Menteri Dan Pejabat Yang Ideal Menurut Al-Qur’an
Sudah menjadi sunantullah dalam sejarah perjalanan peradaban yang dibangun manusia, bahwa sekelompok orang yang membentuk sebuah komunitas, pasti memiliki pemimpin dan penguasa tempat mereka menyerahkan urusan. Namun demikian, dalam catanan sejarah tidak pernah satupun pemimpin umat atau masyarakat yang mampu menjalankan kekuasaannya seorang diri. Sekuat dan secakap apapun seorang penguasa, pastilah mereka memeliki para pembantu dalam berbagai macam bentuk dan sebutan. Dan yang populer untuk sebutan seorang pembantu raja atau kepala negara adalah menteri atau pejabat negara.
Di dalam al-Qur’an, Allah swt memberikan tuntunan kepada para penguasa, raja dan sebagainya untuk memilih para menteri, pembantu atau pejabat yang akan membantu menjalankan kekuasaan mereka. Sehingga, para pembantu yang mereka pilih adalah orang yang mampu menolong dan menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dihadapi sang penguasa dalam menjalankan kekuasaannya, bukannya akan mendatangkan masalah atau bahkan menjadi masalah baginya.
Setidaknya, ada empat surat di dalam al-Qur’an yang membicarakan kriteria menteri atau pejabat ideal;
Pertama, surat Yusuf [12]: 54
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
Artinya: “Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang kuat lagi dipercaya pada sisi kami".
Ayat di atas menceritakan kisah nabi Yusuf yang diangkat menjadi menteri dan pejabat Mesir urusan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Raja mengangkat Yusuf menjadi pembantunya, karena melihat dua hal dalam diri Yusuf; kekuatan dan kejujuran.
Seorang menteri, pejabat atau pembantu raja, mestilah seorang yang kuat, cakap, cerdas, ahli serta profesional di bidangnya. Sebab, jika seorang raja menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, tuntulah dia akan membinasakan diri dan rakyat serta kekuasaannya.
Namun demikian, kecakapan dan profesioanalisme saja tidak cukup untuk dijadikan alasan mengangkat seseorang menjadi pejabat negara. Dia mestilah memenuhi syarat kedua yang tidak boleh dipisahkan, yaitu amanah atau kejujuran. Betapa banyak para pejabat suatu negeri yang pintar, cerdas dan propesional, akan tetapi merekalah yang menjadi penyebab kehancuran bangsanya. Hal itu disebabkan, karena para pejabat yang menjalankan kekuasaan bukanlah pejabat yang amanah. Jika amanah tidak dimiliki, tentulah rasa aman dan nyaman juga akan jauh dari suatu bangsa dan masyarakat.
Kedua, surat al-Qashsah [28]: 34
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ
Artinya: “Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".
Ayat ini menceritakan kisah nabi Musa as. ketika hendak menghadapi Fir’aun yang terkenal kecakapan dan kekutannya. Sehingga, Musa sebagai pemimpin bani Israel merasa tidak mampu mengahadapi kekuatan Fir’aun seorang diri. Maka dia berdo’a kepada Allah agar ditunjuk untuk seorang pembantu (menteri). Seperti disebutkan dalam surat Thaha [20] :29-30
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)
Artinya: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku (29). (yaitu) Harun, saudaraku (30).”
Kriteria pejabat atau menteri yang dipilih dalam ayat di atas adalah seorang yang memiliki kemampuan bicara yang bagus, emosi yang cerdas serta kemampuan beretorika. Seorang menteri yang menjadi pembantu seorang raja atau penguasa mestilah orang yang cakap dan pintar dalam berbicara. Tutur kata seorang pejabat negara haruslah rapi dan tersusun dengan baik. Sebab, seorang pejabat adalah gambaran dari peradaban masyarakat yang sedang dipimpinnya.
Ketiga, surat at-Taubah [9]: 40
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat di atas, berbicara tentang Abu Bakar ash-Shiddiq yang mendampingi nabi, ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Ketika bersembunyi di gua Tsur, Rasulullah ketakutan kerana diluar gua orang-orang kafir Quraisy dengan persenjataan lengkap, hampir menemukan mereka berdua dan siap hendak membunuh beliau dan Abu Bakar. Namun, di saat genting dan mencemaskan itulah Abu Bakar memberikan hiburan dan ketenangan kepada Rasulullah saw. dengan ungkapan beliau yang terkenal, “Janganlah engkau cemas wahai Rasulullah, seseungguhnya Allah bersama kita.”
Ayat di atas menggambarkan Rasulullah sebagai seorang penguasa dan pemimpin, sedangkan Abu Bakar berperan sebagai pendamping, pembantu atau menteri beliau. Apa yang dilakukan Abu Bakar adalah cerminan pembantu atau menteri yang ideal, di saat genting dan mencemaskan seorang menteri haruslah mampu memberikan ketenangan kepada seorang raja dan kepala negara. Teramat buruk seorang menteri, jika disaat genting tidak mampu memberikan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi seorang penguasa. Dan tentu terlebih buruk lagi, jika ada pejabat negara tau menteri yang bukannya mempu mendatangkan ketenangan kepada penguasa yang sedang panik dan gelisah, malah menambah kepanikan atau mendatangkan kekacauan yang sebelumnya sangat tenang dan damai.
Keempat, surat an-Naml [27]: 39-40
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ(39)قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ(40)
Artinya: “Berkata `Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya" (39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia" (40).”
Ayat di atas menceritakan kisah nabi Sulaiman as, dengan para pejabat kerajaannya dari jin dan manusia. Ketika hendak mengangkat istana ratu Balqis ke Palestina, Sulaiman menyerahkan urusannya kepada para pembesarnya yang memiliki kemampuan mengangkat dan memindahkan istana ratu Balqis. Ketika itulah jin Ifrit berkata bahwa ia mampu mengangkat istana Balqis sebelum Sulaiman berdiri. Dia berkata demikian, karena dua alasan; kekuatan yang dimilikinya serta kejujurannya.
Akan tetapi, seorang pembantunya dari manusia berkata, bahwa dia mampu mengangkat dan memindahkan istana ratu Balqis, sebelum mata Sulaiman berkedip. Kemampuannya memindahkan istana secepat itu, bahkan lebih cepat dari raja jin, adalah kekuatan, kujujuran, serta ilmu yang benar dari al-Kitab yang sebanding dengan amalnya. Sebab, di dalam al-Qur’an tidak disebutkan seorang yang berilmu dalam bentuk pujian, kecuali orang yang sempurna mengamalkan ilmunya.
Sehingga, seorang menteri atau pejabat negara yang ideal, bukan hanya cakap, cerdas, jujur, namun juga seorang yang shaleh. Seorang pejabat negara semestinya orang yang berilmu banyak dan berwawasan luas, serta cakap dalam menyelesaikan masalah negara, sekaligus juga seorang yang ilmunya berbanding lurus dengan amalnya. Jika para pejabat negara seperti itu, pastilah sebuah neraga akan besar dan jaya serta masyarakatnya akan makmur dan tantram.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar