Wasiat Ta’ziyah
Dalam surat Thaha [20]: 120, Allah swt. berfirman
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
Artinya: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (hidup yang kekal) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”.
Itulah dua senjata syaithan yang sukses dipergunakannya untuk mengeluarkan Adam as. dari sorga. Kedua senjata itu juga yang kemudian sampai hari kiamat akan dipergunakan syaithan untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Senjata itu adalah hidup yang kekal dan kekuasaan yang tidak akan pernah hilang.
Kenapa kedua hal itu yang dijadikan senjata ampuh bagi syaithan untuk menggoda manusia? Jawabannya adalah bahwa syaithan persis tahu bahwa kedua hal itu adalah keinginan terbesar setiap manusia. Adalah naluri setiap manusia, mendambakan hidup yang kekal dan tidak akan pernah mati. Begitu juga, sudah fitrah manusia kalau dia menginginkan jabatan, kekuasaan, kedudukan yang tidak akan pernah hilang, berhenti dan habis. Jika manusia memiliki suatu kekuasaan, dipastikan dia tidak akan pernah ingin kekuasaan itu berakhir dari tangannya.
Namun demikian, dua hal yang menjadi keinginan manusia tersebut, tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebab, Allah telah menciptakan hukum-Nya untuk menepis keinginan manusia itu. Keinginan pertama berupa kekekalan, Allah tepis dengan hukum-Nya yang berupa kematian. Allah telah menciptakan ketentuan, bahwa semua yang bernyawa dan pernah merasakan kehidupan, akan berakhir dengan kematian. Seperti yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 185
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Keinginan manusia yang kedua berupa kekuasaan yang tidak akan pernah hilang dan lenyap, Allah swt. menepisnya dengan menciptakan hukum keterbatasan. Semua yang ada selain Allah, adalah bersifat terbatas dan sementara. Suatu ketika, ia akan hilang, habis dan lenyap. Begitulah yang disebutkan dalam surat Ar-Rahman [55]: 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ(27)
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26). Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27).”
Oleh karena itu, apa yang kita hadapi dan kita saksikan hari ini, yaitu kematian yang mendatangi salah seorang saudara kita adalah dalam rangka memenuhi hukum yang telah ditetapkan Allah untuknya. Namun demikian, hal yang mesti kita sadari dan yakini adalah, bahwa kematian yang didatangkan Allah kepada manusia pastilah memiliki maksud dan tujuan yang besar. Dan yang pasti, bahwa tujuannya adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sebab, tidak ada yang datang dari Allah berupa keburukan. Kalaupun itu terlihat buruk dan menyakitkan, hanyalah karena keterbatasan manusia dalam memandangnya.
Tujuan kematian itu sendiri disebutkan Allah dalam surat Al-Mulk [67]: 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kematian dalam ayat di atas, Allah sebutkan sebagai bentuk ujian bagi manusia. Ada hal yang mesti kita sadari, bahwa ketika kita menyebut kata “ujian” maka pastilah setiap ujian bertujuan baik. Karena, tidak ada satupun ujian yang bertujuan buruk apalagi merugikan. Seorang siswa tidak akan pernah naik ke tingkat kelas yang lebih tinggi tanpa melalui ujian. Seorang siswa tidak akan berobah sebutannya menjadi mahasiswa sebagai tingkat pelajar tertinggi, tanpa melewati serangkian ujian. Seseorang yang sebelumnya berstatus pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan, baru akan memperoleh pekerjaan dan penghasilan tetap setelah melewati serangkain ujian, begitulah seterusnya.
Oleh karena itu, kematian di samping disebut musibah, namun pada saat yang sama ia adalah karunia dan nikmat dari Allah yang mesti “disyukuri”. Bukankah Allah mengecam manusia yang masih kafir kepadsa-Nya, dengan menyebut nikmat kematian dan kehidupan yang telah mereka terima? Lihatlah firman-Nya dalam surat al-Baqarah [2]: 28
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Kematian sebagai ujian yang bermuara pada kebaikan, juga disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Baik dalam surat al-Mulk [67]: 2 maupun dalam surat al-Baqarah [2]: 155, Allah menyebutkan bahwa kematian adalah ujian bagi “kamu” semua. Kata “kamu” di sini mencakup dua hal. Pertama, kamu yang mati dan kedua kamu yang hidup. Dengan demikian, kematian adalah nikmat dan kebaikan bagi setiap yang mengalami kematian dan kebaikan bagi yang masih hidup.
Kematian adalah nikmat bagi yang mengalaminya, karena dengan kematian itulah dia bisa menjadi makhluk yang sempurna. Sebab, tidak akan pernah ada manusia yang sempurna sebelum melewati kematian. Oleh karena itulah, kematian tidak hanya disebutkan Allah dengan kata maut, akan tetapi juga dipakai kata wafat yang secara harfiyah berarti sempurna. Seperti firman Allah dalam surat az-Zumar [39]: 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Allah memegang (menyempurnakan) jiwa ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
Oleh karena itu, kematian merupakan proses kehidupan yang dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup. Sebab, perpindahan dari satu alam ke alam lain, betujuan agar manusia lebih sempurna untuk kehidupan berikutnya. Dulu ketika di alam arwah, manusia belum disebut makhluk sempurna, lalu Allah swt pindahkan ke alam rahim. Di alam rahim manusia juga belum sempurna, maka Allah swt. pindahkan ke alam dunia. Di dunia manusia juga belum sempurna, kemudian Allah swt pindahkan ke alam akhirat melalui proses kematian. Begitu juga yang terjadi dengan makhluk lain, misalnya ayam yang masih dalam telur, belum lagi sempurna menjadi ayam. Kesempurnaannya baru terjadi setelah perpindahan dari “alam telur” ke alam dunia.
Dengan demikian, pada hakikatnya kematian adalah sebuah nikmat dari Tuhan dan salah satu bentuk wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sebagai bukti bahwa kematian adalah nikmat Tuhan, bukankah setiap bangun tidur kita selalu mengucapkan;
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما اماتنا واليه النشور
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita setelah mematikan kita, dan kepada-Nya juga kembali.”
Tidur yang merupakan bagian kecil dari bentuk kematian, dirasakan manusia sebagai suatu kenikmatan yang begitu berharga, karena betapa tersiksanya manusia jika tidak bisa tidur. Maka kematian yang sesungguhnya, tentulah jauh lebih nikmat dari tidur yang dirasakan manusia. Sangat tepat, jika Allah swt mencela manusia yang tidak memahami dan bersyukur terhadap nikmat kematian tersebut. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat al-Baqarah
Oleh karena kematian adalah sebuah nikmat, maka tidaklah sepantasnya manusia takut dan menghindarkan diri dari padanya. Sebab, siapa yang lari dari kematian berarti dia tidak menginginkan kesempurnaan atas dirinya. Yang terbaik adalah melakukan persiapan yang sempurna guna menghadapi proses kematian tersebut.
Kematian adalah gerbang menuju akhirat, yang disebut Allah swt sebagai kehidupan yang lebih sempurna. Seperti yang terdapat dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Semenrata “kamu” yang hidup terbagi dua; pertama keluarga dan karib kerabat dari yang meninggal, dan kedua manusia lain yang tidak punya ikatan kekerabatan. Adapun kematian menjadi nikmat bagi keluarga yang ditinggalkan adalah, bahwa melalui kematian yang menimpa anggota keluarganya itulah mereka bisa mendapatkan tiga keuntungan yang besar dari Allah. Tentu saja jika mereka bisa bersabar terhadap apa yang menimpa mereka. Itulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat al-Baqarah [2]: 156-157
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (156). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157)”.
Itulah tiga janji Allah terhadap anggota keluarga yang sabar menerima kematian; salawat dari Allah, rahmat dan petunjuk-Nya. Inilah tiga karunia Allah yang sangat berharga, dan belum tentu semua makhluk bisa memprolehnya.
Selanjutnya kematian menjadi nikmat bagi orang lain adalah, bahwa dengan kematian itu Allah memberikan pelajaran-Nya yang sangat berharga. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. pernah bersabda
وكفى بالموت وعظا
Artinya: “Cukuplah kiranya kematian menjadi pelajaran bagi kamu”.
Dengan menyaksikan kematian orang lain, yang masih hidup harus menyadari bahwa kitapun akan mengalami hal yang sama. Hanya waktunya saja yang tidak bisa diketahui. Dan yang mesti kita sykuri adalah, bahwa Allah masih berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri dengan beramal. Dan itu adalah kesempatan yang mesti dipergunakan sebaik-baiknya. Dalam hadist lain Rasulullah saw. bersabda:
أكيس الناس أكثرهم ذكرا للموت وأشدهم استعدادا له
Artinya: “Manusia yang paling cerdas adalah manusia yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak persiapannya menghadapi kematian.”
Iangtlah! bahwa yang tidak punya persiapan menghadapi kematian, mereka akan sangat ketukutan ketika kematian datang kepada mereka. Bahkan, meminta kepada Allah agar ditangguhkan kematiannya beberapa saat untuk bisa mempersiapkan diri. Namun, hal itu tidak mungkin diberikan Allah, disebabkan ajalnya sudah datang (Q.S . an-Nahl [16]: 61 dan juga al-Munafiqun [64]: 11).
Bahkan, setelah sampai di alam barzakhpun nanti, orang yang kafir atau kelompok yang tidak punya persiapan dengan kematian meminta kepada Tuhan agar bisa dikembalikan ke dunia. Seperti yang terdapat dalam surat al-Mu’minun [23]: 99-100
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ(99)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(100)
Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (99). agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan (100).”
Tidak cukup hanya sampai di situ, setelah berada di bibir nerakapun, mereka meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia untuk bisa beramal. Namun, hal itu tetap hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Ungkapan mereka disebutkan Allah dalam surat Fathir [35]: 37
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar