Jumat, 01 Agustus 2008

Makna Hijrah Dalam Konteks Pendidikian

Makna Hijrah Dalam Konteks Pendidikian
Beberapa hari yang lalu, kita baru saja melewati pergantian tahun baru masehi dari 2007 ke 2008 M. Tepat sepuluh hari kemudian, kita juga menyambut pergantian tahun baru Hijriyah dari 1428 ke 1429 H. Kita sudah sama-sama menyaksikan betapa penyambutan pergantian kedua tahun ini sangat berbeda. Namun, pada kesempatan ini kita tidak akan berbicara bagaimana Islam atau tepatnya al-Qur’an mengajarkan cara penyambutan pergantian tahun dengan benar. Mungkin di kesempatan lain kita akan bicarakan. Pembicaraan akan kita fokuskan tentang makna dan hakikat hijrah.
Kata hijrah berasal darai kata (هجر) yang secara harfiyah berarti kondisi yang sangat panas. Kondisi ini menjadikan seseorang mesti berpindah ke tempat lain, jika dia tidak ingin binasa. Perpindahan tersebut tentu saja ke tempat yang lebih dingin atau minimal sedikit lebih sejuk dari tempat dan kondisi sebelumnya. Begitulah hijrah yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabat yang berpindah dari Makkah ke Madinah, karena Makkah ketika itu adalah wilayah yang sangat “panas”. Para penguasa politik Makkah tidak memberikan ruang gerak bagi Nabi saw. dan para pengikut beliau. Bahkan, seringkali Rasulullah bersama sahabatnya mendapatkan perlakukan yang tidak wajar, mulai dari ejekan, ancaman, intimidasi, pembaikotan, bahkan penyiksaan yang berbentuk fisik. Kondisi “panas” inilah yang membuat Nabi saw. bersama para sahabat berpindah ke wilayah yang “sejuk” yaitu Madinah. Inilah tonggak sejarah besar dalam perjuangan da’wah Islam yang dalam waktu sepuluh tahun setelah itu, Islam menjadi kekuatan yang luar biasa besar, bahkan menguasai seluruh jazirah Arabiyah.
Dari huruf ه,ج, ر terbntuk enam kata di dalam kosa kata bahasa Arab. Seperti (هرج) yang berarti fitnah atau sangat kencang, (جهر) yang berarti sangat keras, (جره) yang berarti gersang atau gundul, (رهج) yang berarti kekacauan, (رجه) yang berarti berguncang. Dengan demikian, semua kata yang tersusun dari huruf ه,ج, ر berarti sebuah kondisi yang tidak baik dan mengharuskan seseorang melakukan perpindahan atau perobahan ke arah yang lebih baik. Itulah prinsip hijrah; melakukan perpindahan atau perobahan dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang baik, dari keadaan yang belum sempurna munuju keadaan yang sempurna, dari bentuk yang sudah sempurna menuju bentuk yang paling sempurna. Maka perpindahan atau perobahan tersebut tidaklah disebut hijrah, jika tidak ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Selanjutnya, hal yang mesti kita sadari bahwa setiap perubahan menuju arah yang lebih baik, pastilah menuntut adanya pengorbanan. Baik pengorbanan harta, perasaan bahkan nyawa sekalipun. Oleh karena itulah, di dalam al-Qur’an seringkali kata hijrah dikaitkan dengan kata jihad serta pengorbanan harta dan jiwa. Lihat, misalnya firman Allah dalam surat al-Anfal [8]: 72
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Begitu juga dalam surat at-Taubah [9]: 20
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Kita bisa melihat betapa pengorbaan besar dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabat beliau. Ketika Rasulullah akan berangkat diam-diam meninggalkan Makkah di malam hari bersama Abu Bakar ra., rumah beliau sudah dikepung oleh para pemuda tangguh dan bersenjatakan lengkap dari seluruh kabilah Arab. Mereka ditugaskan untuk memubunuh Rasulullah ketika telah lewat tengah malam. Di saat kondisi genting seperti itulah Rasulullah meminta Ali bin Abi Thalib menggantikan beliau tidur di tempat tidur beliau. Ali bin Abi Thalib bersedia mengorbankan nyawanya demi suksesnya hijrah Rasulullah saw. Jika saja para pemubunuh tersebut tidak membuka selimut yang menutupi wajah Ali bin Abi Thalib terlebih dahulu, tentulah malam itu menjadi malam terakhir baginya. Karena, pedang-pedang pembunuh akan segera menghabisinya. Begitulah pengorbanan yang pernah ditunjukan Ali bin Abi Thalib untuk suksesnya sebuah peristiwa yang menjadi tonggak perobahan besar dalam sejarah dunia dan umat manusia di kemudian hari.
Ketika akan hijrah, Abu Bakar ash-Shiddiq membeli dua ekor unta yang akan mereka kendarai menuju Madinah. Abu Bakar berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Saya telah membeli dua ekor unta untuk kendaraan kita menuju Madinah. Silahkan engkau pilih mana unta yang engkau sukai dari kedua unta ini!”. Rasulullah menjawab, “Tidak, saya tidak akan menaiki unta yang bukan milik saya”. “Unta ini adalah milik engkau yang Rasulullah, karena saya telah menghadiahkannya untukmu”. Jawab Abu Bakar.
Rasulullah tetap menolak untuk mengendarai unta tersebut, sebelum mengganti harganya seharga yang dibeli oleh Abu Bakar. Akhirnya, Abu Bakar mengalah dan menerima uang dari Rasulullah saw. sebanyak harga dia membeli unta tersebut.
Begitu Rasulullah saw. bersama Abu Bakar sampai di Madinah, hal pertama yang dilakukan beliau adalah mencari tempat di mana masjid akan dibangun. Setelah mendapatkan lahan yang tepat, pemilik tanah yang akan dijadikan tempat berdirinya masjid tersebut berkata, “Ya Rasulullah! Tanah ini saya wakafkan sebagai tempat pembangunan masjid”. Namun, Rasulullah menolak sambil berkata, “Saya akan membangun masjid di atas tanah yang saya beli dengan harta saya”. Akhirnya, pemilik tanah tersebut menjual tanah itu kepada Rasulullah untuk kemudian dijadikan tempat pembangunan masjid Nabi.
Dari kisah tersebut, ada hal yang ingin diajarkan Rasulullah kepada umatnya, bahwa untuk mencapai sesuatu yang besar perlu ada pengorbanan. Hijrah adalah perpindahan atau perubahan yang memiliki tujuan yang sangat besar.
Ada tiga hal besar setidaknya yang menjadi tujuan dari hijrah tersebut, yang ketiga hal itu tidak sukses selama tiga belas tahun di Makkah. Yaitu; Pertama, merobah aqidah manusia dari aqidah yang bathil dan sesat menuju aqidah yang haq dan benar. Kedua, merobah akhlak manusia dari akhlak madzmumah (tercela) kepada akhlak mahmudah (terpuji). Ketiga, merobah “wajah dunia” dari bentuk jahiliyah menuju dunia yang berperadaban, atau dalam bahasa sederhana merealisasikan perintah iqra’ (bacalah!).
Kita akan tinggalkan apa yang dilakukan Rasulullah dan bagaimana perjuangan serta pengorbanan beliau untuk perubahan dua hal yang pertama pasca hijrah. Kita bicarakan hal yang ketiga, yaitu usaha dalam merobah wajah dunia dan umat manuisa dari bentuk jahiliyah menuju manusia yang berperadaban.
Tujuh bulan setelah hijrahnya Rasulullah bersama para sahabatnya ke madinah, tepatnya bulan Ramadhan tahun pertama hijrah kaum kafir Quraisy datang untuk menyerbu umat Islam. Mereka datang dengan kekutan lebih dari seribu prajurit yang lengkap dengan persenjataan dan pasukan berkuda. Umat Islam terpaksa melakukan perlawanan, walaupun dengan kekuatan pasukan tidak lebih dari tiga ratus orang dengan senjata seadanya dan hanya memiliki dua ekor kuda. Akhirnya, kedua pasukan bertemu di sebuh daerah bernama Badr, maka meletuslah perang paling dahsyat dalam sejarah umat Islam. Berkat pertolongan Allah swt. seperti disebutklan dalam surat al-Anfal [8]: 44
وَإِذْ يُرِيكُمُوهُمْ إِذِ الْتَقَيْتُمْ فِي أَعْيُنِكُمْ قَلِيلًا وَيُقَلِّلُكُمْ فِي أَعْيُنِهِمْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
Artinya: “Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Dan hanya kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”
Pertolongan ini menjadikan umat Islam memperoleh kemenangan yang besar. Lebih tujuh puluh pasukan kafir Quraiys terbunuh dan tujuh puluh lainnya berhasil dijadikan tawanan. Tawanan perang ketika itu biasanya langsung menjadi budak yang memenangkan peperangaan. Para tawanan ini akan dipekerjakan sebagai budak tanpa harus di bayar, jika perempuan boleh digauli tuannya tanpa harus dinikahi, jika tuannya tidak suka lagi dia bebas diperjualbelikan layaknya seekor binatang. Namun, Jika keluarga tawanan masih ingin anggota kelurganya yang tertawan kembali bersama mereka, maka mereka harus membayar tebusan yang ketika itu harganya bisa mencapai seratus ekor unta. Jika disamakan dengan harga hari ini, setara dengan harga seratus mobil mewah. Sebab, zaman itu ukuran kekayaan manusia adalah unta. Sungguh harga yang sangat mahal dan fantastis sebagai kompensasi pembebasan.
Apa yang dilakukan Rasulullah terhadap para tawanan perang ini? Rasulullah saw. memberikan syarat kepada mereka sebagai kompensasi kebebasan yaitu mereka harus mengajarkan membaca dan menulis kepada umat Islam sebanyak sepuluh orang untuk masing-masing mereka. Itulah kempensasi kebesan mereka. Jika saja jumlah tawanan perang itu tujuh puluh orang tentulah setidaknya sudah tujuh ratus umat Islam yang bisa menulis dan membaca setelah perang Badar. Sungguh suatu peningkatan kecerdasan umat dalam jumlah yang sangat fantastis, jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam yang ketika itu masih berjumlah ratusan orang.
Melalui kebijakan tersebut, Rasulullah ingin mengatakan kepada manusia bahwa kebodohan adalah sama dengan kondisi manusia menjadi tawanan. Dia akan menjadi budak yang bisa diperjual belikan orang lain. Dia akan selalu menjadi objek dan tidak akan pernah menjadi subjek. Dia akan selalu diekploitasi dan tidak akan pernah menjadi pemain dan actor. Ilmu pengetahuanlah yang bisa membebaskan manusia dari semua itu. Oleh karena itulah harganya sangat mahal, satara dengan seratus mobil mewah hari ini.
Hal yang sangat menarik untuk menjadi renungan kita, khususnya para orang tua murid yang hadir hari ini, hanya untuk mengajarkan menulis dan membaca saja harganya harus setara dengan seratus ekor unta (seratus mobil mewah hari ini). Orang tua manakah yang bersedia membayar semahal itu untuk hanya mendapatkan ilmu menulis dan membaca bagi anaknya?
Anak-anak kita, Khususnya yang belajar di pesantren ini mereka diajarkan berbagai disiplin ilmu, bukan hanya untuk kesuksesan dunia mereka namun juga untuk akhirat mereka. Di sini, mereka belajar matematika, fisika, biologi, bahasa inggris, bahasa Arab, tafsir, menghafal al-Qur’an, hadist dan sejumlah ilmu lainnya. Berapakah bayaran yang pantas untuk semua itu kita keluarkan? Jawablah dengan hati nurani kita!
Hal lain yang menarik untuk kita cermati dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasululah saw. di mana perintah Allah adalah untuk merobah peradaban manusia, menciptakan manusia yang berilmu dan cerdas. Pertama, perintah iqra’ dikaitkan dengan kata bismi rabbika (dengan nama Tuhan mu). Artinya, ilmu yang diajarkan bukan hanya bertujuan mencerdaskan dan memuaskan kebutuhan akal semata. Namun, ilmu yang diajarkan mestilah bertujuan mencari kebesaran Allah, mengenalkan manusia kepada Penciptanya dan mendekatkan manusia pada Sang Pencipta nya. Kalau bapak ibu bertanya, “Di manakah tempatnya sekolah yang mengajarkan itu? Jawabannya, “Salah satunya di pesantren ini”. Maka pertanyaan yang sama juga akan muncul, “Jika demikian halnya, berapakah bapak ibu pantas membayar bila anaknya sekolah di sekolah-sekolah seperti ini?
Kedua, membaca terkait dengan kata kejadian manusia al-‘alaq (yang diartikan segumpal darah sebagai asal kejadian manusia). Kata ‘alaq secara harfiyah berarti tergantung. Makanya, lintah di dalam kosa kata bahasa Arab disebut juga dengan nama álaq, karena sifatnya yang selalu menggantung di tempat ia menghisap darah. Memang, begitulah fitrah manusia yaitu selalu memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Akan tetapi, jika saja manusia rajin membaca, belajar, membekali diri dengan ilmu pengetahuan, maka sikap ketergantungan ini setidaknya akan bisa dikurangi dan diminimalisir jika tidak akan dihilangkan. Inilah yang sering kita istilah dalam sebuah ungkapan bijak, “Jangan engkau berikan ikan kepada anakmu, namun berikanlah kepada anakmu pancing dan ajarkan dia cara memancing ikan, sehingga nanti sepeninggalmu dia bisa mencari ikan sendiri”. Artinya yang terbaik adalah membekali anak-anak kita dengan ilmu bukan dengan harta. Sebab, dengan ilmu dia akan bisa mencari harta di kemudian hari. Namun tanpa ilmu dan karena kebodohannya, harta yang diwariskanpun akan habis dan punah.
Begitulah pentingnya ilmu bagi manusia, sehingga wajar jika manusia harus membayar mahal untuk itu dan dituntut mengorbankan segenap potensi dan kemampun yang dimilikinya. Dan itulah hakikat dari hijrah yang hari ini kita sambut, yaitu semangat pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang besar.

Tidak ada komentar: