Jumat, 01 Agustus 2008

Guru Yang Ideal Menurut Perspektif Al-Qur’an

Guru Yang Ideal Menurut Perspektif Al-Qur’an

Kata guru adalah salah satu kata yang sangat populer dan sering diucapakan manusia, walaupun dengan bahasa yang beragam. Karena, kebutuhan akan keberadaan guru adalah sangat penting bagi manuisa. Tidak akan ada peradaban di bumi ini, tanpa keberadaan sosok guru. Itulah sebabnya, sebelum nabi Adam diturunkan ke bumi dan membangun peradaban, terlebih dahulu dia belajar kepada Allah swt. sebagai “Guru” pertama. Seperti yang disebutkan dalam surta al-Baqarah [2]: 31
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Dalam setiap proses pembelajaran, selalu ada dua pihak yang terlibat secara langsung; yaitu guru dan murid. Oleh karena itulah, proses yang dilakukan keduanya disebut belajar dan mengajar atau sering disingkat dengan PBM. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi. Selanjutnya, jika salah satu dari keduanya tidak memenuhi persyaratan yang dituntut dari keduanya, maka sekalipun prosesnya terjadi namun hasilnya tidak akan dicapai secara maksimal.
Dengan demikian, demi tercapainya hasil proses belajar dan mengajar dengan baik dan sempurna, maka perlu kedua pihak yang terlibat langsung memposisikan diri sebagaima mestinya. Dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan, bahwa demi tercapainya hasil terbaik dan maksimal dalam proses belajar dan mengajar maka dibutuhkan guru yang idel dan murid yang ideal.
Namum, dalam tulisan ini kita akan mencoba membahas tentang bagaiama guru yang ideal menurut panadangan al-Qur’an. Setidaknya, terdapat empat surat di dalam al-Qur’an yang membicarakan tipe seorang guru yang ideal dalam mendidik. Ideal dalam kemampuan, sikap, metode dan sebagainya. Surat-surat tersebut adalah;
Pertama, surat al-‘Alaq [98]: 1-5 yang merupakan wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah. Dalam ayat ini Allah menyebutkan Dzat-Nya sebagai pengajar manusia.
Kedua, surat al-Kahfi [18]: 60-82, di mana dalam ayat ini Allah menceritakan perjalanan nabi Musa belajar kepada seorang hamba Allah yang konon bernama Khidr as. Dalam konteks ini nabi Musa as. berperan sebagai murid dan nabi Khidr perperan sebagai seorang guru.
Ketiga, surat an-naml [27]: 15-44, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Sulaiamn yang memilki ilmu yang luas terhadap bawahanya, yang sekaligus juga murid-muridnya.
Keempat, surat ‘Abasa [86] 1-16, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Muhammad saw. terhadap seorang muridnya yang bernama Abdulla Ummi Maktum. Ayat ini menyatakan teguran kepada nabi Muhammad agar bersikap proporsional sebagai seorang guru.
Kita akan mencoba melihat sikap-sikap guru yang ideal dari kesemua ayat di atas.

Adapun guru yang ideal menurut ayat 1-5 surat al-‘Alaq adalah;
Pertama, Seorang guru mestilah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Sebab, bagaimana mungkin kita akan mencapai hasil yang maksimal dalam mendidik dan menagajar, jika kualitas dan sumber daya gurunya sangat minim dan terbatas. Itulah sebabnya, Allah yang menyebutkan Dzat-Nya sebagai Pengajar manusia yang mengajarkan apa yang belum diketahuinya. Seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 5
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)
Artinya: “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Oleh karena itu, idealnya seorang guru adalah orang yang dituntut untuk selalu mampu menciptakan sesuatu yang baru. Baik dalam hal materi pembalajaran maupun metode dan caranya. Sehingga, pengajaran tidak bersifat statis dan selalu bergerak ke arah kemajuan. Tentu para guru dalam hal ini dituntut untuk selalu menambah wawasannya, yang bisa saja dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendidikan formal, pelatihan, banyak membaca, banyak mendengar berdiskusi dan sebagainya. Memang begitulah pesan Allah kepada setiap manusia yang berada dalam dunia pendidikan, supaya mereka menjadi Insan Rababni. Seperti yang disebutkan dalam surat ‘Ali Imran [3]: 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Kedua, Seorang guru mestilah mampu mendorong dan memberikan motivasi kepada semua muridnya untuk selalu aktif dan kreatif. Seorang guru idealnya adalah tidak memaksa muridnya untuk belajar, namun lebih kepada pemberian motivasi dan rangsangan. Itulah sebabnya, kata iqra’ (bacalah) diulang dua kali dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3).”
Dan pada perintah membaca kedua, Allah menjanjikan kemulain-Nya yang tercurah bagi yang aktif membaca. Begitulah bentuk motivasi seorang guru kepada muridnya, agar mereka aktif dan kreatif.
Ketiga, seorang guru yang ideal tidak hanya mampu menyuruh dan mengajak muridnya untuk aktif membaca, namun juga mampu mengimbanginya dengan kemampuan menulis. Itulah yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq ayat 4
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ilmu yang sudah dikuasai, jika tidak ditulis biasanya dengan mudah akan hilang dan lenyap dari ingatan. Ibarat hewan, jika jika masih dibiarkan lepas tanpa ikatan, tentu dia akan mudah pergi dan meninggalkan pemiliknya. Begitulah salah satu sifat ilmu, yang juga menuntut ikatan. Dan ikatan ilmu adalah ketika ia ditulis dalam lembaran kertas.

Sementara guru yang ideal menurut surat al-Kahfi [18]: ayat 60-82.
Pertama, Seorang guru hendaklah orang yang tidak hanya mamapu memahami fenomena, tetapi juga mamapu memahami nomena. Seorang guru bukan hanya bisa memahami yang tanpak nyata, namun juga mampu memahami sebab di balik yang tanpak itu. Dengan bahasa lain, seorang yang ideal adalah orang yang memiliki kebijaksanaan, di mana dia mampu mencari akar sebuah permasalahan. Itulah sebabnya, nabi Musa di suruh berguru kepada nabi Khidr, karena Khidr memiliki kebijaksanaan. Dia mampu melihat fenomena dan juga mampu memahami nomena serta penyebab munculnya fenomena tersebut. Itulahg kesan yang di didapatkan dari ciri guru yang ditemukan nabi Musa as. seperti yang terdapat pada ayat 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا(65)
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Nabi Khidr di pilih menjadi guru bagi nabi Musa, karena dia memiliki ilmu untuk memahami yang tanpak (‘indina) sekaligus memiliki ilmu untuk memahami di balik kenyataan (ladunna). Oleh karena itu, jika ditemukan seorang murid yang nakal dan bandel, maka guru yang ideal bukan hanya sekedar mampu menunjukan kenakalannya, akan tetapi juga mampu menemukan penyebab kenakalan itu.
Kedua, Seorang guru harus memahami kondisi muridnya, sehingga dia tidak bersikap arogan atau memaksakan kehendak kepada muridnya. Guru juga harus mengetahui kemampuan intelektual murid. Itulah kesan yang diperoleh dari ungkapan Khidr pada ayat 67-68,
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67)وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68)
Artinya: “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
Ketika nabi Musa mengajukan keinginannya untuk belajar dan mengukiti nabi Khidr as, dia persis tahu bahwa nabi Musa tidak akan sanggup mengikutinya. Dia tahu bahwa nabi Musa adalah seorang yang keras dan emosional serta orang yang paling tidak bisa bersabar. Dan hal itu dipahami oleh nabi Khidr sebagai guru dengan baik.
Begitulah sikap seorang guru dalam mengajar, hendaklah mereka mengetahui sikap, karakter serta kepribadian peserta didiknya dengan baik. Agar para guru dapat memberikan materi dan metode yang benar dalam menjalankan proses belajar dan mengajar.
Kedua, Seorang guru harus selalu bersabar dan berlapang dada menghadapi muridnya serta memberi ma’af atas kesalahannya. Karena, dalam proses belajar dan mengajar seorang guru pasti menemukan banyak hal yang tidak menyenangkan dari muridnya, apakah ucapan, perbutan, sikap dan sebagainya.
Di sinilah kesabaran seorang guru dituntut agar proses belajar dan megajar tetap berjalan dengan baik. Sehingga, seorang guru tidak menyikapi kelakuan muridnya dengan marah dan emosi atau mengabaikan muridnya begitu saja. Begitulah kesan yang diperoleh dari sikap Khidr yang selalu bersabar menghadapi kesalahan Musa as. dan selalu memberikan ma’af dan kesempatan untuk terus mengikutinya, walaupun nabi Musa telah melanggar aturan yang telah mereka sepakati beberapa kali.
Ketiga, Seorang guru memang dituntut untuk selalu menegur setiap kali muridnya berbuat salah. Akan tetapi, teguran haruslah sebijaksana mungkin dan dengan kata-kata yang mendidik serta menyentuh. Seperti Khidr yang menegur Musa dengan kalimat tanya, bukan kalimat yang terkesan melecehkan atau mempersalahkan, namun justru ahkirnya sang murid mengakui kesalahannya sendiri. Dan jika murid tetap melakukan kesalahan yang sama, maka guru semestinya mengambil tindakan yang tegas, bahkan kalau perlu memberikan sanksi. Hal ini bertujuan agar sang murid menyadari kesalahannya dan mengambil pelajaran dari padanya serta tidak melakukan kesalahan yang sama untuk masa mendatang.
Tentu saja pemberian sanksi oleh guru haruslah dengan pertimbangan yang matang dan jika memang hal itu dianggap perlu untuk dilakukan, demi kebaikan seorang murid. Begitulah kesan yang diperoleh dari ayat 72, 75 dan 78.
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(72) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(78)
Artinya: “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku (72). Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"(75). “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”(78)
Kempat, Seorang guru tidak hanya bisa menegur dan memarahi bahkan memberi sanksi terhadap kesalahan murid. Akan tetapi, juga ditunut mampu memberikan penjelasan terhadap kesalahan dan kekeliruan muridnya. Hal ini bertujuan agar seorang murid mengetahui dan menyadari serta tidak mengulanginya pada masa berikutnya. Sehingga, seorang guru diharapkan tidak hanya bisa memarahi dan memberikan sanksi kepada muridnya, namun juga membetulkan kesalahan tersebut. Begitulah kesan yang didapatkan dari ayat 79-82.
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا(79)وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا(80)فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا(81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)
Artinya: Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (78). Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (79). Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran (80). Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya) (81). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya (82).”

Selanjutnya, sikap guru yang ideal menurut surat an-Naml [27]: 15-44 adalah;
Pertama, Seorang guru harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang memiliki ilmu, sehingga memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Hendalak setiap guru berkeingianan untuk menjadikan anak didiknya seperti dirinya atau melebihi dirinya. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16.
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak terkesan kalau dia menutupi ilmu yang diberikan kepadanya.
Begitulah tanggung jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk, sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah kelompok terakhir.
Kedua, seorang guru meskipun dipahami orang banyak sebagai orang alim yang memiliki ilmu yang berbeda dengan orang awam. Namun, hendaklah setiap guru menyadari bahwa betapa banyak dan luas pengetahuannya, masih banyak yang belum diketahui dan mungkin saja pengetahuan itu ada pada orang lain yang kedudukannya lebih rendah daripadanya. Sehingga, sikap yang demikian akan mengantarkan seseorang memiliki sikap tawadhu’ dan menghargai orang lain, serta mau belajar kepada yang lain sekalipun kedudukannya lebih rendah darinya, termasuk muridnya sekalipun. Sikap itulah yang ditunjukan nabi Sulaiman as. dalam ayat 22-23.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ(22)إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ(23)

Artinya: “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini (22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (23).”
Pada ayat sebelumnya, nabi Sulaiaman as. telah mengatakan bahwa dia telah diajarkan ilmu yang banyak, diberikan kekuasaan yang sempurna bahkan mampu memahami bahasa makhluk lain selain mamnusia. Akan tetapi, salah seorang tentaranya; burung hud-hud dengan lantang mengatakan “…Aku mengetahui apa yang belum engkau ketahui…”. Hal itu membuktikan bahwa tidak semuanya yang dapat diketahui manusia, bahkan oleh seorang nabi yang diberi wahyu sekalipun karena ada hal-hal tertentu yang dia tidak mengetahuinya. Itulah yang ditegasklam Allah dalam surat al-Isra’ [17]: 85
….وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: “…dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sangat sedikit sekali.”
Ketiga, Seorang guru secara pasti memiliki pengetahuan melebihi muridnya, akan tetapi dia semestinya tetap memberikan kesempatan dan penghargaan kepada para muridnya untuk ikut aktif dalam mengaktualkan diri dan kemampuan mereka. Itulah hal yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. sebagai guru yang memiliki ilmu yang luas, di dimana dia memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengangkat istana ratu Balqis dari Yaman ke Palestina, sekalipun dia sendiri mampu dan sangat mampu untuk melakukan itu. Begitulah isyarat yang terdapat dalam ayat 38-40
قَالَ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ(38)قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ(39)قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ(40)
Artinya: “Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri(38). Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya(39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia(40)”.
Begitulah cara guru dalam mengahdapi muridnya, yaitu memberikan kesemapatan dan penghargaan kepada siapa saja yang memiliki kemampun untuk malakukan sesuatu dan menunjukan kemampuannya. Sehingga, pembelajaran tidak menjadi dominasi guru, sementara murid hanya duduk dan diam mendengarkan uraiangurunya (“mancawan” bahasa kitanya). Dengan cara begitu, para murid merasa dihargai dan akan termotivasi untuk besaing dan lebih maju.

Surat ‘Abasa [80]: 1-16 juga menceritakan bentuk dan tipe guru yang ideal.
Surat yang turun untuk menegur Rasulullah saw ketika beliau bermuka masam terhadap seorang sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Ummi Muktum. Dia adalah seorang sahabat yang cacat yaitu matanya buta, namun terkenal sebagai sahabat yang rajin belajar kepada Rasulullah dan banyak bertanya tentang wahyu dan berbagai ajaran Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah sedang sibuk dan serius menghadapi dan mengajarkan Islam kepada beberapa tokoh Quraisy yang diharapakan Rasul saw keislaman mereka. Sebab, dalam perhitungan beliau jika tokoh-tokoh ini memeluk Islam diperkirakan akan mempercepat perkembangan Islam di Jazirah Arab.
Di saat Rasulullah saw sedang berbincang dan mengajarkan Islam kepada mereka, datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum menyela pembicaraan Rasulullah saw. Dia meminta supaya diajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada Rasulnya. Hal ini dilakukan berkali-kali sehingga membuat Rasulullah saw merasa terusik dan jengkel. Hal itu kelihatan dari raut muka beliau yang masam - walaupun tidak sampai menghardiknya- serta mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum. Maka Allah swt menurunkan surat ‘Abasa [80]: 1-16.
Adapun sikap guru yang semestinya menurut ayat di atas adalah;
Pertama, Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
عَبَسَ وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى(2)
Artinya: “Dia bermuka masam. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta
Kedua, Seorang guru harus memberikan penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6, bahwa saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi pera pemuka Quraisy sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya.
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى(5)فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى(6)
Artinya: “Adapun orang yang merasa tidak butuh (5) Maka engkau terhadapnya melayani (6).”
Dengan demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
Ketiga, Seorang guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia maupun akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya, apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(3)أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(4)
Artinya: “Apakah yang menjadikanmu mengetahui- boleh jadi ia ingin membersihkan diri (3) Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu (4).”
Keempat, Seorang guru tidak hanya dituntut mengajarkan sesuatu yang berguna, tetapi juga yang berupaya membawa mereka mengenal dan takut pada Tuhannya. Banyak ilmu yang bermanfaat, tetapi malah semakin menjauhkan seseorang dari Tuhannya. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah bagaimana memadukan ilmu yang diajarkan kepada muridnya dengan akidah yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sehingga ilmu yang mereka pelajari tidak hanya bertujuan untuk pengisi otak tetapi juga sebagai makanan hati, jiwa, atau rohani. Yang pada akhirnya akan muncul generasi yang mampu memadukan antara ilmu dan amal shalih. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat 8-9 surat ‘Abasa.
وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى(8)وَهُوَ يَخْشَى(9)
Artinya: “Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera (8) Sedang ia takut”.
Itulah hikmahnya, kenapa Allah ketika memerintahkan membaca dalam wahyu pertama dikaitkan dengan kata “nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu”. Sehingga, proses belajar; membaca dan menulis dan berfikir tidak terlepas dari motivasi ibadah dan demi menemukan kebesaran Allah serta untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Semoga, kita dijadikan Allah swt. sebagai tipe guru yang ideal. Ideal di hadapan manusia juga ideal di hadapan-Nya. Amin.

3 komentar:

pelangiberbintang mengatakan...

Subhanalloh..

Unknown mengatakan...

Trimakasih

Unknown mengatakan...

Terimakasih 🙏👍