Jumat, 01 Agustus 2008

Menjaga Lidah

Menjaga Lidah

Ketika nabi saw. isra’ dan mi’raj, Allah swt. memperlihatkan kepada beliau banyak tamsilan dari kehidupan umatnya. Di antara yang dilihat Nabi saw adalah, sebuah batu kecil yang keluar darinya seeker unta dengan mudahnya. Namun, ketika sudah berada di luar, badannya semakin mengembang, dan iapun ingin masuk ke dalam batu tempatnya semula. Akan tetapi, setiap kali dicobanya, ia tetap tidak bisa. Sehingga, Nabi saw. pun bertanya kepada Jibril tentang apa maksudnya unta yang keluar dari batu kecil itu.
Malaikat Jibril menjelaskan, bahwa itulah tamsilan umatmu yang dengan mudah mengeluarkan kata-kata, namun ketika orang lain sudah tersinggung dan merasa tersakiti dengan perkataannya itu, dia ingin mencabut kembali ucapannya. Namun, ketika itu sudah tidak bsia lagi, karena orang lain sudah terlanjur sakit dan terluka karena ucapannya.
Begitulah pengajaran yang ingin disampaikan Allah kepada kita umat Muhammad, tentang pentingnya menjaga lidah dan perkataan. Sehingga, persoalan menjaga lidah, Allah isyaratkan ketika Nabi saw. masih dalam perjalanan isra’ yaitu ketika masih di bumi sebelum mi’raj ke langit dan menjemput perintah shalat. Hal itu memberikan isyarat, bahwa sebelum seseorang pandai shalat, hendaklah terlebih dahulu dia bisa menjaga lidah dan ucapannya. Bukankah seorang anak yang ketika lahir, hal yang pertama kita ajarkan adalah bagaimana berbicara dan berhasa yang baik. Belum lagi kita ajarkan shalat yang benar, kecuali setelah berumur tujuh tahun atau lebih.
Pada prinsipnya, manusia sangat mengetahui betapa pentingnya menjaga lidah. Bahkan, sekiranya tanpa diperintahkan Allah pun, agaknya manusia juga akan menyadari pentingnya menjaga dan memelihara lidah. Bukankah banyak ungkapan bijak yang ditemui dalam setiap masyarakat tentang persolan lidah? Lihat misalnya ungkapan berikut, “Lidah tidak bertulang” (ajaran untuk tidak mempermainkannya sesuka hati), “Mulutmu harimaumu” (betapa banyak mulut yang membuat seseorang binasa, oleh karena itu berhati-hatilah jika berbicara), “Mangango dulu kok kamangecek (fakir dulu sebelum bicara), “Luka pedang pedang bisa diobati, luka hati ke mana obat hendak dicari” (betapa sulitnya mengobati hati yang terluka karena suatu ucapan, karena luka karena lidah akan lama membekasnya di dalam hati).
Di dalam al-Qur’an, lidah Allah sebut dengan nama lisan yang juga berarti bahasa. Sebab, antara lidah dan bahasa adalah dua hal yang tidak terpisahkan, lidah melahirklan bahasa dan bahasa lahir dari kreasi lidah. Namun demikian, di dalam al-Qur’an ditemukan bahwa ketika kata lisan disebutkan Allah, maka tema pembicaraan biasanya selalu terkait dengan salah satu dua hal. Pertama, pujian, rahmat, kasih sayang, kehormatan, kedudukanan yang tinggi, kemuliaan dan seterusnya. Kedua, celaan, kutukan, kesulitan dan seterusnya. Hal itu memberikan isyarat bahwa lidah manusia hanya akan berpeluang mengantarkan manusia kepada dua hal tersebut; kebaikan atau kejahatan. Berikut akan kita lihat kedua aspek tersebut.
Pertama, pujian, kehormatan, kemudahan, rahmat, sorga dan kedudukan yang tinggi. Di antaranya:
a. Surat Maryam [19]: 50
وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا
Artinya: “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.”
Penyebutan kata lisan (lidah) pada ayat di atas terkait dengan rahmat (kasih sayang) baik dari Allah maupun dari manusia. Adalah hal yang sangat lazim dan wajar jika manusia yang mampu menjaga lidahnya dengan baik, mampu berhasa dengan baik, benar, sopan dan santun, tentulah Allah dan semua orang akan menyukainya
b. Surat asy-Syu’ara’ [26]: 84
وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
Artinya: “dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.”
Penyebutan kata lisan dalam ayat di atas dalam artian permohonan agar menjadi buah tutur atau buah bibir orang lain di kemudian hari. Adalah sangat logis, jika manusia yang mampu menjaga lidahnya akan dikenang manusia lain sebagai orang baik. Sebaliknya, bahwa manusia yang tidak mampu menjaga lidahnya dengan baik akan sangat mudah dilupakan, dan kalaupun disebut tentu pembicaraan orang-orang tentang dirinya adalah terkait dengan keburukanya.
c. Surat asy-Syu’ara’ [26]: 195-197
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ(195)وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ(196)أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ ءَايَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ(197)
Artinya: “Dengan bahasa Arab yang jelas (195). Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu (196). Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?(197).”
Dalam ayat di atas, penyebutan kata lisan dikaitkan dengan pembicaraan tentang ulama yang merupakan sekelompok elit masyarakat yang sangat dihormati dan dimuliakan. Adalah sebuah isyarat Allah, bahwa yang mampu menjaga lidahnya akan diberikan kedudukan mulia, bahkan akan berpeluang menjadi ulama yang disegani. Adalah Abdullah Gymnastiar (AA Gym), seorang da’i atau ulama yang sangat popular dan dihormati serta diidolakan terutama oleh kaum ibu Indonesia. Ketenarannya melebihi pakar-pakar agama Islam yang sangat luas dan dalam ilmunya sekalipun, bahkan yang meraih gelar doktor di Timur Tengah sekalipun. Rahasia utama dari kesuksesan AA Gym adalah gaya bicaranya yang santun, lembut dan menyentuh serta kemampuannya dalam merangkai kata dengan baik dan menarik. Begitulah lidah yang baik dan terjaga.
d. Surat al-Qashash [28]:34
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ
Artinya: “Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".
Ayat di atas menceritakan permohonan nabi Musa as. kepada Allah swt. agar mengangkat Harun as. sebagai menteri dan pembantunya sekaligus sebagai juru bicaranya dalam menghadapi Fir’aun. Alasan yang dikemukan nabi Musa adalah bahwa Harun memiliki lidah yang bagus serta kemampuan bicara yang baik.
Begitulah isyarat Allah, bahwa yang mampu menjaga lidah dan berbahasa dengan baik dan benar, Allah akan memberikannya kedudukan yang tinggi di antara manusia seperti menjadi menteri, juru bicara, senator, mediator juru kempanye dan seterusnya. Bukankah sudah menjadi sunnatullah bahwa yang selalu tampil berbicara mewakili orang banyak adalah yang memiliki kemampuan bahasa yang baik? Bukankah yang menjadi jubirnya presiden adalah orang-orang yang bagus dalam berbahasa dan berargumentasi? Begitulah seterusnya.
e. Surat ad-Dukhan [44] : 58
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.”
Lisan pada ayat diatas disebutkan bersama kata yusra yang berarti kemudahan. Begitulah, hukum Allah yang sudah tetap bahwa yang menjaga lidah dengan baik, yang mampu berbahasa dengan santun, maka dia akan memperoleh banyak kemudahan dalam hidupnya. Sebab, ke manapun dia pergi dan di manapun dia berada, tentulah semua orang akan dengan senang hati menerima. Akan berbeda halnya dengan orang yang selalu menyakiti orang lain dengan lidah dan ucapannya, akan menemui banyak kesulitan dan kesempitan dalam hidupnya. Sebab, semua orang akan menjauh dan menghindarkan diri darinya.
Kedua, Celaan, kutukan, murka, kesulitan dan seterusnya. Di antaranya:
a. Surat al-Ma’idah [5]: 78
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Artinya: “Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Kata lisan dalam ayat di atas terkait dengan pembicaraan tentang kutukan dan laknat. Itulah isyarat Allah, bahwa yang tidak mampu menjaga lidahnya dengan baik, tentu akan dicela dan dimurkai, baik oleh Allah maupun manusia. Tentu sudah menjadi konsekwensi logis dalam kehidupan manusia di dunia ini. Karena tidak akan mungkin manusia yang kasar, bengis, “judes” akan disayang dan dipuji manusia.
b. Surat Maryam [19]: 97-98
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا(97)وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هَلْ تُحِسُّ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا(98)


Artinya: “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Qur'an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang (97). Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorangpun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (98).”
Ayat di atas menyebutkan kata lisan dengan mengaitkan pembicaraan dengan kehancuran banyak kaum dan generasi. Memang begitulah sifat lidah yang tidak terjaga dengan baik, ia sangat berpeluang mengantarkan seseorang atau sekelompok orang kepada jurang kehancuran dan kebinasaan. Itulah arti ungkapan “Mulutmu adalah harimaumu yang akan menerkam dan membinasakanmu”. Semoga kita termasuk orang yang mampu menjagai lidah. Amin.

Tidak ada komentar: