Menghadapi Isu Gempa Dan Tsunami Dengan Menjadi Ûlûl al-Bâb
Akhir Desember 2007, menjadi hari-hari yang sangat menegangkan dan menakutkan bagi hampir seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Barat pantai Sumatera. Sebab, sebelumnya beredar isu akan terjadi gempa besar dan gelombang tsunami dahsyat, bahkan lebih dahsyat dibandingkan yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004. Masyarakat menjadi panic, karena berita tersebut sangat mungkin untuk dipercaya, mengingat yang menyampaiknnya adalah seorang professor, ilmuwan dan ahli di bidang meteorology gan geofisika dari Brazil. Sang Profesor bahkan secara berani dalam tulisanya menyebutkan tanggal pasti terjadinya, yaitu tangal 23 Desember 2007.
Sebelum tanggal 23 Desember, sebagian besar masyarakat yang tinggal di pesisir Barat pantai Sumatera, khususnya Bengkulu dan Padang telah mengungsi ke tempat yang tinggi dan jauh dari laut. Kedua kota tersebut mendadak sepi dan lengang dari aktifitas warga. Ada yang lari ke pegunungan, ada yang pulang kampung, ada yang mengungsi ke tempat keluarga dan kerabat di luar kota dan sebagainya. Ternyata, setelah beberapa hari berlalu dari tanggal yang ditentukan, gempa dan tsunami belum juga terjadi. Akhirnya, masyarakatpun kembali ke rumah mereka masing-masing dan memulai lagi aktifitas mereka.
Beberapa pertanyaan muncul kemudian; kenapa begitu takutnya manusia dengan isu gempa dan tsunami? Kenapa manusia atau lebih tepatnya umat Islam begitu percaya ramalan seorang manusia terhadap perkara gaib yang pada hakikatnya hanyalah ilmu Allah semata?
Di antara jawabannya adalah bahwa umat Islam belum menjadi manusia yang jernih hati dan fikirannya sebagai kualitas manuai tertinggi yang sering diistilahkan Allah di dalam al-Qur’an dengan nama disebut ûlûl al-albâb. Ûlûl al-al-bâb secara harfiyah berasal dari kata al-lubb yang berarti inti sesuatu yang tidak tertutupi kulitnya. Biji kacang yang tidak tertutup kulitnya disebut al-lubb. Sehingga, ûlûl al-albâb berarti kelompok manusia yang memiliki akal dan fikiran yang jernih, bersih dan tulus, tidak tertutup kabut debu kemusyrikan, kemunafikan, ketakutan, keraguan dan sebagainya.
Kemusyrikan sebagai salah satu yang menutupi kejernihan hati dan fikiran manusia, bentuknya bukan hanya penyembahan manusia terhadap selain Allah, namun rasa takut yang berlebihan akan kematian dan cinta yang berlebihan akan kehidupan juga bentuk lain dari kemusyrikan. Seperti disebutkan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 95
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا…
Artinya: “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik…”
Kenapa manusia, khususnya sebagian besar umat Islam lari ketakutan mencari tempat-tempat yang tinggi dan aman disebabkan isu yang tidak jelas kebenaranya itu? Karena, umat Islam dihinggapi rasa takut yang membabi buta terhadap kematian. Bila saja, umat Islam memiliki keyakinan yang benar dan kokoh akan janji dan kenikmatan abadi di sisi Allah, justru kematian adalah hal yang paling mereka cinta dan dambakan. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 94
قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar.”
Jika saja umat Islam mau menggunakan kejernihan hati dan fikirannya, tentulah mereka tidak akan terpancing dengan isu yang menyesatkan tersebut. Bukankah yang membuat berita dan perkiraan itu seorang musyrik? Bagaimana mungkin berita dari seorang yang musyrik bisa kita terima secara mentah tanpa ada saringan iman? Bukankah memastikan terjadinya sesuatu yang gaib adalah kemusrikan? Ilmu tentang yang gaib dan waktu kehancuran hanyalah milik Allah semata. Lihatlah penegasan Allah dalam surat Luqman [31]: 34
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Gempa dan tsunami serta bentuk kehancuran lainnya adalah salah satu bagian dari ‘ilm al-sâ’at. Oleh karena itu, siapa yang memastikan terjadinya saat penghancuran adalah pasti kemusyrikannya. Meyakini berita dari kaum musyrik adalah bagian dari kemusyrikan.
Jika saja umat Islam menjadi ûlûl al-albâb, mampu menggunakan kejernihan hati dan fikirannya untuk berfikir dan mengambil pelajaran dari kisah umat lalu yang pernah diceritakan di dalam al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan ikut dalam kemusyrikan tersebut.
Ada hal yang bisa kita simpulkan, bahwa jika saja gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Aceh dan beberapa Negara lain tahun 2004 adalah bentuk azab sekaligus peringatan bagi yang lain, maka ia tidak akan terulang dalam bentuk yang sama apalagi dalam waktu yang berdekatan. Lihatlah kisah umat lalu! Pembangkangan dan kedurhakaan umat nabi Nuh, diselesaikan oleh Allah dengan mendatangkan badai Topan/ al-thaufân. (Q.S. al-Ankabut [29]: 14. Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Hud, diakhiri Allah dengan mendatangkan angin yang sangat dingin dan kencang (rihun sharsharun), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka seperti tunggul kayu yang lapuk (Q.S. al-Haqqah [69]: 6). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Shalih, Allah balas dengan ledakan gunug api (al-rajfatu), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka (Q.S. al-A’raf [7]: 78). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Luth, disudahi Allah dengan mendatangkan hujan batu (matharun min al-hijârat), sehingga merekapun binasa (Q.S. Hud [11]: 82). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Musa, diakhiri Allah dengan mendatangkan petir (al-Shâ’iqati) lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 55. Pembangkangan dan kedurhakaan bangsa Saba’ setelah Sulaiman diakhiri Allah dengan mendatangkan banjir bandang (sailul ‘iram), sehingga negeri mereka menjadi kering, gersang dan tandus dan merekapun kelaparan.
Ternyata, semua bentuk azab ataupun peringatan yang pernah diturunkan Allah tidak mengambil satu bentuk dan satu subjek saja. Oleh karena itu, jika gempa dan tsunamai telah didatangkan Allah sebagai bentuk azab ataupun peringatan, maka andaikata bencana akan tetap terjadi maka ia akan mengambil bentuk dan subjek lain. Sebab, tentara Allah bukan hanya gempa atau air. Masih banyak lagi tentara dan senjata Allah yang bisa dijadikan sarana menghukum atau menegur mahkluk-Nya.
Dengan menjadi ûlûl al-albâb, umat Islam tentu tidak akan mudah terpancing dan terpengaruh oleh isu-isu yang menyesatkan tersebut. Sebab, mereka akan mampu menilai segala sesuatu dengan hati dan fikiran dan jernih, lapang, tenang dan jauh dari kabut debu kemusyrikan. Mereka akan dengan hati-hati dan penuh seleksi iman, ketika menerima suatu berita dan informasi. Mereka juga akan mampu bertindak dan mengambil keputusan dengan tepat, tentu karena petunjuk yang diberikan Allah atas mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar