Jumat, 01 Agustus 2008

Evaluasi Ramadhan

Evaluasi Ramadhan
Tidak sutupun perbuatan yang yang dilakukan manusia secara sadar yang tidak memiliki tujuan, maksud atau sesuatu yang hendak dicapai. Itulah prinsip dari niat yang ada di dalam hati seseorang, ketika hendak melakukan sesuatu amal.
Ketika seseorang membuka pintu rumahnya, pastilah ada yang hendak dicarinya. Ketika seseorang keluar dari rumahnya, pastilah ada sesuatu yang hendak dicarinya, begitulah seturusnya. Sesuatu yang hendak dicapai itulah, yang disebut tujuan.
Begitu juga, bahwa Allah tidak akan menurunkan suatu perintah untuk dilaksanakan manusia atau melarang suatu perbuatan, kecuali di balik perintah dan larangan tersebut ada tujuan dan maksud yang besar. Oleh karena semua pekerjaan memiliki tujuan yang handak dicapai, maka di sitiluah pentingnya melakukan evaluasi terhadap suatu amal atau aktifitas.
Melakukan evalausi berarti melakukan penilaian terhadap suatu perbuatan, sejauhmana tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan evaluasi, seseorang akan mengetahui apa kesuksesan yang sudah dicapai, apa kekurangan, dan mesti diperbaiki, apa kendala yang dihadapi, dan sebagainya. Dengan mengetahui semua itu, diharapakan akan menjadi pedoman untuk berbuat yang lebih baik di masa berikutnya.
Dalam surat al-Hasyr [59]: 18, Allah mengingatkan manusia akan perlunya melakukan evaluasi terhadap setiap amalnya. Seperti firman-Nya;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat di atas Allah swt berpesan, agar manusia melakukan penilaian terhadap semua apa yang telah dilakukannya, untuk menjadi pedoman berbuat yang lebih baik di hari esoknya. Seperti layaknya seorang tukang yang membuat sebuah rumah, sebelum selesai dan menyerahkannya kepada pemilik rumah yang akan memberikan upahnya, terlebih dahulu dia harus melakukan peninjauan dengan seksama terhadap pekerjaannya. Jika terdapat kekurangan, dia mesti memperbaikinya, sehingga dia mendapatkan hasil maksimal dari pekerjaannya itu.
Selanjutnya, pemilik rumah juga puas terhadap pekerjaannya. Sehingga, dia akan memperoleh upah sesuai dengan harapannya atau bahkan akan mandapatkan “bonus” dari pemilik rumah. Kesuksesannya terhadap pekerjaan tersebut, akan menjadi modal baginya untuk hari esoknya. Andaikata orang tersebut akan membuat rumah lagi pada msa berikutnya, tentulah dia akan dipercaya kembali. Atau bahkan, jika ada ada orang lain yang hendak membuat rumah, tentulah dia akan dicari dan diberikan kepercayaan sebagai tukangnya.
Tentu saja, akan berbeda halnya dengan tukang yang mengerjakan pekerjaan secara acak dan asal-asalan, serta tanpa melakukan evaluasi terhadap kerjanya. Begitu dia menyerahkan hasil kerjanya, pemilik rumah akan kecewa dan untuk masa berikutnya dia akan sulit mendapatkan kepercayaan lagi.
Begitu juga seorang guru misalnya, dalam mengajar mestilah melakukan evaluasi terhadap anak didiknya. Jika anak didiknya mendapatkan nilai bagus berarti dia sukses mengajar dan kesuksesan ini akan dijadikan pedoman untuk mengajar dan mencapai hasil yang lebih baik untuk masa mendatang. Jika nilai anak didiknya jelek dan kurang memuaskan, maka berarti dia gagal dan mesti mencari cara dan metode lain yang lebih baik untuk menghasilkan perubahan yang lebih baik pada masa berikutnya.
Ada hal yang menarik dari pesan Allah dari ayat di atas, di mana perintah bertaqwa disebutkan dua kali. Pertama, sebelum evalusi dan kedua, setelah evaluasi. Begitulah isyarat Allah kepada manusia, bahwa taqwa pertama adalah landasan untuk melakukan perbuatan dengan sebaik-baiknya, serta dengan kemampuan yang maksimal. Akan tetapi, jika masih terdapat kekurangan, maka mestilah dia memperbaikinya dengan segenap kemampuan dan dengan upaya maksimal, itulah taqwa yang kedua. Begituah hendakanya manusia beramal, lakukanlah suatu perbuatan dengan maksimal, kemudian setelah dievaluasi perbaiki dengan maksimal pula.
Ibadah puasa dan serangkaian ibadah lainnya yang kita laksanakan selama Ramadhan, mestilah juga dievaluasi sebelum kita menyerahkannya kepada Allah, maka perlu diperhatikan segala sesuatunya, termasuk memperbaiki segala bentuk kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Sehingga, ketika diserahkan kepada Allah, Allah swt merasa “puas”, sehingga kita berhak atas balasan berupa maghfirah, sorga dan keridhaan-Nya.
Begitu juga, segala bentuk kesuksesan dan keberhasilan yang dicapai selama Ramadhan, mestinya menjadi pedoman untuk berbuat yang lebih baik di hari berikutnya. Jika saja selama Ramadhan kita rajin ke masjid, membaca al-Qur’an, bahkan sampai khatam beberapa kali, bangun waktu sahur, kenapa kebiasaan-kebiasaan baik yang merupakan hasil dari latihan selama Ramadhan tidak kita lanjutkan pada hari berikutnya ketika sudah berada di luar Ramadhan? Ingatlah peringatan Allah swt. dalam surat an-Nahl [1]: 92
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا….
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,…”

Tidak ada komentar: