Antara Muttaqîn Dan Muhsinîn
Muttaqîn dan muhsinîn adalah dua posisi (maqam) manusia di hadapan Allah. Kedua posisi ini didapatkan manusia sebagai anugerah Allah atas kepatuhannya kepada Allah. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang yang manakah dari keduanya yang lebih tinggi dan lebih mulia. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba melihat keduanya berdasarkan informasi al-Qur’an. Ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk melihat yang manakah dari kedua posisi ini yang lebih mulia.
Pertama, dari pemahaman terhadap makna akar kata. Kata muttaqîn berasal dari taqwa yang secara harfiyah berarti takut dan terpelihara. Kata taqwa kemudian diartikan sebagai rasa takut seorang hamba kepada Allah, sehingga membuatnya terpelihara dari perbutan melanggar aturan Allah swt. dan pada akhirnya menjadikan seseorang terhindar dan terpelihara dari murka Allah dan siksa neraka-Nya.
Sementara kata Muhsinîn berasal dari kata ihsan secara harfiyah berarti berbuat kebaikan. Ihsan kepada sesama adalah memberikan lebih banyak dari yang seharusnya diberikan dan mengambil lebih sedikit dari yang semestinya diambil. Ihsan juga berarti memperlakukan orang lain lebih baik dari memperlakukan diri sendiri. Sedangkan ihsan kepada Allah adalah bahwa ketika seseorang beribadah kepada Allah, dia larut dengan cintanya sehingga dia tidak melihat dirinya dan yang dilihatnya hanyalah Allah semata. Dengan demikian, ihsan kepada Allah adalah rasa cinta seorang hamba kepada-Nya, sehingga dia melakukan sesuatu perintah dan menjauhi suatu larangan bukan karena mengharap imbalan.
Ibadah atas dasar cinta tentu lebih mulia dari rasa takut. Oleh karena itu muhsinîn tentu lebih tinggi dan lebih mulia dari muttaqîn.
Kedua dari penggunaan kedua kata tersebut di dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seseorang menjadi muttaqîn setelah sebelumnya berada dalam posisi mukminin (orang beriman). Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Sementara, Muhsinîn dicapai seseorang setelah sebelumnya mereka berada dalam posisi muttaqîn. Seperti yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3]: 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(134)
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,133(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ketiga, dari segi penempatan mereka di hadapan Allah. Di mana muttaqîn di tempatkan Allah sebagai kelompok manusia yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di hadapan-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam surat al-Hujurat [49]:13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sementara Muhsinîn dijadikan Allah sebagai kekasih dan orang yang paling di sayang-Nya. Seperti yang disebutkan dalam surat surat Ali ‘Imran (3): 134.
…وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “… Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kita tentu memahami, bahwa kedudukan kekasih dan orang yang di sayangi lebih mulia daripada orang yang diberikan kedudukan yang tinggi. Contoh yang sederhana dapat dikemukan, seorang menteri adalah pegawai presiden yang paling tinggi kedudukannya di mata presiden. Akan tetapi, dia belum tentu menjadi kekasih atau orang yang paling disayangi presiden. Lalu apa perbedaan antara orang yang paling tinggi kedudukannya dengan seorang kekasih?
Seorang menteri misalnya, walaupun memiliki kedudukan yang paling tinggi di antara sekian banyak pegawai, namun dia hanya bisa bertemu dengan presiden pada saat dan waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, kekasih atau orang yang paling disayang presiden, tentu bisa bertemu dengannya kapan saja dan di mana saja, bahkan bisa di dalam kamar presiden.
Sekalipun kata kekasih juga diberikan kepada muttaqîn, namun dalam jumlah yang tidak lebih banyak dari Muhsinîn. Di dalam al-Qur’an, kata yuhibbu (menyayangi dan mencintai) yang mana Allah sebagai “Subjeknya” terdapat sebanyak 40 kali. 23 kali di awali dengan lâ (tidak), dan 17 kali tanpa lâ. (baca: M.Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, h. 127). Rincian dari yang 17 itu adalah:
1. 5 untuk Muhsinîn (al-Baqarah [2]: 195, Ali ‘Imaran [3]: 134, Ali ‘Imaran [3]: 148, Al-Ma’idah [5]:13, dan al-Ma’idah [5]: 93).
2. 3 untuk muttaqîn ( Ali ‘Imaran [3]: 76, at-Taubah [9]: 4 dan 7
3. 3 untuk muqsithîn (al-Ma’idah [5]: 42, al-Hujurat [49]: 9, dan al-Mumtahanah [60]: 8
4. 2 untuk muthathahirîn (al-Baqarah [ 2]: 222, dan at-Taubah [9]: 108
5. 1 untuk mutawakkilîn [3]:159
6. 1 tauwabin (al-Baqarah [2]: 222
7. 1 untuk shabirîn (Ali ‘Imran [3]:146
8. 1 muttahidîn (at-Taghabun [64]: 4
Dari jumlah penggunaan kata yuhibbu tersebut, juga dapat dipahami bahwa Muhsinîn lebih mulia dan lebih tinggi dari muttaqîn.
Keempat, dari bentuk ibadah yang menghasilkan kedua posisi tersebut. Jika muttaqîn diperoleh setelelah seseorang melaksanakan ibadah puasa yang merupakan hasil dari melatih, menahan serta memelihara diri dari kehendak nafsu (puasa secara harfiyah imask atau menahan). Sementara, Muhsinîn adalah hasil dari kemampuan seseorang mengalahkan egoisme dirinya. Mengalahkan egoisme berarti jika berbenturan keinginannya dengan kehendak Allah, maka dia mendahulukan kehendak Allah. Begitulah yang dipahami dari kisah penyembelihan Isma’il oleh Ibrahin seperti diceritakan dalam surat ash-Shafat [37]: 102-105
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(102)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(103)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(104)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(105)
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (102), Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103), Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105).”
Puasa adalah kewajiban yang diasosiasikan dengan perintah, tekanan, paksaan dan ancaman. Sementara qurban adalah sunat yang lebih menuntut kesadaran dan dasarnya adalah cinta dan pengorbanan. Sehingga, hasil dari kedua ibadah ini juga berbeda posisinya. Dan tentu, posisi yang didapatkan dengan kesadaran, lebih mulia dari yang didapatkan melalui perintah dan paksaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar