujuannya, namun kesuksesan itu tidak banyak mendatangkan manfaat kepada manusia lain, bahkan tidak juga untuk dirinya sendiri.
Dengan ungkpan ini yang menjadi penutup kesuksesan, diharapkan bahwa setiap kesuksesan akan menjadikan pemiliknya menjadi manusia yang semakin berguna, bermanfaat serta semakin dekat dengan Allah melalui intensitas ibadahnya, baik secara kuntitas maupun kualitas.
Namun demikian, ada satu hal yang menjadi subtansi dan tujuan utama dari seruan azan, yaitu panggilan untuk segera bergerak meraih keberhasilan, kesuksesan dan keberuntungan (al-falah). Untaian kalimat-kalimat azan sebenarnya memberikan petunjuk kepada kita, bagaimana kemenangan dan keberhasilan semestinya diraih dan dipergunakan.
Ada tujuh kalimat yang biasa diucapkan oleh seorang muazzin dan merupakan susunan kalimat azan yang sudah popular di kalangan umat Islam; yiatu pertama;
الله أكبر
Ungkapan ini memberikan arahan kepada umat Islam yang hendak mencari dan mencapai kemenangan, bahwa hendaklah dia memulai gerak, aktifitas dan usahanya dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar. Ketika hendak memulai aktifitas, hendaklah dia mengingat bahwa ada Dzat Yang Maha Besar yang selalu akan membantu dan menolongnya dalam mencapai maksud dan tujuan itu. Memulai sesuatu dengan nama Allah dan meyakini Allah Maha Besar, akan berdampak pada munculnya rasa optimisme yang tinggi dalam diri seseorang. Sekalipun di tengah perjalanan, dia menghadapi berbagai macam bentuk hambatan dan rintangan, namun dengan keyakinan akan adanya pertolongan Allah yang Maha Besar, dia akan tetap teguh dalam mencapi tujuannya.
Ungkapan kedua;
أشهد ان لا إله إلا الله
Ungkapan ini berarti persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah selain Allah. Ungkapan ini memberikan panduan kepada seseorang yang hendak memulai sesuatu agar memurnikan niatnya karena Allah, dan apapun yang dilakukannya adalah untuk tujuan ibadah. Sebab, tidak ada satupun pekerjaan yang dikerjaan manusia, kecuali bernilai ibadah. Begitulah yang ditegaskan dalam surat al-Bayyinah [98]:5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Hal ini menjadi amat penting bagi seseorang yang hendak meraih sukses, bahwa sebesar apapun usahanya jika tidak untuk niat beribadah akan bernilai sia-sia. Memurnikan niat dan tujuan untuk beribadah, akan menjadikan seseorang bekerja dengan sungguh-sungguh. Karena, kalaupun kemudian usahanya mengalami kegagalan, setidaknya dia sudah mendapatkan bagian pahala dari Allah swt.
Ungkapan ketiga,
أشهد أن محمدا رسول الله
Ungkapan ini memberikan petunjuk kpeda manusia akan adanya sosok manusia agung dan sempurna yang mesti dijadikan contoh dan teladan. Nabi Muhammad saw. adalah sosok pekerja yang sangat sukses dalam mencapai setiap tujuan dan maksudnya. Dengan menyebutkan nama nabi Muhammad. saw, manusia diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai panutan, teladan dalam setiap aktifitas dan perbuatan mencapai kesuksesan. Nabi Muhammad saw. adalah pekerja yang ulet, cerdas, tangguh, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Adalah hal yang sudah biasa bagi setiap manusia, bahwa untuk bekerja dia memerlukan contoh. Tentunya, yang mesti dijadikan contoh adalah yang terbaik dan paling sukses. Tipe sepeti itu hanyalah ada pada diri Rasulullah saw.
Ungkapan keempat,
حي على الصلاة
Panggilan untuk segera melaksanakan shalat memberikan arahan kepada setiap yang akan memulai sesuatu, bahwa hendaklah mengawalinya dengan ibadah; shalat. Ibadah akan mendatangkan keredaan Allah kepada seseorang, dan jika Allah sudah meredhainya tentulah semua keinginanya akan terwujud dengan sempurna dan kesuksesan dengan mudah akan diraih. Begitulah yang diingatkan Allah dalam surat al-Jum’ah [62]: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Di siamping itu, shalat sebagai salah satu bentuk zikir kepada Allah, adalah hal yang bisa mendatangkan ketenangan jiwa bagi pelakunya. Jika seseorang bekerja dengan hati yang tenang dan fikiran yang jernih, tentulah kesukesan akan mudah diraih.
Ungkapan kelima;
حي على الفلاح
Ajakan ini adalah tujuan akhir dari usaha manusia; yaitu kesuksesan. Akan tetapi, kesuksesan ini baru akan diperoleh jika sebelumnya di awali dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya; memulai dengan nama Allah, memurnikan niat untuk ibadah, mencontoh yang terbaik (Rasulullah), serta mengawalinya dengan ibadah (Shalat). Jika hal itu sudah dipenuhi anda pasti sukses. Akan tetapi, setelah kesuksesan di raih, mesti diikuit oleh ungkapan keenam;
ألله أكبر
Dengan ungkapan Allah Maha Besar setelah meraih kemenangan, akan menyadarkan manusia bahwa kesuksesan dan keberhasilan yang diperolehnya adalah berkat bantuan dan pertolongan Allah swt. Tidak satupun yang bisa terwujud di alam ini tanpa izin dari Allah. Pengakuan ini, akan menjadaikan manusia untuk selalu rendah hati dengan keberhasilannya, dan tidak berubah menjadi manusia yang angkuh dan sombong.
Akhir dari ungkapan azan adalah
لا إله إلا الله
Dengan ungkapan bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah setelah meraih sukses, akan menjadikan manusia sadar bahwa kesuksesan yang telah diraihnya mestilah dipergunakan kembalai untuk tujuan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Betapa banyak, manusia yang sukses mencapai tujuannya, namun kesuksesan itu tidak banyak mendatangkan manfaat kepada manusia lain, bahkan tidak juga untuk dirinya sendiri.
Dengan ungkpan ini yang menjadi penutup kesuksesan, diharapkan bahwa setiap kesuksesan akan menjadikan pemiliknya menjadi manusia yang semakin berguna, bermanfaat serta semakin dekat dengan Allah melalui intensitas ibadahnya, baik secara kuntitas maupun kualitas.
Nasehat ta’ziyah
Nasehat ta’ziyah
Banyak manusia yang tidak mengetahui, tiada nikmat yang paling besar yang diberikan Allah swt kepada manusia selain didatangkan kematian kepanya. Sebab, kematian akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang paripurna. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Ankabut [29]: 64
….وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Kata al-Hayawân yang berarti kehidupan yang sempurna berasal dari kata al-hayat. Kata ini kemudian mendapat tambahan alif dan nun di akhirnya. Kata ini satu pola dengan kata al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna, berasal darai kata qara’a (membaca). Begitu juga kata qurbân yang berarti kedekatan yang sempurna kepada Allah swt, berasal dari kata qaraba (dekat), kata furqân (pembeda yang sempurna), thaufân (perputaran yang sempurna), dan seterusnya.
Dunia; alam yang ditempati manusia sebelum kematian datang, adalah tempat berkumpulnya berbagai bentuk kesengsaraan dan penderitaan yang tidak akan pernah putus dan berhenti. Begitulah yang pernah dikatakan Allah kepada nabi Adam as. dalam suarat Thaha [20]: 117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (selalu menanggung kesusuhan).”
Penderitaan dan kesusuhan hidup di dunia baru berakhir bila kematian datang kepada manusia. Oleh karena itulah, Allah swt menyebutkan bahwa sebagian manusia yang mengetahui akhirat adalah kehidupan yang sempurna dan lebih baik, mereka pasti akan mencintai datangnya kematian secepatnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94-96
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(94)وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(95)وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ(96)
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar (94). Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya (95). Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (96)”.
Akan tetapi, kebanyakan manusia sangat takut dengan kematian, bahkan kalau bisa tidak pernah berjumpa dengan sesuatu yang bernama kematian. Hal itu disebabkan karena mansuia hidup dengan gelimang dosa dan maksiat kepada Allah swt. Bahkan, saking takutnya manusia dengan kematian, dia menginginkan hidup selamanya dan tidak akan pernah mati.
Manusia adalah makhluk yang sangat rakus dengan kehidupan di dunia. Begitulah Allah menceritakan sebab Adam as. tergoda oleh rayuan iblis dengan “iming-iming” keabadian. Seperti disebutkan dalam surata Thaha [20]: 120.
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
Artinya: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (hidup yang kekal) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”.
Itulah dua senjata syaithan yang sukses dipergunakannya untuk mengeluarkan Adam as. dari sorga. Kedua senjata itu juga yang kemudian sampai hari kiamat akan dipergunakan syaithan untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Senjata itu adalah hidup yang kekal dan kekuasaan yang tidak akan pernah hilang.
Kenapa kedua hal itu yang dijadikan senjata ampuh bagi syaithan untuk menggoda manusia? Jawabannya adalah bahwa syaithan persis tahu bahwa kedua hal itu adalah keinginan terbesar setiap manusia. Adalah naluri setiap manusia, mendambakan hidup yang kekal dan tidak akan pernah mati. Begitu juga, sudah fitrah manusia kalau dia menginginkan jabatan, kekuasaan, kedudukan yang tidak akan pernah hilang, berhenti dan habis. Jika manusia memiliki suatu kekuasaan, dipastikan dia tidak akan pernah ingin kekuasaan itu berakhir dari tangannya.
Namun demikian, dua hal yang menjadi keinginan manusia tersebut, tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebab, Allah telah menciptakan hukum-Nya untuk menepis keinginan manusia itu. Keinginan pertama berupa kekekalan, Allah tepis dengan hukum-Nya yang berupa kematian. Allah telah menciptakan ketentuan, bahwa semua yang bernyawa dan pernah merasakan kehidupan, akan berakhir dengan kematian. Seperti yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 185
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Keinginan manusia yang kedua berupa kekuasaan yang tidak akan pernah hilang dan lenyap, Allah swt. menepisnya dengan menciptakan hukum keterbatasan. Semua yang ada selain Allah, adalah bersifat terbatas dan sementara. Suatu ketika, ia akan hilang, habis dan lenyap. Begitulah yang disebutkan dalam surat Ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26). Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27).”
Oleh karena itu, apa yang kita hadapi dan kita saksikan hari ini, yaitu kematian yang mendatangi salah seorang saudara kita adalah dalam rangka memenuhi hukum yang telah ditetapkan Allah untuknya. Namun demikian, hal yang mesti kita sadari dan yakini adalah, bahwa kematian yang didatangkan Allah kepada manusia pastilah memiliki maksud dan tujuan yang besar. Dan yang pasti, bahwa tujuannya adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sebab, tidak ada yang datang dari Allah berupa keburukan. Kalaupun itu terlihat buruk dan menyakitkan, hanyalah karena keterbatasan manusia dalam memandangnya.
Tujuan kematian itu sendiri disebutkan Allah dalam surat Al-Mulk [67]: 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kematian dalam ayat di atas, Allah sebutkan sebagai bentuk ujian bagi manusia. Ada hal yang mesti kita sadari, bahwa ketika kita menyebut kata “ujian” maka pastilah setiap ujian bertujuan baik. Karena, tidak ada satupun ujian yang bertujuan buruk apalagi merugikan. Seorang siswa tidak akan pernah naik ke tingkat kelas yang lebih tinggi tanpa melalui ujian. Seorang siswa tidak akan berobah sebutannya menjadi mahasiswa sebagai tingkat pelajar tertinggi, tanpa melewati serangkian ujian. Seseorang yang sebelumnya berstatus pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan, baru akan memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetap setelah melewati serangkain ujian, begitulah seterusnya.
Oleh karena itu, kematian di samping disebut musibah, namun pada saat yang sama ia adalah karunia dan nikmat dari Allah yang mesti “disyukuri”. Bukankah Allah mengecam manusia yang masih kafir kepadsa-Nya, dengan menyebut nikmat kematian dan kehidupan yang telah mereka terima? Lihatlah firman-Nya dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Kematian sebagai ujian yang bermuara pada kebaikan, juga disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Baik dalam surat al-Mulk [67]: 2 maupun dalam surat al-Baqarah [2]: 155, Allah menyebutkan bahwa kematian adalah ujian bagi “kamu” semua. Kata “kamu” di sini mencakup dua hal. Pertama, kamu yang mati dan kedua kamu yang hidup. Dengan demikian, kematian adalah nikmat dan kebaikan bagi setiap yang mengalami kematian dan kebaikan bagi yang masih hidup.
Kematian adalah nikmat bagi yang mengalaminya, karena dengan kematian itulah dia bisa menjadi makhluk yang sempurna. Sebab, tidak akan pernah ada manusia yang sempurna sebelum melewati kematian. Oleh karena itulah, kematian tidak hanya disebutkan Allah dengan kata maut, akan tetapi juga dipakai kata wafat yang secara harfiyah berarti sempurna. Seperti firman Allah dalam surat az-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Allah memegang (menyempurnakan) jiwa ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
Oleh karena itu, kematian merupakan proses kehidupan yang dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup. Sebab, perpindahan dari satu alam ke alam lain, betujuan agar manusia lebih sempurna untuk kehidupan berikutnya. Dulu ketika di alam arwah, manusia belum disebut makhluk sempurna, lalu Allah swt pindahkan ke alam rahim. Di alam rahim manusia juga belum sempurna, maka Allah swt. pindahkan ke alam dunia. Di dunia manusia juga belum sempurna, kemudian Allah swt pindahkan ke alam akhirat melalui proses kematian. Begitu juga yang terjadi dengan makhluk lain, misalnya ayam yang masih dalam telur, belum lagi sempurna menjadi ayam. Kesempurnaannya baru terjadi setelah perpindahan dari “alam telur” ke alam dunia.
Dengan demikian, pada hakikatnya kematian adalah sebuah nikmat dari Tuhan dan salah satu bentuk wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sebagai bukti bahwa kematian adalah nikmat Tuhan, bukankah setiap bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita setelah mematikan kita, dan kepada-Nya juga kembali.”
Tidur yang merupakan bagian kecil dari bentuk kematian, dirasakan manusia sebagai suatu kenikmatan yang begitu berharga, karena betapa tersiksanya manusia jika tidak bisa tidur. Maka kematian yang sesungguhnya, tentulah jauh lebih nikmat dari tidur yang dirasakan manusia. Sangat tepat, jika Allah swt mencela manusia yang tidak memahami dan bersyukur terhadap nikmat kematian tersebut. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat al-Baqarah
Oleh karena kematian adalah sebuah nikmat, maka tidaklah sepantasnya manusia takut dan menghindarkan diri dari padanya. Sebab, siapa yang lari dari kematian berarti dia tidak menginginkan kesempurnaan atas dirinya. Yang terbaik adalah melakukan persiapan yang sempurna guna menghadapi proses kematian tersebut.
Kematian adalah gerbang menuju akhirat, yang disebut Allah swt sebagai kehidupan yang lebih sempurna. Seperti yang terdapat dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Semenrata “kamu” yang hidup terbagi dua; pertama keluarga dan karib kerabat dari yang meninggal, dan kedua manusia lain yang tidak punya ikatan kekerabatan. Adapun kematian menjadi nikmat bagi keluarga yang ditinggalkan adalah, bahwa melalui kematian yang menimpa anggota keluarganya itulah mereka bisa mendapatkan tiga keuntungan yang besar dari Allah. Tentu saja jika mereka bisa bersabar terhadap apa yang menimpa mereka. Itulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 156-157
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (156). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157)”.
Itulah tiga janji Allah terhadap anggota keluarga yang sabar menerima kematian; salawat dari Allah, rahmat dan petunjuk-Nya. Inilah tiga karunia Allah yang sangat berharga, dan belum tentu semua makhluk bisa memprolehnya.
Selanjutnya kematian menjadi nikmat bagi orang lain adalah, bahwa dengan kematian itu Allah memberikan pelajaran-Nya yang sangat berharga. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. pernah bersabda
وكفى بالموت وعظا
Artinya: “Cukuplah kiranya kematian menjadi pelajaran bagi kamu”.
Dengan menyaksikan kematian orang lain, yang masih hidup harus menyadari bahwa kitapun akan mengalami hal yang sama. Hanya waktunya saja yang tidak bisa diketahui. Dan yang mesti kita sykuri adalah, bahwa Allah masih berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri dengan beramal. Dan itu adalah kesempatan yang mesti dipergunakan sebaik-baiknya. Dalam hadist lain Rasulullah saw. bersabda:
أكيس الناس أكثرهم ذكرا للموت وأشدهم استعدادا له
Artinya: “Manusia yang paling cerdas adalah manusia yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak persiapannya menghadapi kematian.”
Iangtlah! bahwa yang tidak punya persiapan menghadapi kematian, mereka akan sangat ketukutan ketika kematian datang kepada mereka. Bahkan, meminta kepada Allah agar ditangguhkan kematiannya beberapa saat untuk bisa mempersiapkan diri. Namun, hal itu tidak mungkin diberikan Allah, disebabkan ajalnya sudah datang (Q.S . an-Nahl [16]: 61 dan juga al-Munafiqun [64]: 11).
Bahkan, setelah sampai di alam barzakhpun nanti, orang yang kafir atau kelompok yang tidak punya persiapan dengan kematian meminta kepada Tuhan agar bisa dikembalikan ke dunia. Seperti yang terdapat dalam surat al-Mu’minun [23]: 99-100
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ(99)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(100)
Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (99). agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan (100).”
Tidak cukup hanya sampai di situ, setelah berada di bibir nerakapun, mereka meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia untuk bisa beramal. Namun, hal itu tetap hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Ungkapan mereka disebutkan Allah dalam surat Fathir [35]: 37
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”
Banyak manusia yang tidak mengetahui, tiada nikmat yang paling besar yang diberikan Allah swt kepada manusia selain didatangkan kematian kepanya. Sebab, kematian akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang paripurna. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Ankabut [29]: 64
….وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Kata al-Hayawân yang berarti kehidupan yang sempurna berasal dari kata al-hayat. Kata ini kemudian mendapat tambahan alif dan nun di akhirnya. Kata ini satu pola dengan kata al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna, berasal darai kata qara’a (membaca). Begitu juga kata qurbân yang berarti kedekatan yang sempurna kepada Allah swt, berasal dari kata qaraba (dekat), kata furqân (pembeda yang sempurna), thaufân (perputaran yang sempurna), dan seterusnya.
Dunia; alam yang ditempati manusia sebelum kematian datang, adalah tempat berkumpulnya berbagai bentuk kesengsaraan dan penderitaan yang tidak akan pernah putus dan berhenti. Begitulah yang pernah dikatakan Allah kepada nabi Adam as. dalam suarat Thaha [20]: 117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (selalu menanggung kesusuhan).”
Penderitaan dan kesusuhan hidup di dunia baru berakhir bila kematian datang kepada manusia. Oleh karena itulah, Allah swt menyebutkan bahwa sebagian manusia yang mengetahui akhirat adalah kehidupan yang sempurna dan lebih baik, mereka pasti akan mencintai datangnya kematian secepatnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94-96
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(94)وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(95)وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ(96)
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar (94). Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya (95). Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (96)”.
Akan tetapi, kebanyakan manusia sangat takut dengan kematian, bahkan kalau bisa tidak pernah berjumpa dengan sesuatu yang bernama kematian. Hal itu disebabkan karena mansuia hidup dengan gelimang dosa dan maksiat kepada Allah swt. Bahkan, saking takutnya manusia dengan kematian, dia menginginkan hidup selamanya dan tidak akan pernah mati.
Manusia adalah makhluk yang sangat rakus dengan kehidupan di dunia. Begitulah Allah menceritakan sebab Adam as. tergoda oleh rayuan iblis dengan “iming-iming” keabadian. Seperti disebutkan dalam surata Thaha [20]: 120.
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
Artinya: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (hidup yang kekal) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”.
Itulah dua senjata syaithan yang sukses dipergunakannya untuk mengeluarkan Adam as. dari sorga. Kedua senjata itu juga yang kemudian sampai hari kiamat akan dipergunakan syaithan untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Senjata itu adalah hidup yang kekal dan kekuasaan yang tidak akan pernah hilang.
Kenapa kedua hal itu yang dijadikan senjata ampuh bagi syaithan untuk menggoda manusia? Jawabannya adalah bahwa syaithan persis tahu bahwa kedua hal itu adalah keinginan terbesar setiap manusia. Adalah naluri setiap manusia, mendambakan hidup yang kekal dan tidak akan pernah mati. Begitu juga, sudah fitrah manusia kalau dia menginginkan jabatan, kekuasaan, kedudukan yang tidak akan pernah hilang, berhenti dan habis. Jika manusia memiliki suatu kekuasaan, dipastikan dia tidak akan pernah ingin kekuasaan itu berakhir dari tangannya.
Namun demikian, dua hal yang menjadi keinginan manusia tersebut, tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebab, Allah telah menciptakan hukum-Nya untuk menepis keinginan manusia itu. Keinginan pertama berupa kekekalan, Allah tepis dengan hukum-Nya yang berupa kematian. Allah telah menciptakan ketentuan, bahwa semua yang bernyawa dan pernah merasakan kehidupan, akan berakhir dengan kematian. Seperti yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 185
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Keinginan manusia yang kedua berupa kekuasaan yang tidak akan pernah hilang dan lenyap, Allah swt. menepisnya dengan menciptakan hukum keterbatasan. Semua yang ada selain Allah, adalah bersifat terbatas dan sementara. Suatu ketika, ia akan hilang, habis dan lenyap. Begitulah yang disebutkan dalam surat Ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26). Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27).”
Oleh karena itu, apa yang kita hadapi dan kita saksikan hari ini, yaitu kematian yang mendatangi salah seorang saudara kita adalah dalam rangka memenuhi hukum yang telah ditetapkan Allah untuknya. Namun demikian, hal yang mesti kita sadari dan yakini adalah, bahwa kematian yang didatangkan Allah kepada manusia pastilah memiliki maksud dan tujuan yang besar. Dan yang pasti, bahwa tujuannya adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sebab, tidak ada yang datang dari Allah berupa keburukan. Kalaupun itu terlihat buruk dan menyakitkan, hanyalah karena keterbatasan manusia dalam memandangnya.
Tujuan kematian itu sendiri disebutkan Allah dalam surat Al-Mulk [67]: 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kematian dalam ayat di atas, Allah sebutkan sebagai bentuk ujian bagi manusia. Ada hal yang mesti kita sadari, bahwa ketika kita menyebut kata “ujian” maka pastilah setiap ujian bertujuan baik. Karena, tidak ada satupun ujian yang bertujuan buruk apalagi merugikan. Seorang siswa tidak akan pernah naik ke tingkat kelas yang lebih tinggi tanpa melalui ujian. Seorang siswa tidak akan berobah sebutannya menjadi mahasiswa sebagai tingkat pelajar tertinggi, tanpa melewati serangkian ujian. Seseorang yang sebelumnya berstatus pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan, baru akan memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetap setelah melewati serangkain ujian, begitulah seterusnya.
Oleh karena itu, kematian di samping disebut musibah, namun pada saat yang sama ia adalah karunia dan nikmat dari Allah yang mesti “disyukuri”. Bukankah Allah mengecam manusia yang masih kafir kepadsa-Nya, dengan menyebut nikmat kematian dan kehidupan yang telah mereka terima? Lihatlah firman-Nya dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Kematian sebagai ujian yang bermuara pada kebaikan, juga disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Baik dalam surat al-Mulk [67]: 2 maupun dalam surat al-Baqarah [2]: 155, Allah menyebutkan bahwa kematian adalah ujian bagi “kamu” semua. Kata “kamu” di sini mencakup dua hal. Pertama, kamu yang mati dan kedua kamu yang hidup. Dengan demikian, kematian adalah nikmat dan kebaikan bagi setiap yang mengalami kematian dan kebaikan bagi yang masih hidup.
Kematian adalah nikmat bagi yang mengalaminya, karena dengan kematian itulah dia bisa menjadi makhluk yang sempurna. Sebab, tidak akan pernah ada manusia yang sempurna sebelum melewati kematian. Oleh karena itulah, kematian tidak hanya disebutkan Allah dengan kata maut, akan tetapi juga dipakai kata wafat yang secara harfiyah berarti sempurna. Seperti firman Allah dalam surat az-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Allah memegang (menyempurnakan) jiwa ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
Oleh karena itu, kematian merupakan proses kehidupan yang dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup. Sebab, perpindahan dari satu alam ke alam lain, betujuan agar manusia lebih sempurna untuk kehidupan berikutnya. Dulu ketika di alam arwah, manusia belum disebut makhluk sempurna, lalu Allah swt pindahkan ke alam rahim. Di alam rahim manusia juga belum sempurna, maka Allah swt. pindahkan ke alam dunia. Di dunia manusia juga belum sempurna, kemudian Allah swt pindahkan ke alam akhirat melalui proses kematian. Begitu juga yang terjadi dengan makhluk lain, misalnya ayam yang masih dalam telur, belum lagi sempurna menjadi ayam. Kesempurnaannya baru terjadi setelah perpindahan dari “alam telur” ke alam dunia.
Dengan demikian, pada hakikatnya kematian adalah sebuah nikmat dari Tuhan dan salah satu bentuk wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sebagai bukti bahwa kematian adalah nikmat Tuhan, bukankah setiap bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita setelah mematikan kita, dan kepada-Nya juga kembali.”
Tidur yang merupakan bagian kecil dari bentuk kematian, dirasakan manusia sebagai suatu kenikmatan yang begitu berharga, karena betapa tersiksanya manusia jika tidak bisa tidur. Maka kematian yang sesungguhnya, tentulah jauh lebih nikmat dari tidur yang dirasakan manusia. Sangat tepat, jika Allah swt mencela manusia yang tidak memahami dan bersyukur terhadap nikmat kematian tersebut. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat al-Baqarah
Oleh karena kematian adalah sebuah nikmat, maka tidaklah sepantasnya manusia takut dan menghindarkan diri dari padanya. Sebab, siapa yang lari dari kematian berarti dia tidak menginginkan kesempurnaan atas dirinya. Yang terbaik adalah melakukan persiapan yang sempurna guna menghadapi proses kematian tersebut.
Kematian adalah gerbang menuju akhirat, yang disebut Allah swt sebagai kehidupan yang lebih sempurna. Seperti yang terdapat dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Semenrata “kamu” yang hidup terbagi dua; pertama keluarga dan karib kerabat dari yang meninggal, dan kedua manusia lain yang tidak punya ikatan kekerabatan. Adapun kematian menjadi nikmat bagi keluarga yang ditinggalkan adalah, bahwa melalui kematian yang menimpa anggota keluarganya itulah mereka bisa mendapatkan tiga keuntungan yang besar dari Allah. Tentu saja jika mereka bisa bersabar terhadap apa yang menimpa mereka. Itulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 156-157
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (156). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157)”.
Itulah tiga janji Allah terhadap anggota keluarga yang sabar menerima kematian; salawat dari Allah, rahmat dan petunjuk-Nya. Inilah tiga karunia Allah yang sangat berharga, dan belum tentu semua makhluk bisa memprolehnya.
Selanjutnya kematian menjadi nikmat bagi orang lain adalah, bahwa dengan kematian itu Allah memberikan pelajaran-Nya yang sangat berharga. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. pernah bersabda
وكفى بالموت وعظا
Artinya: “Cukuplah kiranya kematian menjadi pelajaran bagi kamu”.
Dengan menyaksikan kematian orang lain, yang masih hidup harus menyadari bahwa kitapun akan mengalami hal yang sama. Hanya waktunya saja yang tidak bisa diketahui. Dan yang mesti kita sykuri adalah, bahwa Allah masih berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri dengan beramal. Dan itu adalah kesempatan yang mesti dipergunakan sebaik-baiknya. Dalam hadist lain Rasulullah saw. bersabda:
أكيس الناس أكثرهم ذكرا للموت وأشدهم استعدادا له
Artinya: “Manusia yang paling cerdas adalah manusia yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak persiapannya menghadapi kematian.”
Iangtlah! bahwa yang tidak punya persiapan menghadapi kematian, mereka akan sangat ketukutan ketika kematian datang kepada mereka. Bahkan, meminta kepada Allah agar ditangguhkan kematiannya beberapa saat untuk bisa mempersiapkan diri. Namun, hal itu tidak mungkin diberikan Allah, disebabkan ajalnya sudah datang (Q.S . an-Nahl [16]: 61 dan juga al-Munafiqun [64]: 11).
Bahkan, setelah sampai di alam barzakhpun nanti, orang yang kafir atau kelompok yang tidak punya persiapan dengan kematian meminta kepada Tuhan agar bisa dikembalikan ke dunia. Seperti yang terdapat dalam surat al-Mu’minun [23]: 99-100
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ(99)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(100)
Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (99). agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan (100).”
Tidak cukup hanya sampai di situ, setelah berada di bibir nerakapun, mereka meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia untuk bisa beramal. Namun, hal itu tetap hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Ungkapan mereka disebutkan Allah dalam surat Fathir [35]: 37
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”
HIKMAH DI BALIK PERJALANAN HIDUP RASULULLAH SAW.
HIKMAH DI BALIK PERJALANAN HIDUP RASULULLAH SAW.
Perjalanan hidup Rasulaullah saw. yang kita temukan secara mutawatir dalam berbagai sumber bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan belaka. Segala hal yang terkait dengan kehidupan beliau adalah sebuah rencana besar dari Allah swt. yang serat dengan nilai-nilai pengajaran bagi seluruh manusia. Berikut akan kita lihat beberapa pelajaran dari perjalanan hidup Rasulullah saw.
Pertama, Muhammad secara harfiyah berarti orang yang terpuji. Karena memang, semenjak kecil Rasulullah saw. telah menunjukan sikap hidup yang sangat mulai dan terpuji. Bahkan, dalam riwayat diceritakan ketika nabi Muhammad hendak disusukan untuk pertama kalinya oleh ibu susunya Halimah, beliau menolak untuk menyusu ke susu yang sebelah kiri, karena susu tersebut adalah milik saudara sesusuannya yang telah menyusu sebelumnya yaitu Hamzah. Rasulullah saw. semenjak masih bayi ternyata telah menunjukan sikap hidup yang mulia. Dia tidak mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Kenapa bisa lahir seorang Muhammad (Manusia terpuji)? Mari kita lihat siapa ayah dan ibunya. Ayah beliau bernama Abdullah (hamba Allah). sesuai dengan namanya, Abdullah semasa hidupnya dikenal sebagi seorang yang shalih, jujur, dan sepanjang hidupnya tidak pernah ditemukan cacat dan keburukan. Dalam al-Qur’an, kata ‘Abd yang dinisbahkan kepada Allah selalu menunjukan kualitas manusia agung dengan separangkat sikap hidup yang mulia dan terpuji (lihat surat al-Furqan [25]: 63-75). Sementara ibunya bernama Aminah yang secara harfiyah berarti perempuan yang jujur dan terpercaya. Memang ibunda Rasulullah saw adalah wanita yang shalihah, jujur dan hidup dengan kemulian diri. Pertemuan Abdullah (hamba Allah) dan Aminah (perempuan yang jujur) pada akhirnya melahirkan Muhammad (manusia terpuji).
Begitulah isyarat Allah swt. kepada manusai bahwa tanaman dan buah yang baik akan lahir dari bibit yang baik pula. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan manusia untuk memilih jodoh atas dasar pertimbangan iman, bukan kecantikan, kekayaan atau kedudukanya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Hari ini, agaknya karena sudah dipengaruhi pandangan dan sikap hidup yang materialistis, cenderung yang menjadi pertimbangan dalam mencari jodoh dalam masyarakat kita adalah harta dan kedudukan. Sementa itu, faktor agama atau keimanan sudah mulai diabaikan. Jika seorang anak gadis berkata kepada orang tuanya bahwa dia sudah punya pilahan pendamping hidup, kebanyakan orang tua selalu mengemukankan pertanyaan, “Apa Pekerjaanya?”. Jarang orang tua yang bertanya, “Apa agamanya, rajinkah dia shalatkah, dst”.
Teramat sering kita temukan di tengah masyarakan sebuah keluarga mengadakan pesta besar dan mewah, karena menantunya seorang dokter, perwira atau pengusaha. Akan tetapi, jarang kita lihat sebuah keluarga memiliki kebanggan yang ditampilkan dalam pesta perkawinan, jika menantunya orang yang biasa sekalipun laki-laki yang shalih, patuh dan taat beribadah.
Oleh karena itu, jangan heran jika kita teramat susah melahirkan genarasi yang shalih, baik, dan patuh. Karena kita tidak lagi mempertimbangkan unsur agama dan keshalihan dalam memilih jodoh dan pasangan hidup. Bibit yang baik saja belum tentu bisa melahirkan tumbuhan dan buah bagus, apalagi jika bibitnya sudah pasti rusaknya, mustahil tanaman yang baik akan tumbuh dan menghasilkan buah yang baik pula dikemudian hari.
Kedua, Nabi Muahmmahd saw. diasuh dan dibesarkan oleh ibu susunya yang bernama Halimah yang secara harfiyah berarti wanita yang santun, lembut dan sopan. Memang, Halimah adalah sosok wanita yang lemut dan santun, sebab dia berasal dari suku Bani Sa’idah yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Arab jahiliyah sebagai suku yang ramah, santun dan fasih bahasanya.
Inilah salah satu hal yang menyebabkan nabi Muahmmad saw. menjadi mansuia yang santun dan memiliki kesopanan yang tinggi di kemudian hari. Asuhan dan didikan dari wanita yang santun sangat berpengaruh terhadap prilaku beliau di kemudin hari.
Inilah pelajaran berharga yang mesti kita ambil bahwa anak dan genarasi yang santun dan memiliki kesopanan serta kelemahlembutan, akan muncul jika anak tersebut diasuh oleh wanita yang ramah, santu, dan sopan pula. Jika seorang anak didik dan dibesarkan di lingkungan yang penuh kekerasan, sudah dipastikan watak yang keras dan kasarpun akan dimilikinya di kemudian hari.
Untuk masa sekarang ini, kita sangat khawatir dengan pendidikan anak-anak kita, terutama generasi Islam. Pandangan hidup yang sangat materialislit, bahwa ukuran kesuksesan itu harus diukur dengan seberapa banyak materi dan kekayaan yang dimiliki seseorang, sangat mempengaruhi pola pendidikan yang diterima anak-anak kita. Karena semua orang berlomba mengejar materi, akhirnya suami dan siteri mesti bekerja di luar rumah, pergi pagi pulang malam. Waktu berangkat anak belum bangun dari tidurnya, begitu pulang anak dijumpai sudah dalam kedaaan tidur lelap. Sehingga, komonikasi antara orang tua dan anak hanya lewat telpon saja. Setiap hari anak-anak tumbuh dan besar dengan pembantu. Bagaimana jadinya, jika para pembantu yang dipercayakan mengasuh anak-anak kita, hanya memiliki hubungan yang bersifat materialistis dengan kita. Dia sudah tentu tidak akan merasakan bahwa anak yang kita lahirkan dengan susah payah seperti anaknya sendiri. Sudah barang tentu, anak akan besar dengan caranya sendiri atau bahkan tumbuh dengan melewati serentetan drama kekerasan bersama pembantu yang kita tinggalkan.
Oleh karena itu, jangan heran jika anak-anak kita hari ini sangat susah diatur, pembangkang dan bahkan hidup dalam gelombang dosa dan kesesatan. Karena kita, para ibu tidak menyiapkan diri sebagai Halimah atau pengasuh yang santun dan sopan.
Tiga, Nabi Muahmmad saw. semenjak lahir sampai berumur enam tahun dibesarkan di sebuah perkampungan yang jauh dari pengaruh kehidupan kota yang sangat bobrok, hedonis dan sebagainya. Pertanyaan sederhana, mengapa nabi Muahammad saw. harus melewati masa kecilnya di kawasan perkampungan tidak di Makkah yang merupakan kota metropolis ketika itu?
Di antara hikmahnya adalah, bahwa anak-anak yang tumbuh dan besar di kota biasanya jauh lebih mandiri, lebih tangguh dibandingkan anak-anak yang besar diperkotaaan. Di perkotaan, fasilitas hidup sudah sangat lengkap sehingga, apapun yang diinginkan tinggal membelinya saja. Sementara di desa, fasilitas hidup sangat minim dan sederhana, sehingga ketika ingin sesuatu seorang harus mencarinya sendiri atau bahkan membuatnya sendiri. Misalnya, di perkampungan tidak ditemukan orang yang menjual layang-layang, sehingga untuk memperolehnya seorang anak harus mampu atau belajar cara membuatnya sendiri. Berbeda dengan di kota, hanya tinggal membelinya di tempat-tempat yang sudah disediakan untuk itu. Sehingga, fasilita yang lengkap membuat anak-anakyang dibesarkan di perkotaan menjadi manja, cengeng dan susah untuk mandiri. Bukankah di perkampungan itu, semenjak kecil nabi Muhammad sudah mengambalkan kambing?
Inilah pelajaran berharga bahwa anak semejak kecil harus diajar mendiri dan memiliki ketangguhan hidup dan tidak cengeng. Sekalipun, kita tidak mungkin harus mengirim anak ke desa seperti layaknya Nabi saw., namun subtansi kemandirian mesti kita terapkan kepada anak semanjak dini.
Alasan kedua kenapa nabi Muhammad saw. dibesarkan diperkampungan bahwa di perkampungan lingkungan masyarakatnya jauh lebih bersih dan lebih sehat dibandingkan perkotaan. Di perkampungan, masyarakatnya masih memiliki etika dan kesopanan yang tinggi. Sementara di kota, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lingkungannya sudah sangat rusak. Masyarakat sebagian besar hidup tanpa nilai dan aturan. Bukankah dengan mudah bisa kita jumpai bahwa sebagian besar anak-anak yang rusak baik akhlak dan pergaulannya adalah anak-anak yyang tumbuh dan besar di perkotaan.
Alasan ketiga, bahwa di pedesaan bahasa manusia masih murni, bersih dan belum terkontaminasi dengan pengaruh budaya luar. Sebab, salah satu karakter pedesaan adalah bahwa ia masih tertutup dengan pengaruh budaya luar. Sementara, kota dihuni oleh berbagai manusia dari berbagai jenis dan bangsa. Tentu akan terjadi pembauran budaya termasuk bahasa. Maka, bahasa diperkotaan adalah bahasa yang sudah rusak.
Dengan dibesarkan di pedesaan Arab, nabi Muhammad saw. akan mendapatkan bahasa yang paling fasih dan bersih dari pengrauh bahasa lain. Itulah kemudian yang membuat nabi Muhammad saw. memiliki kefasihan lidah dalam berbahasa. Bahkan, beliau pernah bersabda, “Saya adalah orang Arab yang paling fasih dalam bahasa Dhadh (bahasa Arab)”.
Empat, setelah berusia enam tahun Halimah menyerahkan nabi Muhammad saw. kepada ibunya Aminah. Namun, baru beberapa hari saja beliau bersama ibunya, Aminahpun meninggal dunia setelah sebelumnya ketika beliau masih berumur dua bulan di dalam kandungan, ayahnya Abdullah pun dipanggil Allah. Setelah ibunya meninggal, pengasuhan diambil alih oleh kakeknya Abdul Muthallib sampai beliau berumur delapan tahun. Sebeb, setelah dua tahun berada dalam pengasuhan kakeknya, Abdul Muthallib pun meninggal dunia.
Ada hal yang menarik untuk kita cermati, kenapa nabi Muhammad ketika berumur enam sampai delapan tahun diasuh oleh kekek beliau dan setelah dua tahun Allah pun mengambil kekaknya.
Umur enam sampai delapan tahun memang secara kejiwaan seorang anak akan sangat dekat dengan kakeknya dan seorang kakekpun sangat merindukan cucunya. Sebab, ketika berumur enam sampai delapan tahun seorang anak berada dalam taraf yang sedang asyik bermain dan bercanda, dan tentu seorang kakek dengan kondisinya yang sudah di akhir hayat sangat senang dan merasa terhibur dengan keadaan ini. Akan tetapi, lebih dari itu kebijksaan dan pengalaman hidup seorang kakek akan diceritakan kepada cucunya dalam bentuk pengajaran pada masa ini.
Oleh karena itu, dalam fase kehidupan manusia memang ada peran kakek yang mesti diberikan, yaitu ketika anak berumur enam sampai delapan tahun.
Lima, setelah Abdul Muthallib meninggal pengasuhan dilanjutkan oleh paman beliau Abu Thalib. Abu Thalib adalah seorang tokoh Quraisy yang sangat berwibawa dan dihormati, akan tetapi secara ekonomi memang Abu Thalib tidak seberuntung suadaranya yang lain. Dari sembikan paman nabi Muhammad saw, Abu Thalib adalah paman beliau yang paling miskin. Sementara yang paling kaya adalah Harits dan Abbas.
Pertanyaannya kemduian, kenapa nabi Muhammad saw. harus diasuh oleh pamannya yang paling miskin, bukannya paman beliau yang paling kaya?
Di antara jawabannya adalah, bahwa seorang anak tidak baik dibesarkan dengan tumpukan harta dan kekakayaan. Jika seorang anak dibesarkan dengan uang yang banyak, maka cenderung dia menjadi anak yang cengeng dan tidak bisa mandiri. Bahkan, anak yang dibesarbkan dengan uang banyak, akan mengakibatkan kerusakan mental adan akhlaknya.
Itulah pelajaran berharga dari kehidupan Rasululla saw, bahwa hendaklah kita membesarkan anak-anak kita dengan mengajarkannya arti dan hakikat kehidupan, janganlah seorang anak dimanja dengan fasilitas yang mewah dan tumpukan uang. Karena sekalipun dengan maksud kita menyayangi anak, namun cara seperti itu justu akan merusak dan menghancurkan anak kita sendiri.
Enam, setelah nabi Muhammad diangkat menjadi rasul dan berdakwah selama tiga belas tahun da Makkah, akan tetapi aktifitas beliau selalu mengalamai hambatan dan tantangan kalau tidak akan dikatakan memperoleh kegagalan. Akhirnya, Rasulullah saw. hijrah, berpindah ke Madinah dan akhirnya dalam waktu sepuluh tahun beliau berhasil mencapai maksud mangajak manusia beriman dengan kesuksesan yang gemilang.
Kenapa nabi harus berpindah dari Makkah ke Madinah? Sebab, Makkah bukanlah lingkungan dan tempat yang kondusif untuk menjadikan nabi Muhammad saw sukses. Inilah pelajaran berharga dari perjalanan hidup Rasulullah saw. bahwa mestilah kita selau berpindah dari lingkungan yang tidak baik menuju lingkungan yang bagus dan kondusif untuk menunjang kesuksesan kita. Sebab, lingkungan adalah hal yang besar pengaruhnya terhadap seseorang. Sekaligus, lingkungan sangat menentukan dan mendukung kesukesesan seorang dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Perjalanan hidup Rasulaullah saw. yang kita temukan secara mutawatir dalam berbagai sumber bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan belaka. Segala hal yang terkait dengan kehidupan beliau adalah sebuah rencana besar dari Allah swt. yang serat dengan nilai-nilai pengajaran bagi seluruh manusia. Berikut akan kita lihat beberapa pelajaran dari perjalanan hidup Rasulullah saw.
Pertama, Muhammad secara harfiyah berarti orang yang terpuji. Karena memang, semenjak kecil Rasulullah saw. telah menunjukan sikap hidup yang sangat mulai dan terpuji. Bahkan, dalam riwayat diceritakan ketika nabi Muhammad hendak disusukan untuk pertama kalinya oleh ibu susunya Halimah, beliau menolak untuk menyusu ke susu yang sebelah kiri, karena susu tersebut adalah milik saudara sesusuannya yang telah menyusu sebelumnya yaitu Hamzah. Rasulullah saw. semenjak masih bayi ternyata telah menunjukan sikap hidup yang mulia. Dia tidak mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Kenapa bisa lahir seorang Muhammad (Manusia terpuji)? Mari kita lihat siapa ayah dan ibunya. Ayah beliau bernama Abdullah (hamba Allah). sesuai dengan namanya, Abdullah semasa hidupnya dikenal sebagi seorang yang shalih, jujur, dan sepanjang hidupnya tidak pernah ditemukan cacat dan keburukan. Dalam al-Qur’an, kata ‘Abd yang dinisbahkan kepada Allah selalu menunjukan kualitas manusia agung dengan separangkat sikap hidup yang mulia dan terpuji (lihat surat al-Furqan [25]: 63-75). Sementara ibunya bernama Aminah yang secara harfiyah berarti perempuan yang jujur dan terpercaya. Memang ibunda Rasulullah saw adalah wanita yang shalihah, jujur dan hidup dengan kemulian diri. Pertemuan Abdullah (hamba Allah) dan Aminah (perempuan yang jujur) pada akhirnya melahirkan Muhammad (manusia terpuji).
Begitulah isyarat Allah swt. kepada manusai bahwa tanaman dan buah yang baik akan lahir dari bibit yang baik pula. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan manusia untuk memilih jodoh atas dasar pertimbangan iman, bukan kecantikan, kekayaan atau kedudukanya. Lihatlah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Hari ini, agaknya karena sudah dipengaruhi pandangan dan sikap hidup yang materialistis, cenderung yang menjadi pertimbangan dalam mencari jodoh dalam masyarakat kita adalah harta dan kedudukan. Sementa itu, faktor agama atau keimanan sudah mulai diabaikan. Jika seorang anak gadis berkata kepada orang tuanya bahwa dia sudah punya pilahan pendamping hidup, kebanyakan orang tua selalu mengemukankan pertanyaan, “Apa Pekerjaanya?”. Jarang orang tua yang bertanya, “Apa agamanya, rajinkah dia shalatkah, dst”.
Teramat sering kita temukan di tengah masyarakan sebuah keluarga mengadakan pesta besar dan mewah, karena menantunya seorang dokter, perwira atau pengusaha. Akan tetapi, jarang kita lihat sebuah keluarga memiliki kebanggan yang ditampilkan dalam pesta perkawinan, jika menantunya orang yang biasa sekalipun laki-laki yang shalih, patuh dan taat beribadah.
Oleh karena itu, jangan heran jika kita teramat susah melahirkan genarasi yang shalih, baik, dan patuh. Karena kita tidak lagi mempertimbangkan unsur agama dan keshalihan dalam memilih jodoh dan pasangan hidup. Bibit yang baik saja belum tentu bisa melahirkan tumbuhan dan buah bagus, apalagi jika bibitnya sudah pasti rusaknya, mustahil tanaman yang baik akan tumbuh dan menghasilkan buah yang baik pula dikemudian hari.
Kedua, Nabi Muahmmahd saw. diasuh dan dibesarkan oleh ibu susunya yang bernama Halimah yang secara harfiyah berarti wanita yang santun, lembut dan sopan. Memang, Halimah adalah sosok wanita yang lemut dan santun, sebab dia berasal dari suku Bani Sa’idah yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Arab jahiliyah sebagai suku yang ramah, santun dan fasih bahasanya.
Inilah salah satu hal yang menyebabkan nabi Muahmmad saw. menjadi mansuia yang santun dan memiliki kesopanan yang tinggi di kemudian hari. Asuhan dan didikan dari wanita yang santun sangat berpengaruh terhadap prilaku beliau di kemudin hari.
Inilah pelajaran berharga yang mesti kita ambil bahwa anak dan genarasi yang santun dan memiliki kesopanan serta kelemahlembutan, akan muncul jika anak tersebut diasuh oleh wanita yang ramah, santu, dan sopan pula. Jika seorang anak didik dan dibesarkan di lingkungan yang penuh kekerasan, sudah dipastikan watak yang keras dan kasarpun akan dimilikinya di kemudian hari.
Untuk masa sekarang ini, kita sangat khawatir dengan pendidikan anak-anak kita, terutama generasi Islam. Pandangan hidup yang sangat materialislit, bahwa ukuran kesuksesan itu harus diukur dengan seberapa banyak materi dan kekayaan yang dimiliki seseorang, sangat mempengaruhi pola pendidikan yang diterima anak-anak kita. Karena semua orang berlomba mengejar materi, akhirnya suami dan siteri mesti bekerja di luar rumah, pergi pagi pulang malam. Waktu berangkat anak belum bangun dari tidurnya, begitu pulang anak dijumpai sudah dalam kedaaan tidur lelap. Sehingga, komonikasi antara orang tua dan anak hanya lewat telpon saja. Setiap hari anak-anak tumbuh dan besar dengan pembantu. Bagaimana jadinya, jika para pembantu yang dipercayakan mengasuh anak-anak kita, hanya memiliki hubungan yang bersifat materialistis dengan kita. Dia sudah tentu tidak akan merasakan bahwa anak yang kita lahirkan dengan susah payah seperti anaknya sendiri. Sudah barang tentu, anak akan besar dengan caranya sendiri atau bahkan tumbuh dengan melewati serentetan drama kekerasan bersama pembantu yang kita tinggalkan.
Oleh karena itu, jangan heran jika anak-anak kita hari ini sangat susah diatur, pembangkang dan bahkan hidup dalam gelombang dosa dan kesesatan. Karena kita, para ibu tidak menyiapkan diri sebagai Halimah atau pengasuh yang santun dan sopan.
Tiga, Nabi Muahmmad saw. semenjak lahir sampai berumur enam tahun dibesarkan di sebuah perkampungan yang jauh dari pengaruh kehidupan kota yang sangat bobrok, hedonis dan sebagainya. Pertanyaan sederhana, mengapa nabi Muahammad saw. harus melewati masa kecilnya di kawasan perkampungan tidak di Makkah yang merupakan kota metropolis ketika itu?
Di antara hikmahnya adalah, bahwa anak-anak yang tumbuh dan besar di kota biasanya jauh lebih mandiri, lebih tangguh dibandingkan anak-anak yang besar diperkotaaan. Di perkotaan, fasilitas hidup sudah sangat lengkap sehingga, apapun yang diinginkan tinggal membelinya saja. Sementara di desa, fasilitas hidup sangat minim dan sederhana, sehingga ketika ingin sesuatu seorang harus mencarinya sendiri atau bahkan membuatnya sendiri. Misalnya, di perkampungan tidak ditemukan orang yang menjual layang-layang, sehingga untuk memperolehnya seorang anak harus mampu atau belajar cara membuatnya sendiri. Berbeda dengan di kota, hanya tinggal membelinya di tempat-tempat yang sudah disediakan untuk itu. Sehingga, fasilita yang lengkap membuat anak-anakyang dibesarkan di perkotaan menjadi manja, cengeng dan susah untuk mandiri. Bukankah di perkampungan itu, semenjak kecil nabi Muhammad sudah mengambalkan kambing?
Inilah pelajaran berharga bahwa anak semejak kecil harus diajar mendiri dan memiliki ketangguhan hidup dan tidak cengeng. Sekalipun, kita tidak mungkin harus mengirim anak ke desa seperti layaknya Nabi saw., namun subtansi kemandirian mesti kita terapkan kepada anak semanjak dini.
Alasan kedua kenapa nabi Muhammad saw. dibesarkan diperkampungan bahwa di perkampungan lingkungan masyarakatnya jauh lebih bersih dan lebih sehat dibandingkan perkotaan. Di perkampungan, masyarakatnya masih memiliki etika dan kesopanan yang tinggi. Sementara di kota, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lingkungannya sudah sangat rusak. Masyarakat sebagian besar hidup tanpa nilai dan aturan. Bukankah dengan mudah bisa kita jumpai bahwa sebagian besar anak-anak yang rusak baik akhlak dan pergaulannya adalah anak-anak yyang tumbuh dan besar di perkotaan.
Alasan ketiga, bahwa di pedesaan bahasa manusia masih murni, bersih dan belum terkontaminasi dengan pengaruh budaya luar. Sebab, salah satu karakter pedesaan adalah bahwa ia masih tertutup dengan pengaruh budaya luar. Sementara, kota dihuni oleh berbagai manusia dari berbagai jenis dan bangsa. Tentu akan terjadi pembauran budaya termasuk bahasa. Maka, bahasa diperkotaan adalah bahasa yang sudah rusak.
Dengan dibesarkan di pedesaan Arab, nabi Muhammad saw. akan mendapatkan bahasa yang paling fasih dan bersih dari pengrauh bahasa lain. Itulah kemudian yang membuat nabi Muhammad saw. memiliki kefasihan lidah dalam berbahasa. Bahkan, beliau pernah bersabda, “Saya adalah orang Arab yang paling fasih dalam bahasa Dhadh (bahasa Arab)”.
Empat, setelah berusia enam tahun Halimah menyerahkan nabi Muhammad saw. kepada ibunya Aminah. Namun, baru beberapa hari saja beliau bersama ibunya, Aminahpun meninggal dunia setelah sebelumnya ketika beliau masih berumur dua bulan di dalam kandungan, ayahnya Abdullah pun dipanggil Allah. Setelah ibunya meninggal, pengasuhan diambil alih oleh kakeknya Abdul Muthallib sampai beliau berumur delapan tahun. Sebeb, setelah dua tahun berada dalam pengasuhan kakeknya, Abdul Muthallib pun meninggal dunia.
Ada hal yang menarik untuk kita cermati, kenapa nabi Muhammad ketika berumur enam sampai delapan tahun diasuh oleh kekek beliau dan setelah dua tahun Allah pun mengambil kekaknya.
Umur enam sampai delapan tahun memang secara kejiwaan seorang anak akan sangat dekat dengan kakeknya dan seorang kakekpun sangat merindukan cucunya. Sebab, ketika berumur enam sampai delapan tahun seorang anak berada dalam taraf yang sedang asyik bermain dan bercanda, dan tentu seorang kakek dengan kondisinya yang sudah di akhir hayat sangat senang dan merasa terhibur dengan keadaan ini. Akan tetapi, lebih dari itu kebijksaan dan pengalaman hidup seorang kakek akan diceritakan kepada cucunya dalam bentuk pengajaran pada masa ini.
Oleh karena itu, dalam fase kehidupan manusia memang ada peran kakek yang mesti diberikan, yaitu ketika anak berumur enam sampai delapan tahun.
Lima, setelah Abdul Muthallib meninggal pengasuhan dilanjutkan oleh paman beliau Abu Thalib. Abu Thalib adalah seorang tokoh Quraisy yang sangat berwibawa dan dihormati, akan tetapi secara ekonomi memang Abu Thalib tidak seberuntung suadaranya yang lain. Dari sembikan paman nabi Muhammad saw, Abu Thalib adalah paman beliau yang paling miskin. Sementara yang paling kaya adalah Harits dan Abbas.
Pertanyaannya kemduian, kenapa nabi Muhammad saw. harus diasuh oleh pamannya yang paling miskin, bukannya paman beliau yang paling kaya?
Di antara jawabannya adalah, bahwa seorang anak tidak baik dibesarkan dengan tumpukan harta dan kekakayaan. Jika seorang anak dibesarkan dengan uang yang banyak, maka cenderung dia menjadi anak yang cengeng dan tidak bisa mandiri. Bahkan, anak yang dibesarbkan dengan uang banyak, akan mengakibatkan kerusakan mental adan akhlaknya.
Itulah pelajaran berharga dari kehidupan Rasululla saw, bahwa hendaklah kita membesarkan anak-anak kita dengan mengajarkannya arti dan hakikat kehidupan, janganlah seorang anak dimanja dengan fasilitas yang mewah dan tumpukan uang. Karena sekalipun dengan maksud kita menyayangi anak, namun cara seperti itu justu akan merusak dan menghancurkan anak kita sendiri.
Enam, setelah nabi Muhammad diangkat menjadi rasul dan berdakwah selama tiga belas tahun da Makkah, akan tetapi aktifitas beliau selalu mengalamai hambatan dan tantangan kalau tidak akan dikatakan memperoleh kegagalan. Akhirnya, Rasulullah saw. hijrah, berpindah ke Madinah dan akhirnya dalam waktu sepuluh tahun beliau berhasil mencapai maksud mangajak manusia beriman dengan kesuksesan yang gemilang.
Kenapa nabi harus berpindah dari Makkah ke Madinah? Sebab, Makkah bukanlah lingkungan dan tempat yang kondusif untuk menjadikan nabi Muhammad saw sukses. Inilah pelajaran berharga dari perjalanan hidup Rasulullah saw. bahwa mestilah kita selau berpindah dari lingkungan yang tidak baik menuju lingkungan yang bagus dan kondusif untuk menunjang kesuksesan kita. Sebab, lingkungan adalah hal yang besar pengaruhnya terhadap seseorang. Sekaligus, lingkungan sangat menentukan dan mendukung kesukesesan seorang dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Sebelum Rasulullah saw. diutus menjadi rasul Allah swt, sudah banyak nabi dan rasul yang telah diutus kepada setiap generasi umat manusia untuk menyeru mereka ke jalan Allah. seperti disebutkan dalam surat al-Mukmin [40]: 78
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ….
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu….
Akan tepai, di dalam al-Qur’an hanya terdapat 25 nabi dan rasul Allah yang diberitakan dalam berbagai surat dan ayat. Dari semua nabi dan rasul tersebut, secara kenabian Allah memang tidak pernah membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 285
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
Akan tetapi, dalam hal penghargaan dan penghormatan, Allah swt. ternyata memberikan kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Khusus kepada nabi Muhammad saw. Allah memberikan banyak penghargaan yang tidak diberikan kepada nabi dan rasul-Nya yang lain. Berikut kita lihat beberapa kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw.
Pertama, bahwa Allah swt. memberikan segala sesuatu kepada nabi Muhammad, tanpa harus beliau memintanya kepada Allah. Lihat misalnya surat Alam Nasyrah [94]: 1-4
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ(1)وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ(2)الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ(3)وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ(4)
Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1). Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu (2). yang memberatkan punggungmu? (3). Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (4).”
Ayat ini turun berkaitan dengan kondisi Nabi saw. yang ketika itu dilanda stress berat akibat penolakan sebagain besar manusia terhadap dakwah beliau. Beliau merasa gagal, bahkan kegagalan tersebut dirasakan seolah beliau sedang memikul sebuah gunung batu di atas pundaknya, sehingga membuat tulang punggung belaiu mengeluarkan bunyi seperti suara yang dikeluarkan dahan dan ranting-ranting pohon yang beradu karena tiupan angin. Allah kemudian menghibur beliau dengan mengatakan betapa agung dan mulianya engkau wahai Muhammad! Kami telah melapangkan dadamu dari kesempitan dan kesulitan tanpa harus engkau memintanya. Kami yang telah mengangkat beban berat yang ada dipundakmu tanpa engaku harus memohonnya kepada-Ku. Kami juga yang telah mengangkat dan meninggikan namamu. Sehingga, setiap kali namu Aku disebut, nama engkau juga berada dibelakang-Nya. Setiap kali kalimat syahadat diucapakan mansuai, setaip kali itu pula naama-Ku dan namamu berbarengan.
Dalam surat Al-A’la [87]: 8, Allah juga menggambarkan kelebihan Rasulullah saw. dengan ungkapan;
وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى
Artinya: “Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah”.
Begitulah kelebihan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw. Coba kita bandingkan dengan nabi Musa as. seperti terdapat dalam surat Thaha [20]: 25-28
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي(25)وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي(26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي(27)يَفْقَهُوا قَوْلِي(28)
Artinya: “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (25). dan mudahkanlah untukku urusanku (26). dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (27). supaya mereka mengerti perkataanku (28).”
Kedua, nabi-nabi yang diutus sebelum Rasulullah saw. hanya untuk umat dan masa tertentu. Ajarannya tidak berlaku untuk umat lain di masa yang lain. Nabi Shalih hanya diutus kepada kaum Tsamud dan ajaran yang dibawanya hanyalah berlaku untuk kaum Tsamud saja, tidak umat lain. Nabi Hud hanya diutus oleh Allah kepada bangsa ‘Ad dan ajarannya hanya untuk bangsa itu, tidak bangsa lain dan seterusnya. Seperti disebutkan dalam surat Fathir [35]: 24
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
Akan tetapi, nabi Muhammad saw. diutus untuk semua manusia mulai dari manusia awal beliau menjadi rasul, sampai manusia akhir zaman di manapun mereka berada. Begitu juga, ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw berlaku sampai hari kiamat tanpa ada lagi penghapusan. Seperti disebutkan dalam surat Al-A’raf [7]: 158
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا….
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…
Oleh karena itulah, Allah mengajak mansuia untuk memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada Rasulaullah. Seperti dalam An-Nur [24]: 53
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا…
Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…”
Allah swt. melarang umat Islam memanggil nabi Muhammad saw. seperti panggilan kepada mansuia lain. Sehingga, sangat wajar kalau kita sebelum menyebut nama Muhammad saw. mengawalinya dengan sejumlah pujian yang kita berikan, baik di awal maupun di akhir. Seperti nabiyina, rasulina, habibina, syafi’ina, maulana …Muhammad…dan akhirnya Shallallahu ‘Alihi Wasallama.
Beberapa waktu yang lalu, kita umat Islam sangat terusik dengan beredarnya karikatur nabi Muhammad saw. yang diterbitkan oleh sebuah majalah di Denmark. Karikatur itu menggambarkan nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia berwajah garang dengan sorban bertahtakan dan bermahkotakan bom. Karikatur ini ingin mengatakan kepada dunai, bahwa nabi Muhammad saw. adalah tokoh sentralnya teroris manusia. Bahkan, jika hari ini dia masih hidup, dialah orang yang selalu membawa bom ke manapun dia pergi. Sunggguh suatu pelecehan dan penghinaan yang sangat tidak bisa diterima.
Banyak umat Islam yang kesal, jengkel dan marah. Bahkan ada yang mengambil sikap keras, seperti membaikot segala macam produk Denmark ke Negara mereka seperti yang dilakukan Negara Sudan. Akan tetapi, tidak sedikit pula dari umat Islam yang acuh, “cuek” tidak tersinggung apalagi marah. Mungkin salah satunya adalah umat Islam di Indonesia.
Lalu kenapa kita umat Islam, tidak merasa sakit hati, terlukai atau bahkan marah ketika nabi Muhammad saw. dilecehkan sedemikian rupa? Jawabannya adalah bahwa kita tidak lagi mencintai Rasulullah saw. atau bahkan kita sudah tidak mengenal beliau lagi sebagai sosok manusia agung dan sempurna yang jauh dari cacat dan kekurangan apalagi kehinaan.
Oleh karena itulah, dengan peringatan maulid nabi besar Muhammad saw. kali ini, kita jadikan momentum untuk menggali kembali perjalanan hidup belaiu guna dijadikan teladan, sekaligus menumbuhkan kecintan kepada beliau. Sebab, kecintaan kepada Rasulullah saw. adalah sebagai syarat seseorang mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah swt. Lihatlah surat Ali imran [3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Semoga bisa menjadi renungan kita. Amin
Sebelum Rasulullah saw. diutus menjadi rasul Allah swt, sudah banyak nabi dan rasul yang telah diutus kepada setiap generasi umat manusia untuk menyeru mereka ke jalan Allah. seperti disebutkan dalam surat al-Mukmin [40]: 78
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ….
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu….
Akan tepai, di dalam al-Qur’an hanya terdapat 25 nabi dan rasul Allah yang diberitakan dalam berbagai surat dan ayat. Dari semua nabi dan rasul tersebut, secara kenabian Allah memang tidak pernah membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 285
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
Akan tetapi, dalam hal penghargaan dan penghormatan, Allah swt. ternyata memberikan kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Khusus kepada nabi Muhammad saw. Allah memberikan banyak penghargaan yang tidak diberikan kepada nabi dan rasul-Nya yang lain. Berikut kita lihat beberapa kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw.
Pertama, bahwa Allah swt. memberikan segala sesuatu kepada nabi Muhammad, tanpa harus beliau memintanya kepada Allah. Lihat misalnya surat Alam Nasyrah [94]: 1-4
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ(1)وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ(2)الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ(3)وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ(4)
Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1). Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu (2). yang memberatkan punggungmu? (3). Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (4).”
Ayat ini turun berkaitan dengan kondisi Nabi saw. yang ketika itu dilanda stress berat akibat penolakan sebagain besar manusia terhadap dakwah beliau. Beliau merasa gagal, bahkan kegagalan tersebut dirasakan seolah beliau sedang memikul sebuah gunung batu di atas pundaknya, sehingga membuat tulang punggung belaiu mengeluarkan bunyi seperti suara yang dikeluarkan dahan dan ranting-ranting pohon yang beradu karena tiupan angin. Allah kemudian menghibur beliau dengan mengatakan betapa agung dan mulianya engkau wahai Muhammad! Kami telah melapangkan dadamu dari kesempitan dan kesulitan tanpa harus engkau memintanya. Kami yang telah mengangkat beban berat yang ada dipundakmu tanpa engaku harus memohonnya kepada-Ku. Kami juga yang telah mengangkat dan meninggikan namamu. Sehingga, setiap kali namu Aku disebut, nama engkau juga berada dibelakang-Nya. Setiap kali kalimat syahadat diucapakan mansuai, setaip kali itu pula naama-Ku dan namamu berbarengan.
Dalam surat Al-A’la [87]: 8, Allah juga menggambarkan kelebihan Rasulullah saw. dengan ungkapan;
وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى
Artinya: “Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah”.
Begitulah kelebihan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw. Coba kita bandingkan dengan nabi Musa as. seperti terdapat dalam surat Thaha [20]: 25-28
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي(25)وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي(26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي(27)يَفْقَهُوا قَوْلِي(28)
Artinya: “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (25). dan mudahkanlah untukku urusanku (26). dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (27). supaya mereka mengerti perkataanku (28).”
Kedua, nabi-nabi yang diutus sebelum Rasulullah saw. hanya untuk umat dan masa tertentu. Ajarannya tidak berlaku untuk umat lain di masa yang lain. Nabi Shalih hanya diutus kepada kaum Tsamud dan ajaran yang dibawanya hanyalah berlaku untuk kaum Tsamud saja, tidak umat lain. Nabi Hud hanya diutus oleh Allah kepada bangsa ‘Ad dan ajarannya hanya untuk bangsa itu, tidak bangsa lain dan seterusnya. Seperti disebutkan dalam surat Fathir [35]: 24
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
Akan tetapi, nabi Muhammad saw. diutus untuk semua manusia mulai dari manusia awal beliau menjadi rasul, sampai manusia akhir zaman di manapun mereka berada. Begitu juga, ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw berlaku sampai hari kiamat tanpa ada lagi penghapusan. Seperti disebutkan dalam surat Al-A’raf [7]: 158
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا….
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…
Oleh karena itulah, Allah mengajak mansuia untuk memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada Rasulaullah. Seperti dalam An-Nur [24]: 53
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا…
Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…”
Allah swt. melarang umat Islam memanggil nabi Muhammad saw. seperti panggilan kepada mansuia lain. Sehingga, sangat wajar kalau kita sebelum menyebut nama Muhammad saw. mengawalinya dengan sejumlah pujian yang kita berikan, baik di awal maupun di akhir. Seperti nabiyina, rasulina, habibina, syafi’ina, maulana …Muhammad…dan akhirnya Shallallahu ‘Alihi Wasallama.
Beberapa waktu yang lalu, kita umat Islam sangat terusik dengan beredarnya karikatur nabi Muhammad saw. yang diterbitkan oleh sebuah majalah di Denmark. Karikatur itu menggambarkan nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia berwajah garang dengan sorban bertahtakan dan bermahkotakan bom. Karikatur ini ingin mengatakan kepada dunai, bahwa nabi Muhammad saw. adalah tokoh sentralnya teroris manusia. Bahkan, jika hari ini dia masih hidup, dialah orang yang selalu membawa bom ke manapun dia pergi. Sunggguh suatu pelecehan dan penghinaan yang sangat tidak bisa diterima.
Banyak umat Islam yang kesal, jengkel dan marah. Bahkan ada yang mengambil sikap keras, seperti membaikot segala macam produk Denmark ke Negara mereka seperti yang dilakukan Negara Sudan. Akan tetapi, tidak sedikit pula dari umat Islam yang acuh, “cuek” tidak tersinggung apalagi marah. Mungkin salah satunya adalah umat Islam di Indonesia.
Lalu kenapa kita umat Islam, tidak merasa sakit hati, terlukai atau bahkan marah ketika nabi Muhammad saw. dilecehkan sedemikian rupa? Jawabannya adalah bahwa kita tidak lagi mencintai Rasulullah saw. atau bahkan kita sudah tidak mengenal beliau lagi sebagai sosok manusia agung dan sempurna yang jauh dari cacat dan kekurangan apalagi kehinaan.
Oleh karena itulah, dengan peringatan maulid nabi besar Muhammad saw. kali ini, kita jadikan momentum untuk menggali kembali perjalanan hidup belaiu guna dijadikan teladan, sekaligus menumbuhkan kecintan kepada beliau. Sebab, kecintaan kepada Rasulullah saw. adalah sebagai syarat seseorang mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah swt. Lihatlah surat Ali imran [3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Semoga bisa menjadi renungan kita. Amin
Label:
ceramah dan khutbah
Nabi Musa Mencari Cahaya
Nabi Musa Mencari Cahaya
Dalam surat al-Qashash [28]: 3-40, Allah swt menceritakan kisah nabi Musa. as mulai dari dia dilahirkan, dibesarkan di lingkungan istana Fir’aun, tumbuh dewasa, kemudian terusir dan melarikan diri dari istana Fir’aun, hingga sampai di negeri Madyan. Di negeri Madyan dia bertemu dengan sekelompok orang yang hendak mengambil air minum, namun sumber mata airnya terhalang batu Besar. Musa as. kemudian membantu mereka mengangkat batu tersebut, sehingga masyarakat berbondong-bondong mengambil air.
Ketika itu, nabi Musa melihat dua orang perempuan yang juga ikut berdesakan dengan para lelaki untuk mengambil air munum mereka dan untuk ternak mereka. Musa pun membantu keduanya, hingga tanpa susah payah mereka berhasil mendapatkan air. Kedua perempuan yang ditolong Musa adalah anak dari tokoh masyarakat Madyan, yaitu nabi Syu’aib. Melalui keduanya nabi Musa bertemu dengan nabi Syu’aib as. yang akhirnya nabi Syu’aib menjadikan Musa murid, pegawai, sekaligus menjadikannya menantu.
Nabi Syu’aib memberikan waktu kepada nabi Musa selama delapan tahun untuk belajar kepadanya. Akan tetapi, Musa as. menggenapkannya menjadi sepuluh tahun. Setelah belajar kepada nabi Syu’aib selama sepuluh tahun, maka Musa kembali ke kampung halamannya untuk menyelamatkan kaumnya dan menghadapi kezaliman Fir’aun terhadap bangsa dan kaumnya.
Nabi Musa as. pun pulang ke Mesir dengan membawa serta seluruh keluarganya. Dalam perjalanan menuju Mesir, di Bukit Thur Sina Musa melihat cahaya (api) dari kejauhan. Ketika itulah dia berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kalian di sini sementara waktu, saya akan pergi menuju cahaya itu. Mudah-mudahan Allah menambahkan petunjuknya kepada saya”.
Begitu nabi Musa sampai di tempat cahaya itu, Allah berkata kepadanya, “Hai Musa, Aku adalah Tuhan-mu, maka sebelum engkau menerima petunjuk-Ku, bukalah kedua sandalmu terlebih dahulu!”.
Setelah nabi Musa as. melepaskan kedua sandalnya, Allah swt. kembali berkata, “Hai Musa, Aku telah memilihmu untuk menerima petunjuk-Ku, maka dengarkanlah apa yang akan disampaikan kepadamu dengan baik dan sempurna. Janganlah satu katapun luput dari perhatianmu.” Allah swt. kembali melanjutkan, “Supaya petunjuk ini sempurna engkau dapatkan dan berada dihatimu dengan kokoh, maka beribadahlah engkau kepadaku, dan shalatlah sebagai bukti kamu mengingat-Ku”.
Di saat Musa as. asyik dan larut dalam petunjuk Allah, dia disadarkan dengan teguran Allah, “Hai Musa, apa yang ada di tanganmu itu? Musa menjawab, “ini adalah tongkatku, dengannya saya bertelekan dan dengannya saya memukul dahan dan ranting, agar saya bisa memberi makan ternak saya dari dedaunnya”. Allah kemudian memerintahkan Musa, “Kalau begitu, kembalilah kepada keluargamu, kaummu dan berikanlah manfaat kepada manusia. Serta pergilah engkau menemui Fir’aun dan robahlah segala kemungkaran dan keangkuhannya. Sebab, dia benar-benar manusia yang melampaui batas”. Musa pun kembali kepada kelurga dan kaumnya.
Kisah perjalanan Musa as. mencari cahaya tersebut di sebutkan dalam surat Thaha [20]: 9-24
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى(9)إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي ءَانَسْتُ نَارًا لَعَلِّي ءَاتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى(10)فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَامُوسَى(11)إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى(12)وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى(13)إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي(14)إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى(15) فَلَا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى(16)وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى(17)قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى(18)قَالَ أَلْقِهَا يَامُوسَى(19)فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى(20)قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى(21)وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ ءَايَةً أُخْرَى(22)لِنُرِيَكَ مِنْ ءَايَاتِنَا الْكُبْرَى(23)اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(24)
Artinya: “Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (9). Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (10). Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa (11). Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa (12). Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu) (13). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (14). Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan (15). Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa" (16). Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? (17). Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya" (18). Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" (19). Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat (20). Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula (21). dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mu`jizat yang lain (pula) (22). untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar (23). Pergilah kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas" (24).”
Dari kisah perjalanan Musa as. mencari cahaya dan petunjuk Allah, dapat kita tarik banyak pelajaran; di antaranya
Pertama, hendaklah menusia selalu mencari dan mencari cahaya berupa ilmu dan petunjuk yang akan menerangi hidupnya dan juga orang lain. Coba kita lihat nabi Musa as! waktu sepuluh tahun belajar kepada nabi Syu’aib, adalah waktu yang cukup lama dalam belajar. Dan tentu sudah sangat banyak ilmu yang sudah didapatkan Musa dari mertuanya itu. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang Musa kembali melihat cahaya yang dia yakini adalah ilmu dan petunjuk dari Allah, maka naluri Musa sebagai orang yang sangat cinta ilmu kembali mucul. Dia kembali meningglkan keluarganya, dan pergi menuju cahaya yang akan memberikannya tambahan ilmu dan petunjuk.
Begitulah hal yang mesti dicontoh dari nabi Musa as. di mana bahwa manusia hendaklah selalu berupaya mencari ilmu dan petunjuk.
Kedua, di saat manusia mencari cahaya berupa ilmu, maka hendaklah dia meninggalkan segala yang terkait dengan keluarga. Itulah yang tergambar dari ucapan nabi nabi Musa kepada keluarganya, "Tinggallah kamu (di sini)! (ayat 10).
Seseorang yang sedang mencari cahaya ilmu haruslah menjauhkan diri dari segala yang terklait dengan urusan keluarga. Sebab, hal itu akan sangat berpengaruh kepada tingkat konsentrasi dalam menerima cahaya ilmu dan petunjuk. Jika dalam proses belajar, seseorang masih berfikir masalah keluarga, tentulah ilmu dan cahaya yang diperolehnya tidak akan sempurna.
Tiga, ketika nabi Musa akan menerima uraian ilmu dan petunjuk dari Allah, dia diperintahkan untuk membuka sandalnya (lihat ayat 12). Kenapa nabi Musa diperintahkan membuka sandalnya?
Sandal biasanya selalu dipersepsikan dengan sesuatu yang kotor. Sebab, ia adalah alas kaki yang sering terkena najis dan kotoran. Dengan perintah membuka sandal, Allah swt. memerintahkan siapa saja yang sedang berada dalam proses belajar, mencari cahaya ilmu dan petunjuk agar senantiasa membersihkan dirinya dari segala kotoran. Hendaklah seseorang menjaga kebersihan dirinya terutama fisiknya. Sebab, kebersihan fisik termasuk pakaian akan sangat mempengaruhi kensentrasi dalam mendapatkan ilmu dan petunjuk. Jika tubuh dan pakaian seorang yang sedang belajar penuh kotoran dan aroma yang tidak sedap, tentulah akan sangat mempengaruhi kemampuan dalam menyerap ilmu dan petunjuk yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya, sandal seringkali menjadi tolok ukur prestise seseorang. Biasanya kelas seseorang di tengah masyarakat akan mudah ditentukan hanya dengan melihat apa yang dipakainya, diantaranya adalah sandal atau sepatu. Dengan memerintahkan Musa untuk membuka sandalnya, Allah ingin mengatakan kepada siapapun yang mencari ilmu dan cahaya dalam hidupnya agar menanggalkan seluruh kebesaran dan symbol-simbol keagungan yang melekat pada dirinya. Jika dalam menempuh proses belajar, seseorang masih memandang dirinya anak pejabat, anak orang kaya dan setrusnya tentulah dia tidak akan sungguh-sungguh memperhatikan setiap penjelasan sang pemberi ilmu. Sebab, ketika itu dia melihat bahwa guru yang mengajarnya memiliki kedudukan yang rendah atau mungkin hanya setara dengannya. Akibatnya dia tidak akan serius mendengarkan penjelasan sang guru. Akhirnya, cahaya ilmu dan petunjuk yang diberikan kepadanya, tidak akan bisa diterimanya dengan sempurna. Karena, penghormatan yang sempurna kepada guru adalah syarat mutlak ilmu bisa diperoleh dengan baik dan bercokol di dalam dada dengan sempurna.
Empat, ketika nabi Musa sudah siap menerima uraian petunjuk dari Allah, Musa diingatkan dengan sebuah perintah “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah (dengan cermat dan sungguh-sungguh) apa yang akan diwahyukan (kepadamu)”. Nabi Musa diperintahkan untuk mendengarkan dengan baik (istami’). Perintah dengan baik dipahami dari bentuk kata istami’ yang merupakan kata kerja yang ditambah dua huruf dari bentuk asli (alif dan ta) yang dalam kaidah bahasa Arab menunjukan kesungguhan.
Begitulah, bahwa yang sedang belajar dan menuntut ilmu haruslah memperhatikan dengan seksama dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap uraian dan penjelasan sang guru. Sebab, perolehan ilmu baru bisa sempurna jika adanya kesungguhan dalam mendengar dan memperhatikan.
Lima, di samping membuka sandal, mendengarkan dengan baik terhadap apa yang akan disampaikan, Allah juga memerintahkan Musa as. untuk beribadah dan shalat serta berzikir kepada-Nya. Seperti terlihat dari ayat 14.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan siapapun yang sedang belajar mencari ilmu dan cahaya, agar mengiringinya dengan amal dan ibadah. Sebab, ilmu tidak akan bisa didapatkan dengan sempurna tanpa diiringi ibadah dan amal shalih. Kalaupun seseorang bisa mendapatkan ilmu tanpa beribadah dan beramal, maka ilmu itu tidak akan kekal dalam dirinya atau bahkan tidak akan pernah mendatangkan keberkahan untuk dirinya.
Enam, ketika nabi Musa khusuk dan larut dalam penerimaan petunjuk, Allah swt. menegurnya dan menyadarkan kembali akan tujuan hidup Musa. Allah bertanya kepadanya, “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? (17). Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya".(18).
Dengan teguran itu, Allah ingin mengatakan kepada Musa dan siapapun yang sedang mencari ilmu dan cahaya petunjuk, bahwa mencari ilmu dan belajar bukanlah tujuan hidup manusia. mencari ilmu hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia. Tujuan sesungguhnya dari kahidupan manusia adalah pengabdian kepada Allah dan sesama makhluk. Oleh karena itulah, Adam dididik dengan seperangkat ilmu oleh Allah, ketika di sorga untuk bisa sukses menjalankan tujuan penciptaannya sebagai khalifah pemakmur bumi.
Oleh Karena itu, seseorang yang sedang belajar harus sadar bahwa tujuan hidup adalah memberi manfaat kepada sesama makhluk. Akan tetapi, pengabdian kepada sesama, besar kecilnya akan sangat tergantung dengan banyak sedikitnya ilmu yang dimilki seseorang. Seseorang yang memiliki ilmu banyak tentu akan dapat memberikan manfaat kepada sesama lebih banyak dibandingkan orang yang sedikit memiliki ilmu. Ibarat cahaya, banyak sedikitnya yang bisa diteranginya, tergantung besar kecilnya cahaya yang dimiliki benda tersebut. Jika cahaya lampu seseorang besar, tentu banyak orang yang bisa diteranginya. Akan tetapi, jika yang dimilikinya hanyalah cahaya sebatang lilin, tentulah hanya bisa menerangi sedikit orang atau bahkan tidak cukup untuk dirinysa sendiri.
Oleh karena itu, nabi Musa selalu dan terus mencari cahaya dalam hidupnya, sebab dia sadar betul bahwa semakin besar cahaya yang dimilikinya semakin banyak yang bisa diberinya cahaya.
Tujuh, setelah perintah untuk membaktikan diri, Allah kemudian menyuruh Musa untuk pergi kepada Fir’aun menghadapi dan merobah segala kelalimannya. Seperti terlihat dalam ayat 24.
]Ayat ini memberikan isyarat kepada setiap yang memiliki cahaya, agar hidupnya bukan hanya memberikan bakti dan pengabdian kepada sesama, akan tetapi mesti juga melakukan perubahan dan perbaikan terhadap setiap penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Akan tetapi, hendaklah seseorang melaksanakan perbaikan dengan cara bijaksana. Mulailah terlebih dahulu dari sesuatu yang “mungkin”. Oleh Karena itulah, Allah tidak menempatkan perintah menghadapi Fir’aun dalam perintah pertama, namun perintah terakhir. Hal ini memberikan tuntuan gara perubahan dilakukan secara bertahap dan setelah kita sudah diterima dengan baik di tengah masayarat tersebut.
Coba kita perhatikan! Bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw bukannya perintah untuk menghancurkan berhala yang ada di sekilling ka’bah. Akan tetapi, perintah pertama yang mesti dilakukan nabi adalah perintah untuk membaca dan menulis, yang bertujuan mencerdaskan dan merobah paradigma dan pemikiran manusia. Ketika manusia sudah memiliki cara pandang dan paradigma serta peradaban yang tinggi, patung-patung yang mereka sembah akan mereka hancurkan dengan tangan mereka sendiri.
Begitulah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Musa as. mencari cahaya dan petunjuk. Semoga bermanfaat. Amin
Dalam surat al-Qashash [28]: 3-40, Allah swt menceritakan kisah nabi Musa. as mulai dari dia dilahirkan, dibesarkan di lingkungan istana Fir’aun, tumbuh dewasa, kemudian terusir dan melarikan diri dari istana Fir’aun, hingga sampai di negeri Madyan. Di negeri Madyan dia bertemu dengan sekelompok orang yang hendak mengambil air minum, namun sumber mata airnya terhalang batu Besar. Musa as. kemudian membantu mereka mengangkat batu tersebut, sehingga masyarakat berbondong-bondong mengambil air.
Ketika itu, nabi Musa melihat dua orang perempuan yang juga ikut berdesakan dengan para lelaki untuk mengambil air munum mereka dan untuk ternak mereka. Musa pun membantu keduanya, hingga tanpa susah payah mereka berhasil mendapatkan air. Kedua perempuan yang ditolong Musa adalah anak dari tokoh masyarakat Madyan, yaitu nabi Syu’aib. Melalui keduanya nabi Musa bertemu dengan nabi Syu’aib as. yang akhirnya nabi Syu’aib menjadikan Musa murid, pegawai, sekaligus menjadikannya menantu.
Nabi Syu’aib memberikan waktu kepada nabi Musa selama delapan tahun untuk belajar kepadanya. Akan tetapi, Musa as. menggenapkannya menjadi sepuluh tahun. Setelah belajar kepada nabi Syu’aib selama sepuluh tahun, maka Musa kembali ke kampung halamannya untuk menyelamatkan kaumnya dan menghadapi kezaliman Fir’aun terhadap bangsa dan kaumnya.
Nabi Musa as. pun pulang ke Mesir dengan membawa serta seluruh keluarganya. Dalam perjalanan menuju Mesir, di Bukit Thur Sina Musa melihat cahaya (api) dari kejauhan. Ketika itulah dia berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kalian di sini sementara waktu, saya akan pergi menuju cahaya itu. Mudah-mudahan Allah menambahkan petunjuknya kepada saya”.
Begitu nabi Musa sampai di tempat cahaya itu, Allah berkata kepadanya, “Hai Musa, Aku adalah Tuhan-mu, maka sebelum engkau menerima petunjuk-Ku, bukalah kedua sandalmu terlebih dahulu!”.
Setelah nabi Musa as. melepaskan kedua sandalnya, Allah swt. kembali berkata, “Hai Musa, Aku telah memilihmu untuk menerima petunjuk-Ku, maka dengarkanlah apa yang akan disampaikan kepadamu dengan baik dan sempurna. Janganlah satu katapun luput dari perhatianmu.” Allah swt. kembali melanjutkan, “Supaya petunjuk ini sempurna engkau dapatkan dan berada dihatimu dengan kokoh, maka beribadahlah engkau kepadaku, dan shalatlah sebagai bukti kamu mengingat-Ku”.
Di saat Musa as. asyik dan larut dalam petunjuk Allah, dia disadarkan dengan teguran Allah, “Hai Musa, apa yang ada di tanganmu itu? Musa menjawab, “ini adalah tongkatku, dengannya saya bertelekan dan dengannya saya memukul dahan dan ranting, agar saya bisa memberi makan ternak saya dari dedaunnya”. Allah kemudian memerintahkan Musa, “Kalau begitu, kembalilah kepada keluargamu, kaummu dan berikanlah manfaat kepada manusia. Serta pergilah engkau menemui Fir’aun dan robahlah segala kemungkaran dan keangkuhannya. Sebab, dia benar-benar manusia yang melampaui batas”. Musa pun kembali kepada kelurga dan kaumnya.
Kisah perjalanan Musa as. mencari cahaya tersebut di sebutkan dalam surat Thaha [20]: 9-24
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى(9)إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي ءَانَسْتُ نَارًا لَعَلِّي ءَاتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى(10)فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَامُوسَى(11)إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى(12)وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى(13)إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي(14)إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى(15) فَلَا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى(16)وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى(17)قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى(18)قَالَ أَلْقِهَا يَامُوسَى(19)فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى(20)قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى(21)وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ ءَايَةً أُخْرَى(22)لِنُرِيَكَ مِنْ ءَايَاتِنَا الْكُبْرَى(23)اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(24)
Artinya: “Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (9). Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (10). Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa (11). Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa (12). Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu) (13). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (14). Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan (15). Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa" (16). Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? (17). Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya" (18). Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" (19). Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat (20). Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula (21). dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mu`jizat yang lain (pula) (22). untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar (23). Pergilah kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas" (24).”
Dari kisah perjalanan Musa as. mencari cahaya dan petunjuk Allah, dapat kita tarik banyak pelajaran; di antaranya
Pertama, hendaklah menusia selalu mencari dan mencari cahaya berupa ilmu dan petunjuk yang akan menerangi hidupnya dan juga orang lain. Coba kita lihat nabi Musa as! waktu sepuluh tahun belajar kepada nabi Syu’aib, adalah waktu yang cukup lama dalam belajar. Dan tentu sudah sangat banyak ilmu yang sudah didapatkan Musa dari mertuanya itu. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang Musa kembali melihat cahaya yang dia yakini adalah ilmu dan petunjuk dari Allah, maka naluri Musa sebagai orang yang sangat cinta ilmu kembali mucul. Dia kembali meningglkan keluarganya, dan pergi menuju cahaya yang akan memberikannya tambahan ilmu dan petunjuk.
Begitulah hal yang mesti dicontoh dari nabi Musa as. di mana bahwa manusia hendaklah selalu berupaya mencari ilmu dan petunjuk.
Kedua, di saat manusia mencari cahaya berupa ilmu, maka hendaklah dia meninggalkan segala yang terkait dengan keluarga. Itulah yang tergambar dari ucapan nabi nabi Musa kepada keluarganya, "Tinggallah kamu (di sini)! (ayat 10).
Seseorang yang sedang mencari cahaya ilmu haruslah menjauhkan diri dari segala yang terklait dengan urusan keluarga. Sebab, hal itu akan sangat berpengaruh kepada tingkat konsentrasi dalam menerima cahaya ilmu dan petunjuk. Jika dalam proses belajar, seseorang masih berfikir masalah keluarga, tentulah ilmu dan cahaya yang diperolehnya tidak akan sempurna.
Tiga, ketika nabi Musa akan menerima uraian ilmu dan petunjuk dari Allah, dia diperintahkan untuk membuka sandalnya (lihat ayat 12). Kenapa nabi Musa diperintahkan membuka sandalnya?
Sandal biasanya selalu dipersepsikan dengan sesuatu yang kotor. Sebab, ia adalah alas kaki yang sering terkena najis dan kotoran. Dengan perintah membuka sandal, Allah swt. memerintahkan siapa saja yang sedang berada dalam proses belajar, mencari cahaya ilmu dan petunjuk agar senantiasa membersihkan dirinya dari segala kotoran. Hendaklah seseorang menjaga kebersihan dirinya terutama fisiknya. Sebab, kebersihan fisik termasuk pakaian akan sangat mempengaruhi kensentrasi dalam mendapatkan ilmu dan petunjuk. Jika tubuh dan pakaian seorang yang sedang belajar penuh kotoran dan aroma yang tidak sedap, tentulah akan sangat mempengaruhi kemampuan dalam menyerap ilmu dan petunjuk yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya, sandal seringkali menjadi tolok ukur prestise seseorang. Biasanya kelas seseorang di tengah masyarakat akan mudah ditentukan hanya dengan melihat apa yang dipakainya, diantaranya adalah sandal atau sepatu. Dengan memerintahkan Musa untuk membuka sandalnya, Allah ingin mengatakan kepada siapapun yang mencari ilmu dan cahaya dalam hidupnya agar menanggalkan seluruh kebesaran dan symbol-simbol keagungan yang melekat pada dirinya. Jika dalam menempuh proses belajar, seseorang masih memandang dirinya anak pejabat, anak orang kaya dan setrusnya tentulah dia tidak akan sungguh-sungguh memperhatikan setiap penjelasan sang pemberi ilmu. Sebab, ketika itu dia melihat bahwa guru yang mengajarnya memiliki kedudukan yang rendah atau mungkin hanya setara dengannya. Akibatnya dia tidak akan serius mendengarkan penjelasan sang guru. Akhirnya, cahaya ilmu dan petunjuk yang diberikan kepadanya, tidak akan bisa diterimanya dengan sempurna. Karena, penghormatan yang sempurna kepada guru adalah syarat mutlak ilmu bisa diperoleh dengan baik dan bercokol di dalam dada dengan sempurna.
Empat, ketika nabi Musa sudah siap menerima uraian petunjuk dari Allah, Musa diingatkan dengan sebuah perintah “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah (dengan cermat dan sungguh-sungguh) apa yang akan diwahyukan (kepadamu)”. Nabi Musa diperintahkan untuk mendengarkan dengan baik (istami’). Perintah dengan baik dipahami dari bentuk kata istami’ yang merupakan kata kerja yang ditambah dua huruf dari bentuk asli (alif dan ta) yang dalam kaidah bahasa Arab menunjukan kesungguhan.
Begitulah, bahwa yang sedang belajar dan menuntut ilmu haruslah memperhatikan dengan seksama dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap uraian dan penjelasan sang guru. Sebab, perolehan ilmu baru bisa sempurna jika adanya kesungguhan dalam mendengar dan memperhatikan.
Lima, di samping membuka sandal, mendengarkan dengan baik terhadap apa yang akan disampaikan, Allah juga memerintahkan Musa as. untuk beribadah dan shalat serta berzikir kepada-Nya. Seperti terlihat dari ayat 14.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan siapapun yang sedang belajar mencari ilmu dan cahaya, agar mengiringinya dengan amal dan ibadah. Sebab, ilmu tidak akan bisa didapatkan dengan sempurna tanpa diiringi ibadah dan amal shalih. Kalaupun seseorang bisa mendapatkan ilmu tanpa beribadah dan beramal, maka ilmu itu tidak akan kekal dalam dirinya atau bahkan tidak akan pernah mendatangkan keberkahan untuk dirinya.
Enam, ketika nabi Musa khusuk dan larut dalam penerimaan petunjuk, Allah swt. menegurnya dan menyadarkan kembali akan tujuan hidup Musa. Allah bertanya kepadanya, “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? (17). Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya".(18).
Dengan teguran itu, Allah ingin mengatakan kepada Musa dan siapapun yang sedang mencari ilmu dan cahaya petunjuk, bahwa mencari ilmu dan belajar bukanlah tujuan hidup manusia. mencari ilmu hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia. Tujuan sesungguhnya dari kahidupan manusia adalah pengabdian kepada Allah dan sesama makhluk. Oleh karena itulah, Adam dididik dengan seperangkat ilmu oleh Allah, ketika di sorga untuk bisa sukses menjalankan tujuan penciptaannya sebagai khalifah pemakmur bumi.
Oleh Karena itu, seseorang yang sedang belajar harus sadar bahwa tujuan hidup adalah memberi manfaat kepada sesama makhluk. Akan tetapi, pengabdian kepada sesama, besar kecilnya akan sangat tergantung dengan banyak sedikitnya ilmu yang dimilki seseorang. Seseorang yang memiliki ilmu banyak tentu akan dapat memberikan manfaat kepada sesama lebih banyak dibandingkan orang yang sedikit memiliki ilmu. Ibarat cahaya, banyak sedikitnya yang bisa diteranginya, tergantung besar kecilnya cahaya yang dimiliki benda tersebut. Jika cahaya lampu seseorang besar, tentu banyak orang yang bisa diteranginya. Akan tetapi, jika yang dimilikinya hanyalah cahaya sebatang lilin, tentulah hanya bisa menerangi sedikit orang atau bahkan tidak cukup untuk dirinysa sendiri.
Oleh karena itu, nabi Musa selalu dan terus mencari cahaya dalam hidupnya, sebab dia sadar betul bahwa semakin besar cahaya yang dimilikinya semakin banyak yang bisa diberinya cahaya.
Tujuh, setelah perintah untuk membaktikan diri, Allah kemudian menyuruh Musa untuk pergi kepada Fir’aun menghadapi dan merobah segala kelalimannya. Seperti terlihat dalam ayat 24.
]Ayat ini memberikan isyarat kepada setiap yang memiliki cahaya, agar hidupnya bukan hanya memberikan bakti dan pengabdian kepada sesama, akan tetapi mesti juga melakukan perubahan dan perbaikan terhadap setiap penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Akan tetapi, hendaklah seseorang melaksanakan perbaikan dengan cara bijaksana. Mulailah terlebih dahulu dari sesuatu yang “mungkin”. Oleh Karena itulah, Allah tidak menempatkan perintah menghadapi Fir’aun dalam perintah pertama, namun perintah terakhir. Hal ini memberikan tuntuan gara perubahan dilakukan secara bertahap dan setelah kita sudah diterima dengan baik di tengah masayarat tersebut.
Coba kita perhatikan! Bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw bukannya perintah untuk menghancurkan berhala yang ada di sekilling ka’bah. Akan tetapi, perintah pertama yang mesti dilakukan nabi adalah perintah untuk membaca dan menulis, yang bertujuan mencerdaskan dan merobah paradigma dan pemikiran manusia. Ketika manusia sudah memiliki cara pandang dan paradigma serta peradaban yang tinggi, patung-patung yang mereka sembah akan mereka hancurkan dengan tangan mereka sendiri.
Begitulah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Musa as. mencari cahaya dan petunjuk. Semoga bermanfaat. Amin
Bayang-Bayang
Bayang-Bayang
Salah satu hal yang mendapatkan pembicaraan cukup banyak di dalam al-Qur’an adalah bayang-bayang atau naungan (Zhillun/Zhilâlun). Tidak kurang dari dua puluh ayat yang membicarakan tentang bayang-bayang. Namun demikian, dari semua ayat yang membicarakan tentang bayang-bayang, tema pembicaraannya bisa dibagi ke dalam empat hal;
Pertama, bayang-bayang atau naungan, Allah sebutkan sebagai salah satu bentuk nikmat akhirat yang diberikan kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Allah menyebutkan bahwa di saat sebagian manusia menghadapi panas azab yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, Dia menyediakan bayang-bayang yang menanungi kelompok yang patuh dan taat kepada Allah. seperti disebutkan dalam surat Yasin [36]: 56
هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ
Artinya: “Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.”
Begitu juga dalam surat al-Mursalat [77]: 41
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي ظِلَالٍ وَعُيُونٍ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air.”
Begitu juga dalam surat al-Insan [76]: 14
وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوفُهَا تَذْلِيلًا
Artinya: “Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.”
Kedua, bayang-banyang Allah sebutkan sebagai salah satu bentuk karunia Allah terhadap Bani Isarel. Ketika, mereka melarikan diri dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, Bani Israel menghadapi perjalanan yang sangat sulit, jauh, serta di bawah panas terik matahari yang membakar. Ketika itulah, Allah memberikan naungan kepada mereka dengan mengutus awan yang menyertai perjalanan mereka. Seperti disebutkan dalam surata al-Baqarah [2]: 57
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
Begitu juga dalam surat al-A’raf [7]: 160
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى إِذِ اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya: “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah daripadanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman); "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”
Ketiga, pembicaraan tentang bayang-bayang disebutkan Allah sebagai salah satu bentuk nikmat terbesar bagi kehidupan manusia dan alam ini. Dengan adanya benda-benda yang tidak bisa ditembus matahari sehingga menghasilkan bayang-bayang, kehidupan di alam menjadi teratur dan seimbang. Dengan adanya benda yang tidak tembus pandang itulah manusia membangun rumah dan tempat tinggal, sehingga mereka bisa beristirahat dengan nyaman dan tentram. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya kehidupan ini, jika semua benda transparan dan tembus cahaya. Di manakah manusia akan berlindung dan mencari ketenagan hidup? Itulah yang Allah sebutkan dalam surat an-Nahl [16]: 81
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”
Keempat, Bayang-banyang Allah sebutkan sebagai salah satu objek yang mesti dijadikan bahan pemikiran dan perenungan bagi manusia untuk menemukan kebesaran Allah. Dengan memperhatikan bayang-bayang manusia akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dan akan mengantarkan manusia kepada pengenalan akan Sang Pencipta dan mendekatkan diri kepada-Nya. Seperti disebutkan dalam surat al-Furqan [25]: 45-46
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا(45)ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا يَسِيرًا(46)
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu (45). kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan (46).”
Begitu juga dalam surat an-Nahl [16]: 48
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلَالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?”.
Kedua ayat di atas pada prinsipnya mengajak manusia untuk memperhatikan bayang-bayang dan segala yang terkait dengannya demi menemukan kebesaran Allah. Di antara hikmah dari keberadaan bayang-bayang adalah:
1. Bayang-bayang dengan segala bentuk perubahannya terjadi akibat adanya perputaran bumi pada porosnya (rotasi) dan perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Jika bumi berhenti berputar pada porosnya, maka bayang-bayang tidak akan berubah atau bahkan tidak akan muncul di beberapa belahan bumi. Begitu juga, jika bumi tidak berputar mengelilingi matahari, maka bayang-bayang juga tidak akan mengalami perubahan. Keteraturan perubahan bentuk bayang-bayang mengantarkan mansuia pada kesimpulan akan adanya keteraturan dan keseimbangan di jagad raya ini.
Bagaimana jadinya kehidupan ini, jika bumi berputar tidak menurut aturannya atau juga benda langit lain. Jika bumi berhenti berputar pada porosnya, tentulah kehidupan akan berakhir, karena sebagian bumi siang secara terus menerus dan sebagian yang lain berada dalam malam yang berkepanjangan. Tentulah kehidupan akan berakhir.
Begitu juga, bagaimana jadinya jika bumi berhenti mengelilingi matahari pada satu titik. Tentulah kondisi suhu di bumi akan selalu tetap. Bumi akan berada dalam panas yang berkepanjangan atau dingin yang abadi. Tentulah kehidupan juga akan binasa. Bayang-bayang pada akhirnya mengantarkan manusia untuk mengetahui tentang adanya keteraturan alam raya. Jika ada kerteraturan yang begitu indah, lalu siapakah yang mengatur itu semua? Hanya Allah Yang Maha Perkasa yang mampu melakukannya. Bayang-bayang pada akhirnya mengantarkan manusia mengenal Allah, Tuhan Pengatur Alam dan isinya.
2. Bayang-bayang ada karena ada sebagian benda yang tidak bisa ditembus cahaya. Coba kita fikirkan, bagaimana sekiranya Allah menciptakan semua benda tembus pandang atau bening seperti air. Tentulah kehidupan akan berakhir dan bumi bukanlah tempat yang nyaman bagi kehidupan. Atau sebaliknya, bagaimana jika semua benda yang ada di bumi ini tidak tembus pandang, maka kehidupan juga akan binasa.
Bayang-bayang juga pada akhirnya mengantarkan manusia kepada kemahabesaran Allah dan kebijaksanan-Nya dalam menciptakan alam dan kehidupan padanya.
3. Bayang-bayang adalah sesuatu yang selalu mengalami perubahan, dari tiada kemudian muncul dan secara perlahan-lahan memanjang sampai batas tertentu kemudian Allah mencabut dan menariknya kembali, sehingga bayang-bayangpun hilang dan lenyap.
Dengan memperhatikan wujud bayang-bayang manusia akan mendapatkan pelajaran tentang alam dan kehidupan ini. Sesuatu yang yang sebelumnya tiada dan kemudian ada, maka ia suatu saat akan kembali kepada ketiadaan. Sesuatu yang sebelumnya tiada, kemudian muncul dan secara perlahan-lahan tumbuh dan kembang pada akhirnya akan bermuara pada ketiadaan. Begitulah kehidupan ini, di mana manusia juga seperti bayang-bayang. Berawaldari ketiadaan dan berakhir dengan ketiadaan juga. Manusia sebelumnya tidak ada, lalu ada dan mengalami proses tahap demi tahap di dunia ini, dan akhir dari tahap kehidupan itu adalah kematian.
4. Matahari adalah penyebab bayang-bayang muncul, ia juga yang merubah bentuk dan arah bayang-bayang, ia juga yang menghilangkan bayang-bayang tersebut. Begitulah, bahwa dengan melihat bayang-bayang manusia akan menyadari bahwa sesuatu itu ada kerena ada yang mengadakannya. Alam ini ada tentu juga ada yang menciptakannya. Dan yang mampu menciptakannya tentulah Allah Yang Maha Kuasa. Tidak mungkin sesutau itu ada tanpa sebab dan adanya sesuatu yang menjadikannya.
Adanya otoritas matahari dalam menjadikan bayang-bayang, menentukan bentuk dan arahnya, panjang dan pendeknya juga memberikan pelajaran khususnya kepada Nabi saw. dan seluruh yang menjalankan dakwah mengajak manusia ke jalan Tuhan, bahwa yang berhak memberikan petunjuk dan menentukan banyak sedikitnyanya petunjuk yang diperoleh adalah Allah semata. Rasul saw. dan siapapun yang bertugas sebagai penyeru manusia, hanya berhak menyampaikan pesan Allah di muka bumi ini. Apakah manusia akan menerima dan mendapat petunjuk, adalah otoritas Allah semata.
5. Seperti halnya bentuk dan ukuran bayang-bayang, mulai dari bentuk dan ukuran yang pendek, kemudian secara perlahan berangsur memanjang. Hal itu juga memberikan pelajaran kepada manusia, bahwa hendaklah segala sesuatu dijalankan secara bertahap. Karena, proses pentahapan adalah sesuai dengan sunnatullah. Bukankah manusia waktu lahir tidak mengenal apa-apa, lalu mulai belajar berjalan, berbicara dan seterusnya hingga manusia mengalami masa sempurna.
Itulah di antara pelajaran yang bisa dipetik dari adanya bayang-bayang diciptakan Allah. semoga bisa menjadi renungan. Amin
Salah satu hal yang mendapatkan pembicaraan cukup banyak di dalam al-Qur’an adalah bayang-bayang atau naungan (Zhillun/Zhilâlun). Tidak kurang dari dua puluh ayat yang membicarakan tentang bayang-bayang. Namun demikian, dari semua ayat yang membicarakan tentang bayang-bayang, tema pembicaraannya bisa dibagi ke dalam empat hal;
Pertama, bayang-bayang atau naungan, Allah sebutkan sebagai salah satu bentuk nikmat akhirat yang diberikan kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Allah menyebutkan bahwa di saat sebagian manusia menghadapi panas azab yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, Dia menyediakan bayang-bayang yang menanungi kelompok yang patuh dan taat kepada Allah. seperti disebutkan dalam surat Yasin [36]: 56
هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ
Artinya: “Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.”
Begitu juga dalam surat al-Mursalat [77]: 41
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي ظِلَالٍ وَعُيُونٍ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air.”
Begitu juga dalam surat al-Insan [76]: 14
وَدَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَذُلِّلَتْ قُطُوفُهَا تَذْلِيلًا
Artinya: “Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.”
Kedua, bayang-banyang Allah sebutkan sebagai salah satu bentuk karunia Allah terhadap Bani Isarel. Ketika, mereka melarikan diri dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, Bani Israel menghadapi perjalanan yang sangat sulit, jauh, serta di bawah panas terik matahari yang membakar. Ketika itulah, Allah memberikan naungan kepada mereka dengan mengutus awan yang menyertai perjalanan mereka. Seperti disebutkan dalam surata al-Baqarah [2]: 57
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
Begitu juga dalam surat al-A’raf [7]: 160
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى إِذِ اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya: “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah daripadanya duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman); "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”
Ketiga, pembicaraan tentang bayang-bayang disebutkan Allah sebagai salah satu bentuk nikmat terbesar bagi kehidupan manusia dan alam ini. Dengan adanya benda-benda yang tidak bisa ditembus matahari sehingga menghasilkan bayang-bayang, kehidupan di alam menjadi teratur dan seimbang. Dengan adanya benda yang tidak tembus pandang itulah manusia membangun rumah dan tempat tinggal, sehingga mereka bisa beristirahat dengan nyaman dan tentram. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya kehidupan ini, jika semua benda transparan dan tembus cahaya. Di manakah manusia akan berlindung dan mencari ketenagan hidup? Itulah yang Allah sebutkan dalam surat an-Nahl [16]: 81
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ
Artinya: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”
Keempat, Bayang-banyang Allah sebutkan sebagai salah satu objek yang mesti dijadikan bahan pemikiran dan perenungan bagi manusia untuk menemukan kebesaran Allah. Dengan memperhatikan bayang-bayang manusia akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dan akan mengantarkan manusia kepada pengenalan akan Sang Pencipta dan mendekatkan diri kepada-Nya. Seperti disebutkan dalam surat al-Furqan [25]: 45-46
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا(45)ثُمَّ قَبَضْنَاهُ إِلَيْنَا قَبْضًا يَسِيرًا(46)
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu (45). kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan (46).”
Begitu juga dalam surat an-Nahl [16]: 48
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلَالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?”.
Kedua ayat di atas pada prinsipnya mengajak manusia untuk memperhatikan bayang-bayang dan segala yang terkait dengannya demi menemukan kebesaran Allah. Di antara hikmah dari keberadaan bayang-bayang adalah:
1. Bayang-bayang dengan segala bentuk perubahannya terjadi akibat adanya perputaran bumi pada porosnya (rotasi) dan perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Jika bumi berhenti berputar pada porosnya, maka bayang-bayang tidak akan berubah atau bahkan tidak akan muncul di beberapa belahan bumi. Begitu juga, jika bumi tidak berputar mengelilingi matahari, maka bayang-bayang juga tidak akan mengalami perubahan. Keteraturan perubahan bentuk bayang-bayang mengantarkan mansuia pada kesimpulan akan adanya keteraturan dan keseimbangan di jagad raya ini.
Bagaimana jadinya kehidupan ini, jika bumi berputar tidak menurut aturannya atau juga benda langit lain. Jika bumi berhenti berputar pada porosnya, tentulah kehidupan akan berakhir, karena sebagian bumi siang secara terus menerus dan sebagian yang lain berada dalam malam yang berkepanjangan. Tentulah kehidupan akan berakhir.
Begitu juga, bagaimana jadinya jika bumi berhenti mengelilingi matahari pada satu titik. Tentulah kondisi suhu di bumi akan selalu tetap. Bumi akan berada dalam panas yang berkepanjangan atau dingin yang abadi. Tentulah kehidupan juga akan binasa. Bayang-bayang pada akhirnya mengantarkan manusia untuk mengetahui tentang adanya keteraturan alam raya. Jika ada kerteraturan yang begitu indah, lalu siapakah yang mengatur itu semua? Hanya Allah Yang Maha Perkasa yang mampu melakukannya. Bayang-bayang pada akhirnya mengantarkan manusia mengenal Allah, Tuhan Pengatur Alam dan isinya.
2. Bayang-bayang ada karena ada sebagian benda yang tidak bisa ditembus cahaya. Coba kita fikirkan, bagaimana sekiranya Allah menciptakan semua benda tembus pandang atau bening seperti air. Tentulah kehidupan akan berakhir dan bumi bukanlah tempat yang nyaman bagi kehidupan. Atau sebaliknya, bagaimana jika semua benda yang ada di bumi ini tidak tembus pandang, maka kehidupan juga akan binasa.
Bayang-bayang juga pada akhirnya mengantarkan manusia kepada kemahabesaran Allah dan kebijaksanan-Nya dalam menciptakan alam dan kehidupan padanya.
3. Bayang-bayang adalah sesuatu yang selalu mengalami perubahan, dari tiada kemudian muncul dan secara perlahan-lahan memanjang sampai batas tertentu kemudian Allah mencabut dan menariknya kembali, sehingga bayang-bayangpun hilang dan lenyap.
Dengan memperhatikan wujud bayang-bayang manusia akan mendapatkan pelajaran tentang alam dan kehidupan ini. Sesuatu yang yang sebelumnya tiada dan kemudian ada, maka ia suatu saat akan kembali kepada ketiadaan. Sesuatu yang sebelumnya tiada, kemudian muncul dan secara perlahan-lahan tumbuh dan kembang pada akhirnya akan bermuara pada ketiadaan. Begitulah kehidupan ini, di mana manusia juga seperti bayang-bayang. Berawaldari ketiadaan dan berakhir dengan ketiadaan juga. Manusia sebelumnya tidak ada, lalu ada dan mengalami proses tahap demi tahap di dunia ini, dan akhir dari tahap kehidupan itu adalah kematian.
4. Matahari adalah penyebab bayang-bayang muncul, ia juga yang merubah bentuk dan arah bayang-bayang, ia juga yang menghilangkan bayang-bayang tersebut. Begitulah, bahwa dengan melihat bayang-bayang manusia akan menyadari bahwa sesuatu itu ada kerena ada yang mengadakannya. Alam ini ada tentu juga ada yang menciptakannya. Dan yang mampu menciptakannya tentulah Allah Yang Maha Kuasa. Tidak mungkin sesutau itu ada tanpa sebab dan adanya sesuatu yang menjadikannya.
Adanya otoritas matahari dalam menjadikan bayang-bayang, menentukan bentuk dan arahnya, panjang dan pendeknya juga memberikan pelajaran khususnya kepada Nabi saw. dan seluruh yang menjalankan dakwah mengajak manusia ke jalan Tuhan, bahwa yang berhak memberikan petunjuk dan menentukan banyak sedikitnyanya petunjuk yang diperoleh adalah Allah semata. Rasul saw. dan siapapun yang bertugas sebagai penyeru manusia, hanya berhak menyampaikan pesan Allah di muka bumi ini. Apakah manusia akan menerima dan mendapat petunjuk, adalah otoritas Allah semata.
5. Seperti halnya bentuk dan ukuran bayang-bayang, mulai dari bentuk dan ukuran yang pendek, kemudian secara perlahan berangsur memanjang. Hal itu juga memberikan pelajaran kepada manusia, bahwa hendaklah segala sesuatu dijalankan secara bertahap. Karena, proses pentahapan adalah sesuai dengan sunnatullah. Bukankah manusia waktu lahir tidak mengenal apa-apa, lalu mulai belajar berjalan, berbicara dan seterusnya hingga manusia mengalami masa sempurna.
Itulah di antara pelajaran yang bisa dipetik dari adanya bayang-bayang diciptakan Allah. semoga bisa menjadi renungan. Amin
Nabi Yunus as. Lari Dari Tanggung Jawab
Nabi Yunus as. Lari Dari Tanggung Jawab
Dalam surat ash-Shafat[37]: 139-148, Allah swt. menceritakan kisah nabi Yunus as. secara lebih rinci. Sekalipun cerita yang sama juga ditemukan dalam ayat laia seperti surat al-Qalam [68]: 48-49. Kisah dalam surat ash-Shafat tersebut seperti terlihat dalam ayat berikut;
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ(139)إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ(140)فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ(141)فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ(142)فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ(143)لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(144)فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ(145)وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ(146)وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ(147)فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ(148)
Artinya: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul (139). (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan (140). kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian (141). Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela (142). Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (143). niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (144). Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit (145). Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu (146). Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih (147). Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu (148).”
Dalam ayat di atas, diceritakan bahwa nabi Yunus as. diutus ke suatu negeri untuk mengajak penduduknya beriman kepada Allah. Akan tetapi, nabi Yunus dihadapkan pada masyarakat pembangkang dan keras kepala yang membuat nabi Yunus as. berputus asa. Pembangkangan kaumnya, membuat nabi Yunus memilih pergi dan meninggalkan kewajiban dakwahnya, mangajak manusia bertauhid dan mengesakan Allah.
Maka sampailah nabi Yunus as. ke tepi sebuah dermaga dan mendapati sebuah kapal yang penuh sesak dan siap berlayar menuju laut lepas. Nabi Yunus pun memutuskan untuk menumpang kapal tersebut. Akan tetapi, di tengah lautan kapal tersebut dihadang oleh seekor ikan paus yang sangat besar. kapalpun terombang ambing dan hampir karam. Demi menyelamatkan seluruh penumpang, akhirnya para penumpang sepakat untuk mengadakan undian tantang siapa yang akan dibuang ke dalam untuk menjadi tumbal dan santapan ikan paus. Sehingga, semua penumpang kapal bisa selampat dari ancaman ikan paus tersebut.
Semua penumpang mengikuti undian, termasuk nabi Yunus as. wal hasil, setelah beberapa kali diundi, nama yang keluar untuk diceburkan ke dalam laut adalah nabi Yunsu as. Diapun dicampakan ke dalam laut sebagai santapan ikan paus. Begitu sampai di dalam laut, ikan puaspun langsung menelannya. Sehingga, nabi Yunus berada di dalam perut ikan selama berhari-hari – dalam sebuah riwayat disebutkan selama empat puluh hari-.
Di dalam perut ikan, nabi Yunus menyadari kesalahannya. Dia telah meninggalkan kewajibannya sebagai rasul Allah. Diapun bertaubat kepada Allah, dan Allah pun menerima taubatnya. Atas bantuan Allah swt, akhirnya ikan paus itu memuntahkan nabi Yunus ke daratan.
Nabi Yunus terdampar di sebuah daratan yang tandus, gersang dan panas. Tidak ada kehidupan dan tanamam di sana. Allah pun menumbuhkan sebatang pohon labu untuk melindungi tubuh nabi Yunus yang masih lunak. Setelah beberapa hari, nabi Yunus kembali pulih dan kembali kepada kaumnya untuk berdakwah di tengah mereka.
Dari kisah di atas, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Yang paling pokok adalah, bahwa jangan pernah meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebesar dan seberat apapun tantangan yangt dihadapi. Sebab, jika seseorang meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya, dia akan ditimpa berbagai kesulitan seperti yang terjadi pada diri nabi Yunus as. Di antara kesulitan yang akan menderanya adalah;
Pertama, dia akan kehilangan harga diri serta derajatnya akan turun. Seperti yang dialami nabi Yunus yang harus ikut undian bersama penumpang yang lain. Jika tidak seluruh penumpang kapal, pastilah ada sebagian di antara mereka yang mengenal nabi Yunus sebagai seorang nabi dan rasul Allah. Tentu mereka juga tahu, bahwa Yunus bukanlah manusia biasa. Akan tetapi, Yunus as. sekalipun seorang nabi dan rasul, dia harus mengikuti undian untuk memilih siapa di antara mereka yang harus diceburkan ke laut. Begitulah, bahwa nabi Yunus kehilangan wibawanya sebagai seorang nabi dan rasul, karena telah meninggalkan tanggung jawabnya.
Dengan demikian, tanggung jawab akan sangat menentukan harga diri dan martabat seseorang. Semakin seseorang bertanggung jawab, maka akan semakin tinggilah martabatnya, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Bukankah sering terjadi di tengah masyarakat, bahwa seorang yang masih kecil, bahkan masih dalam umur anak-anak, dipandang dan ditempatkan sebagai layaknya orang dewasa karena memiliki tanggung jawab yang besar. Sebaliknya, betapa banyak orang dewasa bahkan sudah sangat tua dalam hitungan umur dipandang dan ditempatkan sebagaimana anak-anak, karena tidak pernah memiliki tangggung jawab dalam hidupnya.
Kedua, yang meninggalkan tugas dan tangung jawab, akan selalu kalah dalam persaingan hidup. Seperti nabi Yunus yang selalu kalah dalam setiap undian. Adalah hal yang sudah berlaku umum, bahwa seorang yang tidak bertanggung jawab dengan tugas dan kewajibannya, akan menderia kekalahan demi kekalahan dalam persaingan hidupnya.
Ketiga, tidak cukup hanya akan menderita kekalahan demi kekalahan, bahkan yang lari dari tangung jawab akan dimangsa “paus” kehidupan. Dunia ibaratnya adalah ikan paus yang sangat ganas. Ia akan menelan setiap mangsa yang kalah dalam persaingan hidup, salah satunya adalah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab dengan dirinya.
Keempat, andaikata dia selamat dari terkaman “paus” kehidupan ini, dia akan tercampak ke tanah yang tandus, gersang dan sulit dan dalam keadaan sakit seperti yang dialami nabi Yunus as. Seorang yang tidak bertanggung jawab dengan kewajibannya, akan hidup di tempat yang penuh penderitaan. Karena, yang akan bahagia dalam hidupnya adalah manusia yang selalu memenuhi seluruh kewajibannya dengan tanggung jawab yang tinggi.
Ada hal yang manarik untuk kita cermati dari kisah nabi Yunus di atas. Kenapa Allah menumbuhkan pohon labu untuk melindungi tubuh nabi Yunus? Bukankah masih banyak pohon lain yang lebih besar atau bahkan lebih rindang daunnya daripada pohon labu?
Ada tujuan khusus kenapa Allah menumbuhkna pohon labu di dekat nabi Yunus. Karena, melalui tanaman ini Allah ingin mengajar nabi Yunus tentang arti sebuah tanggung jawab. Allah seakan memerintahkan, “Hai Yunus! Lihatlah kehidupan tanaman ini, karena dengan memperhatikannya engkau akan mendapat sebuah pelajaran berharga”.
Ada beberapa hal yang istimewa dari pohon labu. Di antaranya
1. Pohon labu sebenaranya bukanlah tanaman yang tergolong jenis pohon, namun ia tanaman dari jenis akar. Akan tetapi, Allah menyebutnya sebagai pohon (Syajarat). Labu disebut pohon walaupun ia bukan jenis pohon salah satunya dikarenakan bahwa ia memiliki buah yang besar. Coba bandingkan dengan pohon beringin, yang memiliki batang yang sangat besar, akar yang kokoh akan tetapi buahnya termat kecil, jauh lebih kecil dari buah tanaman labu. Melalui pohon labu, Allah ingin mengatakan kepada nabi Yunus as. bahwa tanggung jawab yang besar akan menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang terhormat. Sehingga, akarpun yang hidup menjalar, karena tanggung jawab yang besar Allah berikan penghormatan dengan menyebutnya sebagai pohon.
2. Labu adalah jenis tanamam yang sangat kokoh memegang buahnya. Ia tidak akan dengan mudah mau melepaskan buahnya. Bahkan, gagang tempat buahnya bergantung lebih besar dari batang dan tubuhnya sendiri. Sehingga, jika kita menarik paksa buah labu, maka yang akan tercabut adalah batang dan akarnya bukan buahnya. Allah swt. melalui pohon labu ingin mengatakan kepada nabi Yunus tentang arti sebuah tanggung jawab, janganlah dengan mudah melepaskan diri dari tanggung jawab yang dipikul, karena nyawa adalah taruhannya.
3. Labu walaupun tumbuhan yang kecil, akan tetapi buahnya banyak dan besar. Namun demikian, ia tidak memikul tanggung jawab itu sendiri. Labu memiliki akar yang bisa mensuplai makanan kepada buahnya melalui akar-akar pembantu yang terdapat pada setiap ruas dan buku batangnya. Dengan tanaman ini Allah ingin mengajarkan kepada nabi Yunus, bahwa untuk menjalankan tanggung jawab yang besar perlu adanya kerjasama dan bantuan dari pihak lain. Sebab, jika kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan tugas dipikul sendiri, maka akan membuat seseorang menjadi stres dan putus asa.
Demikianlah pelajaran dari kisah nabi Yunus as. semoga bermanfaat. Amin
Dalam surat ash-Shafat[37]: 139-148, Allah swt. menceritakan kisah nabi Yunus as. secara lebih rinci. Sekalipun cerita yang sama juga ditemukan dalam ayat laia seperti surat al-Qalam [68]: 48-49. Kisah dalam surat ash-Shafat tersebut seperti terlihat dalam ayat berikut;
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ(139)إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ(140)فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ(141)فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ(142)فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ(143)لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(144)فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ(145)وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ(146)وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ(147)فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ(148)
Artinya: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul (139). (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan (140). kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian (141). Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela (142). Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (143). niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (144). Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit (145). Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu (146). Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih (147). Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu (148).”
Dalam ayat di atas, diceritakan bahwa nabi Yunus as. diutus ke suatu negeri untuk mengajak penduduknya beriman kepada Allah. Akan tetapi, nabi Yunus dihadapkan pada masyarakat pembangkang dan keras kepala yang membuat nabi Yunus as. berputus asa. Pembangkangan kaumnya, membuat nabi Yunus memilih pergi dan meninggalkan kewajiban dakwahnya, mangajak manusia bertauhid dan mengesakan Allah.
Maka sampailah nabi Yunus as. ke tepi sebuah dermaga dan mendapati sebuah kapal yang penuh sesak dan siap berlayar menuju laut lepas. Nabi Yunus pun memutuskan untuk menumpang kapal tersebut. Akan tetapi, di tengah lautan kapal tersebut dihadang oleh seekor ikan paus yang sangat besar. kapalpun terombang ambing dan hampir karam. Demi menyelamatkan seluruh penumpang, akhirnya para penumpang sepakat untuk mengadakan undian tantang siapa yang akan dibuang ke dalam untuk menjadi tumbal dan santapan ikan paus. Sehingga, semua penumpang kapal bisa selampat dari ancaman ikan paus tersebut.
Semua penumpang mengikuti undian, termasuk nabi Yunus as. wal hasil, setelah beberapa kali diundi, nama yang keluar untuk diceburkan ke dalam laut adalah nabi Yunsu as. Diapun dicampakan ke dalam laut sebagai santapan ikan paus. Begitu sampai di dalam laut, ikan puaspun langsung menelannya. Sehingga, nabi Yunus berada di dalam perut ikan selama berhari-hari – dalam sebuah riwayat disebutkan selama empat puluh hari-.
Di dalam perut ikan, nabi Yunus menyadari kesalahannya. Dia telah meninggalkan kewajibannya sebagai rasul Allah. Diapun bertaubat kepada Allah, dan Allah pun menerima taubatnya. Atas bantuan Allah swt, akhirnya ikan paus itu memuntahkan nabi Yunus ke daratan.
Nabi Yunus terdampar di sebuah daratan yang tandus, gersang dan panas. Tidak ada kehidupan dan tanamam di sana. Allah pun menumbuhkan sebatang pohon labu untuk melindungi tubuh nabi Yunus yang masih lunak. Setelah beberapa hari, nabi Yunus kembali pulih dan kembali kepada kaumnya untuk berdakwah di tengah mereka.
Dari kisah di atas, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Yang paling pokok adalah, bahwa jangan pernah meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebesar dan seberat apapun tantangan yangt dihadapi. Sebab, jika seseorang meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya, dia akan ditimpa berbagai kesulitan seperti yang terjadi pada diri nabi Yunus as. Di antara kesulitan yang akan menderanya adalah;
Pertama, dia akan kehilangan harga diri serta derajatnya akan turun. Seperti yang dialami nabi Yunus yang harus ikut undian bersama penumpang yang lain. Jika tidak seluruh penumpang kapal, pastilah ada sebagian di antara mereka yang mengenal nabi Yunus sebagai seorang nabi dan rasul Allah. Tentu mereka juga tahu, bahwa Yunus bukanlah manusia biasa. Akan tetapi, Yunus as. sekalipun seorang nabi dan rasul, dia harus mengikuti undian untuk memilih siapa di antara mereka yang harus diceburkan ke laut. Begitulah, bahwa nabi Yunus kehilangan wibawanya sebagai seorang nabi dan rasul, karena telah meninggalkan tanggung jawabnya.
Dengan demikian, tanggung jawab akan sangat menentukan harga diri dan martabat seseorang. Semakin seseorang bertanggung jawab, maka akan semakin tinggilah martabatnya, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Bukankah sering terjadi di tengah masyarakat, bahwa seorang yang masih kecil, bahkan masih dalam umur anak-anak, dipandang dan ditempatkan sebagai layaknya orang dewasa karena memiliki tanggung jawab yang besar. Sebaliknya, betapa banyak orang dewasa bahkan sudah sangat tua dalam hitungan umur dipandang dan ditempatkan sebagaimana anak-anak, karena tidak pernah memiliki tangggung jawab dalam hidupnya.
Kedua, yang meninggalkan tugas dan tangung jawab, akan selalu kalah dalam persaingan hidup. Seperti nabi Yunus yang selalu kalah dalam setiap undian. Adalah hal yang sudah berlaku umum, bahwa seorang yang tidak bertanggung jawab dengan tugas dan kewajibannya, akan menderia kekalahan demi kekalahan dalam persaingan hidupnya.
Ketiga, tidak cukup hanya akan menderita kekalahan demi kekalahan, bahkan yang lari dari tangung jawab akan dimangsa “paus” kehidupan. Dunia ibaratnya adalah ikan paus yang sangat ganas. Ia akan menelan setiap mangsa yang kalah dalam persaingan hidup, salah satunya adalah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab dengan dirinya.
Keempat, andaikata dia selamat dari terkaman “paus” kehidupan ini, dia akan tercampak ke tanah yang tandus, gersang dan sulit dan dalam keadaan sakit seperti yang dialami nabi Yunus as. Seorang yang tidak bertanggung jawab dengan kewajibannya, akan hidup di tempat yang penuh penderitaan. Karena, yang akan bahagia dalam hidupnya adalah manusia yang selalu memenuhi seluruh kewajibannya dengan tanggung jawab yang tinggi.
Ada hal yang manarik untuk kita cermati dari kisah nabi Yunus di atas. Kenapa Allah menumbuhkan pohon labu untuk melindungi tubuh nabi Yunus? Bukankah masih banyak pohon lain yang lebih besar atau bahkan lebih rindang daunnya daripada pohon labu?
Ada tujuan khusus kenapa Allah menumbuhkna pohon labu di dekat nabi Yunus. Karena, melalui tanaman ini Allah ingin mengajar nabi Yunus tentang arti sebuah tanggung jawab. Allah seakan memerintahkan, “Hai Yunus! Lihatlah kehidupan tanaman ini, karena dengan memperhatikannya engkau akan mendapat sebuah pelajaran berharga”.
Ada beberapa hal yang istimewa dari pohon labu. Di antaranya
1. Pohon labu sebenaranya bukanlah tanaman yang tergolong jenis pohon, namun ia tanaman dari jenis akar. Akan tetapi, Allah menyebutnya sebagai pohon (Syajarat). Labu disebut pohon walaupun ia bukan jenis pohon salah satunya dikarenakan bahwa ia memiliki buah yang besar. Coba bandingkan dengan pohon beringin, yang memiliki batang yang sangat besar, akar yang kokoh akan tetapi buahnya termat kecil, jauh lebih kecil dari buah tanaman labu. Melalui pohon labu, Allah ingin mengatakan kepada nabi Yunus as. bahwa tanggung jawab yang besar akan menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang terhormat. Sehingga, akarpun yang hidup menjalar, karena tanggung jawab yang besar Allah berikan penghormatan dengan menyebutnya sebagai pohon.
2. Labu adalah jenis tanamam yang sangat kokoh memegang buahnya. Ia tidak akan dengan mudah mau melepaskan buahnya. Bahkan, gagang tempat buahnya bergantung lebih besar dari batang dan tubuhnya sendiri. Sehingga, jika kita menarik paksa buah labu, maka yang akan tercabut adalah batang dan akarnya bukan buahnya. Allah swt. melalui pohon labu ingin mengatakan kepada nabi Yunus tentang arti sebuah tanggung jawab, janganlah dengan mudah melepaskan diri dari tanggung jawab yang dipikul, karena nyawa adalah taruhannya.
3. Labu walaupun tumbuhan yang kecil, akan tetapi buahnya banyak dan besar. Namun demikian, ia tidak memikul tanggung jawab itu sendiri. Labu memiliki akar yang bisa mensuplai makanan kepada buahnya melalui akar-akar pembantu yang terdapat pada setiap ruas dan buku batangnya. Dengan tanaman ini Allah ingin mengajarkan kepada nabi Yunus, bahwa untuk menjalankan tanggung jawab yang besar perlu adanya kerjasama dan bantuan dari pihak lain. Sebab, jika kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan tugas dipikul sendiri, maka akan membuat seseorang menjadi stres dan putus asa.
Demikianlah pelajaran dari kisah nabi Yunus as. semoga bermanfaat. Amin
Label:
ceramah dan khutbah
Ibrahim Mencari Tuhan
Ibrahim Mencari Tuhan
Salah satu perjalanan intelektual dan spiritual Ibrahim as. adalah episode ketika dia mencari Tuhan. Pencariannya berakhir dengan sebuah temuan yang sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, bahkan menjadi hujjah di kemudian hari ketika dia berdebat dengan raja Namrudz dan pembesar-pembesar kaumnya, termasuk ayahnya. Kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim as. tersebut direkam oleh Allah dalm surat al-An’am [6]: 75-79
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ(75)فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ(76)فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77)فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ(78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(79)
Artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin (75). Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam" (76). Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat" (77). Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (78). Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (79).”
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah perjalanan intelektual dan spiritual Ibrahim tersebut. Di antaranya ;
Pertama, Hendaklah manusia selalu dan terus mencari ilmu dan kebenaran. Nabi Ibrahim as. sekalipun calon nabi dan rasul Allah, yang sekiranya dia tidak berusaha mencari Tuhan pun, Allah pasti akan menurunkan ilmu dan pengetahuan kepadanya. Akan tetapi, Ibrahim as. tidak berdiam diri, menunggu datangnya ilmu dan seterusnya. Ibrahim as. berupaya terlebih dahulu mencari tahu, walaupun kemudian Allah menurunkan wahyu, ilmu dan informasi kepadanya.
Begitulah, bahwa ilmu memang harus dicari dan diusahakan. Seperti yang dipesankan Allah swt. dalam surata an-Nahl [16]: 78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Kedua, imu yang didapatkan sendiri dan dengan cara mandiri apalagi melalui ekperimen, percobaan akan lebih mantap, dan kokoh di dalam hati manusia. Ibrahim as. memperoleh ilmu dan pengatahuan sampai ke tingkat yakin (mûqinun), karena dia mencari sendiri dan dengan pengalaman yang dialami sendiri.
Kasus yang sama juga pernah ditunjukan oleh Ibrahim as. ketika meminta kepada Allah agar memperlihatkan cara menghidupkan yang telah mati. Ibrahim meminta hal itu bukannya tidak percaya akan kekuasaan Allah, namun supaya lebih mantap ilmu dan keyakinannya itu. Atas saran Allah, Ibrahim kemudian melakukan percobaan dengan menyembelih empat ekor burung, kemudian mencincang dagingnya di sebuah wadah lalu mengaduknya. Daging tersebut diletakkan di setiap penjuru empat bukit. Lalu Ibrahim memanggilnya, maka semua burung kembali mencari dagingya yang sudah hancur dan terpisah, kemudian hidup dan terbang lagi.
Begitulah percobaan Ibrahim akhirnya mendatangkan keyakinan terhadap dirinya. Kisah tersebut diceritakan dalam surat al-Baqarah [2]: 260
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tiga, hendaklh dalam belajar, mencari ilmu, berfikir dan seterusnya, bahwa manusia memulainya dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Sebab, hal itu sangat sesuai dengan fitrah manusia dan sunnatullah. Di mana setiap mansuai diciptakan untuk melalui tahapan demi tahapan kehidupan, dari yang sederhana menuju kesempurnaan.
Lihatlah! Ibrahim dalam mencari Tuhan, yang pertama diperhatikannya adalah bintang yang tentu lebih kecil, baik bentuknya yang terlihat maupun cahayanya yang memancar. Setelah bintang selesai diperhatikannya, dan dia telah mendapatkan kesimpulan barulah Ibrahim memperhatikan bulan yang ukurannya dan cahayanya terlihat lebih besar dari bintang. Setelah menganalisa bulan dan mendapatkan sebuah kesimpulan, barulah Ibrahim memperhatikan matahari yang ukuran dan cahayanya jauh lebih besar dan terang dari yang sebelumnya.
Begitulah, hendaknya manusia dalam menempuh proses belajar serta pematangan intelektual dan spritualnya. Mulailah dari hal-hal yang kecil dan sederhana untuk kemudian beranjak menuju yang lebih komplek dan sempurna. Bukankah manusia ketika belajar berhitung dimulai dari pengenalan angka, kemudian penambahaan, pengurangan, lalu perkalian begitulah seterusnya. Bagaimanakah jadinya manusia jika ketika mulai belajar berhitung yang dihadapkan kepadanya adalah perkalaian, sementara dia belum mengenal bentuk angka itu sendiri.
Empat, hendaklah manusia selalu menuju ke arah yang lebih terang, cerdas, dewasa. Karena Ibrahim as. beranjak dari memperhatikan bintang yang lebih kecil, redup kemudian bulan yang lebih besar dan terang, kemudian matahari yang sangat terang dan besar. Hendaklah manusia selalu mengarah dari gelap menuju yang lebih terang. Dari yang kecil menuju yang lebih besar, dari kebodohan menuju kecerdasan. Bukankah Allah selalu mengungkapkan ayat-Nya, dengan menyebut gelap sebelum terang? lihat salah satunya surat al-Ma’idah[5]: 16
….وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ….
Lima, dengan akal dan terus berfikir, manusia akan mampu menguasai langit dan bumi. Itulah yang dikatakan Allah bahwa Ibrahim diperlihatakan kerajaan langit dan bumi (malakût as-samawati wa al-Ardhi). Berfikir dan bereksperimen, akan mengantarkan manusia menyingkap tabir kekuasaan langit dan bumi. Hal yang sebelumnya mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal manusia, dengan berfikir dan bereksperimen manusia kemudian akan membenarkan yang sebelumnya dianggap tidak masuk akal. Generasi masa lalu tentu akan mengatakan seseorang gila, jika berkata bahwa dia baru saja berbicara langsung dengan seseorang yang berada dalam jarak antar negara atau antar benua. Namun, dengan hasil fikiran dan percobaan manusia, hal itu sekarang menjadi masuk akal bahkan sangat akrab dengan manusia. Generasi yang lalu, tentu akan mengtakan seseorang gila jika dikatakan kepadanya bahwa dia baru saja terbang mengarungi jarak yang jauh dalam waktu yang sangat singkat. Akan tetapi, dengan hasil fikiran dan percobaan manusia, saat ini hal itu adalah sesuatu yang dengan gampang diterima akal manusia. Begtiulah, bahwa berfikir dan bereksperimen akan mengantarkan manusia menguasai langit dan bumi.
Salah satu perjalanan intelektual dan spiritual Ibrahim as. adalah episode ketika dia mencari Tuhan. Pencariannya berakhir dengan sebuah temuan yang sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, bahkan menjadi hujjah di kemudian hari ketika dia berdebat dengan raja Namrudz dan pembesar-pembesar kaumnya, termasuk ayahnya. Kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim as. tersebut direkam oleh Allah dalm surat al-An’am [6]: 75-79
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ(75)فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ(76)فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77)فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ(78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(79)
Artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin (75). Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam" (76). Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat" (77). Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (78). Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (79).”
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah perjalanan intelektual dan spiritual Ibrahim tersebut. Di antaranya ;
Pertama, Hendaklah manusia selalu dan terus mencari ilmu dan kebenaran. Nabi Ibrahim as. sekalipun calon nabi dan rasul Allah, yang sekiranya dia tidak berusaha mencari Tuhan pun, Allah pasti akan menurunkan ilmu dan pengetahuan kepadanya. Akan tetapi, Ibrahim as. tidak berdiam diri, menunggu datangnya ilmu dan seterusnya. Ibrahim as. berupaya terlebih dahulu mencari tahu, walaupun kemudian Allah menurunkan wahyu, ilmu dan informasi kepadanya.
Begitulah, bahwa ilmu memang harus dicari dan diusahakan. Seperti yang dipesankan Allah swt. dalam surata an-Nahl [16]: 78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Kedua, imu yang didapatkan sendiri dan dengan cara mandiri apalagi melalui ekperimen, percobaan akan lebih mantap, dan kokoh di dalam hati manusia. Ibrahim as. memperoleh ilmu dan pengatahuan sampai ke tingkat yakin (mûqinun), karena dia mencari sendiri dan dengan pengalaman yang dialami sendiri.
Kasus yang sama juga pernah ditunjukan oleh Ibrahim as. ketika meminta kepada Allah agar memperlihatkan cara menghidupkan yang telah mati. Ibrahim meminta hal itu bukannya tidak percaya akan kekuasaan Allah, namun supaya lebih mantap ilmu dan keyakinannya itu. Atas saran Allah, Ibrahim kemudian melakukan percobaan dengan menyembelih empat ekor burung, kemudian mencincang dagingnya di sebuah wadah lalu mengaduknya. Daging tersebut diletakkan di setiap penjuru empat bukit. Lalu Ibrahim memanggilnya, maka semua burung kembali mencari dagingya yang sudah hancur dan terpisah, kemudian hidup dan terbang lagi.
Begitulah percobaan Ibrahim akhirnya mendatangkan keyakinan terhadap dirinya. Kisah tersebut diceritakan dalam surat al-Baqarah [2]: 260
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tiga, hendaklh dalam belajar, mencari ilmu, berfikir dan seterusnya, bahwa manusia memulainya dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Sebab, hal itu sangat sesuai dengan fitrah manusia dan sunnatullah. Di mana setiap mansuai diciptakan untuk melalui tahapan demi tahapan kehidupan, dari yang sederhana menuju kesempurnaan.
Lihatlah! Ibrahim dalam mencari Tuhan, yang pertama diperhatikannya adalah bintang yang tentu lebih kecil, baik bentuknya yang terlihat maupun cahayanya yang memancar. Setelah bintang selesai diperhatikannya, dan dia telah mendapatkan kesimpulan barulah Ibrahim memperhatikan bulan yang ukurannya dan cahayanya terlihat lebih besar dari bintang. Setelah menganalisa bulan dan mendapatkan sebuah kesimpulan, barulah Ibrahim memperhatikan matahari yang ukuran dan cahayanya jauh lebih besar dan terang dari yang sebelumnya.
Begitulah, hendaknya manusia dalam menempuh proses belajar serta pematangan intelektual dan spritualnya. Mulailah dari hal-hal yang kecil dan sederhana untuk kemudian beranjak menuju yang lebih komplek dan sempurna. Bukankah manusia ketika belajar berhitung dimulai dari pengenalan angka, kemudian penambahaan, pengurangan, lalu perkalian begitulah seterusnya. Bagaimanakah jadinya manusia jika ketika mulai belajar berhitung yang dihadapkan kepadanya adalah perkalaian, sementara dia belum mengenal bentuk angka itu sendiri.
Empat, hendaklah manusia selalu menuju ke arah yang lebih terang, cerdas, dewasa. Karena Ibrahim as. beranjak dari memperhatikan bintang yang lebih kecil, redup kemudian bulan yang lebih besar dan terang, kemudian matahari yang sangat terang dan besar. Hendaklah manusia selalu mengarah dari gelap menuju yang lebih terang. Dari yang kecil menuju yang lebih besar, dari kebodohan menuju kecerdasan. Bukankah Allah selalu mengungkapkan ayat-Nya, dengan menyebut gelap sebelum terang? lihat salah satunya surat al-Ma’idah[5]: 16
….وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ….
Lima, dengan akal dan terus berfikir, manusia akan mampu menguasai langit dan bumi. Itulah yang dikatakan Allah bahwa Ibrahim diperlihatakan kerajaan langit dan bumi (malakût as-samawati wa al-Ardhi). Berfikir dan bereksperimen, akan mengantarkan manusia menyingkap tabir kekuasaan langit dan bumi. Hal yang sebelumnya mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal manusia, dengan berfikir dan bereksperimen manusia kemudian akan membenarkan yang sebelumnya dianggap tidak masuk akal. Generasi masa lalu tentu akan mengatakan seseorang gila, jika berkata bahwa dia baru saja berbicara langsung dengan seseorang yang berada dalam jarak antar negara atau antar benua. Namun, dengan hasil fikiran dan percobaan manusia, hal itu sekarang menjadi masuk akal bahkan sangat akrab dengan manusia. Generasi yang lalu, tentu akan mengtakan seseorang gila jika dikatakan kepadanya bahwa dia baru saja terbang mengarungi jarak yang jauh dalam waktu yang sangat singkat. Akan tetapi, dengan hasil fikiran dan percobaan manusia, saat ini hal itu adalah sesuatu yang dengan gampang diterima akal manusia. Begtiulah, bahwa berfikir dan bereksperimen akan mengantarkan manusia menguasai langit dan bumi.
Label:
ceramah dan khutbah
Langganan:
Postingan (Atom)