Jumat, 01 Agustus 2008

‘Îd al-Adhha dan Qurbân

‘Îd al-Adhha dan Qurbân

‘Îd al-Adhha juga disebut dengan nama hari raya Qurban. ‘Adhha secara harfiyah berarti menyembelih hewan tertentu. Sementara qurban berarti pendekatan yang sempurna kepada Allah. Makna sempurna dipahami dari bentuk kata qurban قربان) ) yang merupakan bentuk kata benda (mashdar) kata qaraba yang berarti dekat. Kata ini satu pola dengan kata Qur’an (قرآن ) yang berarti bacaan yang paling sempurna, berasal dari kata qara’ a (membaca). Sehingga, ‘Id al-Adhha yang padanya ada ibadah haji dan qurban pada hakikatnya adalah sarana bagi setiap muslim untuk mencapai kedekatan yang paling sempurna kepada Allah.
Pada prinsipnya, semua ibadah yang dilakukan manusia, apapun bentuknya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, belum dinamai Qurban (pendekatan yang sempurna). Pendekatan kepada Allah swt. barulah sampai ke tingkat yang paling sempurna (Qurban), jika sudah melaksanakan ritual tertentu pada hari raya al-Adhha yang salah satu bentuknya menyembelih hewan tertentu seperti kambing, sapi dan unta.
Oleh karena itulah, ‘id al-Adhha merupakan hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “sesungguhnya kamu Ibrahim telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Hajj [22]: 37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Posisi muhsinîn agaknya lebih sempurna dari posisi muttaqîn. Sebab, muttaqîn berarti kemampuan seseorang untuk memelihara diri agar selalu mengerjakan perintah Allah swt dan tidak melakukan larangan-Nya, sehingga dia terpelihara dari bencana, amarah, murka, dan siksa Allah swt. Sementara muhsinîn bukan hanya kemampuan seseorang untuk melakukan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, namun juga kemampuan dan kemauan serta kerelaan seseorang mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya untuk ketaatannya kepada Allah swt. Itulah kiranya, kenapa hewan yang dikorbankan tidak boleh ada cacat pada tubuhnya, dan harus hewan yang sehat, gemuk yang menunjukan bahwa ia adalah yang terbaik yang harus diberikan untuk Allah swt.
Kalau kita berbicara ibadah qurban, maka ritual tersebut sudah sangat tua dan lama sekali, bahkan sama masanya dengan kemunculan manusia di pentas bumi ini. Dalam surta al-ma’idah [5]: 27 Allah swt berfirman
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Itulah awal mulanya ibadah qurban, yang dimulai dari pengorbanan dua anak Adam as. Habil dan Qabil. Allah swt menerima qurban Habil karena dia memberi miliknya yang terbaik untuk Allah swt dengan penuh keikhlasan. Sementara Allah swt menolak qurban Qabil, karena dia memberikan sesuatu yang buruk dari apa yang dimilikinya, itupun dilakukan dengan perasaan terpaksa dan tanpa keikhlasan.
Kemudian sejarah qurban ini berlanjut dalam setiap genarasi manusia, dan dalam setiap peradaban yang diciptakan manusia. Sehingga, ada sebagain yang menyimpang dari ritual yang diajarkan oleh Allah swt. Berdasarkan catatan sejarah, bahwa sebagian peradaban manusia kemudian menjadikan manusia sebagai qurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa yang diyakini tuhan penguasa manusia. Di Mesir misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa sungai Nil. Sementara di Iraq (Babil), bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah yaitu dewa Baal. Suku Astek di Meksiko, mempersembahkan jantung dan darah gadis perawan kepada Dewa Matahari. Di Eropa Utara atau daerah Skandinavia, orang-orang Viking mempersembahkan darah dan tubuh pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin” sebagai qurban. Begitulah bentuk penyimpangan ritual qurban yang dilakukan manusia sepanjang sejarah kehidupan mereka di pentas bumi ini. Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati, bahwa setiap peradaban manusia terlepas dari penyimpangan yang dilakukan, yang pasti mereka memberikan sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan sebagai qurban kepada tuhan mereka.
Kemudian datanglah nabi Ibrahim as. meluruskan penyimpangan terhadap ritual qurban tersebut. Allah swt juga menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya Isma’il as. namun kemudian menggantinya dengan sesembelihan yang besar berupa kibas, karena seorang manusia terlalu mahal harganya untuk dijadikan qurban –sekalipun tidak layak mengatakan ungkapan seperti itu untuk Allah- . Peristiwa tersebut direkam Allah swt dalam firman-Nya surat ash-Shafat [37]: 100-111.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(100)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(101)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(107)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(109)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(110)إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ(111)
Artinya: “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100), Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101), Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105), Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106), Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107), Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108), (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim (109), Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (110), Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (111).”
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita penyembelihan Isma’il as oleh Ibrahim as di atas. Pertama, betapa Ibrahim sebagai seorang hamba menunjukan kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah swt. Karena semenjak awal kelahirannya, Ibrahim as. telah diberikan begitu banyak ujian oleh Allah swt. Namun, semua ujian itu diselasaikannya dengan sempurna. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman; ”Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia”, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab “janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. mulai dari awal kelahirannya, di mana saat itu raja Namrudz mengeluarkan kebijakan bahwa setiap kelahiran anak-laki laki harus dibunuh. Sehingga Ibrahim as. dilahirkan ibunya ditempat yang jauh dari manusia. Setelah dewasa Ibrahim diperintahkan untuk menyeru ayahnya, kaumnya serta raja Namrudz untuk bertauhid kepada Allah swt dan menyembah-Nya, namun ajakan itu disambut kaumnya dengan membakarnya, bahkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Kemudian setelah menikah, Ibrahim as. harus menunggu waktu yang sangat lama untuk bisa memperoleh keturunan. Diriwayatkan bahwa beliau memperoleh keturunan setelah berumur lebih dari 80 tahun. Setelah isterinya hamil dan saat akan melahirkan, Ibrahim as. disuruh mengantarkan isterinya di tempat yang tidak berpenghuni di padang pasir, sehingga dia tidak sempat melihat dan menyambut kelahiran anak yang sudah lama ditunggunya. Setelah anaknya menganjak dewasa, Allah swt menyuruh mengorbankannya dengan menyembelih anak tersebut.
Hal yang sangat menarik untuk direnungkan dari kisah penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim seperti diceritakan dalam surat ash-Shafat di atas. Di mana Ibrahim berkata kepada anaknya Isma’il “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”. Ibrahim as. tidak berkata “Hai anakku! sesungguhnya aku bermimpi diperintah Allah untuk menyembelihmu”. Hal itu menunjukan bahwa Qurban bukanlah sebuah paksaan dan kewajiban. Qurban adalah ibadah yang menuntut kesadaran dan kerelaan seorang hamba untuk mencapai tingkat tertinggi. Lihatlah panggilan Allah kepada Ibrahim, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya…”. Allah swt. tidak menyeru Ibrahim dengan kalimat, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan perintah-Ku…”. Sehingga, wajarlah kalau ibadah tersebut disebut Qurban (pendekatan paling sempurna). Karena, seorang hamba bersedia memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya dengan kesadaran dan penuh kerelaan, tanpa ada paksaan apalagi ancaman dosa dan sanksi.
Masih banyak lagi bentuk ujian yang diberikan kepada Ibrahim as. Akan tetapi, semua ujian itu diselesaikan oleh Ibrahim as. dengan sempurna sehingga Allah swt mengangkatnya menjadi imam (pemimpin), dan menjadi orang muhsinîn.
Itulah pelajaran berharga yang bisa diambil dari Ibrahim as, bahwa kesuksesan menjalankan ujian akan membawa manusia menjadi orang yang terhormat, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia. Begitu juga kesediaan memberikan yang terbaik untuk Allah swt akan membuat manusia menjadi kekasih Allah swt. Seperti firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ….
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Kedua, Ibrahim as. sebagai orang tua meminta pendapat anaknya sebelum melakukan keinginannya, sekalipun itu perintah Tuhan. sebab, seorang anak juga memiliki hak untuk ikut menentukan masa depannya. Hal itu tergambar dari ungkapan nabi Ibrahim as. "…Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.
Begitulah seharusnya orang tua yang bijaksana terhadap anak mereka. Sebab, Anak juga punya hak untuk didengarkan pendapatnya oleh orang tua mereka. Orang tua sekalipun memiliki wewenang penuh terhadapnya, namun dalam memutuskan sesuatu apalagi yang terkait dengan masa depan sang anak, orang tua harus tetap mendengarkan kinginan sang anak. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang tidak bersikap otoriter dan memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.
Ketiga, jawaban Isma’il as. yang begitu mantap sebagai cerminan seorang anak yang shalih. Ketika ayahnya meminta pendapatnya atas pengorbanan dirinya, dengan mantap Isma’il menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Begitulah gambaran seorang anak yang shalih dalam membuktikan bakti, kepatuhan, dan ketaannya kepada orang tuanya demi menunaikan perintah Allah swt. Tentu, semua orang tua mendambakan anak mereka menjadi anak yang shalih dan menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Namun, memperoleh anak yang shalih bukanlah sesuatu yang mudah, karena orang tua harus memulainya sejak dini. Mulai dari memilih jodoh, memberikan makan yang halal lagi baik, dan yang paling penting memberikan pendidikan agama kepada mereka. Tentunya, ini semua adalah tanggung jawab orang tua.
Apalagi dengan melihat kondisi kemajuan zaman dan segala bentuk hasil peradaban yang diciptakan manusia. Jikalau para orang tua tidak hati-hati dan berupaya dengan keras mengarahkan pendidikan anaknya, amat mustahil anak yang shalih bisa diperoleh. Janganlah kita seperti yang pernah diriwayatkan Rasullah saw, bahwa nanti di akhirat ada seorang yang hendak melangkahkan kakinya ke sorga. Sesaat sebelum memasukinya, datang seorang yang berteriak “Ya Rabbi anshifni min hâdza al-zhâlim” (Ya Tuhan cegah dulu langkah orang zalim itu!). Tuhan bertanya “Kenapa engkau panggil dia orang zalim, bukankah dia orang tuamu?”. Jawabnya “Betul, dia adalah orang tua saya, dulu ketika di dunia dia adalah orang shalih dan taat kepada-Mu, sehingga Engkau hadiahkan sorga-Mu untuknya hari ini. Namun, keshalihan dan ketaatan itu hanya untuk dirinya, dia tidak pernah memperhatikan dan menyuruhku menyembah-Mu, sehingga hari ini engkau hadiahkan neraka-Mu untukku. Aku minta keadilan kepada-Mu”. Tuhan pun memberikan keadilan dengan saling menukar posisi mereka. Anak menggantikan ayahnya masuk sorga, dan ayah menggantikan anaknya masuk neraka.

Tidak ada komentar: